BAB II KAJIAN TEORITIK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan subjek yang sangat penting dalam sistem

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:43) analisis merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Berpikir Geometri Van Hiele. a) Kemampuan berpikir geometri Van Hiele

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. adalah kemampuan berpikir analitik. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Masalah Matematika. Masalah merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan tujuan yang

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru SLB-C Islam di Kota Bandung

ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI

BAB II KAJIAN TEORITIK. menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Menurut NCTM (2000) pemecahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Bahasa Indonesia (2010:767) adalah akal budi, ingatan, angan-angan. berpikir

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA BERDASARKAN TEORI POLYA DITINJAU DARI ADVERSITY QUOTIENT TIPE CLIMBER

BAB I PENDAHULUAN. Negara.Namun permasalahannya saat ini ialah banyak peserta didik yang kurang mencintai

BAB II KAJIAN TEORITIK. sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang

BAB I PENDAHULUAN. Seringkali kebutuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan kemahasiswaan tertua yang berada di lingkungan Universitas X di

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dikerjakan untuk menyelesaikannya. Menurut Shadiq (2004) Suatu

PERTEMUAN 3 MENGEMBANGKAN DIRI

ANALISIS PROSES BERPIKIR SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN EFEKTIFITAS STRATEGI ABDUKTIF-DEDUKTIF UNTUK MENGATASI KESULITANNYA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jayanti Putri Purwaningrum, 2015

Pertemuan 3 MENGEMBANGKAN DIRI

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dirinya, baik pada dimensi intelektual moral maupun

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2006: ) No. 22 tahun 2006 tujuan

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

sehingga siswa perlu mengembangkan kemampuan penalarannya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru di Madrasah Aliyah Al-Mursyid Kota Bandung

BAB II KAJIAN TEORITIK. mempelajari pola dari struktur, perubahan dan ruang. Adjie (2006) mengatakan bahwa matematika adalah bahasa, sebab matematika

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

apa yang dirumuskan dalam NCTM (National Council of Teachers of isi atau materi (mathematical content) dan standar proses (mathematical

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORETIK. sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut Winkel

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak

BAB I PENDAHULUAN. Terjadinya krisis perekonomian di Indonesia yang berdampak sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN ADVERSITY QUOTIENT SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN OPEN ENDED

BAB I PENDAHULUAN. kendaraan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. 1. gunanya matematika diajarkan di sekolah dalam rangka mengembangkan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Zaman modern yang penuh dengan pengaruh globalisasi ini, kita dituntut

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Sejarah MA Darussalam Agung Kota Malang. mengembangkan pendidikan di Kedungkandang didirikanlah Madrasah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang. Pengelolaan diri atau regulasi diri adalah upaya individu untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pendidikan merupakan dasar dalam memajukan suatu negara. Majunya suatu negara tercermin dari pendidikan yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi saat ini, bangsa Indonesia dihadapkan dengan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Metakognitif. Menurut Flavell (1976) yang dikutip dari Yahaya (2005), menyatakan

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. untuk mencari hubungan antar variabel. Variabel-variabel dalam penelitian

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai yang dibutuhkan oleh siswa dalam menempuh kehidupan. pendidikan dalam berbagai bidang, diantaranya matematika.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dianugerahi kemampuan dan kekuatan berpikir. Berpikir

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. pertanyaan itu menunjukan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak

PROFIL PEMECAHAN MASALAH KONTEKSTUAL GEOMETRI SISWA SMP BERDASARKAN ADVERSITY QUOTIENT (AQ)

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. dalam tugas yang metode solusinya tidak diketahui sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. Adapun alasan atau faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORI A.

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. untuk membawa siswa menuju tujuan yang ditetapkan.2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan di SD. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

BAB II KAJIAN TEORITIK

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penelitian ini adalah teori perilaku terencana yang merupakan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat,

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari,

Sartika, namun dengan kuatnya iklim yang terdapat di lingkungan SD Dewi Sartika,

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan medis (McGuire, Hasskarl, Bode, Klingmann, & Zahn, 2007).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Roheni, 2013

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan. Proses pembelajaran di dalam kelas harus dapat menyiapkan siswa

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. lambang yang formal, sebab matematika bersangkut paut dengan sifat-sifat struktural

BAB I PENDAHULUAN. untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut adalah adversity

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

BAB I PENDAHULUAN. logis, konsisten, dan dapat bekerjasama serta tidak mudah putus asa.

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Adversity Quotient

BAB II KAJIAN TEORI A.

