Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1

dokumen-dokumen yang mirip
SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN MENUNJANG INDUSTRIALISASI KP SEJUMLAH MASUKAN PEMIKIRAN

SINERGI DAN PERAN KOMISI PENYULUHAN PERIKANAN NASIONAL (KPPN) DALAM PENYELENGGARAAN PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEBIJAKAN PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN, DAN SINERGI PENYELENGGARAN PENYULUHAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lemb

Peraturan...

INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 127/KEPMEN-KP/2015 TENTANG

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2016

Penguatan Minapolitan dan Merebut Perikanan Selatan Jawa

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 10 TAHUN 2010 T E N T A N G

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 128/KEPMEN-KP/2015 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BARRU

SOSIALISASI BADAN KOORDINASI NASIONAL PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 154 TAHUN 2014 TENTANG KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEBIJAKAN DAN KEGIATAN PENYULUHAN DALAM MENDUKUNG INDUSTRIALISASI PERIKANAN BERBASIS BLUE ECONOMY

PERATURAN MENTERI PERTANIAN. NOMOR : 49/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 05 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.78/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PROGRAMA PENYULUHAN KEHUTANAN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 21 TAHUN TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI BARAT, Menimbang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR KEP.25/MEN/2009 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 39 TAHUN 2007

KEBIJAKAN PELAKSANAAN PROGRAM / KEGIATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENYULUHAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2016

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.78/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PROGRAMA PENYULUHAN KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.01/MEN/2011 TENTANG

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG BADAN KOORDINASI PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN PROVINSI BALI

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.21/MEN/2010 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

UU Nomor 16 Tahun 2006 Tentang SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (SP3K)

BUPATI TEMANGGUNG BUPATI TEMANGGUNG,

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 28 TAHUN 2008 T E N T A N G

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.27/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/PERMEN-KP/2014 TENTANG SISTEM LOGISTIK IKAN NASIONAL

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 154 TAHUN 2014 TENTANG KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MONITORING DAN EVALUASI

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG SISTEM PENYELENGGARAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BANJAR. BAB I KETENTUAN UMUM.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TIMUR NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN

2 yang dikoordinasikan oleh Sekretaris Jenderal dengan anggota dari masingmasing unit kerja eselon I terkait. PUMP, PUGAR, dan PDPT merupakan upaya ke

PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2009 TENTANG PEMBIAYAAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG

PERAT URAN DAERAH K ABUP AT EN BAT ANG NOMOR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.09/MEN/2002 TENTANG INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 5 TAHUN 2008

Rakernis BPSDM KP dihadiri oleh 162 orang peserta. Bertindak sebagai narasumber antara

PENYULUHAN PERIKANAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 39/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

PERATURAN BUPATI TEMANGGUNG NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.52, 2010 Kementerian Pertanian. Pelatihan. Pertanian Swadaya. Pedoman.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG BADAN KOORDINASI PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN PROVINSI JAWA BARAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

TELAAHAN PENINGKATAN KAPASITAS PENYULUHAN PERIKANAN: TUGAS PUSAT ATAU TUGAS DAERAH?

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTA NG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

RENCANA KERJA TAHUNAN (RKT) Pusat Penyuluhan Pertanian. Tahun 2013

RUMUSAN RAPAT KERJA TEKNIS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KKP Gelar FGD Implementasi Blue Economy di Bali

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.15/MEN/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEMENTERIAN PERTANIAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/PERMEN-KP/2015 TENTANG UNIT KERJA MENTERI KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

2018, No Menteri Pertanian sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu ditinjau kembali; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud da

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.07/MEN/2012 TENTANG

Transkripsi:

Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1 Oleh: Mochamad Wekas Hudoyo, APi, MPS Anggota Komisi Penyuluhan Perikanan Nasional, Ketua Umum IPKANI Indonesia, Penyuluh Perikanan Madya A. Penyuluhan Perikanan sebagai suatu Sistem Sebagai suatu Sistem, Penyuluhan Perikanan merupakan suatu resultante dari adanya keterkaitan antara Kelembagaan Penyuluhan, Ketenagaan Penyuluhan, Penyelenggaraan Penyuluhan, Sarana Penyuluhan, serta dukungan Pembiayaan Penyuluhan. Komponen atau unsur-unsur penyuluhan tersebut haruslah saling mengisi dan mendukung satu sama lain, dalam suatu sinergi yang mantap, sehingga tercipta kegiatan Penyuluhan Perikanan yang utuh, tidak timpang pada satu atau lebih dari unsur-unsur Penyuluhan Perikanan tersebut. Hal ini terutama terkait dengan Pasal 1 Undang-undang No. 16/2006 yang menyatakan bahwa Sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang selanjutnya disebut sistem penyuluhan adalah seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan. Dengan demikian pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan penyuluhan haruslah menjadikan prinsip dasar atau azas tersebut sebagai landasan berpikir dan bertindak. Pemikiran tentang sistem Penyuluhan Perikanan secara langsung maupun tidak langsung juga perlu diintegrasikan dalam hubungannya dengan struktur organisasi yang ada dalam lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan, khususnya yang terkait dengan organisasi Direktorat Jenderal sebagai institusi operasional. Dengan demikian, kegiatan penyuluhan seyogyanya juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan pada Direktorat-direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, P2HP, PSDKP, dan KP3K. Dalam hal-hal tertentu, kegiatan penyuluhan dapat pula diperlukan dalam kegiatan di lingkup Eselon I KKP lainnya. Untuk BKIPM, misalnya, dapat saja pada suatu saat diperlukan suatu kegiatan penyuluhan tentang pentingnya aktivitas perkarantinaan dan jaminan mutu kepada para stakeholders. Dalam hal Badan Litbang KP, keterkaitan dengan kegiatan penyuluhan menjadi 1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Penyuluhan Perikanan, BPSDMKP; Surabaya 21 Mei 2013. 1

penting saat hasil penelitian harus didesiminasikan kepada masyarakat, atau saat para penyuluh memerlukan masukan tentang teknologi terbaru dan terekomendasi apa saja yang dapat dijadikan sebagai materi penyuluhan. Dalam pelaksanaannya di lapangan, para Penyuluh Perikanan menghadapi kondisi yang berbeda-beda, baik dari sisi geografis wilayah binaan, kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang dibina, serta variasi dari komoditas maupun jenis usaha perikanan yang dilakukan masyarakat. Kondisi tersebut memerlukan kesiapan penuh para penyuluh untuk mampu menyesuaikan kegiatan Penyuluhan Perikanan yang dilakukan dengan kondisi yang ada, sehingga kegiatan dapat memberikan hasil yang efektif dan efisien. Dalam pada itu harus juga disadari bahwa pelaksanaan kegiatan Penyuluhan Perikanan tidaklah berada di ruang hampa; keberadaan dan peran sistem pemerintahan setempat akan pula menjadi faktor yang perlu diperhitungkan dalam menyusun strategi pelaksanaan Penyuluhan Perikanan pada masing-masing wilayah kerja para penyuluh. Hal ini terutama terkait dengan kebijakan Otonomi Daerah, baik yang terkait dengan struktur organisasi pemerintahan daerah pada masing-masing wilayah kabupaten/kota, maupun dalam kaitannya dengan kebijakan bahwa kegiatan Penyuluhan Perikanan adalah kegiatan yang pelaksanaan dan tanggungjawabnya telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota (peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007). Terkait dengan hal ini, pandangan secara sistem mencakup juga adanya kelancaran alur kebijakan Penyuluhan Perikanan sejak dari kebijakan di tingkat pusat, propinsi, maupun di tingkat kabupaten/kota. B. Industrialisasi Kelautan dan Perikanan Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.27/MEN/2012, Industrialisasi kelautan dan perikanan adalah integrasi sistem produksi hulu dan hilir untuk meningkatkan skala dan kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Tujuan industrialisasi kelautan dan perikanan adalah terwujudnya percepatan peningkatan pendapatan pembudidaya, nelayan, pengolah, pemasar, dan petambak garam. Sementara itu, sasaran industrialisasi kelautan dan perikanan adalah meningkatnya skala dan kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumber daya kelautan dan perikanan. 2

