BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebesar Rp ,

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan perubahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah melakukan reformasi pengelolaan keuangan dengan. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

1 UNIVERSITAS INDONESIA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta

BAB I PENDAHULUAN. diamanahkan oleh pemerintah pusat untuk dikerjakan oleh pemerintah daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, peran akuntansi semakin dibutuhkan, tidak saja untuk kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi pengelolaan negara diawali dengan bergulirnya Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001,

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

I. PENDAHULUAN. Belanja Daerah (APBD). Dampak dari sistem Orde Baru menyebabkan. pemerintah daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara terbesar, dimana sampai saat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang diwujudkan dengan peraturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta pembagian-pembagian keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR Republik Indonesia. Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk reformasi yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, daerah propinsi, kota dan kabupaten. Otonomi daerah yang sedang dilaksanakan dewasa ini menjadi satu diantara bentuk fenomena yang sangat menarik untuk dikaji oleh berbagai kalangan. Daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Awal Januari 2001 merupakan tekad bersama baik aparat pusat maupun aparat daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah di wilayah nasional Indonesia yang desentralisasi. Rakyat menghendaki keterbukaan, kemandirian, serta pemberian wewenang ataupun tugas dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam menjalankan rumah tangganya. 1

2 Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah menempatkan otonomi daerah secara utuh pada daerah kabupaten dan kota. Pemerintah daerah adalah penyelenggara urusan pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi. Pemerintah daerah, dalam hal tugas dan wewenang memiliki hubungan dengan pemerintah daerah lainnya, berdasarkan asas desentralisasi. Hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa, kreativitas dan meningkatkan peran serta masyarakat serta mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Undang-undang nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan daerah menjelaskan pula bahwa pemerintah daerah berhak dan berkewajiban melaksanakan rumah tangga sendiri. Perimbangan daerah harus memperlihatkan keuangan yang adil, proporsional, transparan, serta mempertimbangkan keadaan daerah yang terdesentralisasi. Reformasi anggaran dalam konteks otonomi memberikan paradigma baru terhadap anggaran daerah, yaitu bahwa anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan umum. Anggaran harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran. Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, menyatakan bahwa pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Namun yang menjadi masalah saat ini, kendati sudah

3 otonomi, pemerintah daerah belum mampu mengoptimalkan kemandiriannya, dalam hal penerimaan pendapatan asli daerah termasukk kota dan kabupaten di Jawa Barat. Komposisi pendapatan daerah pada APBD Tahun Anggarann 2013 secara nasional dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian utama, yaitu Pendapatann Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain. Pendapatan daerah terlihatt bahwa dana perimbangan n masih mendominasi sumber pendapatan daerah yaitu sebesar 66,3% atau Rp432,697 triliun, sedangkan PAD hanya sebesar 21,5% atau sebesar Rp140,302 triliun dan pendapatann lain-lain daerah yang sah sebesar 12,2% atau sebesar Rp79,866 triliun. Penerimaan murni daerah yang merupakan modal utama bagi daerah dalam membiayai pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Pemerintahan kota dan kabupaten di Jawa Barat dituntutt untuk mampu meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Berikut tabel mengenai realisasi APBD kota dan kabupaten konsolidasi secara nasional: Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009-2013 (Diolah) Grafik.1.1 Trend APBD (dalam Milyar Rp)

4 Grafik tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa setiap tahun, sejak tahun 2009 hingga tahun 2013, pendapatan daerah meningkat rata-rata pendapatan daerah pada tahun 2012 sebesar Rp551,3 triliun meningkat menjadi sebesar Rp652,9 triliun pada tahun 2013. (Sumber : Kementerian Keuangan RI Dirjen Perimbangan Daerah : 2013).. sebesar 15,6% dan peningkatan n pada tahun 2013 sebesar 18,4%, dimana Berikut tabel mengenai komposisi pendapatan daerah secaraa nasional: Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009-2013 (Diolah) Grafikk 1.2 Trend Komposisi Pendapatan Daerah (tahun 2009 s.d 2013) Namun peningkatan pendapatan daerah tabel di atas masih didominasi dana perimbangan n daerah. Komposisi tersebut membuktikan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pusat. Komposisi rasio pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah masing- masing kota dan kabupaten di Jawaa Barat masih sangat kecil. Hal ini mencerminkan

