TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Ganggang Merah (Rhodophyta)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dawson (1946) dalam Soegiarto, dkk,(1978), secara umum

BIODIVERSITAS DAN POTENSI GANGGANG MERAH (RHODOPHYTA) DI PERAIRAN PANTAI JAWA BARAT SUKIMAN

Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang.

RINGKASAN. Gracilarin lichenuides merupakan salah satu jenis rumput laut kelompok

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

Praktikum IV Biologi Laut

Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kappaphycus alvarezii

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Rumput Laut Klasifikasi Rumput Laut

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

2.1. Pengertian Lumut (Bryophyta)

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk

II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Gracilaria verrucosa menurut Dawes (1981) adalah:

TINJAUAN PUSTAKA. Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah rumput laut. Menurut Istini (1985) dan Anggraini (2004),

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lumut/Bryophyta. Alat perkembangbiakan lumut hati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rumput laut atau algae termasuk divisi Thallophyta (tumbuhan Habitat dan sebaran Kappaphycus alvarezii (Doty)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ganggang Mikro

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau.

Protista Mirip Tumbuhan. KELOMPOK 5 : Iif Fitrotul Mahmudah Lusi Suciati M. Nur Hasan

2. TINJAUAN PUSTAKA. perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara kesuluruhan, tanaman ini

TUGAS TAKSONOMI TUMBUHAN TINGKAT RENDAH KELAS CYANOPHYCEAE (BANGSA CHROOCOCCALES)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam.

Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut

DAFTAR PUSTAKA. Abbot IA, Dawson EY How to Know The Seaweed. Boston: Mc Graw-Hill

PENDAHULUAN. Es lilin merupakan salah satu jajanan pasar yang telah lama dikenal oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang 70 % dari wilayahnya terdiri dari

KETEKNIKAN SISTEM RUMPUT LAUT DAN PROSES PENGOLAHANNYA

LAJU PERTUMBUHAN BIBIT RUMPUT LAUT

Tim Penyusun: Dosen Bagian Ekologi dan Sistematika Tumbuhan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Gracilaria verrucosa

Jurnal LPPM Bidang Sains dan Teknologi Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semuanya terdiri dari talus saja (Aslan, 1998). khusus, kebanyakan tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau pada

1. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan

IDENTIFIKASI RHODOPHYTA SEBAGAI BAHAN AJAR DI PERGURUAN TINGGI

KEANEKARAGAMAN RHODOPHYCEAE DI PANTAI SUNDAK SEBAGAI SUMBER BELAJAR BIOLOGI ALGAE

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab IV Hasil dan Pembahasan A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Filum Cnidaria dan Ctenophora

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

Nama : Novita Purnamasari Hendarmin NIM : Hari, Tanggal : Kamis,10 Desember 2015

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

BAB II KAJIAN TEORI. Pengertian belajar menurut (W. Gulo, 2002, hal.23) adalah suatu proses yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rumput laut atau algae termasuk divisi Thallophyta (tumbuhan bertalus)

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti

Struktur dan Perkembangan Ganggang, Lumut, dan Tumbuhan Paku

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

Analisis Artikel Tumbuhan Lumut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk kedalam negara kepulauan yang memiliki garis

Sf. Eko Yulianto, S. Si. Edisi : Protista. Kelas X. Disusun oleh : Protista. PanduanBelajar Siswa

4. PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Pendahuluan Penentuan Konsentrasi Mikroenkapsulan

PENDAHULUAN. Permen jelly merupakan makanan semi basah yang biasanya terbuat dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan masalah C. Tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

POKOK BAHASAN II. BRYOPHYTA Pembuahan, Embriogenesis dan Sporogenesis

BAB II KAJIAN TEORETIS. memecahkan persoalan yang dihadapi. Hal ini membawa konsekuensi kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan di perairan tropis diketahui memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tunggak (Vigna unguiculata (L.)) merupakan salah satu anggota dari

