LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI KARANTINA HEWAN KELAS I MAKASSAR 2008
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menentukan kebijakan importasi hewan dan produknya maupun lalu lintas domestik baik pemasukan maupun pengeluaran hewan antar area perlu menerapkan prinsip hati-hati (precautionary principles). Implementasi kebijakan tersebut merupakan wujud mekanisme pertahanan hayati (biodefense mechanism) suatu negara. Penyakit Anthraks atau radang limpa adalah salah satu penyakit zoonosis yang menular dari hewan ke manusia dan hampir setiap tahun selalu muncul di daerah endemis. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis adalah bakteri gram negatif, berkapsul, bersifat fakultatif anaerob pada host. Sebenarnya Bacillus anthracis sendiri tidak begitu tahan terhadap suhu tinggi dan berbagai desinfektan namun mereka mudah sekali membentuk spora yang tahan kekeringan, dan mampu hidup di tanah yang basah, lembab atau daerah sering tergenang air. Oleh karena itu spora bakteri ini mampu bertahan hidup di lingkungan selama bertahun-tahun. Kejadian penyakit Anthraks sering dilaporkan pada sapi, kerbau, kuda, babi, kambing dan domba termasuk juga manusia. Babi, anjing, kucing lebih resisten terhadap infeksi bakteri Anthraks. Anthraks telah dikenal di Indonesia mulai tahun 1884 di Teluk Betung, selama tahun 1899-1900 di daerah karasidenan Jepara tercatat sebanyak 311 ekor sapi terserang Anthraks, dari sejumlah itu 207 ekor mati. Pada tahun 1975, penyakit itu muncul di enam daerah : Jambi, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Kemudian Tahun 1975 1985 anthraks berjangkit di 9 propinsi dan menyebabkan 4.310 ekor ternak mati. Kasus kematian pada manusia dilaporkan di Desa Citaringgul Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor yang menyebabkan enam orang meninggal dunia karena mengkonsumsi daging kambing terinfeksi Anthraks. Kematian pada manusia juga terjadi di Bima, Nusa Tenggara Barat yang menimpa delapan orang warga Dusun Lareau. Kasusnya mirip seperti di Bogor, kambing yang dipotong tersebut adalah kambing sakit, karena mereka berpikir ketimbang kambing mati percuma lebih baik dipotong, kemudian dagingnya dibagibagi kepada penduduk.
Masih seputar kematian pada manusia akibat bakteri Anthraks terjadi pada pertengahan Oktober 2007 di Kabupaten Ende dan Sikka, Nusa Tenggara Timur menimpa 700 warga teridentifikasi Anthraks setelah mengkonsumsi daging bangkai kerbau. Sedangkan di Pulau Sumba, lima warga meninggal seketika setelah mengkonsumsi bangkai sapi yang mati pada bulan April 2007. Berikut adalah beberapa kondisi peternakan sapi di Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat : 1. Pemeliharaan sapi peternak dengan cara dilepas di padang rumput tidak dikandangkan intensif. 2. Berdasarkan data Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat, prevalensi kejadian penyakit Anthraks di Lombok adalah sebesar 40%. 3. Belum ada monitoring berkala efektifitas dan keberhasilan vaksinasi Anthraks. 4. Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk memotong hewan di RPH, masih banyak melakukan pemotongan di tempat-tempat terbuka 1.2 Permasalahan Untuk mencukupi tuntutan kebutuhan masyarakat akan pemenuhan protein hewani yang semakin meningkat, menuntut peran pemerintah untuk menyediakan sumber bahan pangan asal hewan yang aman dan sehat. Kondisi Sulawesi Selatan saat ini sangat berbeda dengan 10-15 tahun yang lalu yaitu sebagai daerah sentra peternakan terbesar di kawasan timur Indonesia. Saat ini lebih banyak mendatangkan sapi-sapi dari daerah lain atau impor hewan atau produk-produk asal hewan. Hal ini dapat menjadi peluang masuk dan tersebarnya berbagai penyakit hewan baik yang belum ada atau sudah ada di suatu daerah. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian / analisa risiko setiap pemasukan / pengeluaran hewan dan produknya terhadap penyakit hewan. 1.3 Sasaran Pelaksanaan program kesehatan hewan yang komprehensif harus dilakukan dengan melibatkan instansi terkait. Penetapan prosedur pemasukan / pengeluaran hewan antar area juga harus dibuat bersama-sama dengan Dinas Peternakan, Balai Besar Veteriner dan memperhitungkan tingkat risikonya jika hewan tersebut masuk ke suatu wilayah. Sehingga diharapkan mampu memberikan jaminan keamanan sepanjang mata rantai distribusi, mulai dari tindakan karantina hewan di tempat
pengeluaran dan pemasukan, pemeriksaan darah di Laboratorium uji, risiko tertular selama berada di alat pengangkutan, sampai dengan di daerah penyebaran. 1.4 Tujuan Analisis risiko ini dibuat dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan terbawanya penyakit Anthraks melalui pemasukan sapi bibit bali dari Lombok- NTB ke Makassar. Walaupun status penyakit Anthraks adalah sama-sama endemis antara dua daerah ini, tetapi dengan tindakan precautionary principles / kehati-hatian yaitu dengan melakukan analisa risiko diharapkan akan memperkecil kemungkinan hewan tertular Anthraks.