5 belum tergalinya potensi pendapatan asli daerah masing-masing kota dan kabupaten. Pendapatan asli daerah Propinsi Jawa Barat tahun 2013 rasionya rata-rata hanya 13,92% dari total pendapatan daerah kota-kabupaten di Jawa Barat. Sumber pendapatan asli daerah adalah sebagai berikut : a) hasil pajak daerah. b) hasil retribusi daerah. c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Tabel 1.1 Prosentase Pendapatan Asli Daerah dari Total Pendapatan Daerah (Dalam %) No Kota kabupaten Tahun PAD 1 Kab Cianjur 2013 4,21% 2 Kab Bandung 2013 12,37% 3 Kab Garut 2013 6,01% 4 Kab Tasikmalaya 2013 4,39% 5 Kab Ciamis 2013 5,16% 6 Kab Kuningan 2013 6,68% 7 Kab Cirebon 2013 10,48% 8 Kab Majalengka 2013 7,07% 9 Kab Sumedang 2013 8,71% 10 Kab Indramayu 2013 6,77% 11 Kab Subang 2013 7,68% 12 Kab Purwakarta 2013 14,02% 13 Kab Karawang 2013 17,21% 14 Kab Bekasi 2013 29,37% 15 Kab Bandung Barat 2013 12,20% 16 Kab Bogor 2013 27,36% 17 Kab Sukabumi 2013 8,68% 18 Kota Bogor 2013 19,66% 19 Kota Sukabumi 2013 16,94% 20 Kota Bandung 2013 29,33% 21 Kota Cirebon 2013 18,01% 22 Kota Bekasi 2013 28,63% 23 Kota Depok 2013 23,67%

6 No Kota kabupaten Tahun PAD 24 Kota Cimahi 2013 14,96% 25 Kota Tasikmalaya 2013 12,68% 26 Kota Banjar 2013 9,63% Rata Rata 13,92% Sumber : data lampiran 1-3 yang diolah Salah satu upaya peningkatan pendapatan daerah adalah dengan cara meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat. Upaya ini ditempuh dengan usaha identifikasi. Usaha identifikasi adalah usaha untuk mencari dan menggali potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat yang baru atau belum ada. Usaha identifikasi ini mempunyai ciri utama yaitu usaha untuk memungut pendapatan sepenuhnya dan dalam batasbatas ketentuan yang ada. Pertumbuhan ekonomi daerah merupakan salah satu faktor penentu peningkatan pendapatan asli daerah. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menentukan keberhasilan pembangunan. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah, digunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil ( Rizal, 2013) Propinsi Jawa Barat yang terdiri dari 26 kabupaten dan kota memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang positif. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2013. Propinsi Jawa Barat dengan kapasitas fiskal yang tinggi serta didukung oleh potensi-potensi sumber daya yang dimiliki, seharusnya dapat memaksimalkan keuntungannya tersebut untuk dapat bersaing dengan propinsi yang lain.

