Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN :

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut

ANALISIS SPASIAL PERUBAHAN GARIS PANTAI DI PESISIR KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

A ALISIS SPASIAL PERUBAHA GARIS PA TAI DI PESISIR KABUPATE SUBA G, JAWA BARAT

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

ANALISIS PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN BARRU

PENDAHULUAN Latar Belakang

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, Halaman Online di :

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU


BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BANTEN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT MULTITEMPORAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

APLIKASI DATA CITRA SATELIT LANDSAT UNTUK PEMANTAUAN DINAMIKA PESISIR MUARA DAS BARITO DAN SEKITARNYA

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI MUARA SUNGAI PORONG BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis. dari luas Provinsi Jawa Barat dan terletak di antara Bujur Timur

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BUNGUS KOTA PADANG, PROVINSI SUMATERA BARAT BERDASARKAN ANALISIS CITRA SATELIT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PERUBAHAN GARIS PANTAI MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTI TEMPORAL DI DAERAH PESISIR SUNGAI BUNGIN MUARA SUNGAI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

Perubahan Luasan Mangrove dengan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh Di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

Pemodelan Tinggi Gelombang Akibat Keberadaan Hutan Mangrove di Desa Mayangan, Kabupaten Subang

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

Oleh. Firmansyah Gusasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di :

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

Jurnal Geodesi Undip Januari2016

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

Faktor-faktor Penentu Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang. Nuniek Sri Widyanti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

Transkripsi:

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 212: 355-364 ISSN : 288-3137 PERUBAHAN GARIS PANTAI AKIBAT KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN BLANAKAN DAN KECAMATAN LEGONKULON, KABUPATEN SUBANG Dida Soraya*, Otong Suhara** dan Ankiq Taofiqurohman** *) Alumni Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD **) Staf Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD ABSTRAK Kawasan pesisir adalah suatu kawasan yang labil dan mudah mengalami perubahan, karena merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan, dimana garis pertemuan itu dinamakan garis pantai. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program ArcGIS dari data citra Landsat 7 ETM+ dan data luasan mangrove tahun 1996, 22 dan 211. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar perubahan garis pantai yang terjadi di kecamatan Blanakan dan kecamatan Legon kulon, serta pengaruh ekosistem hutan mangrove terhadap perubahan garis pantai yang terjadi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah overlay garis pantai dari data citra Landsat 7 ETM+ tahun 1996, 22 dan 211, penelitian lapangan serta metode analisis deskriptif kuantitatif dengan menggunakan regresi linear untuk mengetahu hubungan antara penurunan luasan mangrove dengan perubahan garis pantai. Hasil dari penelitian ini menunjukkan sebagian besar kecamatan Blanakan mengalami akresi dengan rata-rata nilai perubahan garis pantainya sejauh 36.57 meter selama kurun waktu 15 tahun, sedangkan sebagian besar kecamatan Legonkulon mengalami abrasi dengan nilai rata-rata perubahan garis pantainya sejauh 35.18 meter. Pengaruh kerusakan hutan mangrove terhadap perubahan garis pantai yang terjadi di kecamatan Blanakan adalah sebesar 41% sedangkan di kecamatan Legonkulon sebesar 68%. Kata kunci : ekosistem mangrove, garis pantai,abrasi, akresi, Landsat 7 ETM+ ABSTRACT Shoreline Changes Due to Mangrove Forests Damage in The Sub-District Blanakan and Legonkulon, Subang Coastal zone is an unstable area and susceptible to change, because it is a meeting place for land and sea, which the line was called as shoreline. The research was conducted using the ArcGIS program from the image data of Landsat 7 ETM + in 1996, 22 and 211. The purpose of this study was to determine the distance of shoreline change in the Blanakan and Legon Kulon subdistric, also to know the mangrove ecosystem influences to occurring shoreline changes. Method used in this study is a shoreline overlay from Landsat 7 ETM + imagery, field research and quantitative descriptive analysis method using linear regression. The results of this study show that most shoreline in Blanakan sub district accreted by the average rate of shoreline change as far as 36.57 meters for 15 years, while most shoreline in Legonkulon subdistrics got the abrasion with the average value of the shoreline changes as far as 35.18 meters. Effect of mangrove forests destruction to shoreline change in sub Blanakan is 41%, while in sub Legonkulon by 68%. Keyword : mangrove ecosystem, shoreline, abrasion, accretion, Landsat 7 ETM+

356 Dida Soraya, Otong Suhara dan Ankiq Taofiqurohman PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi oleh daratan dan lautan, salah satu ekosistem di daerah pesisir ini adalah hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan karena ekosistem ini memiliki fungsi peredam gejala-gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti gelombang, badai, abrasi, dan juga menjadi penyangga bagi kehidupan biota lainnya yang merupakan sumber penghasilan bagi masyarakat di sekitarnya. Sering ditemukan ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Kerusakan ini diakibatkan oleh semakin tingginya tingkat eksploitasi, lemahnya koordinasi dan sinkronisasi program antar sektor, lemahnya penegakkan hukum, serta rendahnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi ekosistem mangrove (Nontji, 1987). Akibatnya peranan fungsi kawasan mangrove sebagai habitat biota laut dan perlindungan wilayah pesisir terganggu. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Jawa Barat pada tahun 27 dalam BLH kabupaten Subang 21, luas area mangrove di Provinsi Jawa Barat seluas ±4.129,89 hektar, 7.816,3 hektar di luar kawasan hutan. Kondisinya 38 % dalam keadaan rusak dan 62 % keadaan sedang dan tidak ditemui hutan mangrove dalam kondisi baik. Dalam laporan Kajian Status Mutu Laut BPLHD Jawa Barat pada tahun 28, menunjukkan luas area mangrove di wilayah pantai utara Jawa Barat berdasarkan analisa citra satelit ternyata jauh lebih kecil, yaitu 6.212,4 hektar. Pengalihfungsian ekosistem mangrove menjadi pemukiman, tambak, bahkan tanah kosong akibat penebangan secara besar-besaran akan menyebabkan abrasi pantai, banjir, sedimentasi dan berkurangnya keanekaragaman hayati laut. Kerusakan hutan mangrove ini dapat menyebabkan erosi, sehingga akan menimbulkan perubahan pola sedimentasi dan perubahan garis pantai. Perubahan garis pantai baik maju maupun mundur ini menimbulkan berbagai macam masalah, sehingga perlu dilakukan pemantauan terhadap perubahannya. Pemantauan terhadap perubahan garis pantai, merupakan suatu usaha pengendalian terhadap degradasi ekosistem sekitarnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografis. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Peta Rupa Bumi Indonesia (skala 1 : 25.). 2. Peta penggunaan lahan Kabupaten Subang. 3. Data time series Luasan Mangrove Kecamatan Blanakan dan Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang (1996, 22, 211). 4. Data Luasan Tambak Kecamatan Blanakan dan Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang tahun 1996, 22 dan 211. 5. Data jumlah perikanan tangkap di Desa Mayangan, Kecamatan Legonkulon, dan di Kecamatan Blanakan. 6. Citra Landsat tahun 1996, 22, 211. Metode yang digunakan untuk mendapatkan peta perubahan garis pantai adalah dengan menggunakan pengolahan data overlay dengan menggunakan sistem informasi geografis. Digunakan juga metode analisis deskriptif kuantitatif dengan menggunakan grafik regresi linear untuk mengetahui pengaruh atau hubungan kerusakan hutan mangrove terhadap perubahan garis pantai serta nilai hasil perikanan tangkap. Dalam penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar perubahan garis pantai yang terjadi dihitung berdasarkan persamaan : 1. Shoreline Change Envelope (SCE) SCE adalah jarak antara garis pantai terjauh dan terdekat dengan garis dasar di setiap transek yang dibuat pada progran Digital Shoreline Analysis System. SCE = Jarak terbesar antara semua garis

Perubahan Garis Pantai Akibat Kerusakan Hutan Mangrove 357 Hal ini juga menunjukkan keseluruhan pergerakan perubahan garis pantai untuk semua posisi garis pantai yang tersedia dan tidak berhubungan dengan tanggal. 2. Net Shoreline Movement (NSM) NSM menunjukkan jarak antara garis pantai terlama dan terbaru pada setiap transek Digital Shoreline Analysis System. Hal ini mempresentasikan jarak total antara garis pantai terlama dan terbaru. NSM = Garis pantai terlama - Garis pantai terbaru HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Ekosistem Mangrove Kecamatan Blanakan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Blanakan dikelola oleh Komisi Pengelolaan Hutan (KPH) Tegal Tangkil, Perum Perhutani Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ciasem. Data Luasan mangrove yang terlihat pada potensi sumberdaya mangrove Kecamatan Blanakan (Gambar 1) adalah data mangrove tahun 1996, 22 dan 211. Fluktuasi luas lahan mangrove berkaitan erat dengan besarnya konversi lahan mangrove yang telah terdegradasi. Luas Mangrove (Ha) 7 6 5 4 3 2 1 Luas Hutan Mangrove Kecamatan Blanakan 1996 22 211 Gambar 1. Grafik Luasan Mangrove Kecamatan Blanakan Dari gambar 1 terlihat bahwa konversi lahan mangrove tertinggi terjadi di desa Cilamaya Girang pada tahun 22 dimana konversi lahan menjadi tambak mulai marak dilakukan oleh petani ikan. Reboisasi terjadi di desa Rawameneng pada Tahun 211 dengan penambahan luas mangrove sebesar 33,8 Ha. Terdapat kestabilan luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun di desa Blanakan dan desa Langensari yang disebabkan karena di sekitar wilayah tersebut terdapat area wisata buaya yang dipublikasikan secara nasional, sehingga pengamanan hutan mangrove terjamin dan berlangsung secara kontinyu. Untuk desa Muara dari tahun 1996 hingga 211 terjadi penurunan luasan mangrove sebesar 8% dan desa Tanjungtiga mengalami penurunan luas mangrove sebesar 11% dimana di wilayah tersebut penebangan dan konversi lahan menjadi tambak terjadi. Jenis mangrove yang terdapat di kecamatan Blanakan didominasi oleh genus Rhizophora dan Avicennia. Kondisi Ekosistem Mangrove Kecamatan Legonkulon Ekosistem mangrove di kecamatan Legonkulon dikelola oleh KPH Poponcol, Perum Perhutani BKPH Ciasem Pamanukan. Data Luasan mangrove yang terlihat pada potensi sumber daya mangrove kecamatan Legonkulon (Gambar 2) adalah data mangrove tahun 1996, 22 dan 211.

358 Dida Soraya, Otong Suhara dan Ankiq Taofiqurohman Luas Mangrove (Ha) 16 14 12 1 8 6 4 2 Luas Hutan Mangrove Kecamatan Legonkulon 1996 22 211 Gambar 2. Grafik Luasan Mangrove Kecamatan Legonkulon Dari gambar 2 terlihat rata-rata luasan mangrove di kecamatan Legonkulon mengalami penurunan. Sempat terjadi reboisasi pada periode tahun 1996 22 di desa Pangarengan, namun terjadi penurunan luas hutan mangrove di tahun 211 sebesar 21% yang diakibatkan oleh konversi lahan mangrove menjadi tambak serta penebangan pohon mangrove secara berlebihan sehingga mengakibatkan abrasi di wilayah tersebut. Hal serupa juga terjadi di desa Mayangan dan Legon wetan, dimana terjadi penurunan luas hutan mangrove di desa Mayangan sebesar 54% sedangkan desa Legonwetan sebesar 78%, namun selain konversi hutan dan penebangan pohon mangrove secara berlebihan, banjir rob juga menjadi salah satu penyebab berkurangnya hutan mangrove di wilayah ini. Desa Tegalurung tidak mengalami penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun karena kelestarian hutan mangrovenya masih terjaga dengan baik. Jenis mangrove yang terdapat di Kecamatan Legonkulon ini didominasi oleh Rhizophora stylosa dan Avicennia marina. Hubungan Ekosistem Hutan Mangrove Dengan Tambak Kecamatan Blanakan Di kecamatan Blanakan luas tambak cenderung meningkat dari tahun ke tahun sedangkan luasan mangrove di kecamatan Blanakan cenderung menurun (gambar 3). 25 2 15 1 5 Hubungan Hutan Mangrove dengan Tambak, Blanakan 1996 22 211 Hutan Mangrove Tambak Gambar 3. Grafik Luasan Hutan Mangrove dan Luasan Tambak Kecamatan Blanakan

Perubahan Garis Pantai Akibat Kerusakan Hutan Mangrove 359 Pada gambar 3 terlihat bahwa pada tahun 1996 211 di kecamatan Blanakan mengalami penurunan luasan mangrove sebesar 13% dan terjadi kenaikan luasan wilayah tambak sebesar 62%. Keterkaitan hubungan antara luasan ekosistem mangrove dengan luasan wilayah tambak ditampilkan pada gambar 4. 25 y =.471x - 31.2 R² =.835 Luas Hutan Mangrove (Ha) 2 15 1 5 2 4 6 Luas Tambak (Ha) Gambar 4. Grafik Keterkaitan Antara Luasan Hutan Mangrove Terhadap Luasan Tambak Kecamatan Blanakan Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa 83% konversi hutan mangrove menjadi tambak mempengaruhi penurunan luasan hutan mangrove. Ini berarti 17% yang mempengaruhi penurunan luasan mangrove terbagi pada penebangan pohon mangrove secara berlebihan, banjir, dan lain-lain. Hubungan Ekosistem Hutan Mangrove Dengan Tambak Kecamatan Legonkulon Terjadi hal yang serupa di daerah kecamatan Legonkulon dimana luas wilayah tambak naik dari tahun ke tahun sedangkan luasan hutan mangrove menurun dari tahun ketahun (Gambar 5). Hubungan Hutan Mangrove dengan Tambak, Legonkulon Luas (Ha) 3 25 2 15 1 5 1996 22 211 Hutan Mangrove Tambak Gambar 5. Grafik Luasan Hutan Mangrove dan Luas Tambak Kecamatan Legonkulon

36 Dida Soraya, Otong Suhara dan Ankiq Taofiqurohman Pada gambar 5 terlihat di kecamatan Legonkulon terjadi penurunan luasan mangrove yang signifikan dari tahun 1996 211 sebesar 32%, sedangkan terjadi kenaikan luas tambak pada tahun 1996 22 sebesar 64% namun pada tahun 211 luasan tambak di 12 kecamatan Legonkulon mengalami pengurangan luasan tambak yang dikarenakan di beberapa wilayah terjadi abrasi pantai yang cukup parah sehingga luasan tambak pun ikut berkurang. Untuk keterkaitan hutan mangrove dengan tambak ditampilkan pada gambar 6. y = 2.512x - 42.6 R² =.982 Luas Hutan Mangrove (Ha) 1 8 6 4 2 1 2 3 4 5 Luas Tambak (Ha) Gambar 6. Grafik Keterkaitan Antara Luasan Hutan Mangrove Terhadap Luasan Tambak Kecamatan Legonkulon Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa 98% konversi mangrove di kecamatan Legonkulon mempengaruhi penurunan luasan mangrove, sehingga ketika luasan mangrove berkurang akan berdampak pada rusaknya fungsi fisik mangrove sebagai penahan arus gelombang serta abrasi. Hal ini menyebabkan bukan hanya penurunan luasan mangrove yang lebih parah, akan tetapi juga akan berdampak pada penurunan luasan tambak. Terdapat 2% faktor lain yang mempengaruhi penurunan luasan mangrove yaitu penebangan hutan mangrove secara berlebihan, banjir rob, dan lain-lain. Hubungan Ekosistem Mangrove Dengan Hasil Produksi Ikan Tangkap Desa Mayangan, Kecamatan Legonkulon Data ikan hasil tangkap di desa Mayangan diperoleh dari TPI yang dikelola oleh KUD Mina Saluyu Mulya. Pendataan hasil produksi ikan tangkap dilakukan per tahun dimulai dari tahun 26 211. Ilustrasi pergerakan hasil produksi ikan tangkap dari tahun ke tahun ditampilkan dalam gambar 7.

Perubahan Garis Pantai Akibat Kerusakan Hutan Mangrove 361 Produksi Ikan Tangkap (Kg) 6 5 4 3 2 1 26 27 28 29 21 211 Tahun Gambar 7. Grafik Hasil Produksi Ikan Tangkap di Desa Mayangan Kecamatan Legonkulon Pada gambar 7 terlihat adanya penurunan hasil produksi ikan tangkap di desa Mayangan, Kecamatan Legonkulon dimana total produksi ikan tangkap pada tahun 211 menurun sebesar 72% dari total produksi ikan tangkap pada tahun 26. Penurunan jumlah produksi ikan juga dipengaruhi oleh penurunan luasan ekosistem mangrove akibat konversi lahan menjadi tambak, dimana ikan mengalami kesulitan dalam mencapai daerah mangrove saat akan bermigrasi dan mengalami kesulitan dalam menjadikannya sebagai spawning, feeding, dan nursery ground karena luasannya yang telah menyusut. Hubungan Ekosistem Mangrove Dengan Hasil Produksi Ikan Tangkap Desa Mayangan, Kecamatan Legonkulon Data ikan hasil tangkap di kecamatan Blanakan diperoleh dari KUD Fajar Sidiq. Pendataan ikan hasil tangkap dilakukan per tahun dimulai dari tahun 28 211. Ilustrasi pergerakan hasil produksi ikan tangkap dari tahun ke tahun ditampilkan pada gambar 8. Produksi Ikan Tangkap (Kg) 4 35 3 25 2 15 1 5 28 29 21 211 Tahun Gambar 8. Grafik Hasil Produksi Ikan Tangkap di desa Blanakan, Kecamatan Blanakan

362 Dida Soraya, Otong Suhara dan Ankiq Taofiqurohman Pada Gambar 8 bisa dilihat hasil produksi ikan tangkap di kecamatan Blanakan mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dimana total hasil produksi ikan tangkap pada tahun 211 menurun sebesar 31% dari total produksi ikan tangkap pada tahun 28. Penurunan jumlah produksi ikan juga dipengaruhi oleh penurunan luasan ekosistem mangrove, hal ini dapat dilihat pada gambar 1 dimana luasan hutan mangrove di kecamatan Blanakan juga mengalami pengurangan. Kondisi Perubahan Garis Pantai Kecamatan Blanakan Sebagian besar kecamatan Blanakan mengalami akresi atau pantai maju, dengan rata-rata Net Shoreline Movement (NSM) atau disebut total kemajuan garis pantai di kecamatan Blanakan adalah sebesar 36.57 meter selama kurun waktu 15 tahun, dan ratarata Shoreline Change Envelope (SCE) atau disebut perubahan garis pantai terjauh yang pernah terjadi terdapat di desa Jayamukti sebesar 654,79 meter (tabel 1). Tabel 1. Nilai Perubahan Garis Pantai Kecamatan Blanakan Desa SCE (m) NSM (m) Cilamaya Girang 214.85 119.91 Rawameneng 322.43 322.43 Jayamukti 654.79 654.79 Blanakan 59.48 568.47 Langensari 581.81 56.54 Muara 331.31 178.23 Tanjungtiga 18.7 173.62 Rata-Rata 41.82 36.57 Kecamatan Legonkulon Berbeda dengan kecamatan Blanakan, sebagian besar kecamatan Legonkulon mengalami erosi pantai (abrasi). Selain faktor alam, salah satu penyebab terjadinya abrasi di kecamatan Legonkulon adalah penurunan luas hutan mangrove dari tahun ke tahun. Menurunnya kerapatan populasi hutan mangrove telah mengurangi fungsinya sebagai penahan gelombang sehingga abrasi sulit untuk ditahan. Tabel 2. Nilai Perubahan Garis Pantai Kecamatan Legonkulon Desa SCE (m) NSM (m) Tegalurung 193.56 151.39 Mayangan 425.33 421.91 Legonwetan 526.96 56.38 Pangarengan 434.33 321.4 Rata-rata 395.4 35.18 Pada tabel 3 terlihat bahwa dari setiap transek yang telah dibuat dalam program Digital Shoreline Analysis System (DSAS) dapat diketahui rata-rata Net Shoreline Movement (NSM) atau perubahan garis pantai di kecamatan Legonkulon sebesar 35.18 meter, dengan rata-rata Shoreline Change Envelope (SCE) atau perubahan garis pantai terjauh yang pernah terjadi terdapat di desa Legon wetan sebesar 526,96 meter dan rata-rata SCE atau perubahan garis pantai terkecil terdapat di desa Tegalurung sebesar 193,56 meter.

Perubahan Garis Pantai Akibat Kerusakan Hutan Mangrove 363 Hubungan Luas Hutan Mangrove Dengan Perubahan Garis Pantai Hutan mangrove selalu identik dengan perairan. Sebagai sebuah komunitas yang membentuk ekosistem perairan tentunya keberadaan mangrove tidak dapat dimarginalkan. Hutan mangrove mempunyai multi fungsi yang tidak bisa tergantikan oleh ekosistem lain. Secara fisik berfungsi sebagai penstabil lahan (land stabilizer) yaitu berperan dalam mengakumulasi substrat lumpur oleh perakaran bakau sehingga mampu menahan abrasi air laut serta mampu menghadang intrusi air laut ke daratan. Shoreline change (m) 7 6 5 4 3 2 1 Kecamatan Blanakan y = -1.84x + 446.1 R² =.417 1 2 3 Penurunan Hutan Mangrove (Ha) Hasil regresi antara penurunan luasan mangrove terhadap perubahan garis pantai di Kecamatan Blanakan menunjukkan adanya korelasi dengan nilai R 2 sebesar.417, ini menunjukkan bahwa keterkaitan penurunan luasan ekosistem hutan mangrove dengan perubahan garis pantai yang terjadi di kecamatan Blanakan adalah sebesar 41%. Terdapat 59% faktor lain yang mempengaruhi perubahan garis pantai yang terjadi di kecamatan Blanakan antara lain arus, gelombang, pasang surut, transport sedimen, serta bentuk topografi wilayah tersebut. Shoreline Change (m) 6 5 4 3 2 1 Legon kulon y = 1.55x + 111.9 R² =.68 1 2 3 4 Penurunan luasan Mangrove (Ha)

364 Dida Soraya, Otong Suhara dan Ankiq Taofiqurohman Hasil regresi antara penurunan luasan mangrove terhadap perubahan garis pantai yang terjadi di kecamatan Legonkulon menunjukkan adanya korelasi dengan nilai R 2 sebesar.68, ini menunjukkan bahwa keterkaitan penurunan luasan ekosistem hutan mangrove terhadap perubahan garis pantai yang terjadi di kecamatan Legonkulon adalah sebesar 68%. Terdapat 32% faktor lain yang mempengaruhi perubahan garis pantai yang terjadi di kecamatan Legonkulon yaitu gelombang, arus, pasang surut, transport sedimen, serta bentuk topografi wilayah tersebut. DAFTAR PUSTAKA BLH Kabupaten Subang. 21. Laporan Akhir Rencana Tindakan Penanganan Kawasan Hutan Mangrove Pantai Utara Kabupaten. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. PERUM PERHUTANI. Pamanukan. 211. Laporan Potensi Sumber Daya Hutan BKPH Pamanukan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut ; 1. Selama kurun waktu 15 tahun, luasan hutan mangrove di kecamatan Blanakan mengalami penurunan sebesar 13%, sedangkan garis pantai di kecamatan Blanakan mengalami perubahan rata-rata sejauh 36.57 meter, dimana rata-rata perubahan garis pantai terjauh terdapat di desa Jayamukti sejauh 654,79 meter. 2. Selama kurun waktu 15 tahun, luasan hutan mangrove di kecamatan Legonkulon mengalami penurunan sebesar 32%, serta rata-rata perubahan garis pantai sejauh 35.18 meter, dimana rata-rata pemunduran garis pantai terjauh terdapat di desa Legon wetan sejauh 526,96 meter. 3. Pengaruh turunnya luasan ekosistem hutan mangrove terhadap perubahan garis pantai yang terjadi di kecamatan Blanakan adalah sebesar 41% dan 59% merupakan parameter fisik lain yang mempengaruhi perubahan garis pantai. 4. Pengaruh turunnya luasan ekosistem hutan mangrove terhadap perubahan garis pantai yang terjadi di kecamatan Legonkulon adalah sebesar 68% dan 32% merupakan parameter fisik lain yang mempengaruhi perubahan garis pantai.