BAB I PENDAHULUAN (1982:1-2):

BAB II KAJIAN TEORETIS. Soal cerita merupakan permasalahan yang dinyatakan dalam bentuk kalimat bermakna dan

Alamat Korespondensi: Jl. Ir. Sutami No. 36A Kentingan Surakarta, , 2)

BAB II KAJIAN TEORI. didefinisikan sebagai pemikiran tentang pemikiran (thinking about

STUDI DESKRIPTIF ADVERSITY QUOTIENT MATEMATIS MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA BERDASAR JENIS KELAMIN DAN KEMAMPUAN MAHASISWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika sejak peradaban manusia bermula, memainkan peranan yang sangat vital dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II LANDASAN TEORI. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya

Transkripsi:

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Proses Berpikir Berpikir selalu dihubungkan dengan permasalahan, baik masalah yang timbul saat ini, masa lampau dan mungkin masalah yang belum terjadi. Menurut Walgito (1980), berpikir merupakan proses kognitif yang berlangsung antara stimulus dan respon. Menurut Masykur (2007), berpikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan otak. Sedangkan menurut Kuswana (2011), berpikir merupakan suatu istilah yang digunakan dalam menggambarkan aktivitas mental, baik yang berupa tindakan yang disadari maupun tidak sepenuhnya dalam kejadian seharihari sebagai tindakan rutin, tetapi memerlukan perhatian langsung untuk bertindak ke arah lebih sadar secara sengaja dan refleksi atau membawa ke aspek-aspek tertentu atas dasar pengalaman. Jadi, berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang melibatkan kesadaran seseorang dalam melakukan suatu tindakan pemikiran atau ide-ide atas dasar pengalaman. Pada saat siswa berpikir melakukan suatu kegiatan, yaitu proses pemecahan masalah, akan terjadi proses berpikir sampai menemukan solusi permasalahan. Menurut Kuswana (2011), proses berpikir atau kemampuan kognitif merupakan suatu peristiwa mencampur, mencocokkan, menggabungkan, menukar, dan mengurutkan konsepkonsep, persepsi, dan pengalaman sebelumnya. 8

9 Dalam proses berpikir terdapat aktivitas yang dilakukan yaitu membentuk pengertian, membentuk pendapat dan membentuk kesimpulan (Ahmadi, 2009). Seseorang menyusun hubungan-hubungan antara informasi-informasi yang telah direkam dalam pikirannya sebagai pengertian-pengertian. Pengertian adalah hasil proses berpikir yang merupakan rangkuman dari beberapa informasi yang dinyatakan dalam satu perkataan (Ahmadi, 2009). Dari pengertian tersebut, terbentuklah pendapat yang pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan. Menurut (Ahmadi, 2009) Pendapat merupakan hasil kegiatan berpikir meletakkan hubungan antara tanggapan yang satu dengan yang lain, antara pengertian satu dengan pengertian yang lain, yang dinyatakan dalam suatu kalimat. Hasil berpikir merupakan sesuatu yang dihasilkan melalui proses berpikir dan membawa atau mengarahkan untuk mencapai tujuan dan sasaran. Hasil berpikir tersebut dapat berupa ide, gagasan, penemuan dan pemecahan masalah, keputusan, serta selanjutnya dapat dikonkretkan. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses berpikir atau kemampuan kognitif merupakan suatu rangkaian kegiatan mencocokkan, menggabungkan, menukar, mengurutkan konsep-konsep, persepsi, dan pengalaman sebelumnya untuk menyelesaikan permasalahan dengan membentuk pengertian, pendapat dan kesimpulan. Seorang anak akan dipandang sebagai individu yang aktif apabila ia dapat membangun sendiri pegetahuan mereka dengan kemampuan

10 kogntif yang dimilikinya. Studi mengenai perkembangan kognitif salah satunya dipaparkan melalui teori perkembangan kognitif Jean Piaget. Jean Piaget memiliki pandangan dasar bahwa setiap anak memiliki kecenderungan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Intelegensi sebagai bentuk khusus dari penyesuaian diri, baru dapat diketahui dari beberapa proses yang saling mengisi. Pengetahuan dalam diri seseorang tumbuh dan berkembang melalui pengalaman (Hergenhahn, 1982). Pengalaman tersebut berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diasah dengan pengalaman yang baru. Dalam berpikir seseorang menghubungkan antara pengalaman yang satu dengan pengalaman lainnya sehingga membentuk pengetahuan baru. Pengetahuan baru tersebut dipadukan dengan apa yang telah diketahui sehingga akan terbentuk struktur kognitif yang baru. Jean Piaget menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai skemata (schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema (Hergenhahn, 1982). Skema adalah suatu kelompok tindakan dan pikiran yang serupa, yang digunakan secara berulang-ulang untuk merespon lingkungan (Ellis, 2008). Skema merupakan elemen atau struktur dasar dari struktur kognitif. Skema berkembang secara cepat, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, seseorang yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dari pada ketika masih kecil (Ellis, 2008).

