TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba sejak dahulu sudah mulai diternakkan orang. Ternak domba yang ada saat ini merupakan hasil domestikasi dan seleksi berpuluh-puluh tahun. Pusat domestikasinya diperkirakan berada dekat laut Kaspia yang tepatnya berada di daerah Stepa Aralo-Caspian sejak massa neolitik. Peternakan domba ini kemudian berkembang kearah timur yaitu sub-kontinen India dan Asia Tenggara, ke Barat yaitu kearah Asia Barat, Eropa dan Afrika, kemudian ke Amerika, Australia dan kepulauan tropik Oceania (Tomaszewska et al., 1993). Domba yang dikenal di seluruh dunia sekarang ini berasal dari keturunan domba liar, yaitu Moufflon atau Ovis musimon; Argali atau Ovis ammon; Urial atau Ovis vignei dan Ovis arkel (Sumoprastowo, 1987). Domba-domba tersebut didomestikasi, tetapi menurut Tomaszewska et al (1993) yang didomestikasi terlebih dahulu adalah kambing kemudian baru domba. Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu, diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan asal ternak (Kammlade dan Kammlade, 1955). Klasifikasi Domba menurut Blakely dan Bade (1992) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Genus : Ovis Spesies : Ovis aries Domba yang ada di Indonesia pada saat ini asal-usulnya diperkirakan dibawa oleh pedagang-pedagang yang melakukan aktivitas membeli rempah-rempah di Indonesia pada zaman dahulu. Pedagang tersebut pada umumnya berasal dari Asia Baratdaya, dan domba yang dibawa pada umumnya termasuk bangsa ekor Gemuk. Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tropis dan memiliki sifat seasonal polyestroes sehingga dapat beranak sepanjang tahun. Karakteristik domba lokal diantaranya bertubuh kecil, lambat dewasa, berbulu kasar, tidak seragam dan hasil daging relatif
sedikit (Murtidjo, 1993), dengan rataan bobot potong 20 kg (Edey, 1983). Pendapat lain menyatakan bahwa bobot dewasa mencapai 30-40 kg pada domba jantan dan betina 20-25 kg dengan persentase karkas 44-49% (Tiesnamurti, 1992). Sifat lain dari domba lokal tampak dari warna bulu umumnya putih dengan bercak hitam sekitar mata, hidung dan bagian lainnya (Edey, 1983; Mulyaningsih, 2006; Davendra dan McLeroy, 1992). Selain memiliki bentuk tubuh yang ramping, pola warna bulu sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam (Tiesnamurti, 1992). Ekor pada domba lokal umumnya pendek (Davendra dan McLeroy, 1992), bentuk tipis dan tidak menimbulkan adanya timbunan lemak (Mulyaningsih, 2006). Ukuran panjang ekor rata-rata 19,3 cm, lebar pangkal ekor 5,6 cm dan tebal 2,7 cm (Tiesnamurti, 1992). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil sedangkan betina biasanya tidak bertanduk (Edey, 1983; Davendra dan McLeroy, 1992). Jenis domba lokal yang ada di Indonesia menurut Iniguez et al. (1991) terdapat tiga jenis, yaitu Jawa ekor tipis, Jawa ekor gemuk dan Sumatra ekor tipis. Berdasarkan Inounu dan Diwyanto (1996) terdapat dua tipe domba yang paling menonjol di Indonesia, yaitu domba ekor tipis (DET) dan domba ekor gemuk (DEG) dengan perbedaan galur dari masing-masing tipe. Menurut Salamena (2003), domba terkelompok menjadi domba ekor tipis (Javanese thin tailed), domba ekor gemuk (Javanese fat tailed) dan domba Priangan atau dikenal juga sebagai domba Garut. Asal-usul domba ini tidak diketahui secara pasti, namun diduga DET berasal dari India dan DEG berasal dari Asia Barat (Williamson dan Payne, 1993). Pemeliharaan Domba Sistem pemeliharaan domba pada umumnya terdapat dua cara, yaitu sistem diumbar (di padang penggembalaan) dan dikandangkan, sedangkan menurut Parakkasi (1999) terdapat tiga cara yaitu, sistem ekstensif, semi intensif dan intensif. Sistem Ekstensif Sistem ekstensif ini seluruh aktivitas pengawinannya, pembesaran, pertumbuhan dan penggemukan dilakukan di padang penggembalaan. Domba dilepas di padang penggembalaan dengan rumput yang cukup subur, dan pertumbuhan domba ini sangat tergantung dari kualitas padangnya. Padang penggembalaan yang subur akan berpengaruh cepat terhadap penggemukan, dan begitu pula sebaliknya.
