BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai memiliki berbagai komponen abiotik dan biotik yang saling berinteraksi membentuk sebuah jaringan kehidupan yang saling mempengaruhi. Sungai merupakan ekosistem lotik (flowing water), sehingga semua biota yang hidup di sungai akan dipengaruhi oleh arus air dan akan beradaptasi dengan kondisi tersebut. Penurunan kualitas air sungai dapat disebabkan oleh masuknya bahan-bahan pencemar sungai dari aktivitas di sepanjang aliran sungai. Pencemaran tersebut merupakan akibat langsung dari aktivitas manusia, pertumbuhan penduduk, laju pembangunan, pertambahan jumlah industri baik skala kecil maupun besar, dan kegiatan ekonomi serta perdagangan yang semuanya mendorong akumulasi limbah sehingga menurunkan kualitas air sungai. Kegiatan pertambangan merupakan salah satu aktivitas manusia yang sering dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan. Usaha pertambangan emas di kawasan Sangon, Kokap, Kulon Progo telah berlangsung sejak ±17 tahun yang lalu, setelah penemuan urat-urat kuarsa mengandung emas di kawasan Sangon dan sekitarnya. Penambangan emas dilakukan dengan sistem tambang bawah tanah dengan cara membuat terowongan dan sumur (vertical shaft). Teknik penambangan dilakukan tanpa perencanaan yang baik dan dengan cara penggalian mengikuti arah urat kuarsa yang diperkirakan memiliki kadar emas cukup tinggi. Keadaan usaha pertambangan 1
emas rakyat pada tahun 2001 menunjukkan 25 lokasi penambang tradisional di Sangon. Dalam perkembangannya jumlah penambang mengalami penurunan akan tetapi sekarang mulai bermunculan kembali para penambang emas yang sebagian besar berasal dari luar daerah. Proses pengolahan penambangan emas tradisional di Sangon menggunakan metode amalgamasi, dengan menggunakan logam merkuri (Hg) sebagai media untuk mengikat emas. Limbah hasil pengolahan yang mengandung merkuri sebagian besar langsung dibuang ke sungai atau ke tanah sehingga menimbulkan pencemaran air, tanah dan udara yang dicemari oleh uap merkuri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar total Hg dalam sedimen di hulu Sungai Sangon berjarak 2 km dari outlet sebesar 0,72 ± 0,01 ppm. Sebaliknya kadar Hg dalam sedimen daerah outlet sebesar 84,08 ± 1,15 ppm dan dihilir Sungai Sangon berjarak 12 km dari outlet sebesar 1,25 ± 0,02 ppm (Suheryanto, 2004, tidak dipublikasi). Debit air Sungai Sangon tergantung musim, pada musim hujan debit meningkat sebaliknya pada musim kemarau air sungai kering, hanya pada bagian lubuk (pool) sungai yang masih terdapat air. Pada saat musim kemarau akumulasi cemaran Hg makin tinggi karena limbah proses amalgamasi emas yang mengandung Hg dibuang ke Sungai Sangon. Akibatnya akumulasi Hg pada sedimen Sungai Sangon makin tinggi. Kualitas air Sungai Sangon antara lain suhu, ph relatif masih baik karena di bawah baku mutu lingkungan, tetapi kadar Hg pada sedimen telah melampaui baku mutu lingkungan. (Suheryanto et al. 2008). 2
Sebagian penduduk masih ada yang memanfaatkan air dari Sungai Sangon untuk kegiatan mencuci sehingga memperbesar resiko kontak langsung dengan merkuri. Bencana Minamata disease di Jepang pada awal tahun 1950 merupakan contoh kasus pencemaran merkuri di perairan yang mengakibatkan ratusan korban, dan berdampak jangka panjang pada keturunan penduduk setempat. Merkuri memiliki waktu tinggal (residence time) ribuan tahun yang akan mengendap pada sedimen dan masuk serta terakumulasi dalam tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan yaitu: melalui pernapasan, saluran pencernaan dan kulit sehingga dapat menimbulkan kematian (Wardhana, 2004). Kegiatan pertambangan emas tradisional di Sangon, Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta berpotensi untuk mencemari perairan Sungai Sangon karena dampak dari proses dan limbah kegiatan pertambangan yang masuk ke sungai dapat mengubah kondisi fisiko kimiawi perairan dan sedimen. Perubahan parameter fisiko-kimiawi perairan dan sedimen dapat mempengaruhi keanekaragaman biota yang hidup di tempat tersebut. Perubahan parameter fisiko-kimiawi perairan dan sedimen akan direspon oleh biota yang hidup di sungai, salah satunya adalah invertebrata benthik. Setiap perubahan parameter fisiko-kimiawi di perairan dan sedimen akan direspon oleh invertebrata benthik sehingga dapat dijadikan sebagai bioindikator di lingkungan perairan Sungai Sangon. Bioindikator selain dapat dipergunakan untuk memperkirakan kualitas lingkungan juga dapat digunakan dalam industri minyak bumi. Bioindikator dalam industri minyak bumi dipergunakan untuk mengetahui keberadaan minyak bumi, jika di laut 3
