BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Artinya bahwa pemerintah pusat memberikan wewenang untuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I INTRODUKSI. Bab I dalam penelitian ini berisi tentang latar belakang, konteks riset, rumusan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, proses penelitian dan sistematika penulisan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini masyarakat Indonesia semakin menuntut pemerintahan untuk

BAB. I PENDAHULUAN. Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa: Pengelolaan Barang Milik Daerah

BABl PENDAHULUAN. Dewasa ini kebutuhan atas informasi keuangan yang informatif

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan dan pertanggungjawaban, maka dalam era otonomi daerah sekarang ini

Bab 1 PENDAHULUAN. dilanjutkan dengan pertanyaan penelitian, tujuan, motivasi, dan kontribusi

BAB I PENDAHULUAN. menjadi isu yang sangat penting di pemerintahan Indonesia. Salah satu kunci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pengelolaan keuangan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17

BAB 1 PENDAHULUAN. berlangsung secara terus menerus. Untuk bisa memenuhi ketentuan Pasal 3. Undang-Undang No.17 tahun 2003 tentang keuangan, negara

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan berbangsa dan bernegara.tata kelola pemerintahan yang baik (Good

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi sektor publik adalah organisasi yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang menitik beratkan pada pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan tuntutan transparansi dan akuntabilitas sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pun berlaku dengan keluarnya UU No. 25 tahun 1999 yang telah direvisi UU No. 33 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah di Indonesia, Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Namun demikian, masih banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. hal pengelolaan keuangan dan aset daerah. Berdasarkan Permendagri No. 21 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Dengan diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan adanya perubahan masa dari orde baru ke era

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan UU No. 33 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Pergantian pemerintahan dari orde baru kepada orde reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungjawaban yang dilakukan kepada masyarakat luas (Mardiasmo:

BAB I PENDAHULUAN. Bumi, air, dan ruang di angkasa, termasuk kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan Good Government Governance (GGG). Mekanisme. penyelenggaraan pemerintah berasaskan otonomi daerah tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Penyusunan laporan keuangan merupakan salah satu kriteria dalam sistem reward. yang dapat menunjukkan kondisi sebenarnya.

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. yang dapat dijadikan milik Negara (UU no 17 pasal1 ayat1). Undang undang

BAB I PENDAHULUAN. No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ghia Giovani, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka reformasi di bidang keuangan, pada tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Rochmansjah (2010) ditandai dengan adanya penyelenggaraan manajemen

BAB I PENDAHULUAN. Bagian Pendahuluan ini akan menguraikan rencana penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia. ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang. Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. melalui UU No. 22 Tahun Otonomi daerah memberikan Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Mardiasmo (2004) mengatakan, instansi pemerintah wajib melakukan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas,

BAB I PENDAHULUAN. Penyajian laporan keuangan di daerah-daerah khususnya di SKPD (Satuan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dapat diraih melalui adanya otonomi daerah.indonesia memasuki era otonomi

BAB I PENDAHULUAN. daerah (Mahmudi, 2011). Laporan keuangan dalam lingkungan sektor publik

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. Setelah penulis menggali dan mengganalisis data temuan BPK RI Perwakilan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak Indonesia mulai memasuki era reformasi, kondisi pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Frilia Dera Waliah, 2015 ANALISIS KESIAPAN PEMERINTAH KOTA BANDUNG DALAM MENERAPKAN STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN BERBASIS AKRUAL

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk penyelenggaraan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat

BAB I PENDAHULUAN. telah menjadi semacam new product dari sebuah industri bernama pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjalankan pemerintahannya. Pemerintah pusat memberikan kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pasti membutuhkan pemerintahan yang baik atau yang sering disebut good

BAB I PENDAHULUAN. dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang

BAB I PENDAHULUAN. keuangan pemerintah masih menemukan fenomena penyimpangan informasi laporan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik baik di pusat maupun di

BAB 1 PENDAHULUAN. disebut dengan Good Governance. Pemerintahan yang baik merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara periodik (Mardiasmo, 2006, hal 17). Pemerintah harus mampu untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pelaksanaan otonomi daerah yang telah berjalan sejak tahun 1999-an

AKUNTANSI, TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS KEUANGAN PUBLIK (SEBUAH TANTANGAN) OLEH : ABDUL HAFIZ TANJUNG,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam rangka mendukung terwujudnya tata kelola yang baik

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin maju dan terbukanya sistem informasi dewasa ini, isu-isu

BAB I PENDAHULUAN. ini bukan hanya orang-orang dari bidang akuntansi yang dapat memahami laporan

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan seiring

BAB I PENDAHULUAN. komitmen Pemerintah Pusat dalam perbaikan pelaksanaan transparansi dan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatannya. Optimalisasi serta peningkatan efektivitas dan efisiensi di

