BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 HASIL DAN ANALISIS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMBENTUKAN MODEL DAN PARAMETER UNTUK ESTIMASI KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN DATA LIGHT DETECTION AND RANGING

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS 4.2 Analisis Penggunaan TLS Untuk Pemantauan Longsoran

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB 3. Akuisisi dan Pengolahan Data

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

III. BAHAN DAN METODE

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB 3 PENERAPAN KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR PADA PERANGKAT LUNAK SONARPRO

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Jurnal Geodesi Undip Januari 2017

BAB IV PENGOLAHAN DATA

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20

Gambar 4.1 Macam-macam Komponen dengan Bentuk Kompleks

TEKNOLOGI RIMS (RAPID IMAGING AND MAPPING SYSTEMS)

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB 4 ANALISIS DAN DISKUSI

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III METODOLOGI. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam studi ini meliputi :

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Pemrosesan Data DEM. TKD416 Model Permukaan Digital. Andri Suprayogi 2009

BAB III METODE PENELITIAN

PEMANFAATAN TEKNOLOGI LIGHT DETECTION AND RANGING (LIDAR) DALAM PEMODELAN BANJIR AKIBAT LUAPAN AIR SUNGAI

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Ilustrasi: Proses Produksi

Output graphics seperti kontur, post, section, base grid dan sebagainya dapat dibuat melalui Minescape dan hasilnya disimpan dalam design file.

APLIKASI CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY UNTUK PERHITUNGAN VOLUME OBJEK

BAB III METODE PENELITIAN

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dan perkembangan sistem tracking antena pada komunikasi

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

BAB III PELAKSANAAN PEKERJAAN. Pengukuran Detail Rehabilitasi Jaringan Irigasi tersier Pada UPTD. Purbolinggo

Studi Perhitungan Jumlah Pohon Kelapa Sawit Menggunakan Metode Klasifikasi Berbasis Obyek

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pencapaian penelitian secara optimal sangat ditentukan pada kadar pemahaman

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

CARA MEMBUAT KONTUR DAN MENGHITUNG VOLUME

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

Gambar 3.1 Peta lintasan akuisisi data seismik Perairan Alor

Gambar 7. Lokasi Penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III PERANCANGAN SISTEM. Pada dewasa sekarang ini sangat banyak terdapat sistem dimana sistem tersebut

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemodelan Sintetik Gaya Berat Mikro Selang Waktu Lubang Bor. Menggunakan BHGM AP2009 Sebagai Studi Kelayakan Untuk Keperluan

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian survei metode gayaberat secara garis besar penyelidikan

BAB III BAHAN DAN METODE

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

BAB IV BASIS DATA SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI DAERAH PENELITIAN

METODE. Waktu dan Tempat

BAB V SIMULASI MODEL MATEMATIK

BAB III IMPLEMENTASI METODE CRP UNTUK PEMETAAN

BAB III PENJELASAN SIMULATOR. Bab ini akan menjelaskan tentang cara pemakaian simulator robot pencari kebocoran gas yang dibuat oleh Wulung.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto

Gambar 7.2-5: Zona Bebas Obstacle (Obstacle Free Zone)

HASIL DAN ANALISIS. Tabel 4-1 Hasil kalibrasi kamera Canon PowerShot S90

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan

BAB III REKONTRUKSI 3D MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK PHOTOMODELER.

Panduan Cepat Penggunaan X91 GNSS

9.14. Lampu Runway Turn Pad

BAB 3 AKUSISI DAN PENGOLAHAN DATA

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

BAB III METODE PENGUKURAN

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Transkripsi:

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON 3.1 Data dan Area Studi Dalam Tugas Akhir ini data yang digunakan didapat dari PT McElhanney Indonesia. Area tersebut merupakan area perkebunan kelapa sawit yang berada di daerah Kabupaten Prabumulih, Provinsi Sumatra Selatan, seluas 1 km x 1 km atau 100 hektar dan teletak pada koordinat: 103 o 55 43.844 BT - 103 o 55 59.9779 BT 3 o 20 32.7815 LS - 3 o 20 46.1708 LS Data tersebut telah tergeoreferensi dalam TM WGS 1984 dan berupa data point clouds dalam format (.LAS) berukuran 126.242 KB dan memiliki 4.309.028 point clouds dalam kelas yang belum terklasifikasi (default). Serta dilengkapi dengan data orthophoto sudah direferensikan ke TM WGS84. Gambar 3.1 Area studi penelitian 19