11 Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya (Hergenhahn, 1982). Pengalaman yang sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu. Setiap pengalaman yang baru dihubungkan dengan pengetahuan yang terdapat dalam otak manusia. Pengetahuan tersebut dikembangkan melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Ellis (2008) menyatakan bahwa asimilasi merupakan proses merespon suatu informasi baru dengan menyesuaikannya kedalam skema (struktur kognitif) yang sudah ada dalam benak siswa. Asimilasi adalah menyelaraskan antara skema (struktur kognitif) dengan lingkungannya (Walgito, 1980). Senada dengan Ellis (2008) dan Walgito (1980), Suparno (2001) menyatakan bahwa asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada didalam pikirannya. Dalam asimilasi proses yang terjadi adalah penyesuaian antara informasi-informasi baru yang diperolehnya dengan struktur skema yang ada dalam diri siswa. Ketika informasi baru yang masuk sesuai dengan skema yang sudah dimiliki, sehingga informasi baru tersebut dapat langsung dihubungkan ke dalam skema yang ada (Hergenhahn, 1982). Proses asimilasi ini berjalan secara terus menerus. Asimilasi pada dasarnya tidak menyebabkan perubahan atau pergantian skema, tetapi asimilasi mempengaruhi atau memungkinkan perkembangan skema.

12 Dapat disimpulkan bahwa asimilasi merupakan suatu proses kognitif yang digunakan untuk merespon pengetahuan baru atau informasi baru yang sesuai dengan skema yang telah dimilikinya. Tetapi, terkadang siswa tidak dapat dengan mudah menghubungkan pengetahuan atau informasi baru tersebut dengan skema yang telah ada. Hal tersebut mungkin terjadi karena pengetahuan atau informasi baru tidak sesuai dengan skema yang telah ada. Dalam hal ini terjadi proses akomodasi. Proses akomodasi merupakan pengubahan struktur kognitif, karena tidak atau belum adanya skema-skema tertentu (Walgito, 1980). Akomodasi terjadi melalui dua hal, yaitu: 1) memodifikasi skema yang telah ada sehingga sesuai dengan infromasi baru, atau 2) membentuk skema baru yang sesuai dengan informasi yang baru (Ellis, 2008). Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa siswa yang mengalami asimilasi akan lebih cepat merespon pelajaran atau soal yang diberikan, daripada siswa yang mengalami akomodasi. Karena, dalam asimilasi seseorang tidak perlu menyesuaikan skema yang ada terhadap informasi baru yang masuk, tetapi hanya menggunakan kemampuan yang telah ada dalam dirinya. Tetapi asimilasi dan akomodasi berjalan secara bersama-sama bersamaan dengan berkembangnya pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap lingkungan disekelilingnya. Akomodasi jarang terjadi tanpa asimilasi. Siswa dapat mengakomodasikan informasiinformasi baru hanya jika mereka dapat menghubungkan informasiinformasi baru tersebut dengan pengetahuan dan keyakinan yang mereka

13 miliki pada saat itu. Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini akan melihat pada tahap apa siswa melakukan asimilasi ataupun akomodasi dalam proses berpikir yang mereka lakukan. Adapun karakteristik proses berpikir asimilasi dan akomodasi yang akan digunakan dalam penelitian yaitu menggunakan penjelasan mengenai asimilasi dan akomodasi teori Jean Piaget. Tabel. 2.1 : Karakteristik Proses Berpikir Asimilasi dan Akomodasi No Proses Berpikir Karakteristik 1. Asimilasi Jika siswa dapat menerapkan secara langsung pengetahuan yang dimilikinya dengan masalah yang ada untuk memperoleh solusi permasalahan. 2. Akomodasi Siswa memodifikasi pengetahuan yang dimilikinya untuk disesuaikan dengan masalah yang ada Siswa membentuk pengetahuan baru untuk disesuaikan dengan masalah yang ada. 2. Pemecahan Masalah Matematika Masalah muncul apabila terdapat perbedaan antara keadaan yang satu dengan keadaan yang lainnya untuk tujuan yang akan dicapai, atau dengan kata lain yaitu adanya kesenjangan antara kenyataan dan tujuan yang akan dicapai (Walgito, 1980). Masalah biasanya memuat situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya tetapi tidak mengetahui secara langsung apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikannya (Suherman, 2001). Masalah dalam matematika bukan berarti tentang hambatan atau kendala hasil belajar matematika. Pada proses belajar matematika, masalah

14 matematika merupakan masalah yang dikaitkan dengan materi belajar matematika. Salah satu contohnya, ketika siswa mendapatkan tugas dari guru. Karena siswa tersebut kurang memahami materinya, maka tugas tersebut menjadi masalah bagi siswa. Siswa yang mendapatkan masalah tersebut akan berpikir bagaimana cara untuk menemukan solusi pemecahannya. Pemecahan masalah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembelajaran matematika, sehingga pemecahan masalah bukan merupakan bagian yang asing dari matematika (NCTM, 2000). Menurut NCTM (2000), Pemecahan masalah merupakan suatu proses menerapkan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa ke dalam situasi yang baru. Menurut Santrock (2014), pemecahan masalah adalah menemukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan. Dengan belajar memecahkan masalah matematika, siswa memperoleh cara berpikir, kebiasaan yang terus menerus dan rasa ingin tahu. Pemecahan masalah juga diartikan sebagai pemikiran yang bertujuan menemukan solusi untuk suatu masalah yang khusus (Solso, 2007). Pemecahan masalah merupakan kegiatan yang sangat penting dalam pembelajaran matematika (NCTM, 2000). Melalui kegiatan pemecahan masalah, aspek-aspek yang penting dalam pembelajaran matematika dapat dikembangkan dengan baik oleh siswa. Dengan pemecahan masalah yang diajarkan kepada siswa, siswa memiliki pemahaman yang baik tentang suatu masalah, mampu mengkomunikasikan ide-ide dengan baik, mampu