MORFOLOGI DAN STRUKTUR MIKROORGANISME. Dyah Ayu Widyastuti

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. alam. Sebagai salah satu negara yang memiliki wilayah pantai terpanjang dan

Gambar 1.2: reproduksi Seksual

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MYXOBAKTERIALES. (tumbuhan belah). Klas ini terdiri atas tumbuhan bersel satu. Sel-sel itu kecil

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH ASAL TALUS TERHADAP PRODUKTIVITAS Eucheuma cottonii DAN Eucheuma spinosum DI PERAIRAN DESA SOMBANO KALEDUPA KABUPATEN WAKATOBI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1993). Yang dimaksud dengan hama ialah semua binatang yang mengganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. tarik sendiri, seperti rasa yang lezat, aroma yang khas, serta warna dan bentuk

Karenanya labu kuning yang bisa mencapai ukuran besar ini juga membawa beragam manfaat hebat untuk mencegah beragam penyakit, di antaranya:

DUNIA TUMBUHAN. Plant 1. 1/24

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung manis termasuk dalam golongan famili graminae dengan nama latin Zea

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MIKROBIOLOGI BAKTERI

Transkripsi:

4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Ganggang Merah (Rhodophyta) Ganggang merah memiliki struktur tubuh berupa talus. Struktur talus bervariasi pada ukuran dan kompleksitas. Anggota Bangiophycidae memiliki talus uniseluler, koloni, filamen terbuka, atau agregasi filamen. Sedangkan Florideophycidae memiliki talus berbentuk filamen tunggal atau penyatuan filamen membentuk struktur menyerupai jaringan parenkim dengan berbagai variasi ketebalan, lebar, susunan, dan percabangan (Sze 1993; Coomans & Hommersand 1995; Castro & Hubner 2005). Talus berbentuk silindris atau pita dengan percabangan menyirip, menggarpu, berhadapan, atau berselang-seling (Tjitrosoepomo 1994; Trono & Ganzon-Fortes 1988). Tekstur talus berdaging, halus, kenyal seperti tulang rawan (kartilaginous), dan keras berkapur (coralinous) (Trono & Ganzon-Fortes 1988). Ukuran talus bergantung pada distribusi geografi, talus di daerah beriklim sedang berukuran lebih besar daripada di daerah tropis (Dawson 1966). Beberapa jenis ganggang merah mempunyai struktur talus seperti lembaran (blade) yang ukurannya 1-2 meter (Castro & Hubner 2005; Rohmimuhtarto & Juwana 2001). Banyak jenis ganggang merah membentuk talus lebih kompak dan berukuran lebih besar yang dihasilkan dari perlekatan (agregasi) beberapa filamen menghasilkan struktur pseudoparenkim. Beberapa filamen dilekatkan oleh lendir dengan tingkat penyatuan filamen yang bervariasi (Bold & Wynne 1985). Akan tetapi struktur ini memiliki kelemahan pada kontak sitoplasmik antar sel (Darley 1982; Loban & Harrison 1997). Ganggang merah melekat pada substrat dengan berbagai tipe alat pelekat yang disebut holdfast. Alat pelekat dapat berupa rizoid bersel tunggal atau multiseluler, stolon, tendril, atau alat pelekat seperti mencakram (Bold & Wynne 1985). Perbedaan bentuk alat pelekat merupakan adaptasi terhadap substrat dan perbedaan tingkat pengaruh faktor lingkungan (Trono & Ganzon-Fortes 1988). Ganggang merah memiliki pigmen asesoris yang disebut fikobilin yang terdiri dari fikoeritrin dan fikosianin. Fikoeritrin merupakan pigmen asesoris