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. tetap daerah Kotawaringin Barat antara lain sebagai berikut.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pergantian Pemerintahan dari orde baru ke orde reformasi yang. dimulai pertengahan tahun 1998 menuntut pelaksanaan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. bersih dan berwibawa. Paradigma baru tersebut mewajibkan setiap satuan kerja

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. menyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara

BAB I PENDAHULUAN. Pada sistem pemerintahan yang ada di Indonesia, setiap pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mulai menerapkan otonomi daerah setelah berlakunya Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya pelaksanaan otonomi daerah menuntut pemerintah harus memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 pasal 32 ayat 1 dan 2 tentang keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas tentang latar belakang dari dilakukan penelitian ini,

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. arah dan tujuan yang jelas. Hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah,

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan ekonomi, sudah pasti disemua negara di dunia

BAB I PENDAHULUAN. informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. baru menjadi era reformasi, pengelolaan keuangan daerah juga. mengalami perubahan. Pengelolaan keuangan daerah yang dulunya

BABI PENDAHULUAN. Untuk terciptanya kemandirian pemerintah daerah, pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, pemerintah Indonesia berusaha untuk mewujudkan tata kelola

I. PENDAHULUAN. melakukan pengelolaan keuangan serta mempertanggungjawabkan pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Supriyanto dan Suparjo (2008) mengungkapkan :

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka pemenuhan hak publik. Untuk pengertian good governance,

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang masalah penelitian yang akan dilakukan.

BAB I PENDAHULUAN. Menyusun laporan keuangan merupakan sebuah kewajiban bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan penyelenggaraan operasional pemerintahan. Bentuk laporan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan keuangan, pemerintah melakukan reformasi dengan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Bab I dalam penelitian ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian dan kontribusi penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan, Indonesia menganut paham desentralisasi. Artinya bahwa pemerintah pusat memberikan wewenang untuk mengelola pelaksanaan pemerintahan pada setiap pemerintah daerah otonom. Sebagai wujud dari desentralisasi, pemerintah pusat menerbitkan peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan otonomi bagi pemerintah daerah. Hingga saat ini, otonomi daerah dianggap kebijakan yang paling ideal mengingat setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Otonomi daerah merupakan satu kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan pembangunan secara merata di Indonesia. Tujuan umum dari otonomi daerah disebutkan dalam UU Nomor 32 tahun 2004 yang sudah direvisi dengan UU Nomor 23 tahun 2014 yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Selanjutnya, dalam menjalankan otonomi, pemerintah daerah dituntut harus mandiri. Namun, tidak sedikit pemerintah daerah yang mengalami kesulitan dalam mengelola daerahnya. Hal ini dikarenakan besar dan banyaknya subjek dan objek yang dikelola oleh pemerintah daerah. Salah satu objek yang harus dikelola oleh pemerintah daerah adalah keuangan daerah. Objek yang dikelola di bidang

keuangan ini merupakan kewenangan fiskal daerah atas otonomi daerah. Keuangan daerah merupakan objek yang memiliki sensitifitas yang tinggi dalam pengelolaannya. Menurut UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, keuangan daerah merupakan keuangan negara yang dikuasakan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk dikelola. Karena hal ini, maka pemerintah daerah harus mematuhi tiga paket UU keuangan Negara yaitu UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Bentuk dari pengelolaan keuangan daerah adalah disusunnya APBD setiap tahun kemudian dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk memaksimalkan pengelolaan keuangan negara dan daerah, pemerintah menerapkan akuntansi berbasis akrual. Pemerintah daerah sebagai pengelola keuangan daerah harus menyusun laporan keuangan menggunakan akuntansi berbasis akrual. Hal ini merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Akuntansi berbasis akrual ini diterapkan secara bertahap, pertama yaitu pada tahun 2005 menggunakan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) berbasis kas menuju akrual yang berpedoman pada PP Nomor 24 tahun 2005, selanjutnya yaitu SAP murni berbasis akrual yang berpedoman pada PP Nomor 71 tahun 2010 yang selambat-lambatnya SAP ini diterapkan pada tahun 2015.