15 mengambil keputusan, memiliki ketrampilan tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan dengan apa yang sedang dipelajarinya, menganalisis hasil yang telah diperoleh (NCTM, 2000). Adapun tahapan pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Polya (1957), yaitu: 1. Memahami masalah (Understanding the problem), siswa dikatakan mampu memahami masalah apabila ia mampu: a) menemukan informasi yang disajikan pada masalah (hal yang diketahui) dan apa yang ditanyakan, dan b) apakah informasi yang diberikan (hal yang diketahui) cukup untuk mencari apa yang ditanyakan? Selanjutnya, masalah digambarkan dengan notasi yang tepat. 2. Merencanakan strategi (Devising a plan), siswa dikatakan mampu merencanakan strategi apabila ia mampu menyusun strategi yang sesuai untuk dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah, yaitu dengan melihat hubungan antara informasi yang disajikan pada masalah (hal yang diketahui) dengan apa yang ditanyakan. 3. Melaksanakan strategi (Carrying out the plan), siswa dikatakan mampu melaksanakan strategi apabila ia telah memeriksa apakah setiap tahapan dalam strategi yang telah disusun sudah benar atau belum, bagaimana membuktikan bahwa langkah yang telah dibuat sudah benar dan melaksanakan perhitungan dengan benar. 4. Pengecekan kembali (Looking Back), siswa dikatakan mampu memeriksa proses dan hasil apabila ia mampu memeriksa kebenaran

16 dari jawaban yang telah ditemukan berdasarkan proses yang digunakan dan apakah jawaban tersebut dapat dicari dengan langkah atau metode lain. NCTM (2000) menyatakan bahwa terdapat banyak kelebihan dengan adanya penerapan pemecahan masalah pada pembelajaran matematika, yaitu: 1. Membantu siswa menerapkan pengetahuan yang telah mereka peroleh kedalam situasi baru. Proses ini menuntun siswa untuk dapat memperoleh pengetahuan baru. 2. Memungkinkan siswa menjadi lebih kritis dan analitis dalam mengambil keputusan 3. Mengajarkan siswa untuk belajar berpikir atau belajar bernalar yaitu berpikir atau bernalar menerapkan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya untuk memecahkan masalah-masalah baru yang belum pernah dijumpai. 4. Membantu siswa untuk menumbuhkan sikap kreatif, yaitu mencari, menemukan, dan kemudian merumuskan atau menyimpulkan sendiri pada saat dihadapkan pada permasalahan. Dengan demikian inti dari pemecahan masalah matematika adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan suatu masalah yang membutuhkan daya nalar tinggi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu proses menerapkan pengetahuan yang dimiliki seseorang kedalam suatu masalah

17 untuk menemukan strategi yang sesuai, sehingga sampai pada solusi permasalahan. Sehubungan hal tersebut, maka tahapan pemecahan masalah yang digunakan pada penelitian ini menggunakan tahapan pemecahan masalah menurut Polya. Hal ini dikarenakan tahapan pemecahan masalah Polya singkat tetapi jelas dan rinci, dapat diaplikasikan untuk individu, serta sudah biasa digunakan disekolah untuk memecahkan masalah matematika. Tahapan pemecahan masalah Polya yang digunakan dalam penelitian ini tersaji dalam Tabel 2.2. Tabel 2. 2 : Tahapan Pemecahan Masalah Tahap Pemecahan Masalah Langkah-langkah 1 Memahami Masalah (Understanding the problem) dari permasalahan 2 Merencanakan strategi (Devising a plan) 3 Melaksanakan strategi (Carrying out the plan) 4 Pengecekan kembali (Looking back) Siswa mampu merumuskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan Siswa mampu menyusun strategi pemecahan masalah sesuai dengan prosedur yang tepat, sehingga dapat membantu untuk memperoleh solusi pemecahan masalah matematis Siswa mampu melaksanakan strategi pemecahan masalah matematis dengan perhitungan yang tepat Siswa memeriksa proses dan hasil yang diperoleh, serta tepat dalam menarik solusi. Contoh penerapan tahapan pemecahan masalah matematika menurut Polya (1973), sebagai berikut: Contoh soal: Sebuah satelit melintasi suatu orbit yang berada pada ketinggian 1.600 km diatas permukaan bumi. Panjang jari-jari bumi 6.400 km dan untuk melintasi orbit tersebut diperlukan waktu 8 jam. Hitunglah