menggunakan bioindikator Foraminifera dan Radiolaria, sedangkan di darat menggunakan polen. Penelitian yang dilakukan di penambangan emas tradisional Sangon, Kokap selama ini masih terbatas pada penelitian faktor fisiko kimiawi dan abiotik. Mengingat dampak negatif aktivitas penambangan emas tradisional terhadap lingkungan dan dapat berbahaya bagi manusia maka perlu dilakukan penelitian awal untuk mengetahui sejauhmana dampak yang timbul dari kegiatan penambangan emas tradisional terhadap komponen biotik yang hidup di perairan Sungai Sangon, yaitu salah satunya terhadap invertebrata benthik. Komponen biotik dapat memberikan gambaran mengenai kondisi fisikao kimiawi dan biologi dari suatu perairan (Odum, 1993). Komponen lingkungan, baik yang hidup (biotik) maupun yang mati (abiotik) mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman biota air yang ada pada suatu perairan, sehingga tingginya kelimpahan individu tiap jenis dapat dipakai untuk menilai kualitas suatu perairan. Perubahan struktur komunitas benthik meliputi keanekaragaman, keseragaman, kelimpahan, dominansi, dan biomassa. Perairan yang berkualitas baik biasanya memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dan sebaliknya pada perairan yang buruk atau tercemar. Sejauh ini belum diketahui keanekaragaman invertebrata benthik dan kualitas perairan Sungai Sangon berdasarkan parameter biologi di daerah penambangan emas tradisional Sangon Kokap, Kulon Progo. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang keanekaragaman anggota invertebrata benthik sebagai biondikator kualitas perairan di Sungai Sangon, Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta. 4
B. Permasalahan Penambangan emas di Sangon, Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta merupakan penambangan emas rakyat secara tradisional dengan metode amalgamasi yang telah berlangsung ± 17 tahun. Proses pengolahan emas dengan teknik amalgamasi menggunakan merkuri untuk media mengikat emas yang dilakukan di halaman rumah, kebun dan pinggir sungai sehingga memungkinkan terjadinya pencemaran logam berat merkuri terhadap lingkungan hidup (air, tanah, udara). Dampak penambangan emas tradisional dari proses pengolahan maupun limbah yang dihasilkan dapat mengubah kondisi abiotik dan biotik lingkungan sekitar termasuk lingkungan perairan. Bahan buangan yang masuk ke dalam sungai dapat mengubah parameter fisiko kimiawi perairan dan sedimen sungai yang merupakan habitat untuk invertebrata benthik. Perubahan tersebut akan direspon oleh invertebrata benthik, karena sifatnya yang immobile, hidup di dasar perairan, dan sangat peka terhadap perubahan lingkungan yang terjadi sehingga dapat dijadikan bioindikator perairan. Perubahan kondisi fisiko-kimiawi perairan dan sedimen sungai akan mempengaruhi struktur komunitas benthik meliputi keanekaragaman, keseragaman, kelimpahan, dominansi, dan biomassa sehingga dapat dipergunakan untuk memperkirakan kondisi kualitas perairan Sungai Sangon. Untuk mengetahui dampak dari kegiatan penambangan emas tradisional terhadap struktur komunitas invertebrata benthik maka perlu dilakukan penelitian tentang keanekaragaman anggota invertebrata benthik di Sungai Sangon. 5
C. Tujuan a. Mengkaji keanekaragaman anggota invertebrata benthik di Sungai Sangon, Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta. b. Mengkaji pengaruh aktivitas kegiatan penambangan emas tradisional di Sangon, Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta terhadap keanekaragaman anggota invertebrata benthik. c. Mengkaji dan memprediksi kondisi kualitas perairan Sungai Sangon Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta berdasar keanekaragaman anggota invertebrata benthik. D. Manfaat a. Memberi informasi tentang keanekaragaman anggota invertebrata benthik di Sungai Sangon b. Memberi informasi kepada pemerintah tentang kondisi kualitas perairan di Sungai Sangon, sehingga menjadi dasar dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan pengelolaan dan penataan penambangan emas tradisional di kawasan Sangon, Kokap, Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. c. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang dampak aktivitas penambangan emas tradisional terhadap lingkungan sekitar. E. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada keanekaragaman anggota invertebrata benthik, indeks diversitas Shannon-Wiener, dan indeks biotik BMWP untuk menilai kondisi kualitas perairan di Sungai Sangon, Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta. 6