BAB VII PEMBAHASAN. guna membiayai pembangunan pada suatu negara. Pajak merupakan salah satu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

Jumlah penduduk Jawa Barat berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 43 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,91 persen per tahun

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

MODAL DASAR PD.BPR/PD.PK HASIL KONSOLIDISASI ATAU MERGER

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BERITA RESMI STATISTIK

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

PROFIL PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BERITA RESMI STATISTIK

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

Daftar Populasi dan Sampel Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai perusahaan penyedia listrik milik pemerintah di tanah air, PT.

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

Desentralisasi Fiskal Dalam Perspektif Daerah Jawa Barat * Armida S. Alisjahbana

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian. Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

Seuntai Kata. Bandung, Mei 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Gema Purwana

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012)

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III).

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 Tahun 2010 TENTANG PENGELOLAAN PENGGUNAAN DAN PENGALOKASIAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN 2010

Sekapur Sirih. Serang, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Ir. Nanan Sunandi, MSc.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB 4 ANALISIS HASIL ESTIMASI Angka Kematian Bayi 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. UU RI No.20 pasal 51 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

MENGENAL SEKILAS TENTANG KEBIJAKAN PEDAERAHAN PAJAK PUSAT

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. terus dilakukan, antara lain, melalui pengajaran secara formal di sekolahsekolah.

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. Penerimaan dalam negeri telah mengalami pergeseran, semula didominasi

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

PENGUKURAN PRODUKTIVITAS RELATIF DAN ANALISIS TINGKAT UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

BAB I PENDAHULUAN. RPJPN) tercantum delapan misi pembangunan nasional Indonesia mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

INDEKS KESENJANGAN EKONOMI ANTAR KECAMATAN

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT,

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah)

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

Perkembangan Ekonomi Makro

Analisis Klaster untuk Pengelompokan Kemiskinan di Jawa Barat Berdasarkan Indeks Kemiskinan 2016

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah.

BAB 4 ANALISIS EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PBB DAN TINJAUAN PERANAN PBB SEBAGAI PAJAK DAERAH

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

No Kawasan Andalan Sektor Unggulan

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya

BAB III METODE PENELITIAN. Salah satu komponen dari penelitian adalah menggunakan metode yang

Transkripsi:

BAB VII PEMBAHASAN 7.1 Pajak Tanah Kewajiban pembayaran pajak merupakan perwujudan partisipasi masyarakat guna membiayai pembangunan pada suatu negara. Pajak merupakan salah satu sumber terbesar dari pemasukan pemerintah dan tak ada satu negara pun yang dapat berdiri dengan stabil tanpa mengenakan pajak pada warganya. Sumber penerimaan pajak pendapatan di Negara Indonesia salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bangunan serta dari Bea Perolehan Hak atas Lahan dan bangunan (BPHTB). Penerimaan dari PBB dan BPHTB merupakan pajak pusat, tetapi sebenarnya penerimaan pajak dari sumber ini lebih banyak dinikmati oleh Pemerintah Daerah. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1985 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, disebutkan bahwa penetapan tarif PBB yang dikenakan atas objek pajak sebesar 0,5 persen (lima per sepuluh persen). Namun PBB ini untuk kasus Indonesia belum mencerminkan terhadap pengendaliannya. Hal ini dapat dilihat dari besarnya pajak yang didasarkan atas tarif pajak (0,5 persen) dari nilai jual kena pajak (NJKP) yaitu sebesar 20 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP) (0,5 persen x 20 persen NJOP). Sementara untuk nilai jual objek pajak dibawah Rp 8 juta tidak dikenai PBB. Pajak Bumi dan Bangunan sangat tergantung pada potensi fiskalnya, yang ditentukan oleh dua determinan, yaitu luas dan Nilai Jual Objek Pajak. Potensi fiskal tersebut adalah semua Bumi dan Bangunan yang taxable menurut undang-undang dan 82