5 dominan yang berperan dalam memberikan warna merah pada ganggang ini. Pigmen lain yang terdapat pada sel ganggang merah adalah klorofil a dan d, karoten, lutein, dan zeaxanthin (Trono & Ganzon-Fortes 1988). Ganggang merah tidak memperlihatkan warna merah semua tetapi memperlihatkan warna ungu, kecoklatan, hitam, kuning, dan kehijauan. Variasi warna tersebut terjadi karena fotoreduksi. Jenis yang sama pada suatu populasi dapat memperlihatkan variasi pigmentasi (Bold & Wynne 1985). Pada zona subtidal ganggang merah memperlihatkan warna merah muda-merah karena pigmen fikoeritrin dominan (Dawson 1966). Reproduksi Ganggang Merah Reproduksi ganggang merah terjadi secara seksual (oogami) dan aseksual (dengan spora). Reproduksi seksual melibatkan sel kelamin jantan yang disebut spermatia dan sel khusus betina yang disebut karpogonia. Spermatia berbentuk bola atau oblong, tidak berflagela dan dihasilkan pada struktur reproduksi jantan yang disebut spermatangia. Spermatangia dihasilkan dalam jumlah besar pada sel korteks atau pada branchlet khusus. Pada Gelidiales, spermatangia terbentuk dalam sori pada bagian apikal talus jantan. Spermatangia pada Polysiphonia terbentuk pada trikoblast, sedangkan pada Coralinaceae terbentuk pada konseptakel (Hommersand & Fredericq 1995). Karpogonium dicirikan oleh suatu sel memanjang, relatif membesar pada bagian basal dan memanjang secara distal yang disebut trikogin (Bold & Wynne 1985). Pada sebagian besar ganggang merah karpogonium pendek, sering bercabang-cabang, bersel lateral 3-4, dan secara keseluruhan disebut cabang karpogonial (Lee 1989). Pada Florideophycidae karpogonium berada pada suatu filamen lateral atau terminal yang biasanya berisi sejumlah sel yang spesifik yang disebut filamen karpogonial atau cabang karpogonial (Hommersand & Fredericq 1995) Dari proses fertilisasi karpogonium, baik secara langsung maupun tidak langsung terbentuk suatu tahapan generasi yang disebut karposporofit. Generasi ini berukuran kecil dan mendapatkan nutrisi dari gametofit betina. Suatu ciri khas pada ganggang merah adalah bahwa zigot tetap dipertahankan pada gametofit

6 betina dan serangkaian proses setelah terjadi fertilisasi menghasilkan karposporofit (Darley 1982; Bold & Wynne 1985). Pada gametofit betina perkembangan zigot lebih lanjut menghasilkan pembentukan struktur yang disebut sistokarp. Sistokarp terdiri dari karposporofit yang dibungkus oleh jaringan dari gametofit betina yang termodifikasi sebagai pelindung atau pendukung karposporofit (Bold & Wynne 1985; Trono & Ganzon- Fortes 1988; Hommersand & Fredericq 1995). Pada karposporofit terdapat filamen gonimoblast yang mendukung karposporangia, filamen ini berkembang dari karpogonia setelah fertilisasi atau dari sel auxiliary (Hommersand & Fredericq 1995 ). Sistokarp berukuran makroskopis misalnya pada Gracilaria, Eucheuma, Hypnea, dan Gigartina, atau mikroskopis misalnya pada Gelidium (Kadi & Atmadja 1988). Pada talus yang besar sistokarp terlihat berupa bintikbintik gelap dengan diameter 1-2 mm, tertanam dalam talus atau berupa bintil kecil (papila) pada permukaan talus. Pada banyak ganggang merah dan ganggang coklat yang sudah maju, sel reproduktif dapat membentuk struktur reproduktif yang berbeda. Struktur reproduktif dapat tersebar atau mengelompok membentuk bagian fertil pada permukaan talus yang disebut sori atau berupa struktur yang berbentuk seperti bantalan kecil pada permukaan talus yang disebut nematecium. Struktur reproduktif dapat juga terdapat pada suatu lubang atau lekukan talus pada suatu cabang khusus disebut konseptakel. Pada beberapa jenis ganggang merah suatu bagian percabangan dapat berubah menjadi struktur fertil yang disebut stichidium (Trono & Ganzon-Fortes 1988). Tetrasporangia ditemukan pada semua famili dari Florideophycidae. Tetraspora umumnya berwarna lebih gelap atau lebih merah kebiruan dibandingkan sel lain di sekitarnya, menjadi indikasi untuk mengetahui organ reproduksi tersebut. Sporangia mengalami 2 atau 3 pembelahan dengan pola pembelahan zonate, tetrahedral, dan cruciate (Bold & Wynne 1985; Guiry 1995) (Gambar 1). Tetrasporangia dengan tipe cruciate ditemukan pada Galaxauraceae, Gelidiaceae, Gracilariaceae, Gigartinaceae, dan Halymeniaceae. Tetrasporangia tipe zonate ditemukan pada Corallinaceae, Hypneaceae, Furcellariaceae, dan Sarcodiaceae. Sedangkan pembelahan tetrahedral ditemukan pada

