BAB I PENDAHULUAN. penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Polisi dan Jaksa dalam sistem peradilan pidana merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi tersebut seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan. Adapun tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa (pada tahap prajudisial) dan pengadilan (pada tahap judicial). Hubungan polisi dan jaksa sendiri terutama berkaitan dengan tugas penyidikan suatu tindak pidana. Sejarah hukum acara pidana di Indonesia menerangkan bahwa dari tanggal 17 Desember 1945 hingga 31 Desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam Reglement Indonesia yang diperbaharui (RIBS.1941 No.44). Setelah 31 Desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Terdapat perbedaan penting dalam dua periode berlakunya hukum acara pidana tersebut. Perbedaan tersebut antara lain dilihat dari aspek penyidikan tindak pidana serta kewenangan dari 1

2 2 lembaga polisi dan kejaksaan. Perbedaan pola tersebut mengenai hubungan antara polisi dan jaksa mengenai penyidikan tindak pidana. 1 HIR/RIB bagian pertama tentang Pegawai dan Penjabat yang diwajibkan Mencari Kejahatan dan Pelanggaran Pasal 38 ayat (1) menjelaskan bahwa 2 : Urusan melakukan polisi justisi pada bangsa Indonesia dan bangsa asing diwajibkan kepada Kepala Kejaksaan pada pengadilan negeri, serta kepada jaksa-jaksa yang dibantukan kepadanya, masing-masing buat daerah di tempat ia diangkat, mereka itu wajib menjalankan perintah, yang berhubung dengan itu diperintahkan kepadanya oleh kepala kejaksaan pada pengadilan tinggi atau oleh jaksa agung. Kemudian dalam penjelasannya, dari sumber yang sama, dijelaskan sebagai berikut: Pasal tersebut terdapat kata polisi justisi. Yang dimaksud dengan polisi justisi yaitu merupakan pekerjaan dari polisi represif, adalah melakukan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan untuk membantu tugas kehakiman guna memberantas perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana yang telah dilakukan, dengan cara menyidik, menangkap, dan menahan yang berbuat salah, memeriksa, menggeledah, dan membuat Berita Acara Pemeriksaan pendahuluan dan mengadakan penuntutan pidana di muka pengadilan yang berwajib serta menjalankan putusan hakim. Ini adalah suatu tugas yang biasanya dikerjakan oleh para pegawai penuntut umum, jadi bukanlah suatu korps atau kesatuan polisi yang diadakan seperti kesatuan polisi negara dan lain-lain. Berdasarkan penjelasan Pasal 38 ayat (1) yang terdapat dalam HIR/RIB tersebut, maka sebelum KUHAP diberlakukan, penyidikan adalah kewenangan pihak kejaksaan. Jaksa pada waktu itu ikut mengkoordinasi terhadap proses penyidikan. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor R. Soesilo,RIB/HIR Dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1985, Hlm.20.

3 3 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi 3 : mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinir alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara. Penjelasan pasal tersebut menyatakan, untuk kesempurnaan tugas penuntutan, jaksa perlu sekali mengetahui sejelas-jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam bidang penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai akhir yang secara keseluruhan harus dilakukan atas dasar hukum. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, jaksa mempunyai kewenangan sebagai berikut: 1. Dalam bidang penuntutan, dilakukan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan yang berwenang. 2. Dalam bidang penyidikan diadakan penyidikan lanjutan serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik dalam hal ini termasuk penyidik dari kepolisian. Dengan demikian, pimpinan dalam penyidikan pada periode sebelum berlakunya KUHAP adalah kejaksaan yang bertugas mengawasi dan 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.