Nilai Jual Objek Pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan. Dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan pajak Terutang tahun pajak sebelumnya. Apabila tanah dan bangunan belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, maka Nilai Jual Objek Pajak menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah wewenangnya meliputi tanah dan bangunan yang bersangkutan. Tabel berikut menunjukkan rencana penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) kota Jakarta dan Jawa Barat sebagai contoh perbandingan. Tabel 15. Rencana Penerimaan PBB/BPHTB Jakarta Tahun 2000 KABUPATEN/KOTA KPPBB RENCANA PENERIMAAN PBB/BPHTB PBB APBN BPHTB TOTAL PEDESAAN PERKOTAAN PBB (7+8) 2 3 4 5 6 7 8 9 1. Kt. Jakarta Pusat 79410000 81773172 66.854.000 148627172 0 87.004.851 87.004.851 KPPBB JAKARTA PUSAT 79.410.000 81.773.172 66.854.000 148.627.172 0 87.004.851 87.004.851 1. Kt. Jakarta Barat 74399000 83899000 56.633.000 140532000 0 78.643.752 78.643.752 KPPBB JAKARTA BARAT 74.399.000 83.899.000 56.633.000 140.532.000 0 78.643.752 78.643.752 1. Kt. Jakarta Utara 77379000 84179000 61.644.000 145823000 0 83.822.068 83.822.068 KPPBB JAKARTA UTARA 77.379.000 84.179.000 61.644.000 145.823.000 0 83.822.068 83.822.068 1. Kt. Jakarta Timur 60542000 67042000 29.926.000 96968000 0 61.344.952 61.344.952 KPPBB JAKARTA TIMUR 60.542.000 67.042.000 29.926.000 96.968.000 0 61.344.952 61.344.952 1. Kt. Jakarta Selatan 129865000 135152811 97.792.000 232944811 0 140.454.272 140.454.272 KPPBB JAKARTA SELATAN 129.865.000 135.152.811 97.792.000 232.944.811 0 140.454.272 140.454.272 421595000 452045983 312849000 764894983 0 451269895 451269895 421.595.000 452.045.983 312.849.000 764.894.983 0 451.269.895 451.269.895 Sumber : Data Sekunder KPP Jakarta 83

