Lex Administratum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016. Kata kunci: jamsostek, pemutusan hubungan kerja

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (1)

Pemutusan Hubungan Kerja

SUB POKOK BAHASAN PENGERTIAN ALASAN-ALASAN PEMBERHENTIAN PROSES PEMBERHENTIAN PASAL 153, UU PERBURUHAN NO

BAB II PROSEDUR PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. A. Alasan Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja

PEMBERHENTIAN KARYAWAN (Pemutusan Hubungan Kerja) PERTEMUAN 14

PHK BOY BUCHORI ALKHOMENI HASIBUAN DITINJAU MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU Nomor :...

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA.

c. bahwa unluk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA Nomor : Kep / Men / 2000 TENTANG

MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA Nomor : Kep / Men / 2000 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam pembangunan

MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA Nomor : Kep / Men / 2000 TENTANG

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: KEP-150/MEN/2000 TENTANG

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (Termination of Employment Relationship) Amalia, MT

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB II LANDASAN TEORI Tinjauan Umum Tentang Ketenagakerjaan. berbeda antara pendapat yang satu dengan pendapat lainnya. 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1. 1) Setiap bentuk usaha milik swasta yang memperkerjakan pekerjaan dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak.

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-02/MEN/ 1993 TAHUN 1993 TENTANG KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum tentang Hukum Ketenagakerjaan. Menurut Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) Tentang

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS DAN KASUS POSISI. pekerja diikat oleh suatu perjanjian yang disebut perjanjian kerja.

RINGKASAN PERATURAN KETENAGAKERJAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 Oleh: Irham Todi Prasojo, S.H.

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MMS CONSULTING Advocates & Counselors at Law

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Manajemen dan Manajemen Sumber Daya Manusia. Manajemen berperan dalam mengkombinasikan faktor-faktor

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

Pada dasarnya, tujuan utama hukum ketenagakerjaan MAKNA PHK BAGI PEKERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GIANYAR,

Tata Cara Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK

Pasal 150 UUK KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014

PERATURAN PERUSAHAAN PT.

Perselisihan dan Pemutusan. hubungan kerja. berhak memutuskannya dengan pemberitahuan pemutusan BAB 4

WALIKOTA DUMAI PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

NOMOR... TAHUN... TENTANG PROGRAM JAMINAN KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014

BAB II PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN JAMSOSTEK OLEH PENGAWAS KETENAGAKERJAAN. A. Gambaran Umum Seputar Pengawas Ketenagakerjaan

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PROGRAM JAMINAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I NOMOR 146 TAHUN 2012

* Sebagai suatu hak dasar, ada ketentuanketentuan yang harus ditaati dalam melakukan mogok kerja. (Pasal 139 dan Pasal 140 UUK)

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 05 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DI KABUPATEN BULUNGAN

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) OLEH PERUSAHAAN KARENA KESALAHAN BERAT YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.

PERATURAN - PERATURAN PENTING DALAM UU KETENAGAKERJAAN NO 13 TAHUN 2003

JAMSOSTEK. (Jaminan Sosial Tenaga Kerja)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN

PERATURAN GUBERNUR BANTEN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB II KETENTUAN HUKUM MENGENAI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Istilah majikan dapat disebut juga sebagai

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KETENAGAKERJAAN TENAGA KERJA, JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati

Bismillahirrohmaanirrohim

HUBUNGAN INDUSTRIAL PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PEMBAHASAN. Pemutusan Hubungan Kerja

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN

2 Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi se

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN HARI TUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. Masalah ketenagakerjaan adalah salah satu masalah pokok yang sangat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NOMOR 72 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN DI KABUPATEN PURWAKARTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN

Tata Tertib setiap pekerja ISH yang berada di layanan mengacu kepada Standard Operationg Procedure (SOP) yang dibuat oleh Div. Operation & ER ISH.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN HARI TUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN HARI TUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

(KepMen ini pada 25 Maret 2003 telah dinyatakan tidak berlaku per UU No. 13/2003. Pencantumn dalam pustronik ini untuk maksud studi)

DAFTAR ISI ii. KATA PENGANTAR.i

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI MUSI BANYUASIN PERATURAN BUPATI MUSI BANYUASIN NOMOR: 2>2> TAHUN 2008 TENTANG

PERLINDUNGAN,PENGUPAHAN DAN KESEJAHTERAAN

Lex et Societatis, Vol. III/No. 3/Apr/2015

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat demikian pula halnya penggunaan teknologi di berbagai

