BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENINGKATAN KADAR PROTEIN KASAR AMPAS KULIT NANAS MELALUI FERMENTASI MEDIA PADAT

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al.,

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Pahan (2008) nama latin pelepah sawit yaitu Elaeis guineensis,

II. TELAAH PUSTAKA. bio.unsoed.ac.id

I. PENDAHULUAN. atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pakan sangat penting bagi kesuksesan peternakan unggas karena dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge kacang hijau (Christiana, 2012). Tauge

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan peningkatan permintaan daging kambing, peternak harus

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah padi dan singkong. Indonesia dengan luas area panen ha

I. PENDAHULUAN. luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah pakan

I. PENDAHULUAN.. Kulit pisangmerupakan limbah dari industri pengolahan pisang yang belum

I. PENDAHULUAN. pemecahan masalah biaya tinggi pada industri peternakan. Kelayakan limbah pertanian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tahu merupakan salah satu makanan yang digemari dan mudah dijumpai

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

1. PENDAHULUAN. kelapa sawit terbesar di dunia. Luas perkebunan sawit di Indonesia dari tahun ke

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. zat kimia lain seperti etanol, aseton, dan asam-asam organik sehingga. memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi (Gunam et al., 2004).

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

Pemanfaatan Mikroba dalam Pengawetan Makanan

5/7/2015. Selulosa. Hemiselulosa (%) Lignin (%) (%) Serat kapas Btg kayu Bagase Jerami , ,8

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Salah satu contoh sektor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ikan merupakan salah satu hewan yang banyak dibudidayakan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu,

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

JAMUR (fungi) Oleh : Firman Jaya,S.Pt.,MP 4/3/2016 1

I. PENDAHULUAN. Salah satu bahan pakan alternatif yang potensial dimanfaatkan sebagai

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan

Media Kultur. Pendahuluan

IV PEMBAHASAN. 4.1 Kandungan Protein Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

I. PENDAHULUAN. peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk buatan adalah bahan tertentu buatan manusia baik dari bahan alami

BAB I PENDAHULUAN. pertanian seperti wortel, kentang, dan kubis yang merupakan sayur sisa panen

I. PENDAHULUAN. ruminansia adalah ketersedian pakan yang kontiniu dan berkualitas. Saat ini

I. PENDAHULUAN. Industri peternakan di Indonesia khususnya unggas menghadapi tantangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. penampilan barang dagangan berbentuk sayur mayur yang akan dipasarkan

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan sudah tidak layak jual atau busuk (Sudradjat, 2006).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil. rumen domba. efektivitas. cairan Aktifitas enzim (UI/ml/menit) , Protease. Enzim

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi produksi

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

BAB I PENDAHULUAN. Burung puyuh mempunyai potensi besar karena memiliki sifat-sifat dan

I. PENDAHULUAN. Dalam menjalankan usaha peternakan pakan selalu menjadi permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan

KUALITAS BIOETANOL LIMBAH PADAT BASAH TAPIOKA DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA. Skripsi

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bioindustri Minggu 5 Oleh : Sri Kumalaningsih

TINJAUAN PUSTAKA A. Aspergillus niger Aspergillus niger banyak ditemukan sebagai cendawan tanah dan pada umumnya bersifat saprofit.

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Jumlah Jamur yang Terdapat pada Dendeng Daging Sapi Giling dengan Perlakuan dan Tanpa Perlakuan

Khamir. Karakteristik Khamir

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput

I. PENDAHULUAN. Sampah merupakan salah satu permasalahan utama di Indonesia yang sampai saat ini

I PENDAHULUAN. (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu dan

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat. Saat ini, perunggasan merupakan subsektor peternakan

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

15... Stand ar Amilase Nilai Aktifitas Enzim Amilase Anali sis Statistik Aktifitas Enzim Amilase... 50

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

PENGGUNAAN PRETREATMENT BASA PADA DEGRADASI ENZIMATIK AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI ETANOL

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Nanas. Masyarakat Indonesia menkonsumsi nanas hanya 53%, dan sisanya masih

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pada saat panen, lebar tudung ialah rerata lebar tudung (pileus), yaitu panjang

HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LIMBAH PENGALENGAN NANAS Pengalengan adalah metode pengawetan nanas yang paling umum. Secara sederhana prosesnya adalah seperti berikut. Buah nanas disortasi menurut ukuran, bentuk dan kesempurnaan buahnya. Mahkota, kulit dan hati dipisahkan dan bentuk akhirnya berupa selindir yang berlubang di bagian tengah, yang kemudian dipotong dalam berbagai bentuk. Daging nanas tersebut kemudian diawetkan dilarutkan dalam larutan gula (Collins 1960). Pada berbagai industri pengalengan nanas, hati buah diolah menjadi sari buah dan mahkota buah digunakan untuk pembibitan (Indrawanto 1988), Limbah pengalengan nanas yang dimaksud adalah kulit nanas yang telah diperas untuk diambil sari buahnya atau disebut juga ampas kulit nanas. Tabel 1 berikut menunjukkan komposisi kimia ampas kulit nanas menurut beberapa sumber. Tabel 1. Komposisi kimia kulit nanas (dalam % w/w bobot kering) Komponen (a) (b) Kadar abu 3.8 4.2 Kadar protein kasar 4.5 3.3 Kadar serat kasar 15.8 14.2 Kadar lemak kasar 1.6 1.7 Kadar karbohidrat 63.9 74.2 (a) Sidharta (1989) (b) Hartadi et al. (1989) Menurut Odonovan (1978), limbah pengolahan nanas diawetkan dengan cara pengeringan maupun fermentasi (ensilase). Pengeringan dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat pengering. Fermentasi dilakukan dengan terlebih dahulu menambahkan bahan yang mempunyai kandungan bahan kering yang lebih tinggi. Aplikasi penggunaan ampas kulit nanas cukup luas, khususnya sebagai bahan pakan ruminansia. Menurut Ginting et al. (2005) dalam hasil penelitiannya yang berjudul Substitusi hijauan dengan limbah nanas dalam pakan komplit pada kambing, ampas kulit nanas dapat digunakan sebagai bahan pengganti pakan ternak hijauan dengan cara pengolahan limbah nanas menjadi silase limbah nanas. Namun pengolahan ampas kulit nanas menjadi silase tidak memberikan dampak pada peningkatan kadar protein yang cukup baik, oleh karena itu teknik pengolahan silase kurang sesuai dalam upaya meningkatkan kadar protein bahan.

2.2. PROTEIN SEL TUNGGAL Secara umum, protein sel tungggal (PST) dapat didefinisikan sebagai sumber protein yang berasal dari mikroba seperti kapang, bakteri, khamir dan alga. PST merupakan salah satu harapan manusia dalam usaha pemenuhan kebutuhan protein utama di masa depan. Penggunaan PST untuk pemenuhan kebutuhan protein manusia masih sulit karena beberapa hal, seperti aroma, rasa, sampai kandungan RNA pada PST yang terlalu tinggi. Kenyataannya, produksi PST saat ini lebih berkembang dalam usaha pencapaian kebutuhan nutrisi pada ternak (Riyanto dan Andi 2007). Menurut Batt dan Sinskey (1987), beberapa keuntungan penggunaan PST sebagai sumber protein konvensional adalah sebagai berikut; - Laju pertumbuhan sel/produksi protein lebih tinggi dibandingkan dengan tumbuhan dan hewan - Kandungan protein sel yang tinggi (40-80 % per sel) - Mampu menggunakan substrat beragam - Tidak membutuhkan tempat yang besar serta tidak tergantung kondisi iklim. Mikroba pada umumnya membutuhkan waktu yang singkat untuk tumbuh berkembang. Hal tersebut yang menjadikan protein sel lebih cepat diproduksi dibandingankan protein dari sumber hewan dan tanaman. Menurut Laskin (1977) waktu penggandaan sel beberapa organisme ditunjukkan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Waktu penggandaan sel beberapa organisme Organisme Waktu Penggandaan sel Bakteri dan khamir 20-120 menit Kapang dan algae 2 6 jam Rumput dan tanaman lain 1 2 minggu Ayam 2 4 minggu Babi 4 6 minggu Sapi 1 2 bulan Sumber : Laskin (1977) Ada dua istilah yang digunakan untuk produk mikrobial, yaitu PST (Protein Sel Tunggal) dan Microbial Biomass Product (MBP) atau Produk Biomassa Mikrobial (PBM). Bila mikroba yang digunakan tetap berada dan bercampur dengan masa substratnya maka seluruhnya dinamakan PBM, sedangkan bila mikroba dipisahkan dari substratnya maka hasil panennya merupakan PST (Hariyum 1986). Protein kasar adalah persentase unsur N yang terdapat pada suatu bahan. Komposisi kimia sel kering mikroba pada umumnya terdiri dari 50% unsur C, 20% unsur O, 14% unsur N dan unsur-unsur lainnya meliputi H, P, S, dan lain-lain (Fardiaz 1989). Semakin banyak sel yang tumbuh berkembang maka akan semakin tinggi kandungan proteinnya. Oleh karena itu salah satu indikator keberhasilan dalam usaha memproduksi protein sel tunggal adalah benyaknya sel yang tumbuh dan berkembang. Setiap jenis mikroba memiliki kandungan unsur N yang berbeda-beda, serta memiliki karakteristik kebutuhan proses, substrat dan ukuran sel yang berbeda-beda. Menurut Riyanto dan Andi (2007), kandungan protein dari beberapa jenis mikroba ditunjukkan oleh Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Kandungan protein mikroba Mikroorganisme Protein (% BK) Alga 47 63 Bakteri 50 83 Khamir 45-55 Kapang 31 55 Sumber : Riyanto dan Andi (2007) 2.3. FERMENTASI MEDIUM PADAT Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai gizi limbah ampas kulit nanas adalah pengolahan pakan secara biologis dengan fermentasi. Fermentasi adalah segala macam proses metabolisme dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu (Winarno et al. 1980). Fermentasi pada dasarnya merupakan suatu proses enzimatik dimana enzim yang bekerja mungkin sudah dalam keadaan ter-isolasi yaitu dipisahkan dari selnya atau masih terikat di dalam sel. Reaksi enzim mungkin terjadi sepenuhnya di dalam sel karena enzim yang bekerja berdada di dalam sel (intraselular) dan dapat pula terjadi di luar sel (ekstraselular). Enzim pemecah makromolekul pada umumnya bersifat ekstraselular, yaitu diproduksi di dalam sel kemudian dikeluarkan dari sel ke substrat di sekelilingnya (Fardiaz 1989). Makromolekul yang menjadi substrat utama kebutuhan mikroba fermentasi perlu dipecah menjadi bentuk senyawa yang lebih sederhana, disinilah peran enzim-enzim ekstraselular. Contohnya, makromolekul pati dipecah oleh amilase sehingga berubah menjadi glukosa yang dapat masuk ke dalam sel untuk metabolisme sel (Fardiaz 1989). Menurut mediumnya proses fermentasi dibedakan menjadi dua, yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat adalah proses fermentasi yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroba. Proses fermentasi medium padat lebih dulu dikenal dari pada fermentasi medium cair, dan telah banyak diterapkan dalam berbagai proses fermentasi. Beberapa produk yang dihasilkan dari fermentasi medium padat antara lain adalah glukosa, etanol, dan asam sitrat serta produk tradisional seperti tempe (Senez 1979). Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menyiapkan proses fermentasi media padat, diantaranya sifat substrat (terutama derajat kristalisasi dan polimerisasi), dan sifat mikroorganisme (masing-masing mikroorganisme mempunyai kemampuan berbeda dalam memecah komponen substrat untuk keperluan metabolisme).

Perbedaan lebih spesifik antara fermentasi medium padat dan medium cair dijelaskan oleh Raimbault (1998) seperti pada tabel berikut. Tabel 4. Perbedaan fermentasi media cair dan fermentasi media padat Faktor Fermentasi media cair Fermentasi media padat Substrat Media cair dengan nutrisi larut air Media padat dengan nutrisi larut dan tidak larut air Higienitas kondisi Harus steril dan aseptis Tidak harus steril Konsumsi air Lebih tinggi Lebih rendah Panas yang dihasilkan Lebih merata Kurang merata Penggunaan buatan aerasi Mutlak Tidak mutlak Pengendalian ph Lebih mudah Lebih sukar Pengocokan Diperlukan Tidak diperlukan Konsentrasi produk Lebih rendah Lebih tinggi Homogenitas kultur Lebih baik Kurang baik Sumber : Raimbault (1998) Metode fermentasi media padat menjadi sangat tepat pada upaya produksi produk biomasa mikrobial (PBM) dari ampas kulit nanas. Alasan utama adalah karena bahan utama yang bersifat padat atau tidak larut dalam air. Teknik fermentasi ini telah digunakan dalam produksi dan pengawetan beragam bahan makanan, produksi enzim, asam-asam organik, antibiotik, bahan bakar nabati, dan produk mikroba lainnya. Dewasa ini, penggunaan teknik fermentasi media padat telah digunakan untuk produksi enzim, metabolit primer dan sekunder mikroba, pigmen warna nabati, protein sel tunggal serta pengolahan limbah nabati untuk produksi makanan ternak. Menurut Senez et al (1978), prosedur fermentasi medium padat yang telah dimodifikasi ternyata mampu meningkatkan kadar protein dari 2,5% menjadi 18%. Pada substrat berpati tinggi (pati singkong) yang digiling kasar (100 gram) ditambahkan dengan ammonium sulfat (9 gram), urea (2,7 gram), dan kalium orto fosfat (5 gram), serta air (100-120), kemudian diinokulasi dengan air yang berisi Aspergillus niger dan diaduk dalam mixer adonan hingga terbentuk granula-granula dengan diameter 1 milimeter. Substrat yang telah diinokulasi kemudian diinkubasi pada suhu 30 o C dengan ph awal 3,5 selama 30 jam. Sumber nitrogen dan fosfat dibutuhkan oleh kapang dalam jumlah yang besar, atau disebut komponen makromolekul. Penelitian yang dilakukan oleh Senez et al., menggunakan sumber nitrogen berupa urea, dan ammonium sulfat, kemudian sumber fosfat dari kalium orto fosfat. Kapang membutuhkan unsur N untuk menyusun asam nukleat dan koenzim dalam selnya, dan unsur P untuk menyusun asam nukleat, fosfolipid dan koenzim (Fardiaz 1989). Penambahan nutrien perlu dilakukan pada substrat utama, agar sel kapang dapat berkembang lebih cepat. Peran enzim dalam proses fermentasi sangat diperlukan untuk mendegradasi komponenkomponen karbohidrat dan lemak, sehingga dapat digunakan oleh mikroba sebagai sumber nutrisi setelah sisa gula dalam bahan habis. Proses konversi bahan menjadi biomasa sel berprotein pada PST dimulai dari proses degrdasi bahan oleh enzim-enzim yang disekresikan oleh mikroba terpilih.

Misalkan selulase berperan sebagai enzim pendegradasi selulosa (Raimbault 1998), lipase berperan untuk degradasi lemak, amilase untuk bahan berpati, dan peroksidase baik LiP maupun MnP berperan untuk mendegradasi ikatan lignin yang membungkus selulosa (Suparjo 2010). Selulase adalah kelompok dari tiga enzim utama, yaitu; endo-β-1, 4-glucanase (disebut juga endocellulase /carboxymethyl cellulase/ Cx cellulase), exo-β-1, 4-glucanase (disebut juga cellobiohydrolase/ avicelase/ C1 cellulase) dan β-1, 4-glucosidase (cellobiase) (Knowles et al. 1987). Gambar berikut adalah mekanisme kerja selulase pada degradasi komponen selulosa menjadi glukosa (Anil 2008), Gambar 1. Mekanisme kerja selulase (Anil 2008) 2.4. PEMILIHAN MIKROORGANISME Mikroba yang dapat tumbuh dalam proses fermentasi media padat ialah khamir, kapang dan bakteri. Meski demikian, jamur berfilamen atau kapang adalah mikroba yang paling baik ditumbuhkan dengan cara ini mengingat substratnya yang padat serta kadar air dan kadar nutrisi larut air yang cenderung rendah untuk kultivasi bakteri secara optimum (Raimbault 1998). Kapang merupakan organisme eukariotik heterotrof yang dapat bereproduksi secara seksual dengan cara plasmogami dan karyogami maupun secara aseksual dengan cara menghasilkan spora. Karena sifat hidupnya yang heterotrof, kapang banyak terdapat dalam bentuk simbion dengan organisme lain secara baik secara mutualisme maupun parasitisme. Kapang yang tidak bersimbiosis biasanya tumbuh pada bangkai organisme. Sebagian besar jamur adalah organisme multisel yang memiliki hifa, yaitu serabut berdinding sel yang melingkupi sitoplasma jamur. Sejumlah hifa akan membentuk jaring-jaring yang disebut miselium. Pola pertumbuhan hifa kapang memberikan kemampuan untuk menembus ke dalam media padat. Dinding sel yang melekat dan percabangan miselium membentuk struktur yang kokoh (Campbell et al. 1999).

Pada teknik fermentasi media padat, enzim-enzim hidrolitik yang disekresikan pada ujung hifa tidak mengalami pengenceran seperti yang terjadi pada fermentasi media cair sehingga frekuensi interaksi enzim-enzim dengan substratnya dapat ditingkatkan dan penyebaran enzim dapat menjangkau hingga ke dalam substrat untuk memanfaatkan lebih banyak nutrisi yang terkandung di dalamnya (Raimbault 1998). Kapang yang biasa digunakan adalah Trichoderma sp, Penicillium sp, Fusarium sp; sedangkan algae yang biasa digunakan adalah Chlorella sorokimianan, Scenedesmus, Sinechoccus, Spirullina (Hariyum 1986). Penggunaan kapang sebagai inokulum fermentasi sudah banyak dilakukan karena pertumbuhannya relatif mudah dan cepat, kadar asam nukleat rendah (Scherllart, 1975). Pertumbuhannya pun mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas yang mulanya bewarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang, dan kapang ini terdiri dari suatu thallus bercabang yang disebut hifa, dimana miselia merupakan masa hifa (Fardiaz 1989). Ampas kulit nanas merupakan bahan berserat tinggi, yang tersusun oleh beberapa komponen diantaranya; selulosa, lignin dan hemiselulosa. Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam, melainkan berikatan dengan bahan lain, yaitu lignin dan hemiselulosa membentuk suatu lignoselulosa (Murni et al. 2008). Selain serat, komponen lain yang berpotensi sebagai sumber nutrisi bagi sel adalah kandungan gula, lemak dan pati yang ada di dalamnya. Pemilihan jenis mikroorganisme untuk proses fermentasi ampas kulit nanas lebih diutamakan pada jenis kapang pendegradasi serat, yaitu kapang dengan sifat selulitik. 2.4.1. Aspergillus niger A. niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili Eurotiaceae, ordo Eutiales, sub-klas Plectomycetetidae, kelas Ascomycetes, sub-divisi Ascomycotina dan divisi Amastigmycota (Hardjo et al. 1989). A. niger mempunyai kepala pembawa konidia yang besar, bulat dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya berseptat, spora yang bersifat aseksual dan tumbuh memanjang di atas stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup. Gambar 2 menunjukkan penampang kepala konidia A. niger. Gambar 2. Penampang kepala konidia A. niger A. niger termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35 C - 37 C dan derajat keasaman untuk pertumbuhan mikroba ini adalah 2-8,8, tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau ph yang rendah (Fardiaz 1989).

A. niger dikenal sebagai kapang penghasil asam sitrat, aniline, pektinase, selulase, β-1,4-glikan hidrolase, protease, α-amilase, glukoamilase, maltase, β-galaktosidase, α-glukosidase, asam glukonat, glukosa oksidase, asam oksalat, fosfodiestrase, ribonuklease, pupulan 4-glukonahidrolase, β-xilosidase, xilanase, dan lipase (Selvakumar et al. 1996) Pada penelitian sebelumnya kapang A. niger pada media padat yaitu campuran limbah lumpur sawit dan tepung kepala udang, berhasil meningkatkan kadar protein kasar dari 12.74% menjadi 37.72% dengan inkubasi selama 6 hari (Mirwandhono et al. 2004) 2.4.2. Trichoderma viride Salah satu mikroorganisme yang mampu memanfaatkan selulosa untuk pertumbuhannya adalah kapang Trichoderma viride. Kapang ini menghasilkan enzim selulitik yang sangat efisien, terutama enzim yang mampu mengkatalisis reaksi hidrolisis kristal selulosa. Trichoderma viride berhasil digunakan untuk memproduksi selulase menggunakan substrat dari kulit ari beras serta meningkatkan kadar protein dan daya cerna jerami padi (Mojsov 2010). Trichoderma viride tumbuh baik pada substrat selulosa (serat), begitu juga dengan ampas kulit nanas dengan kadar seratnya yang tinggi. Morfologi Trichoderma viride yang sudah tua berwarna hijau terang karena terbentuknya bola-bola konidia yang lekat satu sama lain. Gambar 3 merupakan tampilan mikroskopik pertumbuhan miselia dan spora kapang T. virid. Gambar 3. Miselia dan spora Trichoderma viride (http://botit.botany.wisc.edu) T. viride banyak terdapat di tanah dan aktif dalam proses amonifikasi dan dekomposisi selulosa. Kapang Trichoderma viride dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas jerami padi melalui metode fermentasi, meningkatkan konsentrasi NH 3 dan kecernaan bahan kering dan bahan organik (Widiyandari 2002). Kisaran suhu optimum pertumbuhan Trichoderma viride berkisar antara 25-36 o C. Pada suhu 26 o C dan 32 o C kapang masih tumbuh dengan baik. Kisaran ph pertumbuhan kapang adalah selang ph 1.5 hingga 9 dengan ph optimum 5 dan 5.5 (Domsch dan Gams 1972).

2.4.3. Rhizopus Oligosporus R. oligosporus merupakan kapang dari genus Rhizopus, famili mucoraceae, ordo mucorales, subdivisi zygomycotina, divisi eumycota (Fardiaz 1989). Kapang ini banyak digunakan dalam pembuatan tempe, dan banyak dapat ditemukan di alam, karena hidupnya bersifat saprofit (Shurtleff dan Ayogi 1979). Gambar 4 menunjukkan tampilan mikroskopik miselium dan spora R. oligosporus. Gambar 4. Tampilan mikroskopik miselium dan spora R. oligosporus (http://www.agro.cmu.ac.th) R. oligosporus merupakan kapang yang mampu penghasil enzim amilase, lipase, dan glukoamilase (Raimbault 1998). R. oligosporus termasuk ke dalam golongan mikroorganisme mesophilik, dengan batas suhu antara 25 37 o C, tumbuh baik pada suhu 30 o C (Riyanto dan Andi 2007). Pada penelitian sebelumnya, R. oligosporus berhasil meningkatkan kadar protein kasar substrat yang berupa campuran limbah kelapa sawit dan hidrolisat tepung kepala udang. Peningkatan tersebut cukup baik, dari 12.74% hingga 27.21% dengan waktu inkubasi enam hari (Mirwandhono et al. 2004). Hasil penelitian Riyanto dan Andi (2007) pada upaya peningkatan kadar protein ampas tapioka, kondisi optimum proses fermentasi terjadi pada kadar air subtrat 65% dengan ph 6. Penelitian tersebut berhasil meningkatkan kadar protein ampas tapioka dari 1.06% menjadi 19.63%. 2.4.4. Phanerochaete chrysosporium P. chrysosporium termasuk dalam filum Basidiomycota, divisi basidiomycetes ordo poliprales keluarga Phanerochaetacea genus Phanerochaete (Burdsall dan Eslyn 1974). Kapang ini tumbuh dengan membentuk sekumpulan miselia dan berkembang biak secara aseksual dengan pembentukkan conidiospore (Dhawale dan Kessler, 1993) dan secara basidiospere (Gelpke 2002). P. chrysosporium juga sering disebut sebagai kapang pelapuk putih (perez et al. 2002). Gambar 5 menunjukan penampang melintang miselium P. chrysosporium.