Industrialisasi kelautan dan perikanan dilaksanakan berdasarkan prinsip: (a) peningkatan nilai tambah produk kelautan dan perikanan; (b) peningkatan daya saing produk kelautan dan perikanan; (c) modernisasi sistem produksi hulu dan hilir; (d) penguatan pelaku industri kelautan dan perikanan; (e) berbasis komoditas, wilayah, dan sistem manajemen kawasan dengan konsentrasi pada komoditas unggulan; (f) keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan yang berkelanjutan; dan (g) perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat modern (transformasi sosial). Sejumlah strategi yang akan diterapkan dalam melaksanakan kebijakan KKP tentang Industrialisasi Kelautan dan Perikanan ini adalah: (a) pengembangan komoditas dan produk unggulan berorientasi pasar; (b) penataan dan pengembangan kawasan dan sentra produksi secara berkelanjutan; (c) pengembangan konektivitas dan infrastruktur; (d) pengembangan usaha dan investasi; (e) pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumber daya manusia; (f) pengendalian mutu dan keamanan produk; dan (g) penguatan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan. Dalam pelaksanaannya lebih lanjut, Pengembangan industrialisasi kelautan dan perikanan harus selaras dengan rencana Kebijakan Industri Nasional sebagaimana ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 (Rumusan Seminar Nasional Industrialisasi Perikanan Tangkap, DJPT, 2012). Kebijakan Industri Nasional tersebut menetapkan Industri Hasil Perikanan dan Laut sebagai Industri Prioritas yang mengupayakan peningkatan pasokan bahan baku (kualitas dan kuantitas), peningkatan jaminan mutu dan keamanan produk, nilai tambah, utilitas industri, kemitraan dan integrasi industri. C. Analisis deskriptif dan kondisi Penyuluhan Perikanan di Lapangan Komisi Penyuluhan Perikanan Nasional (KPPN) dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 42/2011 tanggal 26 Juli 2011. Dalam selang waktu 2011-2013 KPPN telah melakukan berbagai kegiatan, sejak dari Audiensi dengan MKP dan seluruh Jajaran Eselon I lingkup KKP, menjadi nara sumber pertemuan yang terkait dengan Penyuluhan perikanan, melakukan koordinasi kegiatan dengan Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional dan Komisi Penyuluhan Kehutanan Nasional, pembahasan tentang berbagai aspek penyuluhan Perikanan, sampai dengan kunjungan ke beberapa propinsi dan kabupaten/kota untuk mendalami pelaksanaan penyuluhan Perikanan di lapangan. 3

Permasalahan yang teridentifikasi oleh Komisi Penyuluhan Perikanan Nasional (KPPN) dari pengamatan dan kunjungan ke berbagai daerah, antara lain: 1. Rendahnya keberpihakan dan perbedaan persepsi pemegang kebijakan (terutama di Daerah) terhadap sistem penyuluhan perikanan; 2. Keterbatasan jumlah dan kualitas tenaga penyuluh perikanan PNS; 3. Belum selesainya pembuatan peraturan tentang pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyuluhan perikanan; 4. Terbatasnya sarana dan prasarana bagi pelaksanaan tugas penyuluh perikanan di lapangan; 5. Belum optimalnya peran penyuluh perikanan, terutama penyuluh perikanan swadaya dan penyuluh perikanan swasta dalam mendukung pengembangan sistem penyuluhan perikanan. 6. Terdapat indikasi yang kuat bahwa baik di tingkat Propinsi, dan terutama di tingkat Kabupaten/Kota, koordinasi antara Dinas yang menangani Kelautan dan Perikanan dengan Badan/lembaga yang menangani kegiatan Penyuluhan kurang berjalan dengan baik. 7. Polivalensi Penyuluh; pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pada Kabupaten/Kota yang penanganan kegiatan penyuluhannya dikoordinasikan oleh Badan Penyuluhan, kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan cenderung berada dalam 1 (satu) koordinasi kegiatan. Hal ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan utama adanya kebijakan Polivalensi Penyuluh, yaitu setiap individu penyuluh menangani kegiatan penyuluhan bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan dalam kegiatan penyuluhannya sehari-hari. Alasan lain, adalah keterbatasan jumlah penyuluh menjadi dasar pemikiran di lokasi, mengakibatkan ketidak piawaian penyuluh pada bidang yang digeluti. 8. Terbatasnya kegiatan Diklat bagi para penyuluh, sehingga mereka mengalami hambatan dalam mengembangkan up-date materi penyuluhan maupun dalam mengembangkan metoda dan media penyuluhan. 4

