KUHAP TIDAK MEMBENARKAN PEMECAHAN (SPLITSING) PADA SATU PERKARA TINDAK PI DANA. Handoko Tjondroputranto

dokumen-dokumen yang mirip
HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017. PERAN TERDAKWA DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI PENGADILAN 1 Oleh : Aris Mohamad Ghaffar Binol 2

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 3 TAHUN 1988 SERI D NOMOR 2

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bagian Kedua Penyidikan

BAB I PENDAHULUAN. penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kekacauan-kekacauan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

ALUR PERADILAN PIDANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014. Kata kunci: Pelanggaran, Hak-hak Tersangka.

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

PERATURAN DAERAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 3 TAHUN 1986 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN. jdih.bulelengkab.go.id

PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN

Transkripsi:

242 Hukum Dan Pembangunan KUHAP TIDAK MEMBENARKAN PEMECAHAN (SPLITSING) PADA SATU PERKARA TINDAK PI DANA Handoko Tjondroputranto Pemecahan satu perkara tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa terdakwa menjadi beberapa perkara dapat menjadi hambatan adanya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Disamping sebagai terdakwa, mereka harus saling menjadi saksi terhadap satu dan lainnya, dalam beberapa kali persidangan yang berbeda. Bahkan splitsing tersebut bertentangan dengan The International Convenant on Civil and Political Rights yang menyangkut hak-hak terdakwa dimana para terdakwa saling menjadi saksi alas tindak pidana yang dituduhkan terhadap mereka. Alteen met het hart kan men goed tien. Het wezenlijke is voor de ogen G _~7i _.htboor. (Hanya dengan hati nurani kita dapal melihat jelas. Yang haldki tidak tampak oleh mata!dta). Pendahuluan Undang-undang Nomor 14- tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 ayat (2) menentukan : Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan dan dalam berbagai kesempatan para pejabat tinggi penegak hukum juga menggaris bawahi asas ini, antara lain Jaksa Agung pada waktu melantik Jaksa Tinggi Jambi (Kompas,13 April 1994) mengatakan : "Penyelesaian perkara yang berlarut-larut dan per/akuan tidak wajar larhadap pencari keadilan mengakibatkan luntumya keperca- Juni 1994

Splitsing 243 yaan mnsyaraknt kepada aparat penegak hukum. Pada gi/irannya hal itu aknn merusak citra hukum itu sendiri". Akan tetapi yang kita Iihat dalam praktek adalah sebaliknya, yaitu 1 (satu) perkara tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa terdakwa, perkara dipecah-pecah (splilsing), sehingga menjadi tidak sederhana, tidak cepat dan biayanya tidak ringan. Pembenaran dilakukan splilsing pada satu perkara tindak pidana ini sudah memakai konstruksi yang janggal seperti diterangkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor. M.01.PW.07.03 TH. 1982, tanggal4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai hasil musyawarah antara Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman, Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI (MAKEHJAPOL) tanggal 22 Januari 1982 (Bidang Penuntutan Bab II : Penuntutan) yang berbunyi : Mengenai pemecahan penuntutan perkara (splilsing) sebagaimana dimaksud oleh pasal 142: Bisanya splilsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru di mana para tersangka saling menjadi saksi; sehingga untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan barn, baik terhadap tersangka maupun saksi Mungkin aknn menimbulkan permasalahan dalam praktek, ialah sehubungan dengan masalah apaknh penuntut umum berwenang membuat berkas perkara baru sehubungan dengan splitsing itu? Dalam hubungan ini makn penyidiklah yang melaksanakan splitsing atas petunjuk penuntut umum. Adapun yang dijadikan dasar pemikirannya ialah: bahwa masalah splitising ini adalah masih dalam persiapan tindaknn penuntutan dan belum sampai pada tahap penyidangan perkara di pengadilan. Oleh karena itu dalam hal penuntut uli/um menerima hasil penyidikan dari penyidik; sekaligus meneliti serta mempelajari apaknh perkara tersebut perlu atau tidaknya di "splits" dan bilamana ia berpendapat bahwa perkara tersebut per/u untuk dilakukan splitsing, makn dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik untuk dilengkapi dan disempumaknn dengan diberikan petunjuk-petunjuk seperlunya dan penyidik dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara yang telah displilsnya itu sesuai dengan petunjuk penuntut umum (kaitkan dengan makna ketentuan materi pasa/138 ayat (l) dan (2). Jadi pada hakekatnya penyidiklah yang mendapat wewenang untuk melakukan splilsing, padahal KUHAP jelas jelas menentukan bahwa penuntut umum yang berwenang melakukan hal itu. Nomor 3 Tahun XXIV

