BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah disepakati para pemimpin dunia pada tahun 2000 di Kota New York (Departemen Kesehatan RI, 2005; Peter, 2008). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2014, IMS adalah infeksi yang menyebar dari orang ke orang lain melalui kontak seksual. Terdapat lebih dari 30 bakteri, virus, dan parasit berbeda yang dapat menularkan infeksi seksual. Penyakit IMS yang paling umum ditemukan diantaranya gonore, klamidiasis, sifilis, trikomoniasis, chancroid, herpes genital, kutil kelamin, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), dan infeksi hepatitis B. Salah satu penyakit IMS adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Laura, et al., 2009). Kasus HIV/AIDS di Indonesia senantiasa meningkat dari tahun ke tahun bahkan situasi ini menempatkan Indonesia sebagai negara tempat penyebaran HIV/AIDS tercepat di Asia (UNAIDS, 2009; Syarief, 2011). Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan Juni 2014, HIV-AIDS tersebar ke 76% kabupaten dari 498 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Direktorat Jenderal 1
2 Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan RI (2014) menyatakan bahwa sampai Juni 2014 jumlah total penderita HIV mencapai 142.950 dan AIDS sebanyak 56.623 sejak tahun 1987 dengan kasus HIV baru pada tahun 2014 (s/d Juni 2014) sebanyak 15.534 jiwa dan kasus AIDS baru sebanyak 1.700 jiwa dengan total jumlah kematian karena AIDS sejak tahun 1987 sebanyak 9.760 jiwa. Jika dibandingkan dengan tahun 2013 yang merupakan jumlah kasus HIV baru yang terbanyak sejak periode pencatatan kasus HIV dari tahun 2005 dengan jumlah 29.037 jiwa, pada periode enam bulan (Januari s/d Juni 2014) angka HIV baru di Indonesia sudah mencapai 15.534 jiwa yang berarti dalam kurun satu tahun penuh kasus baru HIV bisa mencapai lebih dari 30.000 jiwa pada tahun 2014. Provinsi di Indonesia dimana pertama kali ditemukan adanya kasus HIV-AIDS adalah Provinsi Bali (Purwadianto, 2011). Jumlah HIV di Bali pada tahun 2014 mencapai 9.051 kasus dan menempati peringkat ke-5 setelah Papua, Jawa Timur, Jawa Barat dan DKI Jakarta, namun merupakan provinsi peringkat ketiga dengan nilai prevalensi tertinggi setelah Papua dan Papua Barat yaitu sebesar 109,52 per 100.000 jumlah penduduk. Menurut Ditjen PP dan PL (2014) Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali tahun 2013 diperoleh data kasus HIV/AIDS di Bali hingga akhir Januari 2012 mencapai 5.902 kasus dengan faktor risiko heteroseksual menjadi peringkat pertama penularan. Salah satunya, bisa dilihat 22-25% dari 9.000 wanita penjaja seks (WPS) yang ada di Bali positif terinfeksi HIV sehingga saat ini kasus tersebut sudah memasuki lampu merah atau zona berbahaya (KPAD Bali, 2013). Buleleng merupakan Kabupaten dengan penduduk terinfeksi HIV nomor dua terbesar di Provinsi Bali setelah Kota Denpasar
3 dengan jumlah 1.992 kasus HIV (KPAD Buleleng, 2013). Peningkatan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Buleleng rata-rata mencapai 20 kasus per bulan dengan wilayah yang menjadi kasus HIV/AIDS terbesar sampai bulan Desember 2014 adalah Kecamatan Sawan dengan jumlah 258 jiwa (12,95%). Salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam menanggulangi HIV/AIDS adalah dengan menyelenggarakan layanan yang komprehensif dan berkesinambungan yang meliputi semua bentuk layanan HIV/ADIS yang dilakukan secara paripurna mulai dari rumah, masyarakat, sampai ke fasilitas pelayanan kesehatan (Permenkes RI, 2013). Program pemerintah yang sekarang sedang digalakkan melalui Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yakni mengembangkan program yang komprehensif dan berkesinambungan dalam merespon HIV/AIDS dengan sasaran pembuat kebijakan, sektor swasta, organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat melalui National Strategy and Action Plan for HIV and AIDS Response (SRAN) 2010-2014 (KPAN, 2010). Salah satu program SRAN adalah klinik khusus konseling dan testing sukarela (Voluntary Counseling and Testing) pada tempat pelayanan kesehatan yang berkualitas, ramah, dan mudah dijangkau (KPAN, 2010). Saat ini ada tiga puskesmas di Kabupaten Buleleng yang dilengkapi klinik VCT yaitu Puskesmas Sawan I, Puskesmas Gerokgak II, dan Puskesmas Seririt I (KPAD Buleleng, 2014). Berdasarkan studi pendahuluan terhadap jangkauan kerja khusus kalangan WPS dari Puskesmas Sawan I melalui data statistik WPS di Kecamatan Sawan, didapatkan data bahwa WPS yang dominan berdomisili di Kota Singaraja, akan tetapi banyak juga diantaranya yang bekerja di luar Kota Singaraja seperti Sawan dan Gerokgak.