Pada kondisi padang penggembalaan yang baik, kenaikan berat badan domba bisa mencapai antara 0,9-1,3 kg seminggu per ekor. Padang penggembalaan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan domba yang hidup digemukkan diatasnya, sehingga keadaan domba mengalami pertumbuhan yang lambat maka dapat diatasi dengan penambahan pakan konsentrat sebanyak 225 gram berupa dedak halus atau bahan makanan lainnya, dan jika padang penggembalaan sangat kering karena iklim maka penambahan jumlah konsentrat dapat diperbanyak menjadi 450-675 gr per ekor per hari (Sumoprastowo, 1987). Sistem Semi Intensif Sistem ini merupakan perpaduan antara sistem ekstensif dan intensif, dan sering disebut juga dengan sistem pertanian campuran (mixed farming). Sistem ini banyak dilakukan oleh petani tradisional yang mempunyai lahan pertanian sambil memelihara ternak. Ternak pada siang hari dapat diumbar di padang penggembalaan sepuasnya dan pada malam hari ternak dikandangkan dan pakan diberikan di dalam kandang. Sistem Intensif Pemeliharaan dengan sistem ini biasanya ternak dikandangkan terus menerus (sepanjang hari) (Tomaszewska et al., 1993), dan biasanya sistem ini dilakukan di pedesaan yang padat penduduknya. Pemeliharaan sistem intensif ini sering disamakan dengan pemeliharaan dengan ransum yang bernutrisi tinggi (penguat). Menurut Sumoprastowo (1987), ternak yang dipelihara secara intensif ini biasanya menggunakan pakan berupa rumput secukupnya sedangkan sisa kebutuhannya dipenuhi dengan memberikan konsentrat. Penambahan konsentrat dalam pakan domba yang terdiri dari banyak campuran jagung giling, pertambahan berat badan pernah tercatat 200 gr/hari/ekor. Daerah tropis terutama pada peternakan rakyat cenderung lebih banyak menggunakan sistem ekstensif, karena ketersediaan pakan yang terbatas serta tujuan dari beternak yang hanya sebagai sambilan dan tabungan keluarga saja. Menurut Sumoprastowo (1987) bahwa sistem pemeliharaan domba sangat dipengaruhi oleh keterbatasan pakan yang ada. Daerah yang iklimnya cenderung tidak baik untuk pertumbuhan hijauan, maka lebih banyak menggunakan sistem intensif atau digembalakan dengan disertai kandang yang sederhana.
Pertumbuhan Domba Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat hidup, bentuk, dimensi linier dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponenkomponen tubuh seperti otot, lemak, protein dan abu pada karkas (Soeparno, 1994). Soeparno (1994) melanjutkan bahwa faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan. Mulliadi (1996) melaporkan bahwa keragaman ukuran tubuh pada ternak dapat disebabkan kondisi pemeliharaan, pengaruh pemberian pakan, kondisi alat pencernaan dan keragaman genetik. Soeparno (1994) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hewan antara lain nutrisi, suhu, kelembaban, keracunan, polusi dan penyakit, sehingga dapat menyebabkan perubahan komposisi tubuh, baik fisik maupun kimiawi. Menurut Berg dan Butterfield (1976), pertambahan umur berarti juga peningkatan bobot badan pada ternak. Hal tersebut berpengaruh terhadap kadar laju pertumbuhan tulang yang lebih lambat dan pertumbuhan otot yang relatif lebih cepat. Soeparno (1994) menambahkan bahwa berdasarkan laju pertumbuhan maksimum, jaringan tubuh mempunyai urutan pertumbuhan berdasarkan umur