Kemudian, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) ditindaklanjuti dengan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Proses pemeriksaan laporan keuangan ini merupakan bentuk dari penerapan salah satu dari tiga paket UU keuangan negara yaitu UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. BPK memeriksa laporan keuangan daerah yaitu memastikan bahwa laporan keuangan daerah tersebut telah disusun dan disajikan dengan wajar. Salah satu output dari pemeriksaan BPK atas LKPD adalah pemberian opini. Opini BPK atas pemeriksaan laporan keuangan ada empat yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW) dan Tidak Menyatakan Pendapat (TMP). Tentunya semua pemerintah yang mengelola keuangan negara menginginkan opini WTP dari BPK. Berikut ini adalah tabel perkembangan opini BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) dari tahun 2009 hingga 2013: Tabel 1.1 Opini LKPD tahun 2009 hingga tahun 2013 Opini Total Tahun Pemerintah WTP WDP TW TMP daerah 2009 15 330 48 111 504 2010 34 343 26 119 522 2011 67 349 8 100 524 2012 120 319 6 79 524 2013 153 276 9 18 456 Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2014 BPK-RI Tabel 1.1 diatas menunjukkan bahwa pemerintah daerah masih banyak yang mendapatkan opini WDP dari BPK. Hal ini mengindikasikan bahwa ada

kendala yang sedang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam menyusun laporan keuangan berbasis kas menuju akrual. Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) 1 tahun 2014 yang dikeluarkan oleh BPK RI disebutkan bahwa terdapat beberapa kendala yang sedang dihadapi oleh pemerintah daerah diantaranya adalah: aset tetap tidak didukung dengan pencatatan dan pelaporan yang memadai, penatausahaan kas yang tidak sesuai dengan ketentuan, penyertaan modal yang belum ditetapkan dengan peraturan daerah, saldo dana bergulir belum disajikan dengan metode nilai bersih yang dapat direalisasikan (net reliazable value), penatausahaan persediaan tidak memadai, dan pelaksanaan belanja modal serta belanja barang dan jasa tidak sesuai dengan ketentuan. Dari pernyataan yang tertulis dalam IHPS 1 tahun 2014, telah disebutkan bahwa salah satu kendala yang dihadapi pemerintah daerah dalam menyusun laporan keuangan adalah berhubungan dengan aset tetap. Pengelolaan aset merupakan pengelolaan keuangan daerah yang harus dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel baik itu kepada masyarakat maupun kepada pemerintah (Mustika, 2012). Pengelolaan aset tetap daerah diatur oleh PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, kemudian diubah menjadi PP Nomor 38 tahun 2008 yang menghasilkan turunan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang milik Daerah. Menurut Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD), pengelolaan BMD meliputi: 1) Perencanaan kebutuhan dan penganggaran; 2) Pengadaan; 3) Penerimaan, penyimpanan dan penyaluran;

4) Penggunaan; 5) Penatausahaan; 6) Pemanfaatan; 7) Pengamanan dan Pemeliharaan; 8) Penilaian; 9) Penghapusan; 10) Pemindahtanganan; 11) Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian; 12) Pembiayaan; 13) Tuntutan ganti rugi. Peraturan ini menuntut pengelolaan BMD harus dilaksanakan dengan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. Tuntutan ini ditujukan kepada pejabat dan aparatur pemerintah daerah yang meliputi kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah, sekretaris daerah selaku pengelola, kepala biro/bagian perlengkapan/umum/unit selaku pihak yang bertanggung jawab mengkoordinir penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah yang ada di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), kepala SKPD selaku pengguna barang milik daerah dan kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) selaku kuasa pengguna barang milik daerah. Di dalam LKPD, aset disajikan dalam neraca. Neraca merupakan komponen laporan keuangan yang cukup vital. Salah saji atau bahkan kecurangan oleh oknum pemerintahan sering ditemukan dalam neraca khususnya di sisi aset.

Aset merupakan objek yang sering disalahgunakan oleh oknum pemerintah sehingga mereka terjerat kasus korupsi. Untuk itu, penyajian aset pada LKPD selalu mendapatkan perhatian khusus dari auditor BPK. Jika memang benar terjadi salah saji atau ketidakwajaran dalam penyajian aset, maka akan berakibat pada opini auditor BPK yang kurang maksimal atas LKPD. Kabupaten Situbondo merupakan salah satu pemerintah daerah yang mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari auditor BPK pada tahun 2013. Dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dikeluarkan BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Timur untuk periode pemeriksaan tahun 2013, terlihat bahwa ada permasalahan penyajian di sisi aset tetap pemerintah kabupaten Situbondo. Lebih spesifik, LHP BPK juga menjelaskan bahwa penatausahaan aset tetap pada pemerintahan Situbondo masih belum tertib dan belum didukung dengan data yang memadai. Dalam proses pencatatan aset tetap, pemerintah kabupaten Situbondo sudah menggunakan aplikasi Sistem Informasi Manajemen Barang Daerah (Simbada) sejak tahun 2009. Namun, aplikasi tersebut hanya untuk pencatatan pada setiap SKPD dan masih belum terintegrasi ke pengelola barang sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan BMD. Sejak diterapkannya simbada ini, ada selisih angka pada saldo aset tetap yang tercantum. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut pemerintah kabupaten Situbondo melakukan inventarisasi ulang aset tetap di seluruh SKPD dan pengurus barang sebagai pelaksana teknis inventarisasi aset tetap mencantumkan nilai aset pada laporan inventarisasi barang tidak berdasarkan nilai perolehan namun nilai perkiraan