D. Upaya Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan yang diperlukan. Keberhasilan industrialisasi perikanan membutuhkan Sistem Penyuluhan Perikanan Nasional (SPPN) sebagai landasan dan prioritas dalam pelaksanaan setiap program kerja di lingkup KKP. Implementasi SPPN membutuhkan koordinasi dan kontribusi dari seluruh jajaran eselon I lingkup KKP dalam pemanfaatan unit kerja serta sumberdayanya. Dengan demikian KKP sebagai motor penggerak SPPN harus bersinergi dengan sistem industri nasional yang melibatkan para pemangku kepentingan dan Kementerian/Lembaga terkait melalui joint program. Dengan pemikiran bahwa penyuluh perikanan memiliki peran penting dalam mewujudkan industrialisasi perikanan, maka diperlukan langkah mengatasi masalah yang ada, yaitu: 1. KKP sebagai leading sector, hendaknya mengambil peran utama atau bertindak sebagai koordinator bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam Sistem Penyuluhan Perikanan. Koordinasi kegiatan penyuluhan dengan Eselon I dalam lingkup KKP menjadi salah satu kunci keberhasilan upaya ini; 2. KKP mengusulkan secara formal kepada KemenPAN dan Reformasi Birokrasi dan BKN, agar jabatan penyuluh perikanan dimasukan sebagai jabatan fungsional khusus yang tidak terkena moratorium dan pelaksanaannya didukung oleh KemenDagri dan KemenKeu; 3. Peningkatan Kualitas/Kapasitas dan Pembinaan secara kongkrit mengenai tugas/fungsi penyuluh perikanan yang ada sekarang dengan memanfaatkan kelembagaan yang ada dan melalui sertifikasi kompentensi di lingkup KKP; 4. Percepatan penyelesaian peraturan perundang-undangan yang mencakup sistem penyuluhan perikanan terutama tentang pembinaan dan pengawasan penyuluh perikanan; 5. Pemenuhan kebutuhan sarana, prasarana dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan melalui optimalisasi anggaran yang ada baik di lingkup KKP maupun di lingkup pemerintah daerah; 6. Pengangkatan tenaga penyuluh oleh pihak Pemerintah Kabupaten/kota untuk memenuhi kebutuhan penyuluh perikanan serta mengganti penyuluh yang memasuki usia pensiun. Pada saat yang sama dilakukan upaya peningkatan peran penyuluh 5