Tabel 16. Rencana Penerimaan PBB/BPHTB Jawa Barat Tahun 2000 84

KABUPATEN/KOTA RENCANA PENERIMAAN PBB/BPHTB KPPBB PBB APBN BPHTB TOTAL PEDESAAN PERKOTAAN PBB (7+8) 2 3 4 5 6 7 8 9 1. Kt. Bandung 34327000 36881344 25.442.000 62323344 0 35.246.751 35.246.751 KPPBB BANDUNG SATU 34327000 36881344 25442000 62323344 0 35246751 35246751 1. Kb. Bandung 27494000 35176002 7.027.000 42203002 2.088.064 20.769.018 22.857.082 KPPBB BANDUNG DUA 27494000 35176002 7027000 42203002 2088064 20769018 22857082 1. Kt. Bogor 7750000 8919118 6.457.000 15376118 0 7.975.922 7.975.922 2. Kb. Bogor 23898000 29383638 8.763.000 38146638 6.781.589 15.703.651 22.485.240 3. Kt. Depok 9515000 10515000 7.842.000 18357000 4.908.720 5.843.064 10.751.784 KPPBB BOGOR 41163000 48817756 23062000 71879756 11690309 29522637 41212946 1. Kt. Sukabumi 895000 2064118 410.000 2474118 0 1.098.676 1.098.676 2. Kb. Sukabumi 4158000 11095000 1.000.000 12095000 2.483.559 1.990.776 4.474.335 3. Kb. Cianjur 6974000 10861123 4.420.000 15281123 2.203.436 5.213.909 7.417.345 KPPBB SUKABUMI 12027000 24020241 5830000 29850241 4686995 8303361 12990356 1. Kb. Serang 7759000 11056908 2.759.000 13815908 1.708.528 6.163.714 7.872.242 2. Kt. Cilegon 7310000 8413073 1.183.000 9596073 362.206 9.635.530 9.997.736 KPPBB SERANG 15069000 19469981 3942000 23411981 2070734 15799244 17869978 1. Kb. Pandeglang 1595000 4243648 1.015.000 5258648 755.522 395.804 1.151.326 2. Kb. Lebak 1192000 4160800 115.000 4275800 854.118 346.320 1.200.438 KPPBB PANDEGLANG 2787000 8404448 1130000 9534448 1609640 742124 2351764 1. Kt. Tangerang 26350000 28190714 8.570.000 36760714 0 29.856.700 29.856.700 2. Kb. Tangerang 31546000 37435410 23.899.000 61334410 3.274.491 33.477.459 36.751.950 KPPBB TANGERANG 57896000 65626124 32469000 98095124 3274491 63334159 66608650 1. Kt. Bekasi 18910000 20065000 7.069.000 27134000 0 20.626.894 20.626.894 2. Kb. Bekasi 21075000 24631140 7.813.000 32444140 3.526.777 20.150.667 23.677.444 3. Kb. Karawang 16558000 21648688 3.720.000 25368688 5.728.390 11.873.224 17.601.614 KPPBB BEKASI 56543000 66344828 18602000 84946828 9255167 52650785 61905952 1. Kb. Purwakarta 6226000 8357245 433.000 8790245 1.715.399 4.629.031 6.344.430 2. Kb. Subang 5804000 12241673 433.000 12674673 2.942.645 3.118.692 6.061.337 KPPBB PURWAKARTA 12030000 20598918 866000 21464918 4658044 7747723 12405767 1. Kb. Garut 2683000 6750341 460.000 7210341 1.904.551 1.493.407 3.397.958 2. Kb. Sumedang 3110000 5039062 580.000 5619062 1.430.081 2.949.679 4.379.760 KPPBB GARUT 5793000 11789403 1040000 12829403 3334632 4443086 7777718 1. Kb. Tasikmalaya 4451000 7228036 329.000 7557036 3.060.700 1.993.639 5.054.339 2. Kb. Ciamis 4663000 7172230 108.000 7280230 3.672.320 1.518.000 5.190.320 KPPBB TASIKMALAYA 9114000 14400266 437000 14837266 6733020 3511639 10244659 1. Kt. Cirebon 2040000 3455395 1.180.000 4635395 0 2.562.639 2.562.639 2. Kb. Cirebon 4728000 8274916 686.000 8960916 3.887.713 1.705.806 5.593.519 3. Kb. Indramayu 4700000 11980137 279.000 12259137 3.554.539 348.517 3.903.056 KPPBB CIREBON 11468000 23710448 2145000 25855448 7442252 4616962 12059214 1. Kb. Kuningan 2589000 4331565 55.000 4386565 2.646.833 563.549 3.210.382 2. Kb. Majalengka 2616000 5014939 72.000 5086939 2.820.195 505.110 3.325.305 KPPBB KUNINGAN 5205000 9346504 127000 9473504 5467028 1068659 6535687 290916000 384586263 122119000 506705263 62310376 247756148 310066524 290.916.000 384.586.263 122.119.000 506.705.263 62.310.376 247.756.148 310.066.524 Sumber : Data Sekunder KPP Jawa Barat 7.2 Persepsi Masyarakat terhadap Masalah Pertanahan; Sebagai 85

Perbandingan Kota Bekasi 7.2.1 Profil Wilayah Perbandingan :Studi Kasus Kota Bekasi Berdasarkan data dari BPS Bekasi, rata-rata laju pertumbuhan penduduk pada kurun waktu 1971-1980 tercatat sebesar 3,57%, kurun waktu 1980-1990 meningkat hampir dua kali lipat menjadi 6,29%, sementara kurun waktu 1990 sampai 2000 laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi mengalami penurunan menjadi 4,31 %. Tahun 1992 penggunaan lahan di Kota Bekasi masih didominasi oleh sawah, kebun campuran, dan urban/suburban. Sisanya merupakan belukar, hutan, lahan terbuka, laut, mangrove, perkebunan, rumput/semak, sungai/rawa/situ dan tambak. Sementara pada tahun 2002 luasan daerah urban/suburban mendominasi penggunaan lahan yang diikuti oleh sawah, dan kebun campuran. Dari hasil korelasi variable penggunaan lahan, PDRB, penduduk, dan sektor tenaga kerja, menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk yang bekerja di sektor industri (X 8 ) berkorelasi positif dengan tingkat pertumbuhan lahan tidur (X 3 ). Hal ini berarti jika jumlah penduduk Kota Bekasi yang bekerja di sektor industri meningkat maka lahan tidur yang ada di Kota Bekasi akan semakin meningkat, dikarenakan masyarakat petani menjual atau meninggalkan lahannya sedangkan mereka memilih bekerja di sektor informal. Peningkatan lahan untuk bangunan memberikan hasil korelasi yang nyata dan positif dengan peningkatan lahan tidur, konversi lahan pertanian dan tingkat pertumbuhan penduduk yang bekerja pada sektor industri, namun berkorelasi negatif dengan pertumbuhan penduduk yang bekerja pada sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah Kota Bekasi 86