yaitu (1) jaringan syaraf, (2) tulang, (3) otot dan (4) lemak. Nurhayati (2004) menyatakan bahwa peningkatan ini relatif tinggi pada umur muda yaitu pada umur I 0 dan I 1, yaitu pada saat ternak mulai tumbuh dan membentuk tubuhnya. Mathius (1989) menambahkan bahwa pada umumnya anak domba mencapai 75% dari berat dewasa pada umur satu tahun. Pertumbuhan pada tahun pertama sekitar 50% berat badan dicapai selama tiga bulan pertama, 25% pada tiga bulan kedua dan 25% dalam enam bulan terakhir. Domba jantan muda memiliki potensi untuk tumbuh lebih cepat daripada domba betina muda, pertambahan bobot badan lebih cepat, konsumsi pakan lebih banyak dan penggunaan pakan yang lebih efisien untuk pertumbuhan badan (Anggorodi, 1990). Pertumbuhan semua hewan pada awalnya lambat dan meningkat dengan cepat kemudian lambat pada saat hewan mendekati dewasa tubuh. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetis atau faktor keturunan dan faktor lingkungan seperti iklim dan manajemen pelaksanaan. Faktor keturunan lebih membatasi kemungkinan pertumbuhan dan besarnya tubuh yang dapat dipakai. Faktor lingkungan yaitu seperti pemberian pakan, pencegahan atau pemberantasan
penyakit serta tata laksana akan menentukan tingkat pertumbuhan dalam mencapai kedewasaan (Sugeng, 2002). Kondisi Tubuh Menurut Herman (2003), pertumbuhan hewan berlangsung dua kejadian, yaitu bertambahnya bobot badan sampai dicapainya besar tubuh dewasa (pertumbuhan) dan terdapatnya perubahan bentuk serta konformasi tubuh hewan sehingga diperoleh bentuk dewasa (perkembangan). Setelah hewan lahir, perubahan berlangsung dalam proporsi tubuh. Perkembangan terakhir, daerah loin ditandai oleh timbunan otot dan lemak yang cukup tebal. Kondisi ini dapat digunakan untuk menilai kondisi tubuh seekor hewan, baik hasil penggemukan, bibit betina maupun pejantan. Nichols (1996) menjelaskan bahwa mendeteksi kondisi tubuh domba dapat dengan meraba lemak di punggungnya. Ketebalan lemak punggung dipercaya sebagai indikator kurus atau gemuknya domba. Domba yang gemuk dan sudah tidak mungkin mengalami pertumbuhan pesat, biasanya lemak punggungnya tebal, sedangkan domba yang kurus lemak punggungnya tipis, bahkan jika diraba terasa ada tulang yang menonjol. Keadaan sangat kurus apabila kedua processus tersebut mudah diraba karena penimbunan otot dan lemak yang sangat kurang. Nilai 5 dapat diberikan untuk hewan yang memiliki kondisis sangat gemuk dan nilai 1 dapat diberikan kepada hewan yang memiliki kondisi tubuh sangat kurus. Hewan yang memiliki kondisi tubuh kurus, sedang dan gemuk masing-masing dapat diberikan nilai 2, 3 dan 5 (Herman, 2003). Parameter Ukuran Tubuh Martojo (1990) menyatakan bahwa pengaruh genetik maupun lingkungan menyebabkan keragaman pada pengamatan dalam berbagai sifat kuantitatif. Mulliadi (1996) menyatakan bahwa pengukuran tubuh dilakukan berdasarkan ukuran yang umum pada ternak, yaitu sifat kuantitatif. Dijelaskan lebih lanjut bahwa hal tersebut dilakukan untuk mengetahui morfogenetik dari jenis ternak tertentu, tersebar luas antara wilayah atau negara. Doho (1994) menyatakan bahwa ukuran permukaan tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan untuk menaksir bobot badan, serta memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai cirri khas suatu bangsa.