7 Kapasitas fiskal merupakan kemampuan yang dimiliki daerah dalam proses pembangunan yang meliputi, sumber daya manusia, sumber daya alam, tingkat industri, serta kemampuan lain yang dimiliki daerah dalam upaya meningkatkan jumlah PAD yang akan diterima. Jumlah kabupaten dan kota yang terbilang cukup besar yakni sejumlah 26 kabupaten dan kota, yang secara administratif masuk di dalam pemerintahan daerah propinsi Jawa Barat. Akan tetapi kondisi riil yang dapat dicapai, belum terlalu menampakkan hasil yang memuaskan dalam proses pencapaian tujuan. Rata-rata penurunan pertumbuhan ekonomi daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat adalah sebesar -3%, seperit terlihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat Tahun 2012-2013 PERTUMBUHAN EKONOMI No Kota/ Kabupaten Tahun 2012 2013 Kenaikan/Penurunan 1 Prov. Jawa Barat 6.48 6.21-4% 2 Kab. Bekasi 6.26 6.22-1% 3 Kab. Ciamis 5.11 4.99-2% 4 Kab. Cianjur 4.74 5.08 7% 5 Kota Bandung 8.73 8.98 3% 6 Kota Cirebon 5.93 5.57-6% 7 Kota Depok 6.58 7.15 9% 8 Kota Tasikmalaya 5.81 5.89 1% 9 Kab. Bandung 5.94 4.61-22% 10 Kab. Bogor 5.96 5.94 0% 11 Kab. Cirebon 5.03 4.81-4% 12 Kab. Garut 5.48 4.61-16% 13 Kab. Indramayu 4.89 5.03 3% 14 Kab. Karawang 8.97 5.44-39% 15 Kab. Kuningan 5.43 4.73-13%

8 PERTUMBUHAN EKONOMI No Kota/ Kabupaten Tahun 2012 2013 Kenaikan/Penurunan 16 Kab. Majalengka 4.67 4.76 2% 17 Kab. Purwakarta 6.4 6.31-1% 18 Kab. Subang 4.45 4.52 2% 19 Kab. Sukabumi 4.07 4.34 7% 20 Kab. Sumedang 4.82 4.69-3% 21 Kab. Tasikmalaya 4.32 4.32 0% 22 Kota Bekasi 7.08 6.85-1% 23 Kota Bogor 6.19 6.15-1% 24 Kota Sukabumi 6.31 5.29 7% 25 Kota Cimahi 5.56 5.24-6% 26 Kota Banjar 5.35 5.26-2% 27 Kab. Bandung Barat 5.75 6.04 5% Rata-Rata -3% Sumber : data lampiran 1-3 yang diolah Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Barat mengalami fluktuasi selama pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2012-2013. Pertumbuhan ekonomi tertinggi pada Kota Depok dengan kenaikan pertumbuhan 9%, diikuti dengan Kabupaten dan Kota Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Pertumbuhan ekonomi yang paling rendah terdapat di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bandung. Pertumbuhan ekonomi daerah bukan satu-satunya indikator dalam peningkatan pendapatan asli daerah. Namun pertumbuhan ekonomi daerah yang kadang naik dan turun ini, menunjukkan bahwa kinerja ekonomi yang kurang baik pada pemerintahan kota dan kabupaten. Hal ini menunjukkan dalam era desentralisasi fiskal, dimana daerah diberi kewenangan dalam mengatur keuangan daerahnya, ternyata banyak

9 kabupaten dan kota yang belum menunjukkan perubahan yang signifikan dalam pertumbuhan ekonominya. Kenaikan dan penurunan pertumbuhan ekonomi daerah ditentukan pula oleh pengeluaran pemerintah. Komposisi pengeluaran pemerintah daerah menentukan pertumbuhan ekonomi daerah. Pengeluaran pemerintah daerah yang produktif juga menentukan kenaikan dan penurunan pertumbuhan ekonomi daerah Teori Rostow menjelaskan bahwa ada tahap-tahap yang dilewati suatu negara atau daerah dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu cara untuk mempercepat Pertumbuhan ekonomi adalah dengan memperkuat tabungan nasional. Teori ini diperjelas lagi dengan teori Harord-Domar yang menyebutkan bahwa semakin banyak porsi pendapatan domestik bruto daerah yang ditabung, akan menambah capital stock, sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Kedua teori tersebut menjelaskan bahwa tingkat tabungan dan capital stock yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktur Jenderal Perimbangan Daerah mempunyai data, bahwa belanja daerah secara nasional pada Tahun Anggaran 2013 mencapai Rp707,083 triliun. Belanja pegawai porsinya masih dominan yaitu mencapai 41,9% atau sebesar Rp296,540 triliun. Belanja modal mencapai Rp175,578 triliun atau sebesar 24,8%. Belanja Barang dan Jasa mencapai Rp148,012 triliun atau 20,9%.