7 Rhodymeniales dan Ceramiales (Guiry 1995). Pada Eucheuma spinosum dan Gracilaria edulis tetrasporangia tersebar pada korteks dan dapat dilihat melalui sayatan talus, sedangkan pada Pterocladia capilacea tetrasporangia mengelompok di dekat ujung percabangan talus (Atmadja 1989). Gambar 1 Pola pembelahan pada tetrasporangia (a) cruciate, (b) zonate, (c) tetrahedral (Bold & Wynne 1985) Spermatangia, sistokarp, dan tetrasporangia pada ganggang merah berbeda pada letak dan kenampakannya bergantung pada jenisnya. Pada Gracilaria spermatangia tersusun dalam sori pada konseptakel dangkal. Sistokarp hemisferikal atau bulat, tetrasporangia terletak di bagian bawah lapisan permukaan talus (Gambar 2). Pada Laurencia, spermatangia terdapat pada stichidia yang terletak pada branchlet, sistokarp terlihat mencolok, duduk, dan bergerombol pada branchlet, sedangkan tetrasporangia berbentuk tetrahedral atau oval dan terletak pada branchlet (Reine & Trono 2002). (c) (a) (b) (d) Gambar 2 Struktur reproduksi pada Gracilaria: (a-b) spermatangia, (c) tetrasporangia (d) sistokarp (Reine & Trono 2002)

8 Pada Hypnea, spermatangia terletak di sekitar bagian basal dari branchlet dan membengkak secara tidak mencolok, sistokarp berbentuk hemisferikal, tunggal, atau berkelompok pada cabang talus atau pada branchlet, tetrasporangia zonate, membentuk nematecia pada bagian yang membengkak pada branchlet lateral. Pada Gelidium, spermatangia membentuk bagian kecil pada percabangan talus dari gametofit jantan, sistokarp berupa pembengkakan pada bagian apikal atau dekat apikal branchlet, tetrasporangia cruciate dalam sori pada lapisan korteks dari tetrasporofit (Reine & Trono 2002). Spermatangia pada Eucheuma spinosum dan Gracilaria edulis terletak pada korteks dan membentuk tonjolan pada permukaan talus, sedangkan pada Pterocladia capilacea terletak pada percabangan. Sistokarp tersebar pada permukaan talus Gracilaria edulis dan membentuk pembengkakan pada talus. Pada Pterocladia capilacea sistokarp berupa benjolan dengan lubang kecil (ostiole) pada permukaan talus. Pada Eucheuma spinosum sistokarp membentuk wadah khusus yang terbentuk dari jaringan talus (Atmadja 1989). Ganggang merah memiliki siklus hidup diplobiontik dan memperlihatkan tiga fase pergantian generasi dalam siklus hidupnya yaitu karposporofit, gametofit, dan tetrasporofit (Kadi & Atmadj 1988; Bold & Wynne 1985). Generasi gametofit dan tetrasporofit dapat memiliki struktur yang mirip (isomorfik) atau berbeda (heteromorfik). Siklus hidup heteromorfik misalnya terdapat pada anggota Bangiales dan sebagian Nemaliales. Sedangkan siklus hidup isomorfik terdapat pada Kalymeniaceae, Cryptonemiaceae, dan Coralinaceae (Bold & Wynne 1985). Karposporofit bersifat diploid dan berkembang dari zigot pada gametofit betina. Karposporofit menghasilkan karpospora yang akan berkembang menjadi tetrasporofit. Tetrasporofit menghasilkan tetraspora yang berkembang menjadi gametofit (Sze 1993). Reproduksi vegetatif pada ganggang merah dapat terjadi melalui fragmentasi talus (Trono & Ganzon-Fortes 1988). Morfogenesis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain cahaya, nutrien, dan herbivora. Kualitas cahaya dapat memberi pengaruh pada pola percabangan dan pemanjangan talus (Loban & Harrison 1997).