guna keperluan pertumbuhan sektor perkotaan membutuhkan lahan yang dikonversi dari pertanian, yang sekaligus menyebabkan terjadi peralihan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. PDRB Informal X15 PDRB Formal X14 + + ( - ) PDRB Industri X13 Lahan Tidur X3 + ( - ) + + Lahan non sawah X4 ( - ) Lahan Bangunan X2 + Penduduk X5 + ( - ) Penduduk Pertanian X6 PDRB Pertanian X11 penduduk Industri X8 Gambar 13 : Keterkaitan Parsial antara Beberapa Komponen Luas Lahan, Penduduk dan PDRB. ( - ) 7.2.2 PBB Sektor Perkotaan di Kota Bekasi Pajak Bumi dan Bangunan sangat tergantung pada potensi fiskalnya, yang ditentukan oleh dua determinan, yaitu luas dan Nilai Jual Objek Pajak. Potensi fiskal tersebut adalah semua Bumi dan Bangunan yang taxable menurut undangundang dan Nilai Jual Objek Pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan. Dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan pajak Terutang tahun pajak sebelumnya. Apabila tanah dan bangunan belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, maka Nilai Jual Objek Pajak menurut surat keterangan 87

yang diterbitkan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah wewenangnya meliputi tanah dan bangunan yang bersangkutan. Cakupan jumlah objek dan subjek pajak idealnya mendekati jumlah yang ada di lapangan. Peningkatannya dapat dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pendataan dan penilaian objek dan subjek PBB pada semua jenis objek. Peningkatan NJOP dapat didekati dengan penetapan PBB yang mengacu pada nilai pasar dengan mempertimbangkan faktor improvement dan future benefit dari objek pajak yang mempunyai nilai tinggi untuk setiap jenis objek. Rasio penetapan PBB peningkatannya dapat dihampiri dengan menaikkan dasar perhitungan penetapan pajak terutang yang layak diefektifkan sesuai dengan potensi fiskal di lapangan pada setiap jenis objek. Adapun Luas Bumi dan Bangunan serta Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Bekasi Tahun 2004 dijelaskan dalam Tabel 16 Tabel 16. Luas Bumi dan Bangunan, Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan Objek Pajak di Kota Bekasi Tahun 2004 PAJAK BUMI PAJAK BANGUNAN Luas Bumi Luas Kecamatan (m 2 ) NJOP (000) Bangunan(m 2 ) NJOP (000) OP (000) Pondokgede 18,524,103 5,126,616,099 3,675,723 1,705,634,869 59,342 Jatisampurna 19,272,229 2,627,760,693 636,571 301,135,465 30,847 Jatiasih 20,633,271 2,976,607,705 1,378,679 591,527,563 48,477 Bantargebang 36,802,915 2,678,000,874 1,549,003 647,990,768 50,327 Bekasi Timur 10,073,603 2,968,111,507 2,892,675 1,257,319,130 48,226 Rawalumbu 12,107,826 2,833,088,134 1,792,412 857,853,586 37,787 Bekasi Selatan 11,008,749 3,617,247,601 2,657,111 1,369,425,176 40,052 Bekasi Barat 11,020,887 2,867,925,153 2,834,924 1,272,198,605 48,163 Medan Satria 10,583,925 3,083,769,293 2,377,251 1,191,640,318 33,489 Bekasi Utara 15,437,381 3,093,447,715 3,058,871 1,334,204,484 61,124 Jumlah 165,464,889 31,872,574,774 22,853,220 10,528,929,964 457,834 Sumber: Statistik Kota Bekasi dalam angka BPS, dan kantor PBB Kota Bekasi 2004. 88