244 Hukum Dan Pembangunan Prosesnyajuga menjadi berlarut-larut, karena masing-masing terdakwa harus diperiksa lagi sebagai saksi terhadap para terdakwa lainnya sebanyak sekian kali sesuai jumlab terdakwa lainnya itu, sebab setiap kali dari seseorang dibuat Berita Acara Pemeriksaan, maka ia harus diberi tabu dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan itu untuk apa ia didengar (saksi dalam perkara siapa). Begitu pula halnya dengan para saksi yang harus dipanggil kembali dan didengar serta dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan sebanyak sekian kali sesuai dengan jumlab terdakwa. Tidak diperbolebkan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan dilakukan dalam rangkap sekian atau kemudian dibuatkan foto copynya karena alasan tersebut di atas. Pemeriksaan di sidang pengadilan juga tidak akan kalab berlarut-larut, jika ketentuan-ketentuan dalam KUHAP dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Adapun pasal-pasal dalam KUHAP yang berkaitan dengan persoalan ini adalah : (I) a. Pasal160 Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menu rut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelab mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum. Pasal16S (4) Hakim dan penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang, dapat saling menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan mereka masing-masing. Pasal167 (I) Setelah saksi memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya. (2) Izin itu tidak diberikan jika penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum mengajukan permintaan supaya saksi itu tetap menghadiri sidang. (3) Para saksi selama sidang dilarang saling bercakap-cakap. Penjelasan Ayat (I) Untuk melancarkan jalannya pemeriksaan saksi, maka Juni 1994

Splitsing 245 adakalanya hakim ketua sidang menganggap bahwa saksi yang sudah didengar keterangannya mungkin akan merugikan saksi berikutnya yang akan memberikan keterangan, sehingga perlu saksi pertama tersebut untuk sementara keluar dari ruang sidang selama saksi berikutnya masih didengar keterangannya, Ayat (2) Adakalanya terdakwa atau penuntut umum berkeberatan terhadap dikeluarkannya saksi dari ruang sidang sebagaiman dimaksud dalam ayat (1), misalnya diperlukan kehadiran saksi tersebut, agar supaya ia dapat ikut mendengarkan berikutnya demi kesempurnaan hasil keterangan saksi. Ayat (3) Cukup jelas. Jadi menurut pasal 160 ayat (1) a. KUHAP para saksi dipanggil seorang demi seorang kedalam ruang sidang dan setelah ia memberi kesaksian ia harus tetap tinggal di ruang sidang seperti ditentukan oleh pasal 167 ayat (1) dan dilarang saling bercakap-cakap selama sidang berlangsung menurut pasal 167 (3) KUHAP. Ini berkaitan dengan ketentuan dalam pasal 165 ayat (4) untuk dapat saling menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan mereka masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan mengkonfrontir saksi yang satu dengan yang lain. Dengan demikian para saksi yang sudah memberi keterangan harus tetap hadir pada tiap sidang sampai semua saksi memberi keterangan. Akibatnya sudah tentu tidak dapat dilakukan sidang-sidang secara simultan dan masing-masing terdakwa harus menunggu gilirannya sampai perkara sesama tetdakwanya diputus. Bagi para saksi ini berarti, bahwa mereka mungkin sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun harus menyediakan diri untuk menghadiri sidang pengadilan, meskipun tidak setiap hari. Yang lebih prinsipil adalah mengenai pelanggaran terhadap hak asasi terdakwa, karena dalam keputusan Menteri Kehakiman tersebut (Bidang Umum. Bab IV : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Hak-hak Asasi Manusia) dikatakan bahwa untuk mengukur nilai Hukum Acara Pidana baru, dapat digunakan The International Convenant on Civil and Politicial Rights yang antara lain mencakup : Article 14 1... "...... Nomor 3 Tahun XXIV