9 Habitat dan Persebaran Ganggang Merah Ganggang merah mempunyai persebaran geografi yang luas. Kelompok ganggang ini cenderung lebih melimpah di perairan tropik dan subtropik daripada di daerah beriklim sedang, dengan rasio jumlah ganggang merah terhadap ganggang coklat mencapai 4.3 di daerah tropis. Perairan pantai tropik mempunyai kekayaan jenis ganggang merah yang tinggi, sekitar 600-800 jenis ganggang merah dari 200-300 marga ganggang. Beberapa marga mempunyai jumlah jenis yang banyak antara lain Gelidium, Pterocladia, Galaxaura, Liagora, Halymenia, Jania, Amphiroa, dan Laurencia (Luning 1990). Ganggang merah menempati berbagai tipe habitat mulai dari zona litoral sampai pada kedalaman dengan batas cahaya terendah. Di perairan tropik umumnya terdapat pada zona sublitoral dimana cahaya sangat kurang (Romimohtarto & Juwana 2001; Tjitrosoepomo 1994). Ganggang merah sering lebih melimpah dibandingkan dengan ganggang hijau atau ganggang coklat pada perairan yang lebih dalam (Darley 1982). Jenis-jenis yang menempati zona litoral antara lain dari marga Bostrichia, Jania, Gelidiella, Gelidium, Galaxaura, Laurencia, Hypnea, dan Gracilaria. Sedangkan zona sublitoral ditempati oleh jenis-jenis dari marga Eucheuma, Martensia, Lithothamnion, Mesophyllum dan Porolithon (Luning 1990). Ganggang merah menempel pada berbagai tipe substrat antara lain pada batuan pantai, karang mati, rataan terumbu, substrat berpasir, menempel pada ganggang lain, atau menempel pada tubuh hewan (Romimohtarto & Juwana 2001; Kain & Norton 1995). Sebagian besar ganggang merah tumbuh pada pantai berkarang. Pantai berlumpur umumnya tidak dapat ditempati oleh ganggang merah kecuali beberapa jenis Gracilaria, Bostrichia, dan Catenella yang dapat tumbuh sebagai epifit (Kain & Norton 1995). Pertumbuhan dan persebaran ganggang merah dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain cahaya, pasang surut, substrat, ombak, suhu, salinitas, unsur hara, musim, kompetisi, dan herbivori (Sze 1993; Kain & Norton 1995; Kadi & Atmadja 1988). Suhu merupakan faktor penting yang menentukan distribusi geografi ganggang. Ganggang tropik mempunyai toleransi terhadap suhu lebih tinggi daripada ganggang di daerah beriklim sedang (Kain & Norton

