KEMITRAAN USAHA DALAM KLASTER INDUSTRI KERAJINAN ANYAMAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA TUGAS AKHIR

dokumen-dokumen yang mirip
2015 PENGARUH BUDIDAYA TANAMAN MENDONG

PENGELOMPOKAN INDUSTRI PAKAIAN JADI DI KECAMATAN CIPONDOH KOTA TANGERANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERAN FORUM LINTAS PELAKU KLASTER PARIWISATA CEPOGO SELO SAWANGAN DALAM PENGEMBANGAN KLASTER PARIWISATA SELO-SAWANGAN TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wenni Febriani Setiawati, 2015

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

RANTAI NILAI DALAM AKTIVITAS PRODUKSI KLASTER INDUSTRI GENTENG KABUPATEN GROBOGAN JAWA TENGAH

DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR. Oleh : SURYO PRATOMO L2D

PENDAHULUAN (Renstra Kementrian Koperasi dan UMKM ) diketahui jumlah

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi agar terus tumbuh dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor

EVALUASI PERAN FORUM KLASTER PARIWISATA CEPOGO SELO SAWANGAN (FCSS) DALAM PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI LOGAM TUMANG BOYOLALI TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. dikatakan berhasil dalam strategi pengembangan pembangunan jika laju

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pengembangan industri kecil dan menengah tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. bagi perekonomian di Indonesia. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UKM)

KARAKTERISTIK JARINGAN USAHA PADA KLASTER INDUSTRI KERAJINAN TEMBAGA DESA TUMANG KECAMATAN CEPOGO KABUPATEN BOYOLALI TUGAS AKHIR

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

dan kelembagaan yang kegiatannya saling terkait dan saling mendukung dalam peningkatan efisiensi, sehingga terwujudnya daya saing yang kuat.

PERAN INSTITUSI LOKAL DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH (Studi Kasus: Proses Difusi Inovasi Produksi Pada Industri Gerabah Kasongan Bantul, DIY)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN. penghidupan bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Secara umum, pengertian

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan UMKM di Indonesia dari tahun telah. Tabel 1.1. Jumlah Unit UMKM dan Industri Besar

BAB 1 PENDAHULUAN. industri lagi, tetapi mereka harus lebih mengandalkan SDM yang kreatif.

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangannya

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan persaingan pada dunia bisnis di era globalisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. sektor perindustrian ini adalah dengan cara mengembangkan industri kecil.

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. sektor ekonomi lainnya yang berperan meningkatkan perekonomian nasional.

BAB V KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DAN ARAHAN PENINGKATANNYA DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN

IDENTIFIKASI PROSES PERENCANAAN PENGEMBANGAN KLASTER BATIK MASARAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Pembangunan merupakan pelaksanaan dari cita-cita luhur bangsa. desentralisasi dalam pembangunan daerah dengan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. negara. Khususnya bagi industri-industri, perusahaan dan pelaku ekonomi lainnya

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk

BAB I PENDAHULUAN. Masyhuri Machfudz, M Nurhadi Sujoni, Teori Ekonomi Makro, UIN-Maliki Press, Malang, 2012, hlm. 1

ARAHAN PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN KEGIATAN AGRIBISNIS DI KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR. Oleh : NURUL KAMILIA L2D

I. PENDAHULUAN. 3 Industri Pengolahan 26,36 24,80 24,35 23,97 23,69 4 Listrik, Gas, dan Air 0,83 0,76 0,75 0,76 0,77

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi

BAB I PENDAHULUAN. namun sektor industri adalah satu dari beberapa yang bertahan dari krisis

BAB I PENDAHULUAN. Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk. bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN. Dalam konteks desentralisasi ekonomi maka setiap daerah harus kreatif,

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. dianggap cukup representatif dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Dalam

I. PENDAHULUAN. dan mendapat perhatian yang cukup besar dari pemerintah industri kecil merupakan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

PENDAHULUAN. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah suatu usaha yang

BAB I PENDAHULUAN. lagi. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Hasan dalam Republika

6. URUSAN PERINDUSTRIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja, menaikan devisa negara serta mengangkat prestise nasional.