246 Hllklllll Dan Pelllbangunan 3. In the determination oj any criminal charge against him, Everyone shall be entitled to {he Jol/owing minimum guarantees, in full equality: (a)... (b) Not 10 be compelled 10 teslify against himself or to conjess guilt. Pada splitsing perkara satu tindak pidana yang dilakukan aleh beberapa tersangka seperti dikatakan di atas "para tersangka saling menjadi saksi" tentang satu tindak pidana yang dituduhkan terhadap mereka, sehingga para tersangka itu compelled to testify against himself. Permasalahannya adalah, apakah mungkin pelaksanaan peradilan kita bertentangan diametral terhadap asas paradilan itu sendiri? Pembahasan Pasal-pasal KUHAP yang berkaitan dengan saal splitsing (dan penggabungan) adalah Pasal 141 dan Pasal 142 yang berbunyi : Pasal 141 Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sarna atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. beberapa tindak pidana yang dilakukan aleh searang yang sarna dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;. c. beberapa tindak pi dana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya. yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Penjelasan Pasal 141 Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang di maksud dengan tindak pidana dianggap mempunyai sangkut-paut luni 1994

Splitsing 247 satu dengan yang lain apabila tindak pidana tersebut dilakukan :. I. oleh lebih dari seorang yang bekerjasama dan dilakukann pada saat yang bersamaan; 2. oleh lebih dari seorang pada saat dan temp at yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dari pemufakatan jahat yang oleh mereka sebelumoya; 3. oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain. Huruf c Cukup jelas. Pasal 142 Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah. Penjelasan: Pasal 142 Cukup jelas. Pasal-pasal ini berasal dari HIR dengan mengubah kata-kata 'voorzitter (van de Landraad)' menjadi penuntut umum, yaitu : Pasal 141 KUHAP adalah Pasal 250 ayat (14) HIR; Penjelasan Pasal 141 KUlIA.P hurofb adalah Pasal 250 ayat (15) HIR; Pasal 142 KUHAP adalah Pasal 250 ayat (16) HIR. Dengan demikian kt?pustakaan tentang HIR masih relevan untuk dipakai menerangkan soal splitsing dan penggabungan ini. Tentang splitsing Wirjono Prodjodikoro berpendapat :' Ayat 16 dati Pasal 250 HlR menentuknn, bahwa apabila ada satu berkas perkara pidana yang mengenai pelbagai perbuatan pelanggaran Hukum Pidana yang dilakukan oleh lebih dati seorang, dan yang lidak memenuhi IWirjono Projodilc:oro. Hukum Acara Pittana di Indontsia (Bandung: Sumbur Bandung. 1985), Cel. Ke-XII, hal. 90. Nomor 3 Tahun XXIV

248 Hukum Dan Pembangunan syarat-syarat tersebut mengenai keharusan mengumpulkan beberapa berkas perkara menjadi satu, maka Hakim harus memecahkan berkas perkara itu menjadi beberapa berkas perkara, dan juga harus bikin surat tuduhan bagi masing-ttulsing berkas perkara (splitsing), Sedangkan pendapat Tresna adalah :2 Ayat 15 : Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum yang dimaksud dalam No, 1, 2, 3, itu, untuk dapat dianggap bersangkut-paut harus berupakan beberapa perbuatan terlarang; suatu perbuatan terlarang saja, mesldpun dilakukan oleh beberapa orang, selalu harus dipandang merupakan satu perkara saja, yang tidak dapat dipecah-pecah, misalnya perkara pencurian dan penadahan barang curian itu harus dianggap suatu perbuatan terlarang dan oleh karenanya harus dimuat di dalam satu verwijzing soja, Sebenarnya dalam Pasal 142 KUHAP terdapat dua hal penting yang tampaknya tidak dibaca dan diperhatikan oleh Musyawarah MAKEHJAPOL tadi, yaitu adanya kata-kata : I. beberapa tindak pidana. 2. yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141. Jika kedua hal di atas ini dipegang teguh, maka KUHAP tetap mendahulukan penggabungan agar peradilan dilakukan sederhana, cepat dan biaya ringan, sedangkan splilsing hanya dapat dilakukan pada beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka dan bukannya pada satu tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka. Secara yuridis teknis splilsing ini juga tidak dimungkinkan bilamana dalam perkara tindak pidana itu terdapat korban manusia. Soesilo menulis tentang berkas perkara (yang disebutnya bendel) sebagai berikut : Surat-surat pemeriksaan perkara itu yang biasanya terdiri dari berbagai berilll acara (berita acara pengaduan/pemberitahuan, pemeriksaan seternpat, penggeledahan, pell/beslahan, penyegelan, mendengarketerangan tersangka dan soksi-saksi, peradumukaan, rekonstruksi, semuanya itu kadang-kadang dilall/piri dengan Visum et RepertulI/ dari dokter, foto-foto, gambar peta tempat kejadian perkara, daftar saksi, daftar bukti dan lain-lain lagi) harus disusun rapih seberapa boleh berturut-turut menurut waktu, diberi sampul dan dijahit kuat-kuat menjadi suatu bundel (buku). Bundel ini biasanya disebut berkas pell/eriksaan atau berita acara pemeriksaan pendahulu- 2Socsil0.l:Iukum Arora PidallG (Tugas Kepolisian Sebagai Jaksa Pembafllu). Bogar: Politeia, 1971), hal. 109. Juni 1994