. Gambar 3.2 Data point cloud LiDAR Gambar 3.3 Data orthophoto LiDAR Namun, area studi yang digunakan difokuskan dan di-crop seluas ± 500 meter x 400 meter yakni ± 202900 m 2 dengan total point clouds sejumlah 600.245 titik. Data tersebut diakuisisi pada tanggal 8-9 Juli 2011, menggunakan alat Leica ALS60 diintegrasikan dengan IMU dan Antenna GPS L1/L2 Novatel. Selain menggunakan data LiDAR, data yang digunakan ialah data Orthophoto true colour. Orthophoto merupakan data pendukung untuk membantu dalam proses pengolahan data LiDAR ketika proses pengidentifikasian objek. Metadata akuisisi data LiDAR dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut ini: Tabel 3.1 Parameter akuisisi data LiDAR LIDAR Collection Parameters Laser Frequency 120 KHz Height of Flight Above Mean Terrain 900m (Above Ground Level) Aircraft Speed 110 Knot Field of View 40 Degrees Time of Lidar Acquisition 8-9 Juli 2011 Type of Lidar System Leica ALS60 Integrated with IMU and Antena GPS L1/L2 Novatel Type of Airborne Cessna 402 Ground Control Point Density Accuracy 1 Primary Base Station and 1 Backup Base Station 2-3 points/sqm Vertical: 15 cm Horizontal: 30 cm 20

3.2 Metodologi dan Proses Pengolahan Data Proses pengolahan data terbagi dalam beberapa tahap yakni proses pengolahan data LiDAR, proses pengidentifikasian pohon serta proses validasi hasil penelitian. Tahap awal dari keseluruhan pengolahan data akan dimulai dengan proses mengolah data lidar yang akan dijelaskan dalam uraian selanjutnya. 3.2.1 Proses Pengolahan Data LiDAR Proses pengolahan LiDAR dilakukan dalam perangkat lunak Bentley Microstation Terra Scan, Terra Photo dan Terra Model dari penyedia profram Terra Solid yang berasal dari Finlandia Terra Scan digunakan untuk melakukan klasifikasi point cloud, Terra Model digunakan untuk pembuatan DTM dan DSM, sedangkan Terra Photo digunakan untuk meng-overlay point cloud dengan orthophoto. terbagi ke dalam beberapa tahap: 1. Tiling Tiling merupakan proses pembagian data tersebut dalam grid yang lebih kecil. Hal ini dimaksudkan agar software dapat lebih mudah memproses jutaan titik pada proses selanjutnya yakni points classification. Ilustrasi gambar hasil tiling ditunjukan pada gambar 3.4 di bawah ini: Gambar 3.4 Proses tiling pada area studi 2. Klasifikasi Ground Points Raw data LiDAR hasil proses awal pada komponen-komponennya akan berupa point clouds yang belum terklasifikasi. Data hasil pantulan dari semua objek 21

akan tercampur menjadi satu sehingga sulit dibedakan. Maka dari itu perlu dilakukan pemisahan data point clouds atau biasa disebut point classification Proses klasifikasi atau penyaringan dilakukan untuk memisahkan antara point cloud hasil pemantulan dari suatu jenis objek dengan jenis objek lainnya, maupun dengan hasil pemantulan dari permukaan tanah (Sithole,2005). Tahap ini merupakan tahap yang penting karena mengolah data point cloud ke dalam kelas-kelas objek yang memiliki sifat, area, persebaran dan karakteristik yang relatif sama. Jumlah dan jenis kelas yang digunakan dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam penelitian ini point clouds akan terbagi menjadi 4 kelas yakni ground, low vegetation, medium vegetation dan high vegetation. Karena tidak terdapat objek lainnya seperti bangunan dalam area studi penelitian maka kelas building tidak dimasukkan. Tahapan klasifikasi dilakukan melalui dua metode klasifikasi, yaitu secara semi-otomatis dan manual. Metode semiotomatis dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak Terrasolid menggunakan beberapa parameter yang harus ditentukan, sedangkan metode klasifikasi manual merupakan inspeksi manual yang dilakukan langsung oleh pengguna dengan bantuan ortofoto dan identifikasi tampak samping (cross section) untuk memeriksa dan memastikan bahwa seluruh point clouds telah terklasifikasi dengan baik sesuai dengan kelasnya. a. Klasifikasi Semi-otomatis Klasifikasi semi-otomatis berarti proses klasifikasi yang dilakukan menggunakan bantuan perangkat lunak Bentley Microstation v8 yang diintegrasikan dengan TerraSolid namun dalam penentuan batas-batas parameter yang diperlukan harus ditentukan sendiri oleh pengguna. Tahap klasifikasi yang pertama adalah ground filtering. Pada tahap ini dilakukan pemisahan antara ground point dengan titik-titik lainnya. Klasifikasi ini merupakan bagian yang penting karena DTM yang akurat hanya dapat diperoleh apabila titik-titik lainnya telah dihilangkan dari ground points. Untuk mengidentifikasi ground points ke dalam kelasnya, sangatlah penting untuk 22