18 kecepatan satelit tersebut dalam km/jam dengan π = 3,14, jika orbitnya dianggap berbentuk lingkaran! Tahapan pemecahan masalah matematika Tabel 2. 3 : Contoh Penyelesaian Soal Pemecahan Masalah Understanding the problem Diketahui : Jarak antara lintasan orbit dan permukaan bumi = 1.600 km r bumi = 6.400 km t = 8 jam Ditanyakan: Kecepatan satelit (v) =? Divising the problem a. Membuat gambar 1.600 Lintasan orbit 6.400 Permukaan bumi satelit b. Mencari panjang lintasan orbit Rumus yang digunakan adalah Jarak (Panjang lintasan orbit) = keliling lingkaran besar c. Mencari kecepatan satelit Rumus yang digunakan Kecepatan satelit (v) = Carrying out the plan a. Membuat gambar Lintasan orbit 1.600 6.400 Permukaan bumi satelit

19 b. Mencari panjang lintasan orbit Panjang lintasan orbit = keliling lingkaran besar c. Mencari kecepatan satelit Kecepatan satelit ( ) = = 2 x 3,14 x (6.400 + 1.600) = 6,28 x 8.000 = 50.240 km Looking back Setelah diketahui bahwa panjang lintasan orbit adalah 50.240 km dan kecepatan satelit adalah 6.280 km/jam, maka akan dilakukan pengecekan sebagai berikut: Kecepatan satelit ( ) = Penafsiran jawaban: Jadi, kecepatan satelit dalam km/jam dengan π = 3,14, jika orbitnya dianggap berbentuk lingkaran adalah 6.280 km/jam. 3. Proses Berpikir dalam Memecahkan Masalah Berdasarkan penjelasan sebelumnya yang menyatakan bahwa proses berpikir merupakan suatu rangkaian kegiatan mencocokkan, menggabungkan, menukar, mengurutkan konsep-konsep, persepsi dan pengalaman sebelumnya untuk menyelesaikan permasalahan dengan membentuk pengertian, pendapat dan kesimpulan. Penentuan proses berpikir yang diteliti ialah proses berpikir asimilasi ataupun akomodasi.

20 Penelitian ini melihat pada tahap apa siswa melakukan asimilasi ataupun akomodasi dalam proses berpikir yang mereka lakukan. Sedangkan pemecahan masalah merupakan suatu proses menerapkan pengetahuan yang dimiliki seseorang ke dalam suatu masalah untuk menemukan strategi yang sesuai, sehingga sampai pada solusi permasalahan, terutama pada bidang matematika. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa proses berpikir dalam memecahkan masalah merupakan suatu proses menerapkan pengetahuan ke dalam suatu masalah dengan melalui rangkaian kegiatan yang meliputi mencocokkan, menggabungkan, menukar, mengurutkan konsep-konsep, persepsi dan pengalaman sebelumnya untuk menyelesaikan suatu masalah dengan membentuk pengertian, pendapat, dan kesimpulan sehingga diperoleh solusi pemecahan masalah terutama pada bidang matematika. Berdasarkan karakteristik proses berpikir dalam bentuk asimilasi ataupun akomodasi serta tahapan pemecahan masalah menurut polya yang telah dijelaskan sebelumnya, sebagai berikut: Tabel. 2.1 : Karakteristik Proses Berpikir Asimilasi dan Akomodasi No Proses Karakteristik Berpikir 1. Asimilasi Jika siswa dapat menerapkan secara langsung pengetahuan yang dimilikinya dengan masalah yang ada untuk memperoleh solusi permasalahan. 2. Akomodasi Siswa memodifikasi pengetahuan yang dimilikinya untuk disesuaikan dengan masalah yang ada Siswa membentuk pengetahuan baru untuk disesuaikan dengan masalah yang ada.

21 Tabel 2.2 : Tahapan Pemecahan Masalah Tahap Pemecahan Masalah Langkah-langkah 1 Memahami Masalah (Understanding the problem) dari permasalahan 2 Merencanakan strategi (Devising a plan) 3 Melaksanakan strategi (Carrying out the plan) 4 Pengecekan kembali (Looking back) Siswa mampu merumuskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan Siswa mampu menyusun strategi pemecahan masalah sesuai dengan prosedur yang tepat, sehingga dapat membantu untuk memperoleh solusi pemecahan masalah matematis Siswa mampu melaksanakan strategi pemecahan masalah matematis dengan perhitungan yang tepat Siswa memeriksa proses dan hasil yang diperoleh, serta tepat dalam menarik solusi. Proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan tahapan polya digunakan untuk melihat kesesuaian antara kegiatan siswa dengan indikator yang telah ditentukan. Indikator yang digunakan merupakan pengembangan dari karakteristik proses berpikir asimilasi ataupun akomodasi serta tahapan pemecahan masalah berdasarkan tahapan polya. Berikut ini ialah indikator proses berpikir dalam memecahkan masalah matematika yang tersaji dalam Tabel 2. 4. Tabel 2. 4 : Indikator Proses Berpikir dalam Memecahkan Masalah Tahapan Pemecahan Masalah Polya Memahami Masalah (Understand the problem) Proses Berpikir Indikator Proses Berpikir dalam memecahkan masalah Asimilasi Siswa dapat dengan mudah menentukan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari masalah serta dapat menyatakan kembali masalah dengan bahasanya sendiri Akomodasi Siswa membutuhkan proses yang lama yaitu dengan membaca masalah secara berulang-ulang