Pada tahun 2004, luas Bumi dan Bangunan di Kota Bekasi sebesar 188, 32 juta m 2 sedangkan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Bekasi adalah sebesar Rp 42,4 milyar terdiri dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dari Bumi sebesar Rp 31,9 milyar dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dari bangunan sebesar Rp 10,5 milyar dan jumlah Objek Pajaknya (OP) sebesar Rp 457,8 ribu. Penerimaan NJOP di Kota Bekasi yang terbesar adalah dari Kecamatan Pondokgede dengan NJOP dari lahan (Bumi) sebesar Rp 5,13 milyar dan luas lahan (Bumi) sebesar 18,52 juta M 2, serta NJOP Bangunan sebesar Rp 1,7 milyar dengan luas bangunan sebesar 3,68 juta m 2. NJOP terkecil dari Kecamatan Jatisampurna sebesar Rp 2,6 milyar, dengan luas lahan (Bumi) sebesar 19,27 juta m 2 dan NJOP bangunan sebesar Rp 0,3 milyar, dengan luas bangunan sebesar 636.571 m 2. Tabel 17. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP) dan Kenaikan NJOP di Kota Bekasi Tahun 2003-2004 (000 Rp) Tahun 2003 Tahun 2004 Kenaikan NJOP Bumi (Rp/m 2 ) Kenaikan NJOP Bangunan (Rp/m 2 ) Bumi Bangunan Bumi Bangunan Kecamatan (RP/m 2 ) (Rp/m 2 ) (RP/m 2 ) (Rp/m 2 ) Pondokgede 252.86 469.85 276.75 464.03 23.90-5.83 Jatisampurna 114.09 462.59 136.35 473.06 22.26 10.46 Jatiasih 126.46 431.56 144.26 429.05 17.80-2.51 Bantargebang 63.59 426.97 72.77 418.33 9.18-8.64 Bekasi Timur 272.22 443.86 294.64 434.66 22.42-9.21 Rawalumbu 207.08 485.24 233.99 478.60 26.90-6.64 Bekasi Selatan 292.79 508.25 328.58 515.38 35.79 7.13 Bekasi Barat 241.22 455.08 260.23 448.76 19.00-6.32 Medan Satria 288.61 509.51 291.36 501.27 2.75-8.25 Bekasi Utara 192.11 435.74 200.39 436.18 8.27 0.43 Sumber: Kantor PBB Kota Bekasi, 2004. 89

Harga lahan (Bumi) dan bangunan di Kota Bekasi pada tahun 2003 dan 2004 mengalami perubahan. Harga lahan (Bumi) di beberapa kecamatan di Kota Bekasi mengalami kenaikan, meskipun kenaikannya berbeda-beda setiap kecamatan. Kenaikan harga lahan (Bumi) yang terbesar adalah di Kecamatan Bekasi Selatan sebesar Rp 35,79 ribu per m 2, yaitu pada tahun 2003 sebesar Rp 292,79 ribu per m 2 meningkat menjadi Rp 328,58 ribu per m 2 pada tahun 2004. Sedangkan di Kecamatan Medan Satria hanya mengalami kenaikan sebesar Rp 2,75 ribu per m 2, yang berarti di Kecamatan Medan Satria merupakan kenaikan yang paling rendah dibandingkan dengan di kecamatan lainnya. Pada tahun 2003 harga lahan per m 2 di Kecamatan Medan Satria sebesar Rp 288,61 ribu,- meningkat menjadi Rp 291,36 ribu per m 2 pada tahun 2004. Harga Bangunan dari sepuluh kecamatan di Kota Bekasi pada tahun 2003 dan 2004 sebagian besar mengalami penurunan, meskipun ada tiga kecamatan yang mengalami kenaikan yaitu Kecamatan Jatisampurna dengan kenaikan sebesar Rp10,46 ribu per m 2, Kecamatan Bekasi Selatan kenaikannya sebesar Rp 7,13 ribu per m 2. Adapun penurunan yang paling besar yaitu dari Kecamatan Bekasi Timur dengan penurunannya sebesar Rp 9,21 ribu per m 2 yang pada tahun 2003 harga bangunan per m 2 sebesar Rp 443,86 ribu,- menurun menjadi Rp 434,66,- di tahun 2004. 7.3 Persepsi Masyarakat terhadap Masalah Pertanahan di Perkotaan. Masalah pertanahan di perkotaan dapat muncul akibat perilaku 90