Bobot Badan Pertambahan bobot badan pada hewan akan menyebabkannya menjadi lebih besar dan diikuti dengan pertambahan kekuatan dan perkembangan otot-otot penggantung yaitu, Musculus serratus ventralis dan Musculus pectoralis yang terdapat di daerah dada, sehingga ukuran lingkar dada semakin meningkat (Doho, 1994). Darmayanti (2003) menyatakan bahwa bobot badan umumnya mempunyai hubungan positif dengan semua ukuran linier tubuh. Perbedaan kecepatan pertumbuhan berpengaruh nyata terhadap panjang dan tinggi badan. Semakin cepat laju pertumbuhan ukuran lingkar dan lebar dada, maka domba akan semakin besar. Lingkar Dada Lingkar dada merupakan bagian tubuh yang diukur dengan cara melingkari ronga dada di belakang sendi bahu (os scapula). Salahmawati (2004) melaporkan bahwa rataan lingkar dada pada domba Garut tipe tangkas umur kurang dari satu tahun adalah 54,97 ± 6,73 cm dan pada umur antara 1-5 tahun adalah 76,68 ± 8,68 cm; sedangkan pada domba Garut tipe pedaging mempunyai rataan lingkar dada 54,30 ± 14,65 cm pada umur kurang dari satu tahun dan pada umur antara 1-5 tahun adalah 69,33 ± 5,40 cm. Mulliadi (1996) melaporkan bahwa rataan lingkar dada adalah 61,34 ± 5,75 cm pada domba lokal Garut umur 1-5 tahun. Nurhayati (2004) menyatakan bahwa hubungan positif antara bobot badan dan lingkar dada pada domba Priangan tipe pedaging dan tangkas masing-masing adalah 0,99 dan 0,88. Hasil tersebut sesuai dengan Mulliadi (1996) yang melaporkan terdapat korelasi positif antara bobot badan dan lingkar dada diatas 0,9 pada domba Garut tipe tangkas di Kabupaten Pandeglang dan Garut. Doho (1994) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara lingkar dada dan bobot badan pada domba ekor Gemuk jantan sebesar 0,79. Lebih lanjut, Nurhayati (2004) menyatakan bahwa lingkar dada mempunyai hubungan yang lebih erat dengan bobot badan dibandingkan dengan panjang badan, tinggi pundak, serta dalam dan lebar dada pada domba Priangan jantan tipe pedaging dan tangkas. Menurut Takaendengan (1998), hal ini disebabkan dengan pertambahan bobot badan seekor hewan, bertambah besar pula hewan tersebut karena pertambahan bobot badan dan besar badan ke arah samping nyata. Takaendengan (1998) melanjutkan bahwa lingkar dada merupakan bagian tubuh domba yang mengalami pembesaran ke arah samping.
Panjang Badan Panjang badan adalah jarak garis lurus dari tepi tulang processus spinocus sampai benjolan tulang tapis (tulang duduk atau os ischium). Salahmawati (2004) melaporkan bahwa rataan panjang badan domba Garut tipe tangkas pada umur kurang dari satu tahun adalah 42,52 ± 12,82 cm, dan pada umur 1-5 tahun adalah 62,45 ± 4,48 cm, sedangkan rataan panjang badan domba Garut tipe pedaging pada umur kurang dari satu tahun adalah 47,91 ± 8,26 cm dan pada umur 1-5 tahun adalah 54,33 ± 3,21 cm. Mulliadi (1996) melaporkan bahwa rataan panjang badan domba lokal Garut pada umur 1-5 tahun adalah 51,83 ± 4,73 cm. Nurhayati (2004) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara bobot badan dan panjang pada domba Priangan tipe pedaging dan tangkas di Kabupaten Garut, masing-masing bernilai 0,97 dan 0,87. Doho (1994) melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara panjang dan bobot badan pada domba ekor Gemuk jantan sebesar 0,69. Korelasi Lingkar Dada dan Panjang Badan terhadap Bobot Badan Massiara (1986) menyatakan bahwa bobot badan dan lingkar dada merupakan fungsi umur, maka lingkar dada dan bobot badan semakin meningkat dengan bertambahnya umur ternak. Selain itu menurut Laidding (1996), ukuran-ukuran tubuh ternak dapat berbeda satu sama lain secara bebas, korelasinya dapat disebut positif apabila peningkatan satu sifat menyebabkan sifat lainnya juga meningkat dan apabila suatu sifat meningkat dan sifat lain menurun maka korelasinya negatif. Diwyanto et al. (1984) menyatakan bahwa komponen tubuh yang berhubungan erat dengan bobot badan adalah lingkar dan lebar dada. Ditambahkan pula oleh Takaendengan (1998) peubah lingkar dada merupakan parameter yang memiliki nilai koefisien korelasi paling tinggi terhadap bobot badan. Hal ini disebabkan dengan bertambahnya berat seekor hewan, bertambah besar pula hewan tersebut karena pertambahan bobot badan dan besar badan nyata kearah samping. Tabel 1 menunjukkan koefisien korelasi bobot badan dengan ukuran linier tubuh pada pertumbuhan domba yang berbeda.
Tabel 1. Koefisien Korelasi Bobot Badan Domba dan Ukuran Linier Tubuh pada Pertumbuhan Domba yang Berbeda Korelasi Pertumbuhan Domba Ukuran Linier Tubuh Bobot Badan dan Ukuran Linier Tubuh Cepat Lingkar Dada (r = 0,72) Panjang Badan (r = 0,74) Bobot Badan dan Ukuran Linier Tubuh Sedang Lingkar Dada (r = 0,61) Bobot Badan dan Ukuran Linier Tubuh Sumber: Darmayanti (2003) Lambat Lingkar Dada (r = 0,50) Panjang Badan (r = 0,44)