I. PENDAHULUAN. Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan

BAB I PENDAHULUAN. Data Bank Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adalah dengan melakukan pembangunan baik dalam jangka pendek dan jangka

BAB I PENDAHULUAN. kota ataupun kabupaten untuk berlomba-lomba mengembangkan daerahnya di

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN KLATEN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan

a. PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB I PENDAHULUAN. bukan lagi terbatas pada aspek perdagangan dan keuangan, tetapi meluas keaspek

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. industrialisasi dan pembangunan industri sebenarnya merupakan satu jalur

Menteri Perindustrian Republik Indonesia SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA PENGANUGERAHAN PIAGAM OVOP JAKARTA, 22 DESEMBER 2015

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Industri Kecil dan Menengah (IKM) merupakan salah satu sektor yang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mengurangi pengganguran, memerangi kemiskinan dan. pemerataan pendapatan. Oleh karena itu tidak heran jika kebijakan

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari

BAB I PENDAHULUAN. daerah bersangkutan (Soeparmoko, 2002: 45). Keberhasilan pembangunan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGARUH PERUBAHAN TEKNOLOGI TERHADAP PERKEMBANGAN KLASTER PADI ORGANIK KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: A. ARU HADI EKA SAYOGA L2D

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) memiliki kontribusi yang cukup. penting didalam pembangunan nasional. Kemampuannya untuk tetap bertahan

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

SEMINAR TESIS MANAJEMEN INDUSTRI MAGISTER MANAJEMEN TEKNOLOGI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2010

PERAN STAKEHOLDER DALAM UPAYA PENCIPTAAN EFISIENSI KOLEKTIF PADA KLASTER JAMBU AIR MERAH DELIMA DI KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

PRIORITAS AKTIVITAS PERTANIAN, INDUSTRI DAN PERTAMBANGAN DI KABUPATEN KULON PROGO TUGAS AKHIR. Oleh: B U S T A M I L2D

No mewujudkan stabilitas nasional. Selain itu, Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan

PERAN PELABUHAN CIREBON DALAM MENDUKUNG PERTUMBUHAN INDUSTRI DI KABUPATEN CIREBON (Studi Kasus: Industri Meubel Rotan di Kabupaten Cirebon)

ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. upaya mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capital) dibandingkan laju pertumbuhan penduduk (Todaro, 2000).

V. ANALISA SISTEM. 5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN KLASTER INDUSTRI KULIT DI KABUPATEN GARUT TUGAS AKHIR. Oleh : INDRA CAHYANA L2D

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia, karena sektor ini dapat mengatasi permasalahan

Transkripsi:

KEMITRAAN USAHA DALAM KLASTER INDUSTRI KERAJINAN ANYAMAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA TUGAS AKHIR Oleh: AZWAR AMIN L2D 002 390 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007