10 Belanja pegawai semakin mendominasi beban anggaran pendapatan dan belanja daerah kota dan kabupaten di Indonesia. Belanja pegawai menjadi momok tersendiri dalam pengeluaran anggaran daerah tiap tahunnya. APBD seharusnya untuk kualitas pelayanan publik dan kepentingan masyarakat. Dominasi belanja pegawai di APBD pada setiap tahun anggaran akan mengurangi kesempatan belanja non pegawai (belanja modal, barang dan jasa), yang digunakan semestinya untuk kesejahteraan masyarakat dan penyediaan fasilitas publik. (Warta Ekonomi : 2013) Data dari kementerian dalam negeri, rata-rata belanja pegawai sebesar 42% dari APBD propinsi, kabupaten dan kota pada tahun anggaran 2012. Sedangkan porsi belanja barang dan jasa sebesar 20%, serta belanja modal 22%. Sehingga, APBD setiap daerah cenderung banyak dikuasai untuk membayar gaji Pegawai Negara Sipil (PNS) dan berbagai kegiatan PNS dibandingkan belanja infrastruktur. Apalagi, pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah menargetkan porsi belanja modal dalam APBD hanya sebesar 29% pada 2013 dan 30% pada 2014. Maka, perlu adanya pengendalian belanja pemerintah daerah dalam porsi untuk belanja pegawai, belanja modal serta belanja barang dan jasa. Warta Ekonomi mengadakan riset tentang pemeringkatan belanja pegawai terbesar tahun 2013 pada 491 kabupaten dan kota se-indonesia. Metodologi berdasarkan acuan kementerian keuangan, yakni menghitung rasio realisasi belanja pegawai terhadap total belanja daerah selama tahun anggaran 2008 hingga 2012. Rasio tersebut mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk belanja

11 pegawai. Data belanja pegawai yang digunakan ialah belanja pegawai langsung dan belanja pegawai tidak langsung. Setelah dihitung rasio belanja pegawai terhadap total belanja, lalu dihitung rerata selama lima tahun tersebut. Selanjutnya diperingkat dari tertinggi hingga terendah. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk pegawai, begitu pula sebaliknya. Dari hasil perhitungan, realisasi porsi APBD untuk belanja pegawai pada 50 daerah berkisar 65% hingga 75%. Rata-rata realisasi belanja pegawai daerah masih didominasi wilayah Jawa. disusul wilayah Sumatera. Rata-rata realisasi porsi APBD untuk belanja pegawai tertinggi terjadi pada Kabupaten Klaten hingga mencapai 74%. Disusul Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Purworejo. Rata-rata besarnya realisasi belanja pegawai daerah selama lima tahun, didominasi Propinsi Jawa Tengah (Kab. Klaten, Kab. Wonogiri, Kab. Purworejo dan Kab. Sragen), Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Kuningan dan Sumedang). Kemudian Propinsi Yogyakarta (Kab. Gunung Kidul dan Kab. Kulon Progo). (Warta Ekonomi :2013). Jurnal ekonomi pembangunan mengutarakan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan belanja daerah, atau lebih umumnya ukuran dari sektor publik menjadi subyek yang penting untuk dianalisis dan diperdebatkan. Fakta menunjukkan bahwa pertama, hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi tidak ada yang konsisten, bisa positif bisa negatif. Hasil dan bukti berbeda di negara maupun di daerah. Folster dan Henrekson (1999) berargumen bahwa hubungannya

