Modul ke: 03Fakultas Shely PSIKOLOGI Filsafat Manusia Sosialitas Manusia Cathrin, M.Phil Program Studi Psikologi
Pokok Bahasan Abstract Membahas mengenai sosialitas manusia menurut pemikiran filsuf mengenai manusia Kompetensi Mahasiswa dapat memahami posisi manusia hubungannya dengan yang lainnya.
Sosialitas Manusia
Filsuf yang menolak kemutlakan apa pun Para Skeptisis Mereka yang menolak kepastian Para Sensis Inggris (Hobbes, Locke, Berclay, Hume) Kesadaran manusia terdiri dari kesan-kesan indrawi yang sederhana (simple impression). Mereka merupakan deretan tanpa kesatuan benar, entah didalam isi ataupun subjeknya. Locke masih menerima substansi manusia dan yang lain, namun tanpa mampu mempertanggungjawabkannya. Berclay menolak adanya substansi yang lain dan seluruh kenyataannya. Akhirnya, Hume juga mengingkari substansi manusia, aku tak lain hanya merupakan berkas fenomena kesadaran, yang mengalir dan berturut-turut terus menerus, tanpa ada kepastian apapun dan tanpa ada aku tetap. Pendapat yang serupa dipegang oleh para positivis abad ke-19. Bergson Hidup manusia merupakan dinamik vital (un elan vital). Manusia menyadari dan menghayati evolusi itu di dalam suatu intuisi, yang mengatasi kegiatan rasional. Dengan intuisi itu manusia mengalami aku nya. Akan tetapi Bergson tidak sanggup memakai istilah substansi sebab ia menganggap terlalu statis. Yang lian-lain juga diterima menurut pola yang sama. Pemikir Positivis (Comte, Spencer) dan neo-positivistis Hanya dapat dibuktikan secara ilmiah merupakan fakta. Arti fakta itu hanya faktual belaka, tanpa memiliki kemutlakan atau keharusan metafisik. Kant Harus dicari syarat-syarat minimal mutlak perlu agar pengetahuan manusia itu memang mungkin.
Filsuf yang menerima substansi mutlak, tetapi dalam arti terlalu sempit Monisme eleatis (Parmenides) Hanya satu substansi mutlak yang tidak berbatas dan yang abadi. Tidak ada tempat bagi substansi manusia yang bersifat pribadi Descartes Titik pangkal filsafat terletak di dalam kesadaran subjektif: Cogitu ergo sum. Manusia memiliki kepastian mutlak mengenai adanya sendiri sebab dipahami dengan jelas dn tepat. Itu memberikan patokan bagi kebenaran semua yang dipahami jelas dan tepat, itu benar. Aku yang berpikir ialah substansi spiritual yang berdikari tanpa membutuhkan atau mengandaikan yang lain: disadari secara murni dan dengan langsung. Bahkan aku substansial itu sama dengan pikiran Spinoza Dengan meneruskan metode dan jalan pikiran descartes, hanya dapat diakui substansi ilahi (monisme panteistis). Yang bukan ilahi, termasuk manusia bukan merupakan substansi, melainkan hanya cara berada (modus) dari sifat ilahi. Demikian aku adalah modus dari pikiran.
Molebranche, Leibniz Menurut garis descartes manusia sadar akan diri sendiri saja, merupakan aku yang tertutup tanpa hubungan langsung dengan yang lain. Hanya berantuisi akan Tuhan, dan melalui itu juga tahu akan adanya dunia luar. Atau menurut Leibniz telah menerima ide-ide tentang dunia luar sejak kelahiran. Para Idealis (Fichte, Schelling, Hegel) Hanya ada satu realitas, yaitu aku yang absolut. Manusia individual hanya merupakan momen atau unsur di dalam perkembangan kesadaran Aku yang mutlak. Fenomenologi Realitas dianalisis dengan metode fenomenologis, sejauh dialami di dalam kesadaran. Kesadaran manusia secara hakiki bercorrak intensional yang berasal dari bahasa latin intere yang berarti mengarah kepada. Maksudnya kesadaran manusia terarah kepada objek yang lain dan yang berbeda dari kesadaran sendiri. Dibuat abstraksi dari semua yang ditemukan kesadaran yang transendental. Realitas yang lain tidak dipertimbangkan bahkan rupanya adanya dipersoalkan.
Pendapat yang lebih seimbang Neo-Tomisme modern (Karl Rahner, Marc, Lonergan, Lotz) Metode Kant dapat dipakai dan disempurnakan. Dengan metode transendental, manusia dapat mengeksplisitkan kemampuan mutlak akan adanya dirinya sendiri yang telah diandaikan di dalam fakta keputusan-keputusannya, dan yang dituntut dengan mutlak oleh kepastian keputusan tersebut. Adanya yang lain ditemukan berdasarkan kesatuan subjek dengan objeknya Eksistensialisme (Keikegaard; Heidegger, jaspers, Marcel, Sartre) Metode fenomenologis tidak boleh membuat abstraksi dari realitas. Kenyataan ditemukan di dalam pengalaman melulu pribadi dan personal yang bertitik tolak kepada keyakinan. Oleh karena itu kepastian asali manusia disebut eksistensi yang berarti menempatkan diri ke luar. Eksistensi itu menunjukkan cara berada manusia yang khas, yang membedakannya dari semua makhluk yang lain. Hanya manusia yang bereksistensi dengan keterbukaan hakiki bagi yang lain. Dasein menurut istilah Heidegger yang berarti sein adalah berada dan da adalah sana. Jadi dasein berarti mengemukakan diri ke luar. Di dalam manusia sein sungguh menjadi nampak, dengan kata lain, sifat hakiki manusia ialah berada di dalam dunia (das in-der-weltsein; k etre-au-monde) = manusia selalu berada bersama dunia. Dari semula manusia telah bergaul dengan dunia, tanpa pernah berada sendiri. Jadi manusia bersifat transenden - dia mengatasi diri menurut arti tertentu. Dia lepas dari segala isolasi dan keluar dari diri sendiri, dan menuju kepada yang lain. Manusia juga selalu mengakui yang lain sebagai yang lain.
Psikologi esperimental dan klinis Psikologi positif mempunyai bermacammacam pendapat mengenai diri, aku dan sebagainya. Kerap dipengaruhi oleh filsafat manusia tertentu, dan sesuai dengan itu mengakui substansial manusia atau tidak, menerima pengertian akan substansialitas orang lain atau tidak.
Kesimpulan Aku dan yang-lain (manusia atau bukan) sejauh merupakan substansi yang berdikari, juga memiliki hubungan timbal balik dengan yang-lain yang memberikan arti dan nilai serta saling mengadakan. Bersama-sama merupakan keseluruhan pusat yang ber-otonomi di dalam korelasi dan berkorelasi di dalam otonomi. Korelasi yang dimaksudkan sebagaimana aku dan yang-lain, semua selalu dan dimana-mana berhubungan saling timbal balik dan sejajar.
Terima Kasih Shely Cathrin, M.Phil