sendiri berdasarkan harga pasar pada saat dilakukan inventarisasi. Kemudian selisih angka tersebut terus tercantum hingga tahun berikutnya dan sebagian masih belum ditindaklanjuti. Pemerintah kabupaten Sleman sebagai objek pembanding pada penelitian ini merupakan salah satu pemerintah daerah yang mendapatkan opini WTP dari BPK atas laporan keuangan pada tahun 2013. Hasil audit BPK tidak ditemukan catatan terkait permasalahan penatausahaan aset tetap. Dari opini tersebut dapat disimpulkan bahwa setidaknya pemerintah kabupaten Sleman dapat mengatasi masalah penatausahaan aset tetap yang mana masih menjadi kendala bagi pemerintah kabupaten Situbondo. Oleh karena masalah ini, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul analisis komparatif penatausahaan aset tetap (kasus pada pemerintah kabupaten Situbondo dan Sleman). 1.2 Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa proses penatausahaan aset tetap kabupaten Situbondo tidak berjalan dengan baik. Salah satu contohnya adalah nilai aset tetap yang dilaporkan di masing-masing SKPD tidak berdasarkan harga yang telah ditetapkan oleh tim penilai melainkan menggunakan nilai/angka perkiraan oleh pengurus barang di SKPD pada saat dilakukan inventarisasi aset tetap. Hal ini tentu tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kabupaten Sleman yang telah mampu menerapkan penatausahaan aset tetap dengan baik. Untuk itu, penatausahaan aset tetap Situbondo perlu dibandingkan dengan pemerintah kabupaten Sleman yang memiliki opini WTP dari BPK.

1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dijabarkan di atas maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah proses penatausahaan aset tetap antara pemerintah kabupaten Situbondo dan Sleman? 2. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah kabupaten Situbondo dan Sleman dalam penatausahaan aset tetap? 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis dan membandingkan proses penatausahaan aset tetap antara pemerintah daerah Situbondo dan Sleman 2. Menganalis dan membandingkan kendala-kendala yang dihadapi pemerintah kabupaten Situbondo dan Sleman dalam penatausahaan aset tetap dan merumuskan solusi yang dianggap paling tepat dalam menghadapi kendala-kendala tersebut sehingga LKPD yang disusun tidak bermasalah lagi dengan aset tetap 1.5 Motivasi Penelitian Penelitian ini termotivasi oleh LHP BPK pada pemerintah daerah di Indonesia yang masih didominasi oleh opini WDP. Salah satu pengecualian atas opini BPK tersebut adalah adanya permasalahan di sisi aset tetap. Pemerintah kabupaten Situbondo merupakan salah satu pemerintah daerah yang mengalami kendala tersebut sehingga mendapatkan opini WDP dari BPK sedangkan

pemerintah kabupaten Sleman mendapatkan opini WTP dari BPK. Penelitian ini ingin mengidentifikasi permasalahan apa yang sebenarnya terjadi ketika melakukan penatausahaan aset tetap daerah sehingga opini BPK yang didapatkan berbeda antar pemerintah daerah. Ketika sudah diketahui secara ilmiah permasalahan yang sebenarnya terjadi maka akan mudah bagi pihak manajemen dalam menentukan dan merumuskan solusi atau kebijakan. 1.6 Kontribusi penelitian Kontribusi yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain adalah: 1) Kontribusi secara teoritis adalah dapat memberikan informasi mengenai pelaksanaan penatusahaan aset tetap pada pemerintah daerah yang sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga tidak mempengaruhi opini auditor BPK atas LKPD yang berkaitan dengan aset tetap daerah. 2) Kontribusi secara praktis yaitu memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah daerah khususnya kabupaten Situbondo berkaitan dengan penerapan penatausahaan aset tetap yang sesuai dengan peraturan yang berlaku dan memiliki pembanding yaitu pemerintah kabupaten Sleman. 1.7 Proses Penelitian sederhana: Berikut ini adalah gambaran tahapan penelitian secara singkat dan

2. Tujuan Penelitian 3. Pondasi Teoretikal penelitian studi kasus 1. Pertanyaan penelitian 4. Metode Penelitian Studi Kasus 5. Temuan dan Analisis Gambar 1.1 Tahapan Penelitian Sumber: Pedoman Umum Penulisan Tesis (Program Maksi UGM, 2015)