10 1995; Bird & Benson 1987). Salinitas, unsur hara, cahaya, pasang surut, dan ombak mempengaruhi distribusi lokal ganggang (Sze 1993). Sebagian ganggang merah dapat mendeposit kalsium karbonat (CaCO 3 ) dengan bentuk talus beragam (Castro & Hubner 2005). Ganggang merah yang mengakumulasi kapur tumbuh pada substrat padat pada zona intertidal dan subtidal dan mencapai kepadatan maksimum pada area yang lebih dangkal dan secara fisik terganggu (Loban & Harrison 1997). Ganggang merah yang mengakumulasi kapur (coralin) memiliki talus mengeras, ganggang ini banyak terdapat pada terumbu karang (Romimohtarto & Juwana 2001). Kelompok ganggang merah yang mendeposit kapur termasuk dalam ordo Coralinales dan beberapa anggota Nemaliales. Pemanfaatan Ganggang Merah Ganggang merah merupakan kelompok ganggang yang mempunyai nilai ekonomi penting. Ganggang ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan, obat, dan material penting dalam industri makanan, kosmetik, dan obat-obatan. Di Indonesia pemanfaatan ganggang merah untuk industri dimulai dari industri agaragar yang dihasilkan dari Gelidium, Gelidiella, dan Gracilaria, sedangkan untuk industri karagenan dihasilkan dari Eucheuma (Sulistijo 1996). Untuk memenuhi permintaan produk dari ganggang merah yang semakin meningkat pemakaiannya oleh dunia industri maka pemanfaatan potensi sumberdaya ganggang merah memerlukan perkembangan yang berkelanjutan dan lestari. Ganggang merah yang dikembangkan di Indonesia antara lain Gelidium, Gelidiela, Gracilaria, Eucheuma, dan Hypnea (Atmadja 1996). Pemanfaatan ganggang merah secara tradisional terutama digunakan sebagai bahan pangan seperti sayur, manisan, campuran es, kue, dan obat. Beberapa jenis ganggang merah yang sudah dimanfaatkan secara tradisional di Indonesia antara lain dari marga Porphyra, Acanthophora, Catenella, Eucheuma, Gelidium, dan Gracilaria (Nontji 2007). Kandungan kimia dari ganggang merah yang bermanfaat antara lain karagenan, agar, mineral, protein, dan vitamin. Agar merupakan campuran kompleks polisakarida yang dihasilkan oleh ganggang merah yang dikenal sebagai agarofit, sebagian besar dihasilkan dari anggota Gracilariales dan

11 Gelidiales (Reine & Trono 2002). Agar adalah campuran kompleks polisakarida 1,3-α-1,4 β galaktan yang tersusun atas polimer agarosa dan agaropektin. Agar larut dalam air panas dan dapat membentuk gel pada konsentrasi rendah sampai 0.04% (Angka & Suhartono 2000). Agar memiliki kekuatan gel lebih tinggi daripada karagenan (Rasyid 2004). Agar banyak dipakai dalam industri makanan, farmasi, kosmetik, dan sebagai media tumbuh bakteri (Soreano & Bourret 2003). Pada industri makanan agar dipakai sebagai food aditif, pencegah dehidrasi makanan, agen pengental, dan pengontrol viskositas (Trono & Ganzon-Fortes 1988). Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid yang terbentuk pada dinding sel ganggang merah. Senyawa ini adalah polisakarida linear yang tersusun atas unit-unit galaktosa dan anhidrogalaktosa dengan ikatan glikosidik alfa 1,3 dan beta 1,4 secara bergantian dengan variasi dalam jumlah dan posisi sulfat (Angka & Suhartono 2000). Beberapa marga yang menghasilkan karagenan antara lain Achanthopora, Eucheuma, Hypnea, Kappapycus, Chondrus, dan Gigartina (Reine & Trono 2002; Anggadireja et al. 2008). Ada empat tipe karagenan yaitu karagenan kappa, karagenan iota, karagenan lamda, dan karagenan beta. Sifat unik dari karagenan ádalah viskositas tinggi dan membentuk gel yang termoreversibel. Karagenan digunakan sebagai pemantap, pengental, pensuspensi, dan pembentuk gel pada makanan. Karagenan juga digunakan pada produk bukan pangan seperti pasta gigi, kosmetik, cat, dan pewarna tekstil (Angka & Suhartono 2000; Reine & Trono 2002)