22 Merencanakan strategi (Divising a plan) Melaksanakan strategi (Carry out your plan) Pengecekan Kembali (Looking Back) terlebih dahulu untuk dapat menentukan apa yang diketahui dan apa dari masalah serta tidak dapat menyatakan kembali masalah dengan bahasanya sendiri Asimilasi Siswa dapat menyusun strategi pemecahan masalah dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari soal Akomodasi Siswa membutuhkan proses yang lama untuk menyusun strategi pemecahan masalah seperti dengan mencoba-coba terlebih dahulu sebelum menemukan strategi yang sesuai serta mampu mengaitkan pengetahuan sebelumnya yang pernah diperoleh dengan informasi yang terdapat pada soal Asimilasi Siswa menyelesaikan masalah menggunakan strategi pemecahan masalah yang telah disusun serta melakukan perhitungan dengan benar dan tepat Akomodasi Siswa menyelesaikan masalah dengan melakukan modifikasi terhadap pemecahan masalah yang telah disusun dan terkadang membuat strategi pemecahan masalah yang agak berbeda dengan strategi yang telah dibuat sebelumnya Asimilasi Siswa melakukan pengecekan kembali dengan memeriksa strategi yang telah disusun, proses perhitungan dan hasil akhir yang diperoleh. Akomodasi Siswa melakukan pengecekan kembali menggunakan strategi berbeda Pada saat siswa tidak memenuhi indikator asimilasi ataupun akomodasi tersebut dengan sempurna, maka proses berpikir yang dilakukan adalah proses berpikir tak sempurna.

23 Indikator proses berpikir dalam memecahkan masalah menjadi acuan pada saat wawancara pada penelitian ini. Terdapat kemungkinan bahwa tidak semua indikator tersebut dapat dipenuhi oleh subjek penelitian. Sehingga apabila subjek menunjukkan salah satu aspek dari salah satu proses berpikir, maka itu dirasa dapat mewakili proses berpikirnya. 4. Adversity Quotient (AQ) Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan dalam menghadapi kesulitan (Stoltz, 2000). Menurut Stoltz (2000) menyatakan bahwa Adversity Quotient (AQ) memiliki tiga bentuk, yaitu: 1) AQ adalah suatu kerangka konseptual baru untuk memahami dan meningkatkan kesuksesan, 2) AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang pada saat menghadapi kesulitan, 3) AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang pada saat menghadapi kesuliatan. Suksesnya suatu pekerjaan dan hidup seseorang banyak ditentukan oleh AQ. Seseorang dengan AQ yang tinggi, jika dihadapkan pada suatu permasalahan yang sulit, ia akan berusaha untuk bertanggung jawab menyelesaikan permasalahan tersebut, tidak mudah mengeluh dan putus asa walaupun dalam keadaan yang sulit. Dengan AQ yang tinggi seseorang akan berjuang sampai puncak untuk menemukan solusi dari permasalahan tersebut. Oleh karena itu, AQ dapat diartikan sebagai pendakian puncak

24 gunung (Stoltz, 2000). Seseorang yang mecapai puncak gunung berarti ia telah berhasil mengatasi kesulitan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Adversity Quotient (AQ) merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi masalah yang dianggapnya sulit, namun ia akan tetap bertahan dan berusaha untuk menyelesaikannya sebaik-baiknya. Stoltz (2000) menggelompokkan Adversity Quotient (AQ) ke dalam tiga tipe, yaitu: a) Tipe Climbers (AQ tinggi) Tipe Climber dikenal sebagai para pendaki. Climbers merupakan kelompok orang yang terus berjuang menghadapi kesulitan dan tantangan yang ada. Climbers mempunyai tujuan dan target. Untuk mencapai tujuan, climbers mampu mengusahakan dengan keuletan dan kegigihannya. Climbers memiliki keberanian dan disiplin yang tinggi. Ia akan terus mencoba sampai mencapai kesuksesannya. Siswa climbers adalah mereka yang senang belajar matematika. Tugas-tugas matematika yang diberikan oleh guru diselesaikannya dengan baik dan tepat waktu. Jika mereka menemukan masalah matematika yang sulit dikerjakan, maka mereka berusaha semaksimal mungkin sampai mereka dapat menyelesaikannya. Mereka tidak mengenal kata menyerah. Mereka mencoba berbagai cara untuk dapat menyelesaikan masalah matematika tersebut.

25 b) Tipe Campers (AQ sedang) Tipe Camper dikenal sebagai mereka yang berkemah. Campers merupakan kelompok orang yang sudah memiliki kemauan untuk berusaha menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan dan tantangan yang ada namun mereka berhenti ditengah jalan karena merasa sudah tidak mampu lagi. Campers tidak mau mengambil resiko yang telalu besar dan merasa puas dengan apa yang telah dicapainya saat ini. Campers cepat merasa puas atau selalu merasa cukup berada diposisi tengah. Mereka tidak memaksimalkan usahanya walaupun masih ada peluang dan kesempatan. Tidak ada usaha untuk lebih giat belajar. Dalam belajar matematika campers tidak berusaha semaksimal mungkin. Mereka berpendapat bahwa tidak perlu nilai tinggi yang penting lulus, tidak perlu juara yang penting naik kelas. c) Tipe Quitters (AQ rendah) Tipe Quitters dikenal sebagai mereka yang berhenti. Quitters merupakan kelompok orang yang kurang memiliki kemauan untuk menerima tantangan dalam hidupnya. Mereka berusaha untuk menjauh dari permasalahan. Ciri-ciri tipe quitters, yaitu: usahanya kecil, begitu melihat ada kesulitan ia memilih mundur, dan tidak berani menghadapi permasalahan. Mereka meninggalkan cita-citanya dan memilih jalan yang lebih datar dan mudah. Saat dihadapkan pada suatu permasalahan mereka cenderung menyalahkan orang lain

26 disekelilingnya dan membenci orang-orang yang terus berusaha untuk maju. Siswa Quitters, mereka beranggapan bahwa matematika itu rumit, dan membingungkan. Mereka tidak mempunyai semangat, sehingga pada saat mereka menemukan sedikit kesulitan dalam menyelesaikan masalah matematika mereka menyerah dan berhenti tanpa berusaha untuk mneyelesaikannya terlebih dahulu. Adversity Quotient (AQ) menurut Stoltz (2000) memiliki empat komponen utama yang sering disebut CO 2 RE yaitu: a) C = Control (kendali), seberapa kuat kendali seseorang dalam merasakan sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Kata kunci pada Control (kendali) yaitu merasakan. Semakin tinggi tingkat skor pada komponen C, maka cenderung untuk tetap bertahan pada saat menghadapi kesulitan dan tetap teguh dalam menemukan penyelesaian atas masalah yang dihadapinya. b) O 2 = Origin (asal usul) dan Ownership (pengakuan), siapa yang menjadi asal usul kesulitan dan sampai sejauh mana seseorang mengakui adanya kesulitan tersebut. Kata kunci pada origin (asal usul) yaitu rasa bersalah dan ownership (pengakuan) yaitu tanggung jawab. Semakin tinggi tingkat skor pada dimensi O 2, maka seseorang mampu mengendalikan rasa bersalah atau penyesalan sewajarnya dan memiliki sikap tanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan.

27 c) R = Reach (jangkauan), sampai sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dalam kehidupannya. Semakin tinggi tingkat skor pada dimensi R, maka semakin besar kemungkinan seseorang membatasi jangkauan masalahnya pada masalah yang sedang dihadapi. Ia mampu mengontrol dirinya saat dihadapkan pada suatu masalah, menjaga agar kesulitan tersebut tetap berada ditempatnya, Sehingga kesulitan dan tantangan hidup menjadi lebih mudah ditangani. d) E = Endurance (daya juang), mempertanyakan dua hal yang saling berkaitan yaitu berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Semakin tinggi skor pada dimensi E, maka semakin besar kemungkinan seseorang akan memandang kesuksesan sebagai suatu yang berlangsung lama, dan menganggap kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Hal ini akan meningkatkan keyakinan seseorang untuk bertindak dan optimis. Indikator Adversity Quotient (AQ) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ditentukan berdasarkan komponen CO 2 RE yang tersaji pada tabel 2.5 sebagai berikut: Tabel 2.5 : Indikator Adversity Quotient (AQ) Dimensi / Komponen AQ C = Control (kendali) Indikator 1. Mampu mengendalikan diri pada saat menghadapi kesulitan, 2. Tidak mudah putus asa dalam meraih kesuksesan