BAB II METODE 2.1 Pelaksanaan Kegiatan Analisis risiko dibuat berdasarkan asumsi-asumsi dari data laporan tertulis dari Dinas Peternakan Kabupaten Lombok, Propinsi Nusa Tenggara Barat, Laboratorium kesehatan hewan Propinsi Nusa Tenggara Barat. Analisis risiko perlu dilakukan juga di tempat karantina pengeluaran sebagai tempat penampungan sementara sapi-sapi bibit sebelum pengapalan dan tempat pelaksanaan tindakan karantina pemeriksaan kesehatan sapi bibit. Analisis risiko merupakan suatu landasan kebijakan untuk memutuskan aman tidaknya dilakukan suatu importasi atau lalu lintas pemasukan/pengeluaran hewan dan produknya antar area. Kunjungan tim on site review ke daerah asal perlu dilakukan karena merupakan tahap awal untuk mengevaluasi, menilai kemungkinan dan kecenderungan skenario masuknya dan berkembangnya agen penyebab penyakit Anthraks ke populasi hewan di daerah tujuan. Beberapa hal penting dalam melakukan analisis risiko: 1. Identifikasi bahaya (hazard). 2. Penilaian risiko (risk assesment) meliputi: a. Release assesment (penilaian pengeluaran agen). b. Exposure assesment (penilaian pendedahan). c. Consequence assesment (penilaian dampak). d. Risk estimation (perkiraan risiko). 3. Penataan risiko (risk management). Tahap ini bertujuan untuk menentukan tingkat risiko dan meminimalkan risiko dengan cara menerapkan sanitary measure. 4. Komunikasi risiko (risk communication). Hasil analisis risiko dikomunikasikan secara transparan dan berkelanjutan ke beberapa pihak terkait di masyarakat dan usulan penataan risiko kepada daerah asal dan daerah tujuan. 2.2 Kajian yang dilakukan Analisis risiko bagi pemasukan sapi bibit bali dari Lombok, Nusa Tenggara Barat menggunakan kajian analisis risiko kuantitatif (ARK). Untuk analisis risiko kuantitatif perlu diketahui skenario dari daerah asal, mulai dari sumber dan umur ternak yang
akan dilalulintaskan antar area, pengangkutan ke karantina, pemeriksaan kesehatan sebelum pengapalan, perlakuan sapi bibit saat pengangkutan di kapal. Probabilitas setiap kejadian pada ARK dinilai secara kuantitatif. Penjumlahan dari seluruh probabilitas dalam pathway merupakan total semua risiko. 2.2.1 Langkah-langkah dalam pelaksanaan analisa risiko : 1. Membuat daftar pertanyaan tentang risiko apa yang akan dianalisis 2. Identifikasi hazard/ bahaya 3. Membuat skenario pathway tentang tempat masuknya agen infeksi 4. Koleksi data 5. Estimasi risiko 2.2.2 Daftar pertanyaan tentang risiko yang akan dianalisis 1. Apakah ada sistem surveillans rutin terhadap penyakit Anthraks di Propinsi Nusa Tenggara Barat yang dapat mendeteksi anthraks pada sumber kelompok ternak terinfeksi. 2. Apakah program vaksinasi Anthraks telah dilakukan rutin sehingga dapat mencegah kejadian Anthraks di Nusa Tenggara Barat. 3. Apakah dilakukan program monitoring pasca vaksinasi yang dapat mengetahui efektivitas pelaksanaan vaksinasi dalam mencegah kejadian Anthraks. 4. Apakah kondisi alam dan PH tanah di Lombok potensial bagi perkembangan bakteri Bacillus anthracis 5. Apakah pemeriksaan darah yang dilakukan oleh Laboratorium Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat cukup teliti untuk dapat mendeteksi bakteri Bacillus anthracis 6. Apakah pemeriksaan karantina hewan di daerah pengeluaran selama 14 hari dapat mendeteksi penyakit Anthraks 7. Apakah gejala penyakit Anthraks muncul pada sapi-sapi bibit pada saat berada di alat angkut / kapal laut 8. Apakah pemeriksaan karantina hewan di daerah tujuan/ pemasukan dapat mendeteksi penyakit Anthraks