4 Fokus penanggulangan HIV/AIDS adalah pada masyarakat yang memiliki risiko tinggi yang disebut dengan populasi kunci (Permenkes, 2013; KPAN, 2013). Populasi kunci dari kategori WHO adalah heteroseksual, homo-biseksual, pengguna narkoba suntik (penasun) yang sering disebut Inject Drug User (IDU) (WHO, 2014). Beberapa populasi yang sudah menderita AIDS berdasarkan data yang diperoleh sampai dengan Juni 2014 di Indonesia adalah heteroseksual sebanyak 34.187 jiwa (55%), homo-biseksual sebanyak 1.298 jiwa (17%) dan IDU 8.451 jiwa (6%) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014). Salah satu populasi kunci penyebaran HIV/AIDS dalam konteks diatas adalah WPS yang termasuk dalam kategori heteroseksual (WHO, 2014). Menurut American Foundation Of AIDS Research (AMFAR) (2014) menyimpulkan WPS, baik WPS langsung (WPSL) maupun WPS tidak langsung (WPSTL), ternyata berisiko 19 kali lebih besar tertular penyakit HIV dibanding masyarakat umum. Perilaku WPS yang berisiko seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom melalui anal, hubungan seksual melalui oral dan berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Menurut Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 yang memaparkan prevalensi HIV dan IMS pada WPS (WPSL dan WPSTL) sebanyak 13% dari total populasi kunci di Indonesia (Kemenkes RI, 2014). Perilaku pencarian pelayanan kesehatan dalam keperawatan komunitas akan menjadi fokus prioritas dalam upaya pencegahan dini terhadap agen penyakit. Upaya pencarian pelayanan kesehatan pada kalangan WPS yang masih rendah dan masih sulit diketahui sampai saat ini (KPAN, 2010). Dari data Komisi
5 Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Buleleng, jumlah WPS di Buleleng tercatat hingga 1.035 jiwa yang 20% atau sekitar 200 orang terjangkit HIV/AIDS dan tercatat hanya 50% atau 577 jiwa yang terdaftar untuk mendapat pelayanan kesehatan di puskesmas Kabupaten Buleleng yang menyediakan fasilitas klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) (KPAD Buleleng, 2013). Berdasarkan grand tour yang telah peneliti lakukan melalui observasi lapangan dan studi dokumentasi Puskesmas Sawan I di Kecamatan Sawan, didapatkan data: pertama, jumlah WPS di Kecamatan Sawan yaitu 288 jiwa dengan jumlah kunjungan WPS di fasilitas klinik VCT Puskesmas Sawan I untuk melakukan konseling dan cek kesehatan yang tercatat hanya 78 jiwa (27%), hal ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran WPS dalam mencari pelayanan kesehatan dalam deteksi dini HIV/AIDS; kedua, observasi lapangan yang menunjukkan aktivitas WPS di lokalisasi prostitusi yang tinggi yaitu satu orang WPS bisa melayani hingga lima orang pelanggan WPS; ketiga, hasil wawancara yang dilakukan dengan tokoh masyarakat yang mengatakan bahwa faktor stigma dan persepsi masyarakat yang menganggap WPS adalah kalangan yang merusak moral bangsa dan penyebar penyakit yang sangat rentan dan berisiko HIV/AIDS. Berbagai penelitian telah dilakukan guna melakukan deteksi terhadap penyebab HIV/AIDS dan faktor risikonya, diantaranya Djumaroh dan Khazanah (2010) yang melakukan studi fenomenologi terhadap WPS menunjukkan bahwa pengetahuan WPS tentang HIV/AIDS adalah penyakit yang mematikan, pengetahuan tentang pencegahan HIV/AIDS adalah dengan menggunakan kondom, mengkonsumsi
6 jamu dan antibiotik, sikap WPS adalah menerima positif dalam penggunaan kondom, namun kendala yang dihadapi WPS dalam pemanfaatan kondom adalah para pelanggan tidak mau menggunakan kondom. Fadhali, dkk (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa 72,4% WPS di Kabupaten Bulukumba melakukan praktek pencegahan secara baik, dimana variabel yang berhubungan dengan praktek pencegahan HIV/AIDS adalah pengetahuan dan sikap, sedangkan faktor yang tidak berhubungan diantaranya ketersediaan kondom, dukungan pendidik sebaya, dan dukungan keluarga. Sianturi (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa 45,4% WPS menggunakan kondom dengan kategori baik pada saat berhubungan seks dan 54,6% WPS menggunakan kondom dengan kategori tidak baik. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat empat variabel yang berhubungan secara signifikan dengan tindakan penggunaan kondom, yaitu sikap, ketersediaan kondom, dukungan mucikari, dan dukungan petugas kesehatan dimana variabel dukungan petugas kesehatan yang paling berhubungan dengan tindakan penggunaan kondom. Kothimah (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan WPS tentang pencegahan IMS dan HIV/AIDS tergolong sedang yaitu 62,5% memiliki sikap yang positif dalam mendukung pencegahan. Pernyataan WPS yang menyebutkan dukungan yang paling banyak dalam upaya pencegahan IMS dan HIV/AIDS diberikan oleh tenaga kesehatan, mucikari, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta teman WPS. Perilaku pencegahan IMS dan HIV WPS di