28 O 2 = Origin (asal usul) dan Ownership (pengakuan) R = Reach (jangkauan) E = Endurance (daya juang) 1. Mampu menempatkan rasa bersalah secara wajar, 2. Bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan 1. Mampu berpikir postif ketika berada pada situasi yang sulit 2. Mampu melakukan pemetaan masalah dengan tepat 1. Memandang kesulitan atau kegagalan hanya bersifat sementara 2. Optimis dalam menghadapai kesulitan 5. Materi Lingkaran Standar Kompetensi : 6. Menentukan unsur, bagian lingkaran serta ukurannya Kompetensi Dasar : 4.1. Menentukan unsur dan bagian-bagian lingkaran 4.2. Menghitung keliling dan luas lingkaran 4.3. Menggunakan hubungan sudut pusat, panjang busur, luas juring dalam pemecahan masalah (BSNP, 2006) Indikator Soal : 4.1.1. Siswa mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan unsur-unsur lingkaran 4.2.1. Siswa mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan keliling lingkaran 4.2.2. Siswa mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan luas lingkaran

29 4.3.1. Siswa mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan hubungan antara sudut pusat dengan panjang busur dalam pemecahan masalah 4.3.2. Siswa mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan hubungan antara sudut pusat dengan luas juring dalam pemecahan masalah B. Penelitian Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Melafiana (2015) dengan kajiannya antara kemampuan pemecahan masalah dan Adversity Quotient (AQ) menunjukkan bahwa Adversity Quotient (AQ) mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang baik yaitu siswa AQ tinggi (Climbers) memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis yang baik karena mampu melaksanakan setiap tahapan pemecahan pemecahan masalah dengan baik, siswa AQ sedang (Campers) memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis dengan cukup baik karena hanya mampu melaksanakan sebagian tahapan pemecahan masalah dengan baik, dan siswa AQ rendah (Quitters) memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis yang kurang baik karena belum melaksanakan seluruh tahapan pemecahan masalah dengan baik. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Lisnawati (2013) dalam kajiannya mengenai proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika, menujukkan bahwa siswa menunjukkan bahwa siswa berkemampuan tinggi dalam memahami masalah menggunakan proses

30 berpikir asimilasi, merencanakan rencana melakukan proses berpikir asimilasi dan akomodasi, melaksanakan rencana menggunakan proses berpikir asimilasi dan akomodasi, pemeriksaan kembali menggunakan proses berpikir asimilasi dan akomodasi yang tidak sempurna dengan tidak melakukan pengecekan kembali terhadap jawaban yang telah diperoleh. Siswa berkemampuan rendah dalam memahami masalah menggunakan proses berpikir akomodasi yang tidak sempurna, merencanakan pemecahan masalah melakukan proses berpikir akomodasi tidak sempurna, melaksanakan rencana siswa tidak melakukan proses berpikir asimilasi dan akomodasi, dan pada pemeriksaan kembali siswa tidak melalukan proses berpikir asimilasi dan akomodasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya mengenai proses berpikir, kemampuan pemecahan masalah dan Adversity Quotient (AQ) diketahui bahwa terdapat hubungan antara Adversity Quotient (AQ) dengan kemampuan pemecahan masalah maupun hubungan antara kemampuan pemecahan masalah dengan proses berpikir siswa. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat hubungan antara proses berpikir, pemecahan masalah matematika dan Adversity Quotient (AQ). Peneliti ingin mengungkapkan bagaimana proses berpikir yang dilakukan oleh siswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan Adversity Quotient (AQ). Oleh karena itu, peneliti membuat rumusan penelitian yaitu deskripsi proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan Adversity Quotient (AQ).

31 C. Kerangka Pikir Masalah dalam pembelajaran matematika, biasanya terletak dalam soal matematika. Suatu soal dikatakan masalah bagi seorang siswa apabila pertanyaan yang dihadapkan dapat dimengerti oleh siswa, namun pertanyaan tersebut harus merupakan tantangan bagi siswa untuk memecahkannya dan pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan menggunakan prosedur secara rutin yang telah diketahui siswa. Masalah matematika dapat diselesaikan dengan menggunakan strategi-strategi pemecahan masalah yang digunakan untuk menemukan solusi dari permasalahan matematika. Dalam memecahkan masalah matematika tersebut siswa akan melakukan proses berpikir. Proses berpikir yang dilakukan oleh siswa adalah tergantung dari cara berpikir masing-masing siswa. Dalam proses berpikir siswa akan menggunakan semua pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Siswa yang melakukan proses berpikir pada umumnya akan mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah matematika. Kecerdasan dalam menghadapi kesulitan disebut dengan Adversity Quotient (AQ). Tentunya Adversity Quotient (AQ) dalam pembelajaran matematika perlu dilatih kepada siswa. Dengan berbekal Adversity Quotient (AQ) dalam diri siswa, maka permasalahan matematika yang sulit akan terpecahkan dengan baik. Untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran matematika maka guru harus mengetahui proses berpikir yang dilakukan oleh siswa

32 dalam memecahkan masalah matematika dan Adversity Quotient (AQ) siswa. Hal ini yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terhadap proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika dan Adversity Quotient (AQ). Melalui penelitian ini akan diketahui bagaimana gambaran mengenai proses berpikir yang dilakukan siswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan Adversity Quotient (AQ).