memahami karakteristik fisik dari ground points yang dapat membedakannya dengan titik-titik lainnya berdasarkan empat kategori yakni elevasi terendah, kecuraman permukaan tanah, perbedaan elevasi permukaan tanah, dan homogenitas permukaan tanah yang pada perangkat lunak Microstation Terrasolid diwakili dalam parameter berikut: Maximum building size : ukuran panjang atau lebar terbesar dari semua bangunan yang ada pada area survei. Panjang dari luas bangunan terbesar yang ada dalam area tersebut : 26 meter. (Tetapi pada area studi tidak terdapat bangunan apapun). Hal ini juga berarti jarak maksimum 26 m. antara dua buah titik permukaan tanah. Dengan kata lain, setiap jarak sebesar parameter ini, minimal terdapat satu buah ground point. Terrain angle : batas kecuraman dari sudut kemiringan terbesar yang diperbolehkan bagi dua buah titik yang berketetanggaan untuk dapat dianggap sebagai satu kelas permukaan tanah pada proses pengidentifikasian atau dapat pula disebut sebagai lereng maksimum dari permukaan tanah. Batas kecuraman lereng di permukaan tanah tersebut yang diperbolehkan dalam proses pengidentifikasian : 77 o Iteration angle : sudut maksimum antar titik atau perubahan sudut kemiringan maksimum antara dua iterasi selama analisis permukaan tanah. Biasanya antara 4-10 derajat. Dalam penelitian ini parameter yang digunakan ialah : 8 o Iteration distance : jarak maksimum antara suatu titik yang akan diklasifikasi tegak lurus dengan model permukaan tanah yang sudah ada. Disebut juga jarak maksimum antar dua titik. Biasanya antara 0,5 meter - 1,5 meter. Dalam penelitian ini parameter yang digunakan ialah : 0,5 meter. Parameter tersebut didapat dari beberapa referensi dan literatur serta uji statistik trial and error. (Meng, 2010). Ilustrasi parameter diatas ditunjukan pada gambar 3.5 di bawah ini. 23

Gambar 3.5 Ilustrasi parameter klasifikasi kelas ground Proses klasifikasi diawali dengan membentuk model awal permukaan tanah di mana titik inisial berupa titik-titik dengan elevasi terendah dan berdasarkan jarak sesuai parameter maximum building size. Setelah itu dilakukan uji kesesuaian titik-titik yang berada pada model permukaan tanah yang sudah ada terhadap ketiga parameter lainnya. Apabila memenuhi, maka titik tersebut akan dimasukkan ke dalam kelas permukaan tanah atau ground point. Dalam proses ground filtering, penelitian ini menggunakan batasan parameter yang tergambarkan dalam tabel 3.2 dibawah ini: Tabel 3.2 Parameter klasifikasi point cloud kelas ground Terrain Angle Itteration Angle Itteration Distance Max Building Size 77o 8 o 1,5 m 26 m b. Klasifikasi Manual Klasifikasi dengan cara semi-otomatis dilakukan untuk memeriksa data point cloud hasil klasifikasi dari proses automatic classification. Karena walaupun dengan batasan parameter yang telah ditentukan pada proses sebelumnya, hal tersebut tidak menjamin bahwa semua data terklasifikasi dengan benar. Sering kali terjadi kesalahan klasifikasi atau miss-classified. Oleh karena itu, diperlukan pengecekan dan klasifikasi secara manual untuk memastikan semua data berada pada kelas yang sesuai. Klasifikasi secara manual dilakukan dengan melakukan pengecekan point cloud secara visual tampak samping (cross section atau side seeing). Apabila pada pengecekan penampang melintang dari point cloud tersebut ditemukan hasil klasifikasi yang tidak sesuai, maka point cloud tersebut dapat dipindahkan ke dalam kelas yang 24

seharusnya dengan mem-brush point clouds secara manual. Pengecekan secara manual juga dapat dilakukan dengan bantuan data ortofoto. Ortofoto akan membantu mengidentifikasi jenis objek, sebab sering kali terjadi kesalahan klasifikasi antara vegetasi rendah dan permukaan tanah, maupun objek-objek lain yang memiliki karakteristik hampir serupa. Pada gambar 3.6 di bawah ini terlihat bahwa titik yang berwarna putih ialah kelas default dan yang berwarna oranye ialah kelas ground. Namun terdapat banyak titik yang sebetulnya merupakan kelas ground tetapi belum terklasifikasi atau masih termasuk kelas default. Maka dapat dilakukan brush secara manul agar point cloud tersebut masuk ke dalam kelas yang seharusnya terlihat pada gambar 3.7. Gambar 3.6 Hasil klasifikasi point cloud semi otomatis yang belum sempurna Gambar 3.7 Hasil klasifikasi point cloud kelas ground yang di-brush manual 25