masyarakatnya terhadap lahan. Perilaku yang cenderung menilai fungsi lahan dari sisi ekonomi semata, akan mengakibatkan timbulnya masalah pertanahan, seperti: spekulasi lahan, lahan terlantar, lahan kosong, konversi lahan pertanian, serta penggunaan maupun distribusi kepemilikan yang tidak seimbang. 7.3.1 Persepsi Responden terhadap Batas Maksimum Luas Kepemilkan Lahan untuk Rumah Tabel 20. Batas maximal kepemilikan lahan untuk rumah Level of Estimate Standard Wald Stat. p Effect Column Error odds ratio Interc 1 0.84774 0.307312 7.60974 0.005805 Pendapatan 3-5 Juta 2 2.02640 0.419728 23.30850 0.000001 7.58671 > 5 Juta 3 2.06414 0.418878 24.28297 0.000001 7.87850 < 1 Juta 4-2.78984 0.779393 12.81289 0.000344 0.06143 1.00000 0.000000 Dari hasil analisis di atas menunjukkan bahwa responden dengan pendapatan 3 5 juta dan di atas 5 juta memberikan hasil estimate yang signifikan dan posisitif. Sementara untuk responden dengan pendapatan dibawah satu juta memberikan hasil estimate yang signifikan dan negative. Hal ini menunjukkan bahwa untuk Responden dengan penghasilan di atas 3 juta berpersepsi bahwa batas maksimum luas kepemilikan lahan untuk rumah adalah di atas 500 m 2 atau sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan mereka. Namun bagi bagi Responden dengan penghasilan kecil berpersepsi bahwa batas maksimum kepemilkan luas lahan untuk rumah adalah maksimal 500 m 2 91

7.3.2 Pengetahuan Tentang Tata Ruang Tabel 21. Peluang Responden Mengetahui Tata ruang Level of Column Estimate Standard Wald p odds ratio Effect Effect Error Stat. 1 0.61386 0.313217 3.84106 0.050012 Pendidikan Sarjana 2 1.33027 0.352647 14.22993 0.000162 3.78208 SMP 3-0.20859 0.529722 15.50545 0.000082 0.81173 Pendapatan 3-5 Juta 4 0.11721 0.375218 0.09758 0.754759 1.12435 > 5 Juta 5 0.74553 0.421522 3.12814 0.076952 2.10755 < 1 Juta 6-0.15082 0.636506 5.61465 0.017811 0.86000 Dari hasil analisis statistik yang dilakukan untuk mengetahui pengetahuan responden mengenai Tata Ruang disekitar kediaman mereka, didapat bahwa variabel responden dengan tingkat pendapatan dibawah 1 juta memberikan hasil yang signifikan, dan negatif dan tingkat pendidikan sarjana memberikan hasil yang signifikan dan positif dan untuk tingkat pendidikan SMP memberikan hasil signifikan dan negative. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin kecil income seseorang semakin tidak peduli mereka terhadap perencanaan peruntukan ruang 92

7.3.3 Persepsi Responden terhadap Tarif Pajak Sebagai Pengendalian Permasalahan Lahan Perkotaan Tabel 21. Persepsi Responden terhadap PBB Progresif bagi Spekulan Level of Column Estimate Standard Wald p odds ratio Effect Error Stat. Interc 1-1.2069 0.398602 916.7752 0.000000 Pendidikan Sarjana 2-0.7080 0.336570 442.5281 0.000000 0.49262 SMP 3 1.2061 3.34044 Pekerjaan Pegawai 4-0.5947 0.396384 225.0768 0.000000 0.55174 Informal 5 1.1501 3.15835 Pendapatan 3-5 Juta 6-1.0619 0.519602 4.1764 0.040990 0.34581 > 5 Juta 7-1.5660 0.587317 7.1091 0.007670 0.20889 < 1 Juta 8 1.1542 0.950793 1.4737 0.224758 3.17160 Dari hasil analisis dengan menggunakan model logit didapatkan estimasi dengan hasil yang signifikan dan negatif bagi responden dengan latar belakang pendidikan sarjana 0,71 jenis pekerjaan pegawai dan responden dengan penghasilan diatas 5 juta 1,56 dan diantara 3 5 juta 1,06. Dari hasil analisis diatas menunjukkan bahwa pelaku spekulasi dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, income yang tinggi, serta bekerja sebagai pegawai dalam hal ini baik pegawai swasta maupun pegawai negeri, justru merupakan pihak yang paling tidak setuju dengan pengenaan tarif PBB progresif bagi pelaku spekulasi. Ketidak setujuan mereka apabila kita hubungakan dengan latar belakang pelaku spekulasi, 93