Gambar 5. Miselium P. chrysosporium (http://genome.jgi-psf.org) Kapang ini mempunyai kemampuan mendegradasi lignin secara efektif melalui sekresi peroksidase yang mengkatalis oksidasi awal (Hattaka 1994). P. chrysosporium mempunyai kondisi optimum pertumbuhan pada suhu 40 o C, ph antara 4-7, dan kondisi aerob (Fadilah et al 2008). Keadaan ligninolitik adalah keadaan di mana jamur mengeluarkan enzim yang dapat mendegradasi lignin. Pada jamur pelapuk putih, enzim yang dikeluarkan adalah enzim peroksidase. P. chrysosporium mengeluarkan enzim hemeperoksidase, yaitu lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Fadilah et al. 2008). 2.5. KULTUR CAMPURAN SEBAGAI STARTER FERMENTASI Pemilihan jenis kapang sebagai starter fermentasi didasarkan pada karakteristik substrat yang digunakan. Jenis kapang amilolitik (penghasil amilase) digunakan untuk jenis substrat berpati (amilosa), kapang selulitik (penghasil selulase) untuk jenis substrat berselulosa, kapang lignolitik (penghasil enzim Ligninase) untuk jenis substrat bahan lignoselulosa, dan jenis-jenis kapang lainnya. Penggolongan jenis-jenis kapang tersebut mencirikan kemampuan kapang mensintesis spesifik enzim. Beberapa jenis kapang dapat mensintasis enzim yang kompleks, namun sebagian kapang spesifik pada enzim tertentu. Aspergillus niger mensekresi enzim yang kompleks, meliputi selulase, amilase, xilanase, lipase dan lain-lain (Selvakumar et al. 1996), Rhizopus oligosporus mampu mensekresi amilase dan lipase (Raimbault 1998). Trichoderma viride menjadi kapang spesifik dengan sekresi enzim selulase. Penggunaan kultur campuran sebagai starter fermentasi memungkinkan terjadinya aktivitas degradasi bahan yang lebih kompleks dan simultan (Holzapfel 2000). Pencampuran beberapa jenis kapang sebagai starter untuk satu jenis bahan diharapkan dapat mendegradasi bahan lebih efktif. Hal tersebut didukung oleh komposisi kimia dari subtrat fermentasi media padat yang tidak seragam. Komposisi kimia ampas kulit nanas contohnya, memiliki komposisi berupa bahan serat tinggi (lignoselulosa), lemak rendah (Hartadi et al. 1989), dan berpati rendah (0.72 mg/g BK kulit nanas) (Cordenunsi et al. 2010). Penggunaan kultur tunggal dalam fermentasi akan mengakibatkan spesifikasi degradasi komposisi bahan yang spesifik pada jenis komposisi bahan tertentu, sehingga kurang optimal dalam pemanfaatan bahan. Serta mengakibatkan pertambahan sel kapang menjadi kurang optimal. Penggunaan kultur campuran dalam fermentasi sering dijumpai pada starter proses fermentasi makanan tradisional (Holzapfel 2000), misalkan pada proses fermentasi kapang dalam pembuatan kecap berperan kapang Aspergillus oryzae, A. flavus, A. niger dan Rhizophus oligosporus, produk tempe dengan kultur campuran jenis Rhizopus sp dan lain-lain (Santoso 2005).