12 negatif, sementara agell at. (1999) menemukan hubungan yang tidak signifikan. Kedua, sifat dari pengeluaran publik akan tergantung dari kondisinya. Mengikuti Barro (1990) konstribusi pengeluaran yang produktif terhadap pertumbuhan, dan sebaliknya untuk pengeluaran yang tidak produktif. Akhirnya tidak ada pernyataan mengenai arah hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi (folster dan henrekson dalam Jamjani Zodik:2007;27-28). Penelitian oleh Maulana Malik Iskandar (2012) bahwa belanja modal, dana perimbangan, kualitas pengelolaan daerah dan pertumbuhan jumlah penduduk tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Penelitian lain oleh Jamzani Sodik (2007) bahwa pengeluaran pemerintah (baik pengeluaran pembangunan maupun pengeluaran rutin) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Hal tersebut menandakan bahwa pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tidak selalu konsisten. Beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas memiliki hasil yang beragam, namun penulis memiliki data yang telah diolah sendiri oleh peneliti mengenai belanja daerah dan pertumbuhan ekonomi yang dapat menjadi fenomena menarik untuk dapat diteliti. Penulis melihat bahwa kajian ini menarik untuk dianalisis, sehingga dapat memberikan informasi mengapa kenaikan belanja daerah tidak seiring dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi, dan sekaligus kita dapat mengetahui lebih jauh apakah belanja daerah memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

13 No Kota/ Kabupaten Tabel 1.3 Belanja Daerah dan Pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa BaratTahun 2012-2013 PERTUMBUHAN BELANJA DAERAH EKONOMI Tahun 2011 2012 Kenaikan/Penur unan Tahun 201 1 201 2 Kenaikan/Penur unan 1 Prov. Jawa 10,296,9 13,761,3 34% 6.4 6.2-4% 2 Kab. Bekasi 2,323,24 2,600,80 12% 6.2 6.2-1% 3 Kab. Ciamis 1,626,15 1,764,18 8% 5.1 4.9-2% 4 Kab. Cianjur 1,777,60 1,972,49 11% 4.7 5.0 7% 5 Kota Bandung 3,080,34 3,490,04 13% 8.7 8.9 3% 6 Kota Cirebon 818,299 813,672-1% 5.9 5.5-6% 7 Kota Depok 1,350,08 1,371,44 2% 6.5 7.1 9% 8 Kota 917,531 1,035,03 13% 5.8 5.8 1% 9 Kab. Bandung 2,428,38 2,788,97 15% 5.9 4.6-22% 10 Kab. Bogor 3,209,78 3,622,07 13% 5.9 5.9 0% 11 Kab. Cirebon 1,683,61 2,033,14 21% 5.0 4.8-4% 12 Kab. Garut 2,011,15 2,131,94 6% 5.4 4.6-16% 13 Kab. 1,569,01 1,843,45 17% 4.8 5.0 3% 14 Kab. 1,832,29 2,382,74 30% 8.9 5.4-39% 15 Kab. Kuningan 1,247,37 1,434,01 15% 5.4 4.7-13% 16 Kab. 1,287,19 1,525,08 18% 4.6 4.7 2% 17 Kab. 962,771 1,114,44 16% 6.4 6.3-1% 18 Kab. Subang 1,351,79 1,481,61 10% 4.4 4.5 2% 19 Kab. 1,837,10 1,984,31 8% 4.0 4.3 7% 20 Kab. 1,241,80 1,424,52 15% 4.8 4.6-3% 21 Kab. 1,501,36 1,820,80 21% 4.3 4.3 0% 22 Kota Bekasi 1,981,34 2,499,56 26% 7.0 6.8-1% 23 Kota Bogor 1,074,57 1,255,35 17% 6.1 6.1-1% 24 Kota 624,504 714,436 14% 6.3 5.2 7% 25 Kota Cimahi 738,304 833,412 13% 5.5 5.2-6% 26 Kota Banjar 484,464 513,257 6% 5.3 5.2-2% 27 Kab. Bandung 1,251,59 1,501,19 20% 5.7 6.0 5% Rata-rata 15% Rata-Rata -3% Sumber Data : www.djpk.depkeu.go.id & http://jabar.bps.go.id (data yang telah diolah). Rata-rata belanja daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat terdapat kenaikan 15 % dari tahun 2011 sampai dengan 2012, namun sebaliknya rata rata pertumbuhan

14 ekonomi daerah terdapat penurunan sebesar 3 % dari tahun 2011 sampai dengan 2012. Pada komponen belanja daerah juga nampak seberapa besar porsi belanja daerah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah seharusnya mengubah komposisi belanjanya. Selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif. Rata-rata belanja operasi kota dan kabupaten di Jawa Barat adalah sebesar 78,71% dan belanja modal sebesar 20,04% dari total belanja daerah seperti yang diterangkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 1.4 Persentase Belanja Operasi dan Belanja modal dari Total Belanja Daerah (Dalam Milyar Rp.) No Kota kabupaten Tahun B_Operasi B_Modal 1 Kab Cianjur 2013 82,76% 13,60% 2 Kab Bandung 2013 75,54% 14,89% 3 Kab Garut 2013 75,43% 23,45% 4 Kab Tasikmalaya 2013 84,81% 14,00% 5 Kab Ciamis 2013 83,54% 15,19% 6 Kab Kuningan 2013 84,24% 14,78% 7 Kab Cirebon 2013 85,38% 14,45% 8 Kab Majalengka 2013 80,48% 19,19% 9 Kab Sumedang 2013 85,30% 13,19% 10 Kab Indramayu 2013 87,17% 10,90% 11 Kab Subang 2013 82,26% 17,03% 12 Kab Purwakarta 2013 77,94% 19,45% 13 Kab Karawang 2013 74,24% 23,72% 14 Kab Bekasi 2013 62,21% 31,55% 15 Kab Bandung Barat 2013 85,47% 17,61% 16 Kab Bogor 2013 88,50% 33,35%

15 No Kota kabupaten Tahun B_Operasi B_Modal 17 Kab Sukabumi 2013 86,96% 10,40% 18 Kota Bogor 2013 76,65% 18,79% 19 Kota Sukabumi 2013 83,29% 16,11% 20 Kota Bandung 2013 67,77% 31,51% 21 Kota Cirebon 2013 81,16% 15,73% 22 Kota Bekasi 2013 69,07% 29,78% 23 Kota Depok 2013 57,31% 34,32% 24 Kota Cimahi 2013 83,78% 15,15% 25 Kota Tasikmalaya 2013 79,11% 19,62% 26 Kota Banjar 2013 66,20% 33,27% Rata rata 78,71% 20,04% Sumber : data lampiran 1-3 yang diolah Pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya untuk melakukan aktivitas pembangunan. Dengan kata lain belanja modal dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan, yang sifatnya mempertahankan atau menambah manfaat dan meningkatkan kapasitas serta kualitas asset. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti sehingga kita mengetahui apakah belanja daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, dan bagaimana implikasinya terhadap pendapatan asli daerah. Hal ini yang menjadi tema sentral menarik untuk kami teliti. Berdasarkan paparan data dan fakta di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang mendasari penulis untuk membuat judul tesis ini, adalah : 1. Komposisi pendapatan daerah pada APBD TA 2013 secara nasional dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian utama, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana

16 perimbangan dan pendapatan lain-lain. Pendapatan daerah terlihat bahwa dana perimbangan masih mendominasi sumber pendapatan daerah yaitu sebesar 66,3% atau Rp432,697 triliun, sedangkan PAD hanya sebesar 21,5% atau sebesar Rp140,302 triliun dan pendapatan lain-lain daerah yang sah sebesar 12,2% atau sebesar Rp79,866 triliun. 2. Komposisi rasio pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah masingmasing kota dan kabupaten di Jawa Barat masih sangat kecil. Hal ini mencerminkan belum tergalinya potensi pendapatan asli daerah masing-masing kota dan kabupaten. Pendapatan asli daerah Propinsi Jawa Barat tahun 2013 rasionya rata-rata hanya 13,92% dari total pendapatan daerah kota-kabupaten di Jawa Barat. 3. Rata-rata penurunan pertumbuhan ekonomi daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat adalah sebesar -3%. 4. Rata-rata belanja pegawai sebesar 42% dari APBD propinsi, kabupaten dan kota pada tahun anggaran 2012. Dominasi belanja pegawai di APBD pada setiap tahun anggaran akan mengurangi kesempatan belanja non pegawai (belanja modal, barang dan jasa), yang digunakan semestinya untuk kesejahteraan masyarakat dan penyediaan fasilitas publik. Apakah alasan pemerintah mengenai kebijakan komposisi belanja ini dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. 5. Komposisi rata-rata belanja operasi sebesar 78,71% dan Belanja modal di kota dan kabupaten di Jawa Barat hanya 20,04% dari Total Belanja.

17 6. Bahwa hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi tidak ada yang konsisten, bisa positif bisa negatif, dan tidak berpengaruh secara signifikan, dibuktikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. (Folster dan Henrekson dalam Jamjani Zodik:2007:27-28). 7. Tidak ada pernyataan mengenai arah hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan Pertumbuhan ekonomi (Folster dan Henrekson dalam Jamjani Zodik:2007:27-28). Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti dengan mengambil judul Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (Studi Empiris Pada kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat) 1.2. Rumusan Masalah Dari pertanyaan masalah pokok tersebut, maka sub-sub pertanyaan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Seberapa besar terdapat pengaruh belanja operasi terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 2. Seberapa besar terdapat pengaruh belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 3. Seberapa besar belanja operasi dan belanja modal berpengaruh secara simultan terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.

18 4. Seberapa besar terdapat implikasi pertumbuhan ekonomi daerah terhadap pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 1.3. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui seberapa besar terdapat pengaruh belanja operasi terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 2. Untuk mengetahui seberapa besar terdapat pengaruh belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 3. Untuk mengetahui seberapa besar belanja operasi dan belanja modal berpengaruh secara simultan terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 4. Untuk mengetahui seberapa besar terdapat implikasi pertumbuhan ekonomi daerah terhadap pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 1.4. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Ingin memberikan informasi kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat, mengenai akuntabilitas pengelolaan dana publik untuk kesejahteraan masyarakat. 2. Memberikan pemahaman kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat keterkaitan antara pendapatan asli daerah, pertumbuhan ekonomi daerah,

19 belanja operasi dan belanja modal di kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 3. Ingin memberikan informasi kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat, pertumbuhan ekonomi berdampak signifikan atau tidak dalam meningkatkan pendapatan asli daerah di kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 4. Ingin memberikan informasi kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat, bahwa belanja daerah berpengaruh signifikan atau tidak dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 5. Bagi penulis, penelitian ini sangat berguna untuk menambah pemahaman mengenai akuntansi sektor publik, kaitannya dengan belanja daerah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi terhadap pendapatan asli daerah Propinsi di Jawa Barat. 1.5. Batasan Masalah Batasan waktu yang dipilih adalah tahun realisasi anggaran 2009 s.d 2013, penetapan waktu dipilih karena data tersebut lebih up-date, sedangkan batasan daerah yang dipilih adalah di 26 kota dan kabupaten di Jawa Barat, karena Jawa Barat adalah salah satu propinsi yang memiliki rata-rata realisasi belanja operasi lebih besar dari daerah lainnya. Kemudian untuk belanja daerah dibatasi klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi belanja operasi, belanja modal, berdasar pada PP No. 71 Tahun 2010 dan PSAP No2.

20 Bidang kajian penelitian ini berkaitan dengan Akuntansi Sektor Publik, khususnya mengenai realisasi anggaran di daerah dan kaitannya dengan ekonomi pembangunan serta pertumbuhan ekonomi di daerah.