2.2.3 Identifikasi hazard/ bahaya Kejadian (K) K awal Uraian Kejadian Sapi bibit yang dilalulintaskan dari NTB ke Makassar terinfeksi penyakit Anthraks. Tidak ada risiko Ada risiko Prob. (P) (Pawal =1) K1 Ada sistem surveillans rutin terhadap penyakit Anthraks di Propinsi Nusa Tenggara Barat yang dapat mendeteksi Anthraks pada sumber kelompok ternak terinfeksi. P1 K2 Program vaksinasi Anthraks telah dilakukan rutin sehingga dapat mencegah kejadian anthraks di Nusa Tenggara Barat P2 K3 Monitoring pasca vaksinasi yang dapat mengetahui efektivitas pelaksanaan vaksinasi dalam mencegah kejadian Anthraks P3 K4 Kondisi alam dan PH tanah di Lombok potensial bagi perkembangan bakteri Bacillus anthracis P4 K5 Pemeriksaan darah yang dilakukan oleh Laboratorium Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat cukup teliti untuk dapat mendeteksi bakteri Bacillus anthracis P5 K6 Pemeriksaan karantina hewan di daerah pengeluaran selama 7 hari dapat mendeteksi penyakit Anthraks P6 K7 Gejala penyakit Anthraks muncul pada sapi-sapi bibit pada saat berada di alat angkut / kapal laut P7 K8 Pemeriksaan karantina hewan di daerah tujuan/ pemasukan dapat mendeteksi penyakit Anthraks P8 K akhir Pakhir = Pawal x P1xP2xP3xP4xP5xP6xP7xP8 2.2.4 Skenario pathway Sapi bibit yag dilalulitaskan terifeksi Anthraks ( Ancaman/hazard ) Ada sistem surveillans rutin terhadap penyakit anthraks di Propinsi Nusa Tenggara Barat yang dapat mendeteksi Anthraks pada sumber kelompok ternak terinfeksi (Kejadian 1) Program vaksinasi Anthraks telah dilakukan rutin sehingga dapat mencegah kejadian anthraks di Nusa Tenggara Barat (Kejadian 2) Monitoring pasca vaksinasi yang dapat mengetahui efektivitas pelaksanaan vaksinasi dalam mencegah kejadian Anthraks (Kejadian 3) Kondisi alam dan PH tanah di Lombok potensial bagi perkembangan bakteri Bacillus anthracis (Kejadian 4) Kesimpulan Pemeriksaan darah yang dilakukan oleh Laboratorium Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat cukup teliti untuk dapat mendeteksi bakteri Bacillus anthracis (Kejadian 5) Pemeriksaan karantina hewan di daerah pengeluaran selama 7 hari dapat mendeteksi penyakit Anthraks (Kejadian 6)