ternyata adalah mereka yang mempunyai income dan pendidikan tinggi serta mempunyai pekerjaan sebagai pegawai. 7.3.4 Persepsi Responden terhadap Tarif Pajak Progresif bagi Spekulan Tabel 22. Persepsi Responden terhadap PBB Lahan Pertanian Level of Colu mn Estimate I. Standard Wald Stat. p odds Effect Effect Error ratio Intercept 1-0.55683 0.439087 33.90820 0.000000 Pendidikan Sarjana 2-0.59948 0.414380 2.09293 0.147982 0.54910 SMP 3-1.80680 0.609471 8.78848 0.003031 0.16418 Pendapatan 3-5 Juta 4-0.10169 0.426730 0.05679 0.811641 0.90331 > 5 Juta 5 1.35828 0.445755 5.63644 0.017591 2.88140 < 1 Juta 6-0.38885 0.625198 0.38683 0.533970 0.67784 Lama tinggal 11-20 th 7-1.08837 0.431818 6.35258 0.011721 0.33677 < 10 Th 8-1.21781 0.430604 7.99837 0.004682 0.29588 Dari hasil di atas menunjukkan responden dengan latar belakang pendidikan SMP, lama tinggal sampai 20 tahun di Kota Bekasi masing-masing memberikan hasil estimasi yang signifikan dan negatif, sementara untuk responden dengan tingkat penghasilan di atas 5 juta memberikan hasil estimate yang signifikan dan positif. Hal ini berarti bahwa untuk tingkat pendidikan SMP dan lama tinggal di Kota Bekasi sampai 20 tahun, berpeluang untuk setuju terhadap pengurangan tarif pajak PBB untuk lahan pertanian. Sementara responden dengan tingkat pendapatan di atas 5 juta berpeluang untuk berpersepsi bahwa tarif PBB adalah sama dengan yang diberlakukan sekarang. 94

7.3.5 Persepsi Responden terhadap Sanksi bagi Pelaku Penelantar Lahan Dari hasil di atas menunjukkan responden dengan latar belakang tingkat pendapatan antara Rp 3-5 juta memberikan hasil yang signifikan dan negatif sebesar 1,53. Hasil estimasi yang signifikan dan positif terdapat pada responden dengan tingkat pendapatan dibawah Rp 1 juta (0,73) dan lama tinggal di Kota Bekasi 10-20 tahun 0,87. Hal ini berarti bahwa untuk tingkat pendapatan dibawah Rp 1 juta dan lama tinggal di Kota Bekasi antara 10 sampai 20 tahun, berpeluang untuk berpersepsi sebaiknya sanksi yang diberlakukan untuk lahan terlantar adalah dikenakan pajak (PBB) yang tinggi. Sedangkan responden dengan tingkat pendapatan di atas 5 juta berpeluang untuk berpersepsi bahwa bagi pelaku yang menelantarkan lahannya cukup diberi peringatan. Tabel 23. Persepsi Responden Terhadap Tindakan bagi Pemilik yang Menelantarkan Lahan Level of Column Estimate Standard Wald Stat. p odds ratio Effect Error Interc 1-0.07682 0.271582 40.89878 0.000000 Pendapatan 3-5 Juta 2-1.53509 0.581783 6.96215 0.008325 0.2154371 > 5 Juta 3-0.33653 0.418127 0.64777 0.420912 0.7142478 < 1 Juta 4 0.73330 0.364977 4.03677 0.044519 2.0819408 lama tinggal 10-20 th 5 0.86841 0.280277 9.60004 0.001946 2.3831127 < 10 Th 6-0.49358 0.283246 3.03665 0.081404 0.6104348 Scale 1.00000 0.000000 95