Splitsing 249 an, dahulu dalam bahasa asing dinamakan proces-verbaal van Voorloopig. Ondenoek atau disingkat menjadi V. O. Jadi tidaklah mungkin salah satu bagian daari berkas perkara itu dilepas aatau dikeluarkan untuk dipinjamkan kepada berkas perkara lain. Sebagai contoh kita dapat memakai kasus Marsinah yang menghebohkan itu. Tuduhan primer terhadap Ny. M., SH adalah Pasal 340 KUHP, sehingga dalam berkas perkaranya harns dimasukkan Keterangan Ahli (Visum et Repertum) dokter, karena sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP maka pertama-tama harus dibuktikan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan dalam pembunuhan hal ini harus dibuktikan dtmgan Keterangan Ahli dokter. Mengapa perkara ini disidangkan di Pengadilan Negeri Sidoarjo bagi saya juga kurang jelas, karena pembunuhan yang dituduhkan, dikatakan terjadi di Surabaya. Sekarang perkaranya sudah sampai di tingkat banding Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya. Maka patut dipertanyakan bagaimana terdakwa-terdakwa lainya yang diadili di Pengadilan Negeri Surabaya dapat dituduh melakukan pembunuhan tanpa adanya Keterangan Ahli dokter dalam berkas perkara masing-masing.. Perlu diketahui bahwa Keterangan Ahli hanya ada satu saja dan dokter tidak membuat duplikat atau foto copy mengingat kaitannya dengan rahasia pekerjaan bagi dokter. Kesimpulan 1. Pasal 142 dikaitkan dengan Pasal 141 KUHAP jelas-jelas tidak membenarkan dilakukannya splitsing pada satu perkara tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka, karena bertentangan dengan asas "sederhana, cepat dan biaya ringan". 2. Melakukan splitsing pada satu perkara pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka merupakan pelanggaran terhadap hak asasi para tersartgka, yaitu para tersangka menjadi compelled to testify against himself yang terdapat dalam Artcle 14 paragraph 3 (g) dari The International Convenant on Civil and Politicial Rights yang juga kita patuhi. 3. Dalam hal adanya korban manusia, maka splitsing pada satu perkara tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka tidak mungkin oleh karena hanya terdapat satu Keterangan Ahli dokter, sedangkan tiap berkas perkara membutuhkan Keterangan Ahli dokter Nomor 3 Tahun XXIV

250 Hukum Dan Pembangunan ini. Daftar Pustaka Keputusan Menteri Kehakiman Nomer : M.OI.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tantang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. ------------ Het Herziene Inlandsch Reglement ------------ Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Soesilo. Hukum Acara Pidana (Tugas Kepolisian Sebagai Jaksa Pembantu), Bogor : Politeia, 1971. Tresna. Komentar Atas Reglemen Hukum Acara di dalam Pemeriksaan di Muka Pengadilan negeri atau HlR. Wirjono Projodikoro. Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung : Sumur Bandung, 1985. Pelihara dallteistilrilc:ari<bllmi Mam~~ :.. {. Kita mulai dljri lingkur:lgan sekitar Pesan ini disampajmn MajalaJl HuIcwn. dan Pemban~:Iij }uni 1994