3. Klasifikasi Low, Medium, High Vegetation Setelah klasifikasi titik-titik permukaan tanah selesai dengan metode klasifikasi otomatis dan semi otomatis maka selanjutnya dapat dilakukan klasifikasi objek-objek lainnya seperti vegetasi rendah (low vegetation), vegetasi sedang (medium vegetation) dan vegetasi tinggi (high vegetation). Parameter ketinggian didapat dari referensi dan literatur (Xuelian Meng, 2010) serta uji statistik trial and error. Setelah itu dilakukan klasifikasi semi otomatis dengan melakukan pengecekan secara visual (cross section) serta mem-brush point clouds kelas vegetasi tertentu yang belum terklasifikasi dengan benar. Klasifikasi kelas vegetasi terbagi dalam tiga kelompok yaitu vegetasi rendah biasanya memiliki ketinggian nol meter hingga 0,3 meter dari permukaan tanah. Untuk vegetasi sedang biasanya memiliki ketinggian 0.3 meter hingga satu meter dari permukaan tanah. Sedangkan vegetasi tinggi biasanya memiliki ketinggian lebih dari satu meter. Parameter tinggi vegetasi rendah, sedang dan tinggi ditunjukkan pada tabel 3.3. Tabel 3.3 Parameter tinggi klasifikasi kelas vegetasi 4. Interpolasi DTM dan DSM Selanjutnya kelas-kelas point cloud tersebut akan di-generate untuk diperoleh raster dua dimensi dari DTM dan DSM. Point clouds kelas ground akan digenerate menjadi Digital Terrain Model (DTM). Sedangkan Digital Surface Model (DSM) akan di-generate dari kelas high vegetation, point cloud kanopi pohon yang digunakan pada DSM ialah point cloud yang memiliki tinggi terbesar dari permukaan tanah. Proses tersebut dapat dilakukan di dalam perangkat lunak Bentley Microstation TerraSolid, Global Mapper 13 atau ArcGIS 10. 5. Mengekstrak Canopy Height Model Setelah didapatkan DTM dan DSM dari hasil interpolasi point clouds, proses selanjutnya adalah mengekstraksi Canopy Height Model (CHM). Proses 26

tersebut merupakan proses pengurangan nilai piksel pada raster (raster DSM yang dikurangi oleh raster DTM). Canopy Height Model (CHM) yang didefinisikan sebagai sebaran perbedaan tinggi antara permukaan kanopi pohon dan permukaan tanah, yaitu ketinggian pohon. Hasil statistik dari ketinggian pohon tersebut dapat digunakan sebagai parameter untuk melakukan pendeteksian dan perhitungan jumlah kelapa sawit. 3.2.2 Proses Pendeteksian Pohon Proses pendeteksian pohon secara otomatis dilakukan dalam software Bentley Microstation Terrasolid. Tahap pendeteksian pohon secara otomatis terdiri dari beberapa tahap yakni: 1. Penentuan Parameter Identifikasi Pohon Dalam proses pendeteksian pohon oleh perangkat lunak Bentley Microstation Terrasolid terdapat beberapa parameter yang harus ditentukan yakni: Minimum Height : Tinggi minimal satu pohon. Maximum Height : Tinggi maksimal suatu pohon. Width Variation : Variasi lebar kanopi pohon. Pada hasil pengekstraksian Canopy Height Model (CHM) didapatkan tinggi minimum pohon sebesar 3 meter. Sedangkan tinggi maksimum pohon bervariasi namun yang tertinggi mencapai 16 meter, Sehingga parameter minimum height yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 meter dan maximum height adalah 16 meter. Sedangkan width variation didapat dari hasil uji statistik trial and error yang paling sesuai. Namun width variation tersebut diasumsikan tidak besar yakni dalam range 10%-30% mengingat sebaran lebar kanopi kelapa sawit yang cenderung serupa dan tidak memiliki perbedaan terlalu ekstrem berdasarkan waktu penanaman yang sama. Dalam proses ini, data point clouds akan dilihat berdasarkan range tinggi minimum dan maksimumnya, apakah sebaran point clouds tersebut terkategorikan sebagai suatu pohon. Selain itu satu pohon akan diidentifikasikan berdasarkan sampel bentuk satu individu kelapa sawit pada tahap selanjutnya. 2. Pembentukan sampel model individu pohon 27