ABSTRAK Salah satu klaster industri yang ada di Indonesia adalah klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya yang telah dijadikan sektor industri unggulan bagi Kabupaten Tasikmalaya, karena dinilai memiliki resistensi lebih tinggi serta memiliki efek multiplier yang lebih luas jika dibandingkan dengan bidang industri lainnya yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Dalam kurun waktu tahun 2004 hingga 2005, industri kerajinan anyaman mengalami peningkatan permintaan. Hal ini terlihat dari banyaknya permintaan terhadap produk kerajinan anyaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri, berdasarkan data resmi nilai ekspor DISPERINDAGKOP Kabupaten Tasikmalaya, nilai ekspor tahun 2004 mencapai 14,1 miliar. Sedangkan, pada tahun 2005 nilai ekspor kerajinan anyaman naik sebesar 45,4% yaitu mencapai Rp 20,5 miliar. Sebenarnya permintaan untuk ekspor bisa lebih banyak lagi, namun karena masih rendahnya teknologi yang digunakan dan keterbatasan jumlah tenaga kerja menjadi kendala bagi para pelaku industri kerajinan anyaman untuk dapat memenuhi permintaan tersebut. Dengan kondisi seperti ini, para pelaku industri kerajinan anyaman terpaksa melepas peluang mendapatkan keuntungan besar karena ordernya diambil alih para pelaku industri kerajinan sejenis dari daerah lain seperti Yogyakarta dan Cirebon. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa para pengrajin anyaman belum mampu melakukan proses produksi, distribusi maupun pemasaran secara mandiri. Dimana para para pelaku industri kerajinan anyaman masih memerlukan mitra dalam mengembangkan industrinya. Namun yang terjadi, Kondisi kemitraan usaha dalam klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya kurang dioprtimalkan. Kurang optimalnya kemitraan usaha dalam klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya akan menghambat terhadap perkembangan klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya, karena jika bersandar pada pendapat yang dikemukakan oleh Schmitz (1997), menyatakan bahwa kehadiran hubungan kerjasama (Joint Action) dapat mendorong perkembangan klaster industri secara signifikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik kemitraan sebagai upaya dalam mempertahankan dan mengembangkan keberlangsungan klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini bersifat verikatif, yaitu penelitian untuk menguji teori yang telah ada. Data diperoleh dengan metode pengumpulan data kuesioner dengan sifat pertanyaan sebagain besar terbukadi dan data olah dengan cara mendeskripsikan ke dalam bentuk kata-kata atau bahasa agar lebih dimengerti. Pendekatan metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode penelitian survei. Sedangkan pembahasan penelitian disesuaikan dengan sasaran yang perlu dicapai yaitu menganalisis jenis kemitraan usaha yang terjalin dalam klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya, menganalisis keberhasilan dari jenis kemitraan usaha yang terjalin dalam klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya dan menganalisis dampak dari kemitraan usaha yang terjalin dalam klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya. Berhasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa secara umum jenis kemitraan usaha yang terjalin dalam klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya termasuk kedalam kemitraan usaha tingkat madya, sedanglkan secara khusus kemitraan usaha dalam klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya termasuk kedalam pola inti plasma dan subkontrak. Dengan aktivitas terdiri dari 4 aktivitas utama yaitu berbagi proses produksi, berbagi pesanan produk kerajinan, Jual-beli produk kerajinan dan pemasaran bersama dan 3 aktivitas pendukung aktivitas utama yaitu penyediaan bahan baku bersama, penyediaan modal dan pelatihan pekerja. Dilihat dari penerapan etika bisnis yang merupakan indikator keberhasilan kemitraan usaha, sebagain besar etika telah diterapkan dengan baik oleh para pelaku kemitraan usaha dalam klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya. Sedangkan dampak dari kemitraan usaha yang terjalin dalam klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya, lebih banyak dampak positif yang dirasakan oleh para pelaku kemitraan usaha dari pada dampak negatifnya. Dampak positif yang dirasakan oleh para pelaku kemitraan usaha di klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan keberlangsungan usaha mereka yang bermuara pada ketahanan ataupun pengembangan usaha yang mereka jalankan. Sedangkan dampak negatif yang dirasakan pelanggaran kesepakatan oleh industri kecil dan adanya ekploitasi industri kecil oleh industri besar. Kata Kunci: Pengembangan Ekonomi Lokal, Klaster Industri, Kemitraan Usaha.

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak diberlakukannya otonomi daerah, pengembangan potensi lokal atau daerah (Local Development) seolah menjadi orientasi baru bagi pengembangan wilayah di Indonesia. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, memicu setiap daerah untuk berlomba-lomba mengembangkan daerahnya masing-masing dengan potensi daerah yang dimilikinya agar mampu bertahan dan bersaing dengan daerah-daerah lain. Sehingga di era otonomi daerah ini diharapkan pemerintah daerah mampu memobilisasi sumberdaya yang dimilikinya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Salah satu konsep pengembangan wilayah yang dirasa sesuai di era otonomi daerah saat ini adalah konsep pengembangan ekonomi lokal (Local Economi Development). Pada hakekatnya pengembangan ekonomi lokal merupakan proses dimana pemerintah daerah dan/atau kelompok berbasis komunitas mengelola sumber daya yang ada dan masuk kepada penataan kemitraan baru dengan sektor swasta, atau di antara mereka sendiri, untuk menciptakan pekerjaan baru dan merangsang kegiatan ekonomi wilayah (Munir dan Fitanto, 2005). Ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah dititik beratkan pada kebijakan endogenous development menggunakan potensi sumber daya manusia, institutional dan fisik setempat. Orientasi ini mengarahkan kepada fokus dalam proses pembangunan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi (Blakely, 1989 dalam Munir dan Fitanto, 2005). Dalam penerapan pengembangan ekonomi lokal, Indonesia sebagai negara berkembang dan terkenal dengan potensi sumberdaya alam serta sumber daya manusia yang melimpah, harus mampu bertahan dan bersaing dengan negara lain ditengah persaingan globalisasi. Salah satu potensi yang dimiliki oleh Indonesia adalah sektor industri, khususnya industri mikro kecil menengah yang telah teruji ketahannya dalam menghadapi terpaan krisis ekonomi pada kurun waktu 1997-1998. Dengan jumlah industri mikro dan kecil yang dimiliki sebanyak 17.145.244 unit usaha (BPS, 2004), serta industri menengah sebanyak 10,6 juta unit usaha (Effendi dalam Hartanto, 2004). Industri mikro kecil menengah ini mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak 99,44 % dari jumlah total tenaga kerja yang ada di Indonesia (Sutrisno dalam Hartanto, 2004). Dalam perkembangannya, industri mikro kecil menengah ini telah berhasil membentuk beberapa aglomerasi industri yang berkembang dengan pesat dan mandiri serta mampu menjadi sektor industri unggulan pada beberapa daerah di Indonesia. Aglomerasi industri ini dikenal dengan istilah klaster (cluster) industri, ciri dari klaster industri ini diindikasikan dengan nilai 3C 1

2 (Custumer Oriented, Cummulative, Collective Efficiency) dengan ciri utamanya adalah adanya keterkaitan dan saling ketergantungan antar unit usaha didalamnya. Menurut Marshall penggagas konsep klaster industri, mendefinisikan klaster industri sebagai berkumpulnya industri-industri dalam sebuah ruang geografi, dimana manfaat dari klaster industri ini tidak dinikmati secara pribadi dan mikro oleh sebuah perusahaan namun dapat dinikmati bersama oleh industri-industri yang berkumpul di dalamnya (Hartanto, 2004:35). Sedangkan berdasarkan konsep pengembangan ekonomi lokal, klaster industri itu sendiri merupakan salah satu pendekatan dari pengembangan ekonomi lokal (PEL) pada saat ini, dengan tujuan untuk mendorong perkembangan sistem industri melalui fokus pada jenis-jenis industri yang potensial sebagai basis ekspor (Munir dan Fitanto, 2005). Menurut Munir dan Fitanto (2005), Pengembangan klaster industri berdasarkan PEL dikonsentrasikan pada mendorong dan mendukung kerjasama atau kemitraan antar perusahaan, pengembangan kelembagaan dan mendukung sektor industri pendukungnya. Hubungan kemitraan usaha ini merupakan salah satu indikasi adanya jaringan (Network) usaha dan merupakan manifestasi dari kebersamaan atau keterkaitan (Linkage) sumberdaya dalam bidang produksi, pengolahan, distribusi, pemasaran, penelitian, rekayasa, alih teknologi, pembiayaan, dan dalam bidang servis (Prawirokusumo dalam Agrianza, 2006). Dalam klaster industri, jaringan usaha dan keterkaitan antar pelaku dalam klaster industri dapat meningkatkan kapasitas efisiensi kolektif (Collective Efficiency) sebagai salah satu dari nilai klaster industri, hal ini akan berdampak pada menigkatnya ketahanan dan kemapanan klaster industri. Dengan demikian kemitraan usaha ini perlu untuk diketahui karena merupakan salah satu dari ciri klaster industri yang terkait dengan efisiensi kolektif yang lebih menekankan pada hubungan kerjasama (Joint Action) secara horizontal. Salah satu klaster industri yang ada di Indonesia adalah klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya. Klaster industri anyaman di Kabupaten Tasikmalaya secara ekonomi telah memberikan keuntungan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Jumlah industri kerajinan anyaman yang ada di Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 3.822 unit usaha yang tersebar di 30 Kecamatan dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 35.839 jiwa atau sebanyak 31,98 % dari jumlah total tenaga kerja di sektor industri (Data Potensi Sentral Industri Mikro Kecil Menengah Menurut Lokasi Kecamatan Disperindagkop Kabupaten Tasikmalaya:2004). Jika serapan tenaga kerja industri kerajinan anyaman dipisahkan dengan serapan industri lainnya, maka industri kerajinan anyaman merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 5,2% dari total tenaga kerja di Kabupaten Tasikmalaya. Ini artinya bahwa industri kerajinan anyaman merupakan sektor kelima terbanyak dalam menyerap tenaga kerja setelah sektor pertanian, perdagang, jasa kemasyarakatan dan industri besar & IKM lainnya.

3 3,1% 22,5% 0,1% 4,9% 0,6% 5,2% 4,6% 10,5% 68,02% 31,98% 6,4% 0,6% Industri Kerajinan Industri lainnya 41,4% Pertanian Pertambangan Industri Besar & Sedang Industri Kecil (IK) Lainnya Indusrti Kerajinan Anyaman Listrik, Gas dan Air Bangunan Perdagangan Angkutan Keuangan Jasa Kemasyarakatan Sumber: Penyusun, 2006 Gambar 1.1 Serapan Tenaga Kerja Sektor Industri Kerajinan Anyaman di Kabupaten Tasikmalaya 2004 Anyaman yang berkembang terdiri atas tiga jenis yaitu:kerajinan anyaman bambu, kerajinan mendong dan kerajinan anyaman pandan. Khusus untuk kerajinan anyaman mendong telah ditetapkan sebagai komoditas khas Kabupaten Tasikmalaya berdasarkan SK Bupati Tasikmalaya No. 522.4/189-LH/94 Tahun 1994 tentang Penetapan Flora dan Fauna Kompetitif dan Komparatif yang mampu menyumbangkan impact point terhadap pertumbuhan ekonomi (www.tasikmalaya.go.id). Berdasarkan RTRW Kabupaten Tasikmalaya 2004-2014, industri kerajinan anyaman merupakan sektor unggulan yang berkontribusi cukup besar terhadap Pendapadatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Tasikmalaya. Selain itu industri kerajinan anyaman ini memiliki ketahanan lebih tinggi serta memiliki efek multiplier yang lebih luas jika dibandingkan dengan bidang usaha lainnya yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Dari segi pemasaran produk kerajinan anyaman ini telah berhasil dipasarkan keseluruh daerah di Indonesia terutama daerah wisata seperti Jakarta, Yogyakata dan Bali, selain itu juga produk kerajinan anyaman ini telah berhasil menembus pasar internasional. Dalam perkembangannya, klaster industri kerajinan anyaman di Kabupaten Tasikmalaya mulai menunjukkan perkembangnya yang cukup berarti. Hal ini terlihat dari banyaknya permintaan terhadap produk kerajinan anyaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri, berdasarkan data resmi nilai ekspor Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Tasikmalaya, nilai ekspor selama tahun 2004 mencapai 14,1 miliar. Sedangkan, pada tahun 2005 nilai ekspor kerajinan