Gejala penyakit Anthraks muncul pada sapi-sapi bibit pada saat berada di alat angkut / kapal laut (Kejadian 7) Pemeriksaan karantina hewan di daerah tujuan/ pemasukan dapat mendeteksi penyakit Anthraks (Kejadian 8) 2.2.5 Koleksi Data P1 = Probabilitas sistem surveilans oleh Dinas Peternakan Kabupaten Lombok gagal mendeteksi Anthraks = 0,02 a. Kasus Anthraks selama Tahun 2006 = 40 kasus b. Jumlah sapi sampel yang diperiksa di Lombok NTB = 2000 ekor c. Prevalensi = 40/2000 = 0,02 P2 = Probabilitas bahwa program vaksinasi tidak dapat mencegah kejadian Anthraks di Kabupaten Lombok Nusa Tenggara Barat = 4.750/10.500 = 0,4524 a. Jumlah populasi sapi di Lombok NTB = 10.500 ekor b. Jumlah sapi yang tervaksin = 4.750 ekor P3= Probabilitas bahwa monitoring pasca vaksinasi tidak dapat mengetahui efektivitas pelaksanaan vaksinasi dalam mencegah kejadian Anthraks = 1 P4 = Probabilitas kondisi alam dan PH tanah di Lombok yang relatif basa berpotensi menimbulkan penyakit anthraks = 1 P5= Probabilitas pemeriksaan darah yang dilakukan oleh Laboratorium Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat tidak dapat mendeteksi bakteri Bacillus anthracis = 40/2000 = 0,02 a. Jumlah sampel darah yang dikirim ke Laboratorium = 2000 b. Hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan hasil positif = 40 P6 = Probabilitas pemeriksaan karantina hewan di daerah pengeluaran selama 7 hari tidak dapat mendeteksi penyakit Anthraks = 300/10.500 = 0,029 a. Jumlah populasi sapi di Lombok NTB = 10.500 ekor b. Jumlah sapi yang dilalulintaskan dan diperiksa di karantina = 300 ekor P7= Probabilitas gejala penyakit Anthraks muncul pada sapi-sapi bibit pada saat berada di alat angkut / kapal laut = 1 P8= Probabilitas pemeriksaan karantina hewan di daerah tujuan/ pemasukan tidak dapat mendeteksi penyakit Anthraks = 1
2.2.6 Perhitungan risiko pemasukan sapi bibit bali dari Lombok-NTB ke Makassar Sistem surveillans gagal mendeteksi penyakit anthraks di Propinsi Nusa Tenggara Barat pada sumber kelompok ternak R1 = 0,02 Program vaksinasi tidak dapat mencegah kejadian anthraks di Nusa Tenggara Barat R2 = 0,4524 Monitoring pasca vaksinasi tidak dapat mengetahui efektivitas pelaksanaan vaksinasi dalam mencegah kejadian Anthraks R3 = 1,00 Kondisi alam dan PH tanah di Lombok potensial bagi perkembangan bakteri Bacillus anthracis R4 = 1,00 Pemeriksaan darah yang dilakukan oleh Laboratorium Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat tidak dapat mendeteksi bakteri Bacillus anthracis R5 = 0,02 Pemeriksaan karantina hewan di daerah pengeluaran selama 7 hari tidak dapat mendeteksi penyakit Anthraks R6 = 0,029 Gejala penyakit Anthraks muncul pada sapi-sapi bibit pada saat berada di alat angkut / kapal laut R7 = 1,00 Pemeriksaan karantina hewan di daerah tujuan/ pemasukan tidak dapat mendeteksi penyakit R8 = 1,00 Probabilitas masuknya penyakit anthraks melalui pemasukan sapi bibit ke Makassar R = PawalxR1xR2x R3xR4xR5xR6xR7x R8 R = P awal x R1x R2x R3x R4x R5x R6x R7x R8 = 1x0,02x0,4524x1x1x0,02x0,029x1x1 = 5,247x10 6 ( Kemungkinan/ probabilitas kejadian anthraks yang mungkin muncul pada pemasukan sapi bibit bali dari Lombok - NTB ke Makassar adalah 5 ekor dalam 1 juta ekor sapi)
2.2.7 Kesimpulan Risiko ini adalah kecil, meskipun demikian untuk memperoleh analisis risiko dengan akurasi tinggi masih diperlukan verifikasi dengan melakukan on-site review ke daerah asal dan melakukan metode analisis risiko kualitatif dengan asumsi jika ada 1 (satu) saja risiko yang muncul