perikanan swadaya dan penyuluh perikanan swasta dalam sistem penyuluhan perikanan terutama pada sentra produksi dan industrialisasi perikanan; 7. Diperlukan keterlibatan langsung dari pihak Pemerintah Kabupaten/Kota untuk dapat mengatasi masalah koordinasi kegiatan penyuluhan antara Dinas dengan Bapeluh dalam melakukan sinkronisasi pelaksanaan kegiatannya, sinkronisasi anggaran pendukung kegiatan pada masing-masing instansi, maupun keterbatasan personil yang ada pada masing-masing instansi. Fungsi Koordinasi yang ada pada Sekretariat Daerah dapat menjadi solusi penanganan masalah ini. 8. Seyogyanya kebijakan Polivalensi tidak melekat pada individu penyuluh, melainkan melekat pada institusi Balai Penyuluhan di tingkat Kecamatan; berbagai aspek yang terkait dengan bidang-bidang penyuluhan pertanian-perikanan-kehutanan dibahas dan dimatangkan ditingkat Balai Penyuluhan Kecamatan, dan kemudian para penyuluh, sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi di lapangan, menyampaikannya kepada kelompok sasaran dengan bekal yang telah dibahas bersama di Balai Penyuluhan tersebut. 9. Perkembangan teknologi komunikasi memungkinkan para penyuluh untuk langsung akses dengan sumber-sumber ilmu pengetahuan. Namun demikian tetap dirasakan kebutuhan untuk secara reguler menyelenggarakan kegiatan DIKLAT bagi para Penyuluh Perikanan. Diharapkan bahwa dengan kegiatan tersebut para penyuluh dapat terus mengembangkan kemampuan dan rasa percaya diri dalam melakukan kegiatan Penyuluhan Perikanan. 10. Perlu diupayakan pemenuhan sarana dan prasarana penyuluhan yang memadai, terutama terkait dengan perkembangan transportasi dan teknologi komunikasi saat ini: fasilitas telephone/hp/telp. satelit, komputer/laptop dan internet, fax, alat rekam; Sarana Pendukung Penyuluhan: Alat ukur kualitas air (DO meter, ph meter), Salino meter, Bohme meter, dan GPS; basis lokasi penyuluhan Perikanan: Balai atau Kantor Penyuluhan; kelengkapan sarana transformasi teknis perikanan seperti dalam bentuk Dempond, Demplot, Dem Area, Brosur, leaflet. 6

Secara spesifik, perlu dilakukan upaya khusus untuk mendedahkan konsep dasar Industrialisasi Perikanan kepada para penyuluh perikanan. Aspek-aspek yang harus disampaikan terutama terkait dengan definisi dan cakupan kegiatan Industrialisasi Perikanan, Prinsip-prinsip Dasar Industrialisai Perikanan, serta Strategi pelaksanaan Industrialisasi Perikanan. Dengan pemahaman tersebut para penyuluh diharapkan dapat menyesuaikan kegiatan penyuluhannya sejalan dengan pokok-pokok pikiran Industrialisasi Perikanan tersebut. Hal ini terutama terkait dengan upaya untuk menghindari terjadinya salah persepsi dan salah implementasi terhadap kegiatan Industrialisasi Perikanan, justru ditingkat lapangan. Disadari bahwa rekomendasi pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan yang disebutkan tidaklah sederhana implementasinya. Namun perlu pula ditekankan bahwa tanpa adanya upaya menuju kearah realisasi rekomendasi tersebut, sulit untuk mengharapkan terselenggaranya kegiatan penyuluhan perikanan yang memadai. Untuk itu memang diperlukan kerja keras dan kerja cerdas berbagai pihak terkait, ditingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota, disertai dengan terus dipupuknya semangat koordinasi kegiatan diantara lembaga/instansi terkait. Sebagai catatan penting kelembagaan, bahwa nomenklatur kelembagaan penyuluhan perikanan yang ada di tingkat propinsi dan kabupaten/kota yang ada saat ini masih belum sepenuhnya mengacu kepada UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan serta seragam dari segi penamaan, sehingga sebagian besar masih terintegrasi ke dalam nomenklatur yang bervariasi dan berdasarkan kebutuhan daerah. Untuk itu, pemecahan masalah pembiayaan penyelenggaraan penyuluhan di daerah bergantung pada masuk dan bentuk kelembagaan di SOTK daerah. Dengan demikian amatlah penting dan mendesak, keberadaaan penyuluh perikanan menjadi hal prioritas atau tidak, dan menjadi bagian dari kelembagaan tersendiri atau kolektif. Semoga setiap hambatan menjadi motivasi yang mendasar di wilayah. 7