Pembuatan sampel model bentuk individu pohon ini dimaksudkan sebagai salah satu parameter pengidentifikasian pohon kelapa sawit secara otomatis dalam perangkat lunak Terrasoid. Pembentukan model tersebut dibentuk dari pengambilan sampel satu individu pohon dalam area studi penelitian tersebut. Pada gambar 3.10 ditunjukkan hasil cross section point cloud satu individu pohon, setelah itu dibuat pemodelan satu bentuk kelapa sawit mengikuti sebaran point cloud yang membentuk pohon tersebut. Setelah di-generate maka bentuk tersebut akan direfleksikan secara otomatis hingga membentuk satu model bentuk pohon seperti pada gambar 3.10. Model tersebut yang akan digunakan sebagai parameter bentuk pendeteksian kelapa sawit pada penelitian ini. Gambar 3.8 Point cloud dan sampel model individu pohon 3.2.3 Proses Validasi Hasil Pendeteksian Pohon Hasil pendeteksian pohon secara otomatis tersebut akan divalidasi dalam beberapa proses yakni: 1. Estimasi range jumlah pohon kelapa sawit pada area seluas 20 ha. Total jumlah pohon dibandingkan dengan literatur mengenai penanaman kelapa sawit. Biasanya kelapa sawit ditanam dengan jarak tanam 9x9x9 meter, sehingga dalam 1 ha terdapat 130-145 pohon, (Badan Pusat Statistik Sawit, 2012). Dari total ± 20 Ha dan dengan total lahan kosong seluas ± 0,67 Ha. Maka total jumlah pohon diestimasikan berada pada range: 2512 2764 pohon sawit. 2. Tiling 28

Membagi orthophoto tersebut menjadi 20 tiles yaitu 5 kolom secara horizontal dan 4 baris secara vertikal seperti tampak pada gambar 3.13 di bawah ini: Gambar 3.9 Tiling orthophoto pada area studi (tiles berwarna merah) 3. Export & Convert Export hasil deteksi pohon (otomatis) dari software Terrasolid dan convert shapefilenya yang berupa titik centroid & poligon setiap individu pohon yang terdeteksi secara otomatis 4. Membuat Titik Validasi Membuat titik validasi berupa titik centroid dan poligon yang tersebar merata pada kanan-kiri (atas & bawah) dan tengah pada tiap tile seperti pada gambar 3.15. Keterangan gambar di bawah ini yakni, garis merah merupakan tiles yang terdiri dari lima baris dan empat kolom. Sedangkan lingkaran biru merupakan poligon individu pohon untuk melakukan validasi. 29

Gambar 3.10 Poligon deteksi pohon manual untuk validasi (validasi pohon manual: poligon hijau) 5. Deteksi Visual Mendeteksi secara visual apakah pada sebaran poligon titik validasi tadi terdapat juga poligon hasil deteksi otomatis. Ilustrasinya ditunjukkan pada gambar 3.16. Gambar 3.11 Poligon hasil deteksi manual pohon (lingkaran biru) dan otomatis pohon (lingkaran kuning) 6. Bandingkan Lebar Kanopi Pohon Pada ArcGis tabel atribut poligon hasil pendeteksian otomatis dan manual terdapat perhitungan perimeter masing-masing poligon. Perimeter tersebut berupa keliling lingkaran. Diameter didapat dari 30

rumus keliling lingkaran. Sehingga didapat diameter masing poligon yang berupa lebar kanopi pohon Tinggi Pohon Pada ArcGis, tabel atribut poligon hasil pendeteksian secara otomatis dapat memberikan keterangan tinggi setiap individu pohon yang akan dibandingkan dengan tinggi pohon yang didapat dari hasil manual. Jumlah pohon dalam beberapa sampel tiles Bandingkan jumlah pohon dari hasil deteksi otomatis dan manual pada 3 jenis tile yang karakteristik pohonnya rapat sekali, cukup rapat dan teratur, renggang sekali juga terdapat lahan kosong. Berdasarkan hasil studi dari penelitian ini, akan dilakukan analisis dari proses pengolahan data LiDAR, model pembentukan pohon dan hasil pendeteksian pohon. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas penggunaan data LiDAR dalam bidang perkebunan dan juga metodologi yang digunakan hingga diperoleh kesimpulan hasil studi. 31