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-04/MEN/1993 TAHUN 1993 TENTANG JAMINAN KECELAKAAN KERJA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PENDAHULUAN. sumber daya dan dana yang ada. Faktor manusia atau tenaga kerja sebagai penggerak utama

MOGOK KERJA DAN LOCK-OUT

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SURAT PERJANJIAN KERJA

perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia;

PERLINDUNGAN DAN PENGAWASAN TENAGA KERJA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hakikat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu melainkan juga

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Transkripsi:

HAK TENAGA KERJA ATAS JAMSOSTEK YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 1 Oleh: Marlina T. Sangkoy 2 ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimanakah Hak Tenaga Kerja atas Jamsostek yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja dan bagaimanakah jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja menurut ketentuan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Ruang lingkup perlindungan tidak hanya diberikan pada saat di dalam hubungan kerja tetapi juga di luar hubungan kerja yaitu karena pensiun atau mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam bentuk Jaminan Hari Tua (JHT) Ruang lingkup perlindungan pada program Jamsostek yang merupakan hak dari tenaga kerja meliputi : a. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); b. Jaminan Kematian (JK); c. Jaminan Hari Tua (JHT); d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). 2. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena satu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Setelah hubungan kerja berakhir pekerja/buruh tidak mempunyai kewajiban untuk bekerja pada pengusaha dan pengusaha tidak berkewajiban membayar upah kepada pekerja/buruh tersebut. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat terjadi dengan 4 cara yaitu : a. Pemutusan hubungan kerja oleh majikan/ pengusaha; b. Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja; c. Pemutusan hubungan kerja demi hukum; d. Pemutusan hubungan kerja oleh Pengadilan. 1 Artikel skripsi. Pembimbing skripsi: Henry R.Ch. Memah, SH, MH; Prof. Dr. Wulanmas A.P.G. Frederik, SH, MH; Kenny R. Wijaya, SH, MH. 2 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado; NIM: 080711577. Kata kunci: jamsostek, pemutusan hubungan kerja PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek jo PP No 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jamsostek dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja terhadap risiko sosial ekonomi yang menimpa tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan baik berupa kecelakaan kerja, sakit, hari tua, maupun meninggal dunia. Dengan demikian diharapkan ketenangan kerja bagi pekerja akan terwujud, sehingga produktivitas akan semakin meningkat. Dari landasan hukum di atas, jelaslah bahwa salah satu kewajiban konstitusional dari negara/pemerintah adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya, karena bekerja merupakan bagian dari hak asasi warga negara dalam rangka mempertahankan eksistensi kehidupannya. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah Hak Tenaga Kerja atas Jamsostek yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja? 2. Bagaimanakah jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? C. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif normatif. Pendekatan hukum normatif dipergunakan dalam usaha menganalisis bahan hukum dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan. PEMBAHASAN A. Hak-hak Tenaga Kerja Atas Jamsostek Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Pengertian Jaminan Sosial Tenaga Kerja menurut ketentuan Pasal 1 ayat 1 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1992 adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau 112

berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. 3 Ruang lingkup perlindungan pada program Jamsostek yang merupakan hak dari tenaga kerja meliputi : 1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) 2. Jaminan Kematian (JK) 3. Jaminan Hari Tua (JHT) 4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Penyelenggaraan Program Jamsostek bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan, dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Tenaga kerja harian lepas, borongan, dan yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu mempunyai karakteristik sendiri, dalam menerima upahpun bersifat tidak teratur, tidak seperti pada pekerja/buruh tetap. Mengingat kekecualian tersebut maka penyelenggaraan program Jamsostek bagi tenaga kerjanya juga memerlukan aturan-aturan yang bersifat khusus dan tersendiri yaitu dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP- 150/MEN/1999. Pada prinsipnya setiap tenaga kerja wajib dilindungi program Jamsostek. Tata cara pendaftaran kepesertaan tenaga kerja harian lepas, borongan, dan tenaga kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu tidak berbeda dengan tata cara pendaftaran untuk tenaga kerja waktu tidak tertentu (tetap). Demikian pula dengan besarnya iuran untuk masingmasing program.perbedaannya terletak pada program-program yang wajib diikuti. Tenaga kerja harian lepas yang bekerja kurang dari 3 (tiga) bulan wajib diikutsertakan dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK). Apabila tenaga kerja tersebut dipekerjakan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih dengan jumlah hari kerja sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) hari perbulan maka pengusaha wajib mengikutkan dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Kewajiban tersebut harus dilaksanakan setelah tenaga kerja bersangkutan melewati masa kerja 3 (tiga) bulan berturut-turut. Upah untuk menentukan 3 UU No 3 Tahun 1992. besarnya iuran bagi tenaga kerja tersebut ditetapkan sebesar upah sehari dikalikan jumlah hari kerja dalam 1 (satu) bulan kalender. Ketentuan program Jamsostek pada tenaga kerja harian lepas diwajibkan pula bagi pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja borongan. Perbedaannya terletak pada cara menetapkan iuran berdasarkan upah. Tenaga kerja borongan yang bekerja kurang dari 3 (tiga) bulan, upah sebulan yang dipergunakan sebagai dasar penetapan iuran adalah upah 1 (satu) bulan hari kerja dikalikandenga jumlah hari kerja dalam 1 (satu) bulan kalender. Bagi tenaga kerjaborongan yang telah bekerja 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, upah sebulan sebagai dasar penetapan iuran adalah : 1. jika upah dibayar secara borongan atau satuan, maka upah sebulan dihitung dari rata-rata upah 3 (tiga) bulan terakhir. 2. jika pekerjaan tergantung dari keadaan cuaca, maka upah sebulan dihitung dari rata-rata upah 12 (dua belas) bulan terakhir. Apabila upah sebulan yang didasarkan pada perhitungan 1 dan 2 tersebut lebih rendah dari upah minimum dalam sebulan, maka dasar perhitungan iuran menggunakan upah minimum yang berlaku. Untuk tenaga kerja yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu apabila tenaga kerja bersangkutan bekerja kurang dari 3 (tiga) bulan, maka wajib diikutkan dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian(JK). Dalam hal perjanjian kerja tersebut diperpanjang hingga 3 (tiga) bulan atau lebih, maka wajib diikutkan dalam Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian(JK), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), dan Jaminan Hari Tua (JHT). Apabila dari semua perjanjian kerja dimaksudkan untuk bekerja selama 3 (tiga) bulan atau lebih, maka pengusaha wajib mengikutkan dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian(JK), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dan Jaminan Hari Tua (JHT). Upah sebulan sebagai dasar untuk menetapkan besarnya iuran adalah upah sebagaimana tercantum dalam perjanjian kerja. Penyelenggaraan Program Jamsostek bagi Tenaga Kerja pada Sektor Jasa Konstruksi mempunyai karakteristik yang cukup unik yaitu sering berpindah-pindah tempat kerja 113

tergantung pada proyek yang sedang dikerjakan. Apabila proyek telah selesai dan ada proyek lain yang harus dikerjakan maka tenaga kerja ikut berpindah ke proyek yang baru. Apabila tidak ada proyek yang dikerjakan lagi maka tenaga kerja tersebut akan menganggur atau mencari pekerjaan lain. Mengingat keunikan tersebut maka pelaksanaan program Jamsostek pada tenaga kerja sektor konstruksi diatur secara tersendiri yaitu dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-196/MEN/1999. Pada umumnya tenaga kerja di sektor konstruksi terdiri atas : 1. Tenaga kerja harian lepas. 2. Tenaga kerja borongan. 3. Tenaga kerja yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (tenaga kerja kontrak). Tenaga kerja tersebut biasanya terikat hubungan kerja hanya untuk satu proyek tertentu dan akan berakhir hubungan kerjanya setelah proyek yang dikerjakan selesai. Dalam sektor jasa konstruksi dikenal istilah : 1. Pengguna jasa konstruksi, yaitu orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas/pekerjaan atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi. 2. Penyedia jasa konstruksi, yaitu orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi (pemborong pekerjaan/kontraktor). Penyedia jasa (pemborong pekerjaan/kontraktor) yang mempekerjakan tenaga kerja harian lepas, borongan, dan waktu kerja tertentu kurang dari 3 (tiga) bulan berturut-turut wajib mengikutkan tenaga kerjanya dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK) pada PT Jamsostek (Persero). Apabila tenaga kerja tersebut dipekerjakan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih dan setiap bulannya bekerja tidak kurang dari 20 (dua puluh) hari, maka wajib diikutkan pada seluruh program pada PT Jamsostek (Persero) yaitu program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Kewajiban ini harus dilaksanakan terhitung setelah tenaga kerja tersebut melewati masa kerja 3 (tiga) bulan berturut-turut. Penyedia jasa harus menyampaikan formulir pendaftaran kepesertaan pada PT Jamsostek (Persero) terdekat paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pekerjaan konstruksi dimulai. PT Jamsostek (Persero) dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima formulir pendaftaran harus sudah menyampaikan sertifikat kepesertaan kepada penyedia jasa. Apabila sertifikat dimaksud belum diserahkan dalam tenggang waktu tersebut, maka penyedia jasa dapat menunda pembayaran iuran sampai sertifikat diserahkan. Besarnya iuran kepesertaan yang harus dibayar penyedia jasa adalah : 1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 1,74 % dari upah sebulan. 2. Jaminan Kematian (JK) sebesar 0,3 % dari upah sebulan. 3. Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 5,7 % dari upah sebulan dengan rincian 3,7 % ditanggung penyedia jasa dan 2 % ditanggung tenaga kerja. 4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) sebesar 6 % dari upah sebulan untuk tenaga kerja yang telah berkeluarga dan 3 % untuk tenaga kerja yang belum berkeluarga, dengan ketentuan upah setinggi-tingginya yang dijadikan dasar perhitungan sebesar Rp 1.000.000 (satu juta rupiah). B. Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pemutusan hubungan kerja secara teoritis terbagi dalam empat macam yaitu : PHK demi hukum, PHK oleh pengadilan, PHK oleh pekerja/buruh, dan oleh pengusaha. PHK yang terakhir ini tampaknya lebih dominan diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan. Hal ini karena PHK oleh pengusaha sering tidak dapat diterima oleh pekerja/buruh sehingga menimbulkan permasalahan. Pemutusan hubungan kerja tersebut antara lain dapat dibahas sebagai berikut : 4 1. Pemutusan hubungan kerja oleh majikan/ pengusaha. 2. Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja. 4 Op-Cit, hal 30. 114