4 4 mengkoordinasi penyidikan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain termasuk polisi. 4 Setelah berlakunya KUHAP, terjadi perubahan yang sangat penting. Perubahan tersebut mengakibatkan beralihnya fungsi dan peran kejaksaan dalam proses penyidikan. Kewenangan kejaksaan dalam era KUHAP meliputi 5 : 1. Dalam bidang penyidikan, kejaksaan mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana khusus, yang meliputi tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi, walaupun sifatnya sementara. 2. Dalam penyidikan tindak pidana umum, polisi memegang penyidikan penuh, sedangkan jaksa tidak berwenang. Setelah era KUHAP sekarang, di dalam proses penyidikan ada yang dinamakan dengan SPDP, yaitu Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, yang merupakan bentuk koordinasi antara penyidik dan Penuntut Umum. Dalam hal ini, begitu sudah ada SPDP, maka Penuntut Umum sudah mulai mengkoordinasi arah perkembangan kasus. Penuntut Umum mulai memberikan masukan-masukan ke penyidik. Setelah penyidikan dinyatakan

5 5 selesai maka segera berkas perkara tersebut diserahkan ke Penuntut Umum. KUHAP mengatur dalam pasal 110 ayat (1) yang berbunyi 6 : Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Berkas perkara diterima oleh jaksa atau penuntut umum kemudian jaksa memulai untuk mempelajari dan meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan tersebut, dan apabila terdapat kekurangan baik secara formil maupun materiil maka jaksa penuntut umum segera memberitahukan dan mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik untuk melengkapi petunjuk-petunjuk yang harus dilengkapi, guna menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. Kemudian hal ini disebut dengan proses prapenuntutan. Dalam pengiriman SPDP ke Jaksa Penuntut Umum hendaknya dihindari adanya keterlambatan pengiriman SPDP yang mengakibatkan koordinasi tidak/kurang dimanfatkan. Kemudian mengenai pemeriksaan tambahan, diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf (e) Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 yang berbunyi 7 : melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 6 Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984, Hlm Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

6 6 Pasal tersebut menerangkan bahwa pemeriksaan tambahan dengan melihat pada tugas dan wewenang penuntut umum tetapi dalam pasal tersebut tidak dijelaskan pengertiannya. Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor: SE- 003/J-A/12/1991 tentang Melengkapi Berkas Perkara dengan Melakukan Pemeriksaan Tambahan, menjelaskan bahwa 8 : Pemeriksaan tambahan hanya boleh dilakukan terhadap berkas perkara tertentu setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 ayat (2), ayat (3), dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP, dan berdasarkan hasil penelitian ternyata berkas perkara belum lengkap Pengertian pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh Kejaksaan dalam prakteknya adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh Jaksa untuk melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari penyidik Polri dan berkas yang dilengkapi itu oleh kejaksaan dinyatakan belum lengkap atau sempurna. Berkas perkara tertentu merupakan berkas perkara yang sulit pembuktiannya, perkara yang dapat meresahkan masyarakat, perkara yang dapat membahayakan keselamatan negara. Penuntut umum dalam melaksanakan tugas prapenuntutannya dapat melakukan pemeriksaan tambahan apabila penuntut umum menentukan bahwa suatu berkas perkara tersebut termasuk berkas perkara tertentu, setelah dilakukan upaya optimal dari penyidik dalam melakukan penyidikan tambahan terlebih dahulu. 8 Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor: SE-003/J-A/12/1991 tentang Melengkapi Berkas Perkara dengan Melakukan Pemeriksaan Tambahan, tanpa tahun.

7 7 Setelah mengkaji Pasal 30 ayat (1) huruf e tentang Kejaksaan R.I dan penjelasannya, maka pengertian dari pemeriksan tambahan adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk melengkapi dan menyempurnakan berkas perkara tertentu hasil penyidikan yang berasal dari penyidik yang dianggap belum sempurna oleh jaksa penuntut umum, walaupun telah ada upaya maksimal dari penyidik untuk melengkapi dan menyempurnakan hasil penyidikannya, dengan batasan-batasan yang telah ditentukan dilimpahkan ke pengadilan. Penyidik dalam melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan wajib memenuhi permintaan penuntut umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2), yaitu: Penyidik menyerahkan berkas kepada penuntut umum, Pasal 8 ayat (3) KUHAP, yaitu: Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan: a. pada tahap pertama hanya menyerahkan berkas perkara, b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Pasal 138 ayat (2), yaitu: dalam hasil hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum

8 8 Selanjutnya oleh Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW Tahun 1982 tanggal 4 Februari, pada lampirannya, Bidang Penyidikan, Bab III butir 4 memuat penjelasan lebih lanjut yang berhubungan dengan pasal 110 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP, serta Pasal 138 KUHAP. Perumusan lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut adalah: 9 Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas, kemungkinan selalu terbuka timbulnya permasalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi, yaitu antara lain sebagai berikut: a. Dengan tidak ditentukan batas berapa kali penyerahan atau penyampaian kembali berkas perkara secara timbal balik dari penyidik ke penuntut umum atau sebaliknya, maka kemungkinan selalu bisa terjadi, bahwa atas dasar pendapat penuntut umum hasil penyidikan belum lengkap, berkas perkara bisa berlarut-larut, mondar-mandir dari penyidik kepada penuntut umum. Leden Marpaung di dalam bukunya Proses Penanganan Perkara Pidana bagian kedua telah mengomentari rumusan lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut, yaitu 10 : Hal di atas merupakan hal-hal yang wajar terjadi dengan sistem dan mekanisme KUHAP yang demikian sungguh suatu hal yang seyogyanya dapat dicegah untuk tidak terjadinya hal tersebut jika pembuat Undang-Undang benar-benar menyadari hal tersebut. Mau tidak mau, penyidik wajib memenuhi permintaan penuntut umum. Selama hasil penyidikan dari penyidik belum dapat meyakinkan penuntut umum, maka berkas perkara akan dikembalikan tanpa perhitungan 9 Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW Tanggal 4 Februari Tahun 1982 pada lampirannya Bab III butir 4 Bidang penyidikan. 10 Leden Marpaung,Proses Penanganan Perkara Pidana bagian kedua, Sinar Grafika, Jakarta,1992, Hlm. 284.

9 9 telah berapa kali berkas perkara tersebut mengalami keadaan bolak-balik. Penuntut umum tentu tidak menginginkan kegagalan penuntutannya dan juga tidak menginginkan bahwa penuntutnya tidak adil. Seharusnya pembuat undang-undang dapat melihat secara obyektif tentang posisi penuntut umum dengan sistem KUHAP yang dapat menyadari tentang kedudukan, posisi dan kemampuan penyidik. Sebagai contoh, dari sebuah kasus di Kejaksaan Negeri Temanggung mengenai problematika pelaksanaan prapenuntutan sehubungan penyerahan berkas perkara atas nama tersangka SUDAR BIN PARNO Nomor: B/1183/VI/2010/Res.Tmg, Tanggal 30 Juni Bahwa tenyata hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik belum lengkap, sehingga terjadi pengembalian berkas perkara. Bahwa tersangka SUDAR, yang berprofesi sebagai pedagang kambing belantik disini dilaporkan telah mencuri 1 ekor kambing gembel jantan pada tanggal 31 Mei 2010 milik korban An.ROHYANI. Tersangka dituduh telah melakukan tindak pidana pencurian kambing (Pasal 363 KUHP) dan penadahan kambing (Pasal 480 KUHP). Menurut seorang saksi yang bernama DHIDIK WIDIYANTORO, dia menerangkan bahwa kurang lebih pada pukul wib, sewaktu perjalanan menuju rumah dari Yogyakarta, dia berpapasan dengan orang yang berboncengan sepeda motor dengan membawa seekor kambing. Dengan keterangan seorang saksi tersebut belum cukup untuk membuktikan bahwa tersangka bersalah melakukan tindak pidana pencurian (pasal 363 KUHP). 11 Berkas perkara Kejaksaan Negeri Temanggung, 12 juli 2010

10 10 Kemudian mengenai Pasal 480 KUHP mengenai penadahan, fakta hukum yang terjadi adalah bahwa tersangka adalah seorang yang berprofesi sebagai pedagang kambing/belantik yang membeli kambing dari seseorang yang dijumpainya di jalan Raya Malebo-Pasar Kandangan seharga Rp ,- Bahwa tersangka setelah 2 hari kemudian menjual kambing tersebut dan rugi sebesar Rp ,- Dari fakta hukum tersebut maka unsur pasal yang diketahui atau sepatutnya harus diduga dari kejahatan, belum dapat dibuktikan dengan alat bukti yang ada, bahwa tersangka sebenarnya tidak mengetahui kambing tersebut adalah kambing hasil kejahatan, tersangka membeli kambing tersebut di jalan raya atau jalan umum, dan membeli dengan harga yang wajar, sehingga tersangka tidak menyangka kambing tersebut merupakan hasil dari kejahatan. Kemudian tersangka menjual di pasar hewan dan justru mengalami rugi karena tidak laku. Bahwa dari uraian tersebut, disimpulkan bahwa unsur pasal 480 KUHP yang disangkakan terhadap tersangka belum dapat dibuktikan. Untuk itu agar penyidik kembali mendalami pembuktian dalam perkara tersebut dan untuk kedua kalinya berkas tersebut dikembalikan untuk dilengkapi kembali. 12 Berdasarkan resume di atas, jaksa penuntut umum telah mengembalikan berkasa perkara tersebut kepada penyidik untuk kemudian diperbaiki dan dilengkapi. Ternyata polisi disini mengalami kesulitan dalam mencari keterangan-keterangan yang memperkuat tersangka bahwa memang tersangka SUDAR tersebut benar-benar melakukan tindak pidana pencurian atau 12 Petunjuk Jaksa Peneliti / Jaksa Penuntut Umum, Kejaksaan Negeri Temanggung, 12 Juli 2010

11 11 penadahan, dikarenakan orang yang sebenarnya mencuri kambing milik korban tersebut sulit dilacak dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengungkap, karena pada waktu melakukan transaksi, tersangka tidak terlalu memperhatikan kondisi penjual kambing. Sedangkan untuk kepentingan pemeriksaan dari perkara yang belum selesai tersebut, penahanan tersangka SUDAR sudah melalui perpanjangan selama 40 hari oleh Jaksa Penuntut Umum melalui surat perintah perpanjangan penahanan. Penyidik di sini sudah berusaha untuk melengkapi berkas-berkas yang dikembalikan tersebut. Tetapi masih juga belum memenuhi unsur-unsur yang diperlukan oleh penuntut umum. Mengingat batas waktu penahanan tersangka yang apabila sudah melebihi batas waktu dari penahanan penyidik belum bisa melengkapi apa yang diperlukan oleh penuntut umum, maka tersangka akan dinyatakan bebas demi hukum. Hubungan antara Kejaksaan, Kepolisian, dan Pengadilan di Temanggung sudah lama terjalin dengan baik. Adanya saling kerjasama diantaranya membuat semua proses peradilan pidana di Kabupaten Temanggung menjadi berjalan dengan lancar. Sehingga dalam prapenuntutan ini, Jaksa Penuntut Umum segera mengeluarkan P-21, yaitu bahwa sudah dinyatakan lengkap atau memenuhi unsur berkas perkara tersebut. Penyidik juga tidak ingin di praperadilan-kan oleh keluarga tersangka, berkas yang seharusnya masih dianggap kurang lengkap kemudian dianggap sudah lengkap dan akhirnya bisa dilimpahkan ke Kejaksaan untuk kemudian bisa dikeluarkannya P-21.

12 12 Berkas yang belum lengkap seharusnya masih menjadi tanggung jawab penyidik untuk melengkapinya. Apabila penyidik masih belum bisa memenuhi petunjuk yang harus dilengkapi guna pemeriksaan di tingkat penyidikan dan pemeriksaan pengadilan, seharusnya bisa dikeluarakan SP 3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Jika salah satu unsur alasan dikeluarkannya SP3 itu terpenuhi, maka tersangka tersebut bisa dibebaskan demi hukum dan di sini penyidik menghindari kemungkinan-kemungkinan penyidik bisa di praperadilan-kan oleh keluarga tersangka mengingat tersangka sudah menjalani masa penahanan selama 60 hari. Begitu juga dengan kejaksaan, juga masih ingin menjaga hubungan dengan kepolisian yang selama ini sudah terjalin dengan baik. Berangkat dari pemikiran itulah penulis ingin mengetahui bagaimana proses prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Temanggung tersebut, mengenai berkas perkara yang seharusnya belum memenuhi unsur, tetapi ternyata bisa dilimpahkan ke Kejaksaan, melalui sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang berjudul PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PRAPENUNTUTAN DI KEJAKSAAN NEGERI TEMANGGUNG. Dengan harapan bahwa nantinya karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis, pemerhati hukum maupun masyarakat pada umumnya. B. Rumusan Masalah

13 13 1. Bagaimana problematika yang terjadi dalam proses prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Temanggung? 2. Dalam hal apa suatu berkas perkara dinyatakan lengkap menurut pasal 14 huruf b KUHAP? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas penelitian ini secara menyeluruh mempunyai tujuan : 1. Penulis ingin mengetahui problematika apa yang terjadi di dalam pelaksanaan prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Temanggung. 2. Untuk mengetahui lebih lanjut bahwa dalam hal apa suatu berkas perkara sudah dinyatakan lengkap menurut pasal 14 butir b KUHAP. D. Tinjauan Pustaka Pasal 30 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 disebutkan bahwa 13 : Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta membeikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan 13 Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004.

14 14 Kemudian dalam Pasal 4 KUHAP disebutkan bahwa Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. 14 Pasal 4 KUHAP ini secara umum telah menentukan, bahwa setiap pejabat kepolisian negara itu telah dilibatkan di dalam tugas-tugas penyelidikan, yang pada hakekatnya merupakan salah satu bidang tugas dari sekian banyak tugas-tugas yang ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang ada hubungannya erat dengan tugas-tugas yang lain, yakni sebagai satu keseluruhan upaya para penegak hukum untuk membuat seseorang pelaku dari suatu tindak pidana itu harus mempertanggungjawabkan perilakunya menurut hukum pidana di depan hakim 15 Pasal 5, KUHAP : 1. Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 4: a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang, a) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. b) Mencari keterangan dan barang bukti. c) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. d) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 14 Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Sinar Baru, Bandung,1984, hlm Ibid.

15 15 a) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. b) Pemeriksaan dan penyitaan surat. c) Mengambil sidik jari dan memotret seorang. d) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik. 2. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik. 16 Pada masa peraturan RO dan HIR mempunyai kekuatan berlaku secara penuh mulai tahun 1847 dan1848 telah diatur mengenai organ polisi masa lalu dan tugas kepolisian yang bersangkutan. Gubernur Jenderal yang menjadi kepala pemerintahan Hindia Belanda membawahkan Procureur Generaal (Jaksa Agung). 17 Jaksa Agung pada waktu itu diserahi tugas mengepalai: (1) Kewenangan kepolisian dan membantu penyelenggaraan pemerintah untuk memelihara ketenteraman dan keamanan umum serta menjaga supaya tetap terjamin ketertiban (kepolisian preventif) (2) Kewenangan kepolisian yang membantu bidang kehakiman dalam melakukan pemeriksaan pendahuluan berhubung adanya sangkaan terjadi kejahatan atau pelanggaran (kepolisian represif) 16 Ibid. 17 Bambang Poernomo, Orientasi Hukum Acara Pidana, Amarta Buku, Yogyakarta, 1984, Hlm. 25.

16 16 (3) Kemudian kewenangan menyerahkan berkas perkara itu agar dapat diperiksa oleh pengadilan (kepolisian justisi). 18 Tugas penuntutan perkara pidana pada masa Hindia Belanda dahulu dilakukan oleh pejabat Officieren Van Justice dan magistraat atau yang dirangkap oleh assisten residen. Pada masa lalu dikenal aparat kerajaan yang berkedudukan sebagai adhyaksa dengan tugas menuntut dan menghakimi dibawah pimpinan Dharmaadhyaksa 19 Undang-Undang No. 15 tahun 1961 pasal 1-2, 5-13 telah diatur tugas jaksa selaku penuntut umum dan tugas-tugas lain yang dahulu menjadi wewenang kepolisian preventif dan represif. Tugas jaksa dalam rangka melakukan penuntutan perkara pidana mempunyai tanggung jawab untuk membuat surat tuduhan yang terang dan mudah dimengerti oleh terdakwa, dan mengajukan tuntutan pidana (requisitoir) setelah pemeriksaan perkara dianggap selesai dipersidangan. 20 Jaksa Agung menjadi penuntut umum tertinggi, mengawasi tugas para jaksa, memberi petunjuk mengkoordinasi dan mengawasi alat-alat penyelidik dengan mengindahkan hierarchie (tugas macam ini sudah dirubah menjadi prapenuntutan), dan menyampingkan suatu perkara berdasarakan kepentingan umum Ibid. 19 Bambang Poernomo, Op.Cit. hlm Ibid. 21 Ibid.

17 17 Peranan kejaksaan ini mengalami perluasan dan penyempitan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Kualitas pejabat kejaksaan menurut KUHAP pasal 1 ayat (6) dipisahkan, yaitu 22 : (1) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memeperoleh kekuatan tetap. (2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Menurut perincian wewenang penuntut umum dalam pasal 14 KUHAP tertera bahwa jaksa selaku penuntut umum tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan perkara pidana umum. Di bidang penyidikan yang hasilnya kurang sempurna oleh jaksa kemudian diberi petunjukpetunjuk mengenai kelengkapan berkas perkara, yang kemudian disebut dengan prapenuntutan, dengan cara mengembalikan berkas perkara yang disertai petunjuk kepada penyidik untuk kemudian dilengkapi. Prapenuntutan dapat diartikan penetapan jaksa dalam jabatan penuntut umum yang mewajibkan kepada penyidik untuk melengkapi kekurangan hasil penyidikan atau melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang tersebut dalam penetapan. Adanya wewenang untuk menyampaikan suatu laporan mengenai terjadinya suatu tindak pidana kepada penyelidik dan penyidik, maka 22 Ibid.

18 18 Undang-Undang secara tegas telah bermaksud untuk memberikan jaminan bahwa penyampaian laporan tersebut tidak akan membuat pelapornya menjadi harus dipertanggungjawabkan atas laporan yang telah ia sampaikan kepada penyelidik dan penyidik, berikut segala akibat yang timbul karena laporannya itu. Sudah pasti apa yang dikemukakan di atas tersebut menjadi tidak berlaku, yakni apabila yang dilaporkannya itu ternyata tidak sesuai dengan kenyataan atau ternyata palsu, kecuali jika hal tersebut terjadi karena ulah dari oknum polisi itu sendiri. Untuk mengant isipasi kemungkinan terjadinya problematikaproblematika yang timbul di dalam pelaksanaan prapenuntutan, maka terdapat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHAP dalam Pasal 138 yang berbunyi 23 : (1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya, dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum (2) Dalam hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum megembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik haru sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Pasal 138 tersebut hanya menjelaskan mengenai arti meneliti, adakah tindakan penuntut umum dalam mempersiakan penuntutan, apakah orang atau 23 Lamintang, Op.Cit. hlm..308.

19 19 benda tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai ataukah telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik. 24 E. Metode Penelitian Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian Yuridis Sosiologis 1. Obyek Penelitian Problematika pelaksanaan prepenuntutan yang terjadi pada Kejaksaan Negeri Temanggung 2. Subyek Penelitian a. Polisi Resort Temanggung b. Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Temanggung 3. Sumber Data a. Sumber data primer Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari Kejaksaan Negeri Temanggung dan Kepolisian Resort Temanggung mengenai problematika yang terjadi di dalam prapenuntutan tersebut. Penulis 24 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, Hlm.156.

20 20 mencari nara sumber yang berkompeten dan terlibat langsung di dalam proses jalannya prapenuntutan sehubungan dengan kasus yang penulis teliti, seperti Polisi sebagai penyidik, dan Jaksa Penuntut Umum. b. Sumber data sekunder Yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yaitu peraturan perundang-undangan, buku-buku, artikel internet dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 4. Tekhnik pengumpulan data a. Data primer Berupa wawancara dengan subyek penelitian tentang problematika dalam proses prapenuntutan yang terjadi di Kejaksaan Negeri Temanggung. b. Data Sekunder 1) Studi Kepustakaan Dilakukan dengan cara mengkaji berbagai bahan kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan, media cetak, artikel internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 2) Studi Dokumentasi

21 21 Dilakukan dengan cara mengkaji berbagai dokumen institusional yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. F. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan melihat, menelaah dan menginterprestasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang berkaitan dengan hukum positif yang berlaku, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan berkaitan dengan data primer yang didapatkan di lapangan dengan cara mengkaji fakta-fakta problematika yang terjadi pada proses prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Temanggung. G. Analisis Data Analis data dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. Jenis penelitian kualitatif ini diambil dengan cara menafsirkan temuan-temuan dari hasil penelitian dengan perspektif atau sudut pandang tertentu yang kemudian disajikan dalam bentuk narasi. Data dalam penelitian ini disajikan secara deskriptif yaitu dengan menggambarkan, meringkas berbagai kondisi dan situasi. Dalam penelitian akan dijabarkan kondisi konkrit dari obyek penelitian dan selanjutnya akan dihasilkan deskripsi tentang problematika dalam pelaksanaan prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Temanggung.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto * Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum Cakra Nur Budi Hartanto * * Jaksa Kejaksaan Negeri Salatiga, mahasiswa Magister (S-2) Ilmu Hukum UNISSULA

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. Supit 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban terhadap negara dan kegiatan penyelenggaraan negara harus berlandaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2 PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2 A B S T R A K Hasil penelitian menunjukan bagaimana proses penyelesaian pengembalian berkas perkara pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia tidak terlepas dengan hukum yang mengaturnya, karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya sebuah hukum. Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus KAJIAN HUKUM TERHADAP PROSEDUR PENANGKAPAN OLEH PENYIDIK MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 1 Oleh: Dormauli Lumban Gaol 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimanakah prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara

Lebih terperinci

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015 PROSES PELAKSANAAN PRAPENUNTUTAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT KUHAP 1 Oleh: Rajiv Budianto Achmad 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan suatu kumpulan dari masyarakat-masyarakat yang beraneka ragam corak budaya, serta strata sosialnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 28, Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 3 TAHUN 1988 SERI D NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 3 TAHUN 1988 SERI D NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II NOMOR 3 TAHUN 1988 SERI D NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II NOMOR 6 TAHUN 1987 TENTANG PENYIDIKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI INGKUNGAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan- peraturan yang menentukan perbuatan apa saja yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

PROSES PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN DALAM TRANSFER ILMU KEMAHIRAN DUNIA PRAKTIK. Oleh: Lise Yolanda, SH. 1. Abstraksi

PROSES PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN DALAM TRANSFER ILMU KEMAHIRAN DUNIA PRAKTIK. Oleh: Lise Yolanda, SH. 1. Abstraksi PROSES PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN DALAM TRANSFER ILMU KEMAHIRAN DUNIA PRAKTIK Oleh: Lise Yolanda, SH. 1 Abstraksi Mata Kuliah Praktik Penyidikan dan Penuntutan merupakan satu diantara beberapa mata kuliah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah meliputi semua aspek kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari semua aspek kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara hukum dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Negara Indonesia adalah Negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelidikan dan Penyidikan Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG QANUN KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DILINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam

Lebih terperinci

BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA

BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA A. Peraturan Perundang-undangan Yang Dapat Dijadikan Penyidik Sebagai Dasar Hukum Untuk Melakukan Penanganan Tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pergaulan hidup manusia, baik individu maupun kelompok sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup, terutama norma hukum yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di segala bidang, baik pembangunan fisik maupun pembangunan mental spiritual

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013 SALINAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

Lebih terperinci

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA METRO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penegakan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat), seperti yang dicantumkan dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu masyarakat tertentu atau dalam Negara tertentu saja, tetapi merupakan permasalahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Pendekatan masalah yang digunakan dalam proses pengumpulan dan penyajian

METODE PENELITIAN. Pendekatan masalah yang digunakan dalam proses pengumpulan dan penyajian III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan dalam proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Umum Tindak pidana korupsi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana terhadap kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 4 TAHUN 1988 TENTANG

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 4 TAHUN 1988 TENTANG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 4 TAHUN 1988 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D ----------------------------------------------------------- PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (PERDA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan No.655, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BERSAMA. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Koordinasi. Aparat Penegak Hukum. PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG MENTERI HUKUM DAN HAM JAKSA

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci