BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu tonggak utama pembangun bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mengedepankan pendidikan bagi warga negaranya, karena dengan pendidikan akan menghasilkan warga negara yang baik yang siap membangun bangsa. Pendidikan dapat menjadikan suatu bangsa lebih bermartabat. Maka dari itu setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 yang berbunyi : Setiap warga negara berhak mandapatkan pendidikan (Arif, 2011: 46). Pendidikan adalah sebuah proses untuk mengubah jati diri seorang peserta didik untuk lebih maju (Listiyarti, 2012: 2). Jati diri inilah yang berkaitan kuat dengan karakter seseorang. Pendidikan yang diperlukan bukan hanya pendidikan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga pendidikan karakter tentang nilainilai luhur dalam hidup bermasyarakat. Pendidikan karakter sangat penting, karena pembangunan karakter menjadi salah satu dasar pengembangan sumber daya manusia untuk menghasilkan generasi yang baik. Pendidikan karakter tidak hanya didapatkan disekolah tetapi pendidikan diluar sekolah juga memiliki pengaruh yang penting, seperti pendidikan didalam keluarga maupun pendidikan dilingkungan masyarakat yang berperan penting dalam pembentukan karakter seseorang. Kegiatan pendidikan dapat diberikan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat berupa pendidikan melalui jalur sekolah dan pendidikan jalur luar sekolah (UUSPN No. 2/1989 dalam Darmadi, 2012: 3). Pendidikan terutama pendidikan di lingkungan masyarakat, sebenarnya sudah dimulai sejak jaman nenek moyang bangsa Indonesia. Dibuktikan dengan keanekaragaman seni tradisi/ budaya yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai media pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan di masa lalu. Salah satu bukti seni tradisi bangsa yang digunakan sebagai media pendidikan khususnya tentang nilainilai kehidupan/ nurani dan yang sampai sekarang masih ada adalah kesenian wayang. Sardiman menyatakan, bahwa tradisi terkait dengan pendidikan yang 1
2 didalamnya terkenal dengan tradisi pedagogis, yang artinya kebiasaan mendidik (2011: 391). Wayang adalah salah satu kesenian tradisi dari jaman leluhur bangsa Indonesia yang masih bertahan di tengah tengah gempuran kebudayaan barat di era globalisasi sekarang ini. Wayang dianggap sebagai bentuk kesenian yang istimewa karena memilki sifat-sifat dalam bahasa Jawa disebut adiluhung dan edipeni, yaitu sangat agung, luhur dan juga indah (etika dan estetika). Wayang berfungsi sebagai tontonan dan tuntunan, dan merupakan gabungan dari lima jenis seni, yakni: Seni widya (filsafat dan pendidikan), seni drama (pentas dan musik karawitan), seni gatra (pahat dan seni lukis), seni rupa (sanggit dan sastra), dan seni cipta (konsepsi dan ciptaan-ciptaan baru) (http://www.indosiar.com/ragam/60691/wayang-sebuah-bentuk-pengakuan-dunia dalam Warto, dkk, 2011 : 10-11 ). Dalam kesenian wayang terkandung banyak nilai-nilai luhur tentang pendidikan karakter, yang sejak dahulu telah digunakan sebagai media pendidikan di masyarakat. Kemunculan jenis wayang pertama kali dalam sejarah kesenian wayang adalah wayang batu yang terukir pada relief candi, baru kemudian berkembang menjadi wayang rontal, disebut wayang rontal karena digambar pada daun siwalan, tetapi karena wayang rontal terlalu kecil kemudian diperbesar lagi dengan digambar diatas kertas gedhog atau selembar kain yang disebut dengan wayang beber. Wayang beber berasal dari 2 (dua) tempat yaitu Pacitan Jawa Timur dan Wonosari Gunung Kidul Yogyakarta. Di kalangan masyarakat Jawa, wayang beber dikenal sebagai wayang yang memiliki unsur - unsur sakral di dalamnya. Dalam perkembangan kesenian wayang, wayang beber telah banyak mengalami desakan yang mengakibatkan wayang beber terlupakan. Seiring perkembangan jaman, wayang mengalami perkembangan tipe atau bentuk yang berkembang sampai sekarang. Perkembangan wayang sendiri disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah kepercayaan, sosial budaya, dan politik. Faktor yang paling kuat mempengaruhi keberadaan wayang beber adalah faktor kepercayaan. Pada saat itu wayang beber sangat populer akan tetapi pada abad ke- 13 (tiga belas) agama Islam masuk ke Indonesia, kepopuleran wayang beber
3 digeser oleh wayang kulit atau purwa yang tidak lain adalah bentuk sederhana dari wayang beber sebagai media penyebaran agama Islam. Perkembangan dan pergeseran wayang tersebut disebabkan karena visualisasi wayang beber menyerupai manusia sehingga dilarang untuk dipertunjukkan. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan agama Islam yang tidak memperbolehkan membuat gambar menyerupai wujud manusia. Wayang beber berfungsi sebagai sarana komunikasi, pendidikan, keindahan, dan hiburan di berbagai acara ritual seperti ruwatan, syukuran, tolak bala, dan sebagai pusaka di istana raja raja sejak zaman kerajaan hindu. Wayang beber terdiri dari ilustrasi ilustrasi yang di gambar pada gulungan gulungan horizontal panjang yang di gelar dalang. Cerita dalam Wayang beber biasanya cerita seputar Joko Kembang Kuning yang berasal dari dusun Gedompol, kelurahan Karang talun, kecamatan Donorojo, kabupaten Pacitan (Kern dalam Suharyono, 2001: 1). Yang ke 2 (dua) adalah Wayang beber Remeng Mangunjaya, dari dusun Gelaran, desa Bejiharjo, kecamatan Karangmojo, kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (Hazeu dalam Suharyono, 2001: 1). Kesenian tradisi ini telah mencatatkan namanya di dunia internasional dan dikukuhkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia pada tahun 2008. Meskipun telah dikukuhkan oleh lembaga Internasional sebagai warisan dunia, kesenian wayang sekarang ini tidak banyak yang mempergelarkannya terutama wayang beber. Hanya kalangan tertentu saja yang masih mempergelarkannya. Seni tradisi kita biasanya masih hidup segar di masyarakat pedesaan dan perkauman etnik. Masyarakat ini punya konteks tata nilainya sendiri yang berbeda dengan konteks tata nilai masyarakat perkotaan (Sumardjo. 2000 : 338). Penyajian wayang beber dalam pentas pertunjukan terkesan monoton karena dalang hanya menunjuk pada gambar wayang sambil menceritakannya. Tetapi banyak nilai-nilai karakter yang terkandung dalam wayang beber, tidak hanya dalam jalan ceritanya tetapi juga dalam makna nilai dalam setiap gambar wayang beber yang diyakini oleh masyarakat. Nilai-nilai inilah yang menjadikan wayang sebagai sarana pendidikan di lingkungan masyarakat, dan nilai-nilai tersebut tidak hanya hidup di dalam kesenian wayang
4 tetapi telah menjadi falsafah hidup bagi masyarakat khususnya masyarakat Jawa. Hal inilah yang menarik penulis untuk meneliti wayang beber Wonosari sebagai sarana pendidikan karakter. Untuk menganalisa keterkaitan unsur visual dengan makna dalam wayang beber Wonosari yang berkaitan dengan pendidikan karakter, penulis menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan semiotika untuk mengkaji makna rupa dari sudut pandang penulis dan pendekatan tafsir simbolik untuk mengkaji makna rupa dari sudut pandang informan penelitian. Kata Semiotika berasal dari bahasa Yunani, seme, seperti semiotikos, yang berarti penafsir tanda. Sebagai suatu disiplin, semiotika berarti ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi (Coblay dan Jansz. 2002 : 4). Menurut Scoles semiotika, biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Budiman, 2003: 3). Teori pendekatan semiotika yang digunakan kaitannya dengan analisis wayang beber Wonosari, penulis mengacu teori semiotika menurut Charles S. Peirce. Charles S. Peirce mengklasifikasikan tanda menjadi 3 (tiga) yaitu ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol). Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan rupa ( resemblance ) sebagaimana dapat dikenali oleh para pemakainya. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau ekstensial diantara representamen dan obyeknya. Simbol merupakan jenis tanda yang arbitrer dan konvensional (Budiman, 2004 : 29, 30, 32). Dalam menganalisis makna visual/ rupa wayang beber Wonosari, penulis mengacu pada teori semiotika Charles S. Peirce yang diharapkan mendapatkan hasil analisis yang mendalam. Kaitannya dengan nilai-nilai karakter yang terkandung dalam wayang beber Wonosari dari unsur cerita (teori indeks sebabakibat ), maupun unsur rupa (teori icon kemiripan dan teori simbol berdasarkan kesepakatan / konvensi) dalam wayang beber Remeng Mangunjaya. Selain itu untuk mengkaji makna rupa dalam wayang beber Wonosari, penulis juga menggunakan pendekatan teori simbolik atau teori interpretif (tafsir). Paradigma yang bisa menyelami sampai mendasar terhadap
5 suatu teks untuk menemukan makna adalah intepretif. Kelebihan teori ini terletak pada, pertama memberi ruang bagi informan untuk ikut memaknai realitas kebudayaan, dan kedua menurut Ahimsa Putra (2000:406) lebih bersifat kontekstual, karena selain menilai penting konteks sosial, juga memandang penting soal penempatannya (Subiyantoro, 2011 : 75 ). Pendekatan dengan teori simbolik atau teori interpretif (tafsir) disesuaikan dengan wayang beber Wonosari sebagai hasil kebudayaan masyarakat. Menurut Clifford Geertz, konsep kebudayaan dalam pemahaman tafsir disebutkan sebagai berikut : (1) Ia sebagai sistem keteraturan makna dan simbol, dengan makna dan simbol individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan dan penilaian terhadap dunia mereka; (2) pola-pola makna ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolis, melalui bentuk tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) Kebudayaan adalah sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan dan ditafsir (Subiyantoro, 2011 : 73-74 ). B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah unsur-unsur visual dalam wayang beber Wonosari berkaitan dengan makna yang terdapat dalam wayang beber Wonosari tersebut? 2. Bagaimana makna unsur-unsur visual dalam wayang beber Wonosari tersebut berkaitan dengan pendidikan karakter? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : 1. Mengetahui unsur-unsur visual dalam wayang beber Wonosari yang berkaitan dengan makna yang terdapat dalam wayang beber Wonosari tersebut.
6 2. Mengetahui bagaimana makna unsur-unsur visual dalam wayang beber Wonosari tersebut berkaitan dengan pendidikan karakter. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi baik untuk kepentingan teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis bagi kajian pendidikan seni budaya berkaitan dengan wayang beber sebagai sarana pendidikan khususnya pendidikan karakter. Karena hasil penelitian ini akan memberikan pandangan baru mengenai wayang beber dan menyadarkan pentingnya melestarikan kesenian wayang beber sebagai warisan kebudayaan bangsa. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan gambaran mengenai penanaman nilai-nilai karakter di masyarakat melalui hasil kebudayaan khususnya wayang beber Wonosari. b. Sebagai referensi bagi penelitian penelitian berikutnya mengenai kesenian wayang beber Wonosari.