3. Pemutusan hubungan kerja demi hukum. 4. Pemutusan hubungan kerja oleh Pengadilan. Ad.1. Pemutusan hubungan kerja oleh majikan/pengusaha. Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut; a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih ( Pasal 158 ayat 1 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003). Kesalahan berat dimaksud harus didukung dengan bukti sebagai berikut : a. pekerja/buruh tertangkap tangan; b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan berat dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. 5 Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat 1, pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 6 Jika pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25 % (dua puluh lima perseratus) dari upah; b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35 % (tiga puluh lima perseratus) dari upah; c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45 % (empat puluh lima perseratus) dari upah; d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50 % (lima puluh perseratus) dari upah ( Pasal 160 ayat 1). Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana. Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib memperkerjakan pekerja/buruh kembali. Namun jika pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Pemutusan hubungan kerja sebagaimana ini dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian 5 Lihat Pasal 156 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. 6 Lihat Pasal 158 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. 115

perselisihan hubungan industrial. Kepada pekerja/buruh yang di PHK karena alasan ini, pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat 4. 7 Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat 4 dan Pasal 163 ayat 1. Sebaliknya jika pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat 3, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat 4 dan Pasal 163 ayat 2. 8 Selain itu pengusaha juga dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 2 uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4 dan Pasal 164 ayat 1. Pengusaha juga dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup karena melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4 dan Pasal 164 ayat 3. Dalam 7 Lihat Pasal 156 ayat 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. 8 Lihat Pasal 156 ayat 2,3,4 dan pasal 163 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003.. pasal 156 juga disebutkan Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 3, tetapi berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4 dan Pasal 167 ayat 1. 9 Namun jika besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun ternyata lebih kecil dari pada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat 2 dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 3, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4, maka selisihnya dibayar oleh pengusaha (Pasal 167 ayat 2). Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4 dan Pasal 167 ayat 5. Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri. Kepada pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4 dan diberikan uang 9 Lihat Pasal 156 ayat 4 dan Pasal 167 ayat 1 Undang- Undang Nomor 13 tahun 2003. 116

pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 10 ad.2 Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh. Pekerja/buruh berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan pihak pengusaha, karena pada prinsipnya buruh tidak boleh dipaksakan untuk terus-menerus bekerja bilamana ia sendiri tidak menghendakinya. Dengan demikian PHK oleh pekerja ini yang aktif untuk meminta diputuskan hubungan kerjanya adalah dari pekerja/buruh itu sendiri. Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut : a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih; d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh; e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja (Pasal 169 ayat 1). Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana maksud diatas, pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat 2, uang pesangon masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4. Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan 10 Lihat Pasal 156 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat 3, dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 4. Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4. Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4 diberikan langsung uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana maksud diatas harus memenuhi syarat : a. mengajukan permohonan penguduran diri secara tertulis selambat- lambatnya 30 (tigapuluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. Ad.3 Hubungan kerja putus demi hukum. Pemutusan hubungan kerja demi hukum terjadi bila karena satu dan lain hal hubungan kerja oleh hukum dianggap sudah tidak ada dan oleh karena itu tidak ada alas hak yang cukup dan layak bagi salah satu pihak untuk menuntut pihak lainnya guna tetap mengadakan hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja demi hukum dapat terjadi dalam hal : a. Perjanjian kerja jangka waktu tertentu. Dimana masing-masing pihak bersifat pasif dalam arti tidak perlu melakukan usahausaha tertentu untuk melakukan pemutusan hubungan kerja seperti memohon penetapan PHK ke sidang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dan usaha lainnya. Pengusaha tidak wajib memberitahukan saat berakhirnya hubungan kerja dalam perjanjian kerja waktu tertentu, kecuali bila telah diperjanjikan secara tertulis atau telah 117

diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama serta menurut peraturan perundang-undangan atau kebiasaan, mengharuskan pengusaha untuk melakukan pemberitahuan sebelumnya dalam tenggang waktu tertentu. Guna menghindari hal-hal tertentu yang tidak diinginkan, akan lebih baik jika pengusaha memberitahukan sebelumnya kepada pekerja/buruh tentang saat berakhirnya hubungan kerja. Demikian juga jika tidak diberi pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, hendaknya dicantumkan dalam perjanjian kerja untuk menghindari perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari. Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum jangka waktu tertentu yang diperjanjikan berakhir dan bukan karena pekerja/buruh melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja tersebut. b. Pekerja/buruh meninggal dunia. Menurut Pasal 61 ayat 1 a, perjanjian kerja berakhir bila pekerja/buruh meninggal dunia. Hal ini wajar karena hubungan kerja bersifat sangat pribadi dalam arti melekat pada pribadi pekerja/buruh dan tidak dapat diwariskan atau dialihkan ke pihak lain. 11 c. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun sebagaimana telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama maka hubungan kerja berakhir demi hukum. Ad.4 Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang 11 Lihat Pasal Pasal 61 ayat 1 a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. bersangkutan (majikan/buruh) berdasarkan alasan penting. Dalam Pasal 1603 KUH Perdata disebutkan tiap pihak (buruh, majikan) setiap waktu, sebelum pekerjaan dimulai berwenang berdasarkan alasan penting mengajukan permintaan tertulis kepada pengadilan di tempat kediamannya yang sebenarnya untuk menyatakan perjanjian kerja putus sebagai berikut : Alasan penting adalah disamping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan pribadi atau kekayaan pemohon atau perubahan keadaan di mana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Ruang lingkup perlindungan tidak hanya diberikan pada saat di dalam hubungan kerja tetapi juga di luar hubungan kerja yaitu karena pensiun atau mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam bentuk Jaminan Hari Tua (JHT) Ruang lingkup perlindungan pada program Jamsostek yang merupakan hak dari tenaga kerja meliputi : a. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) b. Jaminan Kematian (JK) c. Jaminan Hari Tua (JHT) d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). 2. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena satu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Setelah hubungan kerja berakhir pekerja/buruh tidak mempunyai kewajiban untuk bekerja pada pengusaha dan pengusaha tidak berkewajiban membayar upah kepada pekerja/buruh tersebut. Pemutusan 118

Hubungan Kerja (PHK) dapat terjadi dengan 4 cara yaitu : a. Pemutusan hubungan kerja oleh majikan/ pengusaha. b. Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja. c. Pemutusan hubungan kerja demi hukum. d. Pemutusan hubungan kerja oleh Pengadilan. B. Saran Diharapkan campur tangan Pemerintah tetap konsisten dalam hukum ketenagakerjaan dimaksudkan untuk terciptanya hubungan ketenagakerjaan yang adil, karena jika hubungan antara pekerja dan pengusaha yang sangat berbeda secara sosial ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan akan sulit tercapai, karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah. Atas dasar itulah pemerintah turut campur tangan melalui peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban para pihak. DAFTAR PUSTAKA Asikin dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,1997. Budiono Rachmad Abdul, Hukum Perburuhan Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,1997 Husni Lalu, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010. Khakim Abdul, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009. Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, PT Pradnya Paramita Jakarta 2007. Soekanto S, Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2004. Sembiring Joses Jimmy, Legal Officer, Visimedia, Jakarta,2009. 119