7 Lokalisasi Gempol Porong dengan persentase 80% adalah baik dalam pemakaian kondom. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, perilaku pencegahan WPS dalam melakukan pencegahan HIV/AIDS sudah tergolong baik, namun masih terdapatnya pelanggan yang tidak kooperatif dalam penggunaan kondom, maka penyebaran HIV belum dapat dicegah secara optimal. Bagi WPS yang merupakan populasi kunci sangat penting untuk melakukan pemeriksaan kesehatan ke pusat pelayanan kesehatan seperti Puskesmas terkait deteksi dini penyakit HIV/AIDS. Penelitian tentang perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait IMS dan HIV pada WPS telah dilakukan oleh Ngo, et al (2007) di Vietnam dengan hasil bahwa pengambilan keputusan untuk mencari pelayanan kesehatan oleh WPS dilakukan karena tiga hal yaitu persepsi terhadap risiko IMS dan HIV, hubungan sosial dan pandangan masyarakat. Pengetahuan WPS tentang HIV tergolong cukup namun pengetahuan tentang IMS terbatas. Mereka mampu menjelaskan tentang risiko tinggi dari HIV, tetapi menunjukkan perhatian yang kurang tentang IMS. Pencarian pelayanan kesehatan oleh WPS dilakukan ketika terdapat gejala pada saluran kencing. Pengambilan keputusan WPS untuk mengakses pelayanan kesehatan dan melakukan tes HIV dihambat karena biaya perawatan yang mahal, kurangnya sikap yang baik dari penyedia pelayanan, dan kurangnya informasi tentang pelayanan test HIV. Situasi sosial (tempat atau letak geografis, populasi penduduk, dan aktivitas keseharian) dan budaya yang terdapat di negara-negara asia tenggara seperti
8 Vietnam dengan di Indonesia terutama di Bali sangatlah berbeda, dengan demikian perbedaan tersebut merupakan salah satu dasar perlu dilakukannya eksplorasi lebih mendalam tentang perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS di Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. 1.2 Rumusan Masalah Masalah HIV/AIDS terus meningkat di kalangan WPS. Perilaku hubungan seksual yang tidak aman menjadi faktor predisposisi terjadinya HIV/AIDS di kalangan WPS. Dari fenomena yang terjadi di lapangan, masih banyak WPS yang tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual dan kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan seperti puskesmas yang menyediakan klinik VCT. Perawat yang merupakan salah satu pelaksana pelayanan kesehatan, tentu harus mampu menjadi garda terdepan dalam menangani masalah peningkatan kasus HIV yang akan berdampak pada AIDS. Dalam hal ini, perawat komunitas berperan untuk menjangkau masyarakat yang berisiko tinggi, serta harus mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat guna memberikan informasi tentang deteksi dini HIV/AIDS. Oleh karena itu, pengembangan pengetahuan dan penelitian mengenai perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS dengan studi kualitatif penting dilaksanakan untuk mengeksplorasi lebih mendalam mengenai perilaku dari WPS dalam mencari pelayanan kesehatan. Berdasarkan uraian latar belakang dan pernyataan masalah penelitian, maka timbul masalah yang akan dikaji lebih lanjut yaitu: Bagaimanakah perilaku pencarian
9 pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS pada kalangan WPS di Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng? 1.3 Tujuan Untuk mengetahui gambaran, menggali, dan mengeksplorasi perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS pada kalangan WPS di Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. 1.4 Manfaat Adapun manfaat dari penelitian ini meliputi: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan komunitas mengenai perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS pada kalangan WPS di Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pemikiran dan evidence based nursing bagi perawat, khususnya perawat komunitas sebelum melakukan intervensi asuhan keperawatan kepada kalangan WPS yang memerlukan pendekatan khusus. b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada instansi pemerintahan dan non pemerintahan dalam upaya promosi kesehatan yang lebih optimal terutama dalam hal penggunaan akses pelayanan kesehatan bagi populasi berisiko seperti WPS.
10 c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada populasi kunci khususnya WPS untuk berupaya mencari pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS