BAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut:

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *)

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut:

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

BAB III PENUTUP 3.1. KESIMPULAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Penyelesaian Sengketa Dagang Melalui Arbitrase

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat ditarik. kesimpulan:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

PILIHAN HUKUM DALAM KONTRAK BISNIS I.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. tradisi hukum yang sangat besar, yaitu tradisi hukum eropa-kontinental (civil law)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

BAB I PENDAHULUAN. memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan. 1 Krisis ekonomi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. membuat keseimbangan dari kepentingan-kepentingan tersebut dalam sebuah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB IV SENGKETA VERIFIKASI PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA MENURUT UU NO.15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILU

BAB III PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ATAU ARBITRASE ASING DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PENUTUP. 1A Padang, berjalan dengan baik, tertib dan lancar. Tidak di temukannya. tersebut, hanya saja hambatan-hambatannya dalam kekurangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

Melawan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 31/PUU-XIV/2016 Pengelolaan Pendidikan Tingkat Menengah Oleh Pemerintah Daerah Provinsi

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. ke dalam free market dan free competition. Menyadari bahwa hubungan bisnis

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 81/PUU-XIV/2016 Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING BERKAITAN DENGAN ASAS KETERTIBAN UMUM DI INDONESIA MENURUT KONVENSI NEW YORK 1958

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

MAKALAH PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN DAN ARBITRASE INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

(STUDI KASUS MA No.01 K/Pdt.Sus/2010)

1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

SALINAN. 50 Huruf a. Ketentuan Pasal. dalam Persaingan Usaha. Pedoman Pasal Tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tahap pembangunan diberbagai bidang, sehingga mempengaruhi sebagian bidang

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 99/PUU-XIV/2016 Korelasi Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XVI/2018 Kewajiban Pencatatan PKWT ke Intansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

Transkripsi:

BAB IV PENUTUP Setelah melakukan penelitian dan analisis mengenai bagaimanakah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di indonesia, maka dalam bab IV yang merupakan bab penutup ini, Penulis akan memberikan kesimpulan dan saran sebagai berikut : A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan yang telah disebutkan Penulis serta permasalahan yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut : 1. Adanya ketidak konsistenan pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase asing di Indonesia. Karena kurang komprehensifnya Indonesia terhadap pelaksanaan arbitrase asing itu sendiri, sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pihak yang mempunyai wewenang dalam pemberian Penetapan exequatur tidak melaksanakan isi atau substansif dari UU No.30 Tahun 1999 dan peraturan perundang-undangan lainya. Terlebih Pengadilan Negeri merupakan pihak yang tidak mempunyai kewenangan dalam mengintervensi isi dari putusan arbitrase yang telah bersifat final dan binding. Hal tersebut dapat diketahui bahwa Pengadilan Negeri mempertimbangkan dalil-dalil yang diajukan pihak lain kepadanya, padahal putusan yang di pertimbangkan tersebut telah bersifat final dan binding, dan juga telah disetujui para pihak dalam perjanjian, hal tersebut dapat dilihat bentuk intervensi dari sebuah putusan final and binding 101

SIAC. Tindakan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melanggar asas due process of law (proses yang wajar), karena pengadilan Jakarta Pusat mempertimbangkan permohonan exequatur sebagai suatu perkara, dan hal itu merupakan kekeliruan dan seharusnya tidak dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melampui kewenangannya dengan melakukan penetapan pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia, dan Pengadilan Negeri melihat bahwa permohonan exequatur arbitrase asing sebagai suatu perkara yang harus dipertimbangkan pelaksanaannya, padahal jelas dikatakan dalam Pasal 62 Ayat (4) UU No.30 Tahun 1999 menyatakan Ketua Pengadilan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Ketidak tegasan UU No.30 Tahun 1999 tersebut merupakan hal yang yang dapat merugikan salah satu para pihak yang terikat perjanjian. 2. Ketidak konsistenannya hakim terhadap UU No.30 Tahun 1999 serta Konvensi-konvensi yang telah diratifikasi sehingga mengakibatkan terjadi salah penerapan terhadap pelaksanaan putusan abitrase asing yang dilakukan oleh para Hakim. Hal tersebut dapat dilihat dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang juga mengadili kasus yang sama, sehingga hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap UU No.30 Tahun 1999, dan melanggar akan kewenangan dari lembaga arbitrase yang telah disepakati para pihak. Tidak hanya itu saja Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan pembatalan terhadap putusan arbitrae asing yang akan 102

dilaksanakannya di Indonesia, hal tersebut beralaskan ketertiban umum (public policy). Sedangkan pengaturan dan ketertiban umum (public policy) itu tidak diatur secara jelas pengaturan dan definisinya di Indonesia. Definisi ketertiban umum tidak disebutkan secara tegas, sehingga seperti yang dikatakan Sudargo Gaotama bahwa ketertiban umum atau open bare orde seharusnya tidak dapat diinterpretasikan secara luas, sehingga sesuatu yang berlainan saja dengan apa yang dianggap melanggar konsep hukum di Indonesia dianggap melanggar ketertiban umum (pubic Policy). Definisi dan pengaturan terhadap pelanggaran ketertiban umum belum diatur secara jelas dan dibatasi akan pemaknaannya di Indonesia. Dengan demikian luasnya pengertian ketertiban umum mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum khususnya bagi para pelaku usaha, maka akan tidak akan menimbulkan kemanfaatan hukum dari arbitrase tersebut sehingga para investor-investor asing merasa ragu untuk menanamkan modal sehingga berdampak negatif pada perkembagan perkembangan perekonomian di Indonesia 3. Adanya UU No.30 Tahun 1999 tentang arbitrase serta Perma No.1 Tahun 1990 sebagai peraturan pelaksana, dan adanya peratifikasian konvensi New York 1958 dengan UU No.34 Tahun 1981, serta diratifikasinya konvensi wangshington (wangshington convention) dengan UU No.5 Tahun 1968 tidak tidak menjamin akan kepastian Pengakuan, pelaksanaan dan perlindungan hukum dalam hukum penyelesaian sengketa, hal-hal yang telah disebutkan kurang memberikan kepastian tentang pelaksanaan 103

dan pengakuan terhadap arbitrase asing di Indonesia. Hal itu dikarenakan adanya factor-faktor penghambat yang dimana aparat hukum kurang mendukung akan pelaksanaan arbitrase asing di Indonesia. Hakim kurang mengerti akan akan pemaknaan dari pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang bersifat final dan binding. Hakim dalam hal pelaksanaan arbitrase tersebut seolah-olah tidak melihat secara keseluruhan dalam penerapan akan pengaturan tentang pelaksanaan dan pengakuan akan arbitrase asing. 4. Untuk hal pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase asing di Indonesia harus berdasarkan dengan Pasal 3 Perma No.1 Tahun 1990 yang dimana pasal tersebut sejalan dengan Pasal 66 UU No.30 Tahun 1999 Tentang arbitrase. Dalam Pasal 3 Perma No.1 Tahun 1990 tersebut terdapat unsurunsur untuk diakuinya dan dilaksanakannya putusan arbitrase asing, yang dimana antara lain adalah terikatnya perjanjian (konvensi) Indonesia dengan Negara lain baik secara bilateral dan multilateral atau yang lazim disebut sebagai asas resiprositas, putusan arbitrase tersebut harus dalam bentuk sengketa dagang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public policy), dan mendapat perolehan exequatur dalam dari Mahkamah Agung di Indonesia. Sehingga salah satu saja tidak terpenuhinya unsur tersebut maka pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Akan tetapi sampai saat ini adanya konvensi belum tentu sebagai jaminan terlaksananya putusan arbitrase asing di indonesia, bahkan diketahui bersama batasan public policy itu 104

sendiri tidak diberikan batasan di Indonesia sehingga bersifat unlimited. Hal tersebut dapat berdampak buruk yang dimana tidak memberikan kepastian hukum dari arbitrase tersebut, karena bisa saja setiap putusan asing di Indonesia dikatakan melanggar ketertiban umum (public policy) dalam alasan yang kurang jelas, karena penafsiran public policy selalu berdasarkan pendapat Hakim. Di dalam Pasal 3 Perma No.1 Tahun 1990 Ayat (2) mengatakan bahwa putusan arbitrase harus dalam lingkup perdagangan, di dalam putusan arbitrase SIAC dalam kasus ini tentu termasuk dalam lingkup sengketa dagang karena memang permasalahan tersebut terjadi karena gagalnya kerjasama usaha patungan (joint venture). Dan dalam pelaksanaan exeuatur juga baru dapat dilaksanakan setelah memperoleh exequatur dari mahkamah Agung yang dimana hal tersebut seusai dengan Pasal 3 Ayat (4) Perma No.1 Tahun 1990. 5. Ada pun Indonesia membatasi pelaksanaan dan pengakuan arbitrase asing di Indonesia hal tersebut bertujuan untuk membatasi pengaruh dominasi pihak asing di Indonesia, dan memang suatu negara berhak membatasi akan pihak asing, akan tetapi akan lebih baik pembatasan tersebut diberikan atau diakomodir kepastian hukum khususnya tentang pelaksanaan dan pengakuan abitrase asing, yang bertujuan untuk lebih memberikan jaminan dan perlindungan kepada pihak yang menyelesaiakan melalui jalur arbitrase. 105

B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan Penulis, Penulis memberikan saran sebagai berikut : 1. Hendakanya dalam Undang-Undang Arbitrase perlu dicantumkannya pengertian dan batasan (public policy) dan kepentingan nasional (national interest), untuk kemudian secara jelas dijabarkan dalam perjanjian. Negara Indonesia seharusnya memberikan pembatasan dan pengaturan akan ketertiban umum tersebut, dan sejalan dengan pendapat sudargo gaotama, Penulis menyarankan agar penggunaan ketertiban umum (public policy) digunakan seefesien atau seirit mungkin dan negara tidak perlu manfsirkan pengertian dari ketertiban umum (public policy ) terlalu luas, hingga hal yang demikian menurut penulis menghambat pelaksanaan dan pengakuan arbitrase asing di Indonesia, hingga menimbulkan dampak negatif ke negara yang menolak pelaksanaan arbitrase asing tersebut. 2. Hakim sebagai pelaksana UU arbitrase perlu mengikuti perkembanganperkembangan arbitrase international, agar bertujuan untuk aparat hukum atau para hakim lebih berkompeten untuk memutus suatu arbitrase terlebih pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. 3. Di dalam UU No.30 Tahun 1999 diperlukan adanya penegakan dan pengaturan yang lebih jelas, dan perlu adanya sinkronisasi antara UU No.30 Tahun 1999 dengan praktek pelaksanaanya, agar setiap hakim dapat melaksanakan dan menegakkan sebagaimana semestinya yang telah ditetapkan dan diatur dalam Undang-undang Arbitrase. 106

4. Keunikan dalam hukum acara diminta untuk ditulis oleh Penulis lain. Sebagaimana Penetapan exequatur oleh Mahkamah Agung tapi penetapan tersebut menjadi pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menerima atau dilaksanakannya eksekusi. 107