BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi militer dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan prajuritnya dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan keselamatan negara. Walaupun sebagai warga Negara Republik Indonesia Tentara bukan merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota Tentara adalah juga sebagai anggota masyarakat biasa, tapi karena adanya beban kewajiban Angkatan Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara, maka diperlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih/berdisiplin dalam organisasinya, sehingga seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk mencapai/melaksanakan tujuan tugasnya yang pokok, untuk itu diperlukan suatu hukum yang khusus dan Peradilan yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. Kekhususan itu ialah, bahwa masyarakat Tentara itu adalah pengkhususan daripada masyarakat umum 1. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 merumuskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib 1 Bimo Adi. Artikel MENUJU PURIFIKASI DAN INDEPENDENSI PERADILAN MILITER. Selasa 24 Agustus 2010. 1
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan demikian sebenarnya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menjalankan pemerintahan tidak boleh ada warga negara yang mempunyai keistimewaan, termasuk dalam masalah peradilan, semua warga Negara harus tunduk dan patuh kepada keputusan hukum dan diperlakukan sama apabila salah seorang warga negara tersangkut perkara hukum. Pengadilan harus bisa menjalankan dan mengayomi para pihak yang berpekara di pengadilan. 2 Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengenal lima macam jenis peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, peradilan militer dan mahkamah konstitusi, masing-masing peradilan mempunyai obyek dan subyek yang berbeda dan kekhususan tersendiri. Kompetensi peradilan umum, khususnya dalam perkara pidana akan diproses melalui sistem peradilan pidana yang dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam perkara pidana terdakwa berasal dari kalangan rakyat sipil (di dalamnya termasuk terdakwa yang berasal dari Polri) atau bisa dari kalangan rakyat sipil dan kalangan militer (perkara koneksitas). Sedangkan perkara pidana yang terdakwanya berasal dari kalangan militer dengan jenis pelanggaran terhadap hukum pidana umum atau hukum pidana militer diproses melalui mekanisme sistem peradilan pidana militer dengan sub sistem Ankum, papera, Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer dan Petugas Pemasyarakatan Militer 3. 2 Edi Setiadi, Sebuah Makalah Pengantar, Artikel, Bandung: 23 Desember 2006. 3 Ibid. 2
Hampir semua institusi militer di seluruh negara memiliki mekanisme peradilan khusus yang dikenal sebagai peradilan militer. Dasar hukum pengadilan militer di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Hukum Pidana Militer adalah bagian dari hukum positif, yang berlaku bagi justisiabel peradilan militer, yang menentukan dasar-dasar dan peraturanperaturan tentang tindakan-tindakan yang merupakan larangan dan keharusan serta terhadap pelanggaranya diancam dengan pidana, yang menentukan dalam hal apa dan bilamana pelanggar dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan menentukan juga cara penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana, demi tercapainya ketertiban hukum. Hukum pidana militer memuat peraturanperaturan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam Hukum Pidana Umum dan hanya berlaku bagi golongan khusus (militer) atau orang-orang karena peraturan perundang-undangan ditundukan padanya. 3
Dengan adanya Hukum Pidana Militer bukan berarti Hukum Pidana Umum tidak berlaku bagi militer, tetapi bagi militer berlaku baik Hukum Pidana Umum maupun Hukum Pidana Militer 4. Berdasarkan UU No.31 Tahun 1997, apapun bentuk tindak pidana yang dilakukan maka mereka akan diadili di peradilan militer. Kalaupun ada unsur tindak pidana umum di dalamnya, atau tindak pidana tersebut dilakukan bersama-sama dengan warga sipil, maka harus digunakan hukum acara koneksitas. Dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasinal Indonesia, maka akan muncul dualisme peradilan bagi anggota TNI sebagaimana dalam Pasal 65 yang menyatakan : (1) Prajurit Siswa tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku bagi Prajurit; (2) Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur undangundang; (3) Apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan yang diatur dengan undang-undang. Terlihat pada ayat (2) mengandung norma yang bersifat dualisme, di satu sisi Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer, namun disisi lain juga tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dalam undangundang. sedangkan pada ayat (3) rumusan normanya juga terkesan bersifat pengandaian, bahwa apabila kekuasaan peradilan umum tidak berfungsi, maka 4 E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, 1981.Hukum Pidana Militer di Indonesia. Jakarta : Alumni. Hal 15. 4
prajurit tetap tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undangundang 5. Penulisan tentang peradilan militer ini pernah dibahas sebelumnya oleh beberapa mahasiswa Fakultas Hukum tetapi dengan berbagai perbedaan. Berikut ini perbandingan skripsi penulis dengan skripsi penulis yang lain. No Perbandingan Penulis Hagen Bayu Prasojo Adi skripsi 1 Judul Pertimbangan Hakim Peradilan Militer dalam Menjatuhkan Putusan terhadap anggota TNI (studi kasus perkara No : PUT/18-K/PMT Pemidanaan terhadap anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan desersi menurut hukum pidana militer Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Proses Penanganannya oleh pusat Polisi Militer III/AD/VII/2008) 2 Lokasi Surabaya Semarang DKI Jakarta 3 Peraturan perundangundangan Undang-undang No.31 Tahun 1997, Undang-undang No.31 Tahun 1997, Undang-undang No.31 Tahun 1997, KUHPM KUHPM, Undang- undang No.34 Tahun 2004 dan putusan peradilan mititer tinggi. KUHPM 4 Objek Analisis Putusan Analisis putusan Proses penanganan 5 Bestur Lubis, Konsekuensi Yuridis dan Teknis ditetapkannya Peradilan Umum bagi Anggota TNI, Tesis, Universitas Tanjungpura, Pontianak, 2009. Hal 3. 5
hakim peradilan militer. 5 Permasalahan Perdilan umum bagi anggota TNI, unsur tentang penjatuhan putusan bebas, 6 Unit amatan Surat putusan Peradilan Militer Tinggi. 7 Unit analisis Pertimbangan hakim peradilan militer. majelis hakim Faktor alasan desersi, faktor unsur tindak pidana, faktor lamanya masa desersi Hakim militer dan berkas putusan perkara desersi Pertimbangan hakim Pengadilan militer PUSPOMAD DKI terhadap kasus penganiayaan Penanganan yang dilakukan PUSPOMAD DKI, dan faktor penyebab tindak pidana penganiayaan Kasus-kasus tindak pidana penganiayaan yang dilakukan anggota TNI Penanganan PUSPOMAD DKI terhadap kasus-kasus penganiayaan. Berdasarkan surat putusan No : PUT/18-K/PMT III/AD/VII/2008, Majelis Hakim memberikan putusan bebas terhadap Terdakwa yang di dakwa oleh Oditur Militer melakukan tindak pidana sesuai pasal 372 KUHP, apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim memberikan putusan tersebut. Selain itu Penulis juga ingin membahas tentang kompetensi peradilan militer dalam menangani perkara. 6
Atas dasar perbandingan tersebut menjadi dasar penulis untuk melakukan rangkaian penelitian secara sistematis dan konsisten dengan mengangkat permasalahan melalui judul Pertimbangan Hakim Peradilan Militer dalam Menjatuhkan Putusan terhadap anggota TNI (studi kasus perkara No : PUT/18-K/PMT III/AD/VII/2008) pada skripsi ini. B. Latar Belakang Masalah Peradilan Militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara disamping pengadilan biasa, pada tanggal 8 Juni 1946, kurang lebih 8 bulan setelah lahirnya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam masa kekosongan hukum ini, diterapkan hukum disiplin militer dan bersamaan dengan ini pula dikeluarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1946 tentang Hukum Acara Pidana guna peradilan Tentara 6. Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer. Undang-undang ini kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari. 1. Pengadilan Militer. 2. Pengadilan Militer Tinggi. 3. Pengadilan Militer Utama. 4. Pengadilan Militer Pertempuran. 6 Law Comunity, Sejarah peradilan militer di Indonesia, Makalah disampaikan. 7
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang ketentuan pokok kekuasaaan kehakiman ditetapkan bahwa salah satu penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan lingkungan militer. Keberadaan peradilan militer tersebut didasari oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa angkatan bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan memiliki wewenang penyerahan perkara tersebut. Pemidanaan bagi seorang militer, pada dasarnya lebih merupakan suatu tindakan pendidikan atau pembinaan dari pada tindakan penjeraan atau pembalasan, selama terpidana akan diaktifkan kembali dalam dinas militer setelah menjalani pidana 7. Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga betolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan untuk memberi penderitaan istimewa (bijzonderlead) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya 8. Berdasarkan surat Putusan nomor PUT/18-K/PMT III/AD/VII/2008 Terdakwa didakwa melakukan penggelapan di Puskopad (Pusat Koprasi Angkatan Darat), puskopad merupakan koprasi milik angkatan darat Tentara Nasional Indonesia. Adapun Terdakwa melanggar Pasal 372 KUHP yang merupakan bagian dari tindak pidana Umum. Dalam permasalahan yang akan penulis bahas selain dari isi surat putusan tersebut adalah apakah seorang anggota militer dapat diadili di peradilan militer apabila melanggar tindak pidana umum. Di dalam 7 Bestur Lubis, Op cit. Hal 66. 8 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung : Nusa Media. 2010. Hal 80. 8
Pasal 65 ayat (2) menjadikan dualisme peradilan bagi anggota militer, disamping militer harus tunduk pada peradilan militer, militer juga harus tunduk pada peradilan umum dalam hal tindak pidana umum. Menurut Pasal 198 Undang- Undang No. 31 Tahun 1997, tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkup peradilan militer dan lingkup peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan Persetujuan Menteri Kehakiman perkara ini harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Selain itu dalam Dakwaan Oditur Militer Tinggi memberikan dua alternatif dakwaan. Dakwaan Alternatif Pertama didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Alternatif kedua Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Unsur apakah yang mendasari Oditur Militer memberikan Dakwaan tersebut terhadap Terdakwa, sedangkan tidak ada unsur merugikan keuangan negara yang dilakukan oleh Terdakwa pada kasus atau permasalahan ini. Dengan demikian seluruh Dakwaan Oditur Militer yang telah mendasarkan pada hasil penyidikan dari Tim penyidik tentang dakwaan alternatif pertama harus 9
Ditolak dan dinyatakan Batal Demi Hukum. Di dalam eksepsi yang diajukan oleh penasihat hukum Terdakwa bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa bukan merupakan Hukum pidana tetapi hanya merupakan perbuatan dalam hubungan hukum keperdataan. Dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang koperasi menyatakan pengurus, baik bersama-sama, maupun sendiri-sendiri menanggung kerugian yang diderita koperasi, karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaian. Berdasarkan Pasal 189 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997 menyatakan Apabila Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, Terdakwa diputus bebas 9. Dalam Hukum Pidana juga dikenal suatu azas IN DUBIO PRO REO yang menyatakan bahwa apabila terdapat cukup alasan untuk meragukan kesalahan Terdakwa, maka Hakim harus memberikan keputusan yang menguntungkan terdakwa untuk menghindari penanganan perkara yang subyektif dimana kebanyakan perkara pidana sarat dengan berbagai pengaruh, kepentingan dan intervensi. Asas-asas dan ajaranajaran umum yang tidak ditentukan dalam KUHP tetapi berlaku pada Hukum Pidana Umum, berlaku juga bagi Hukum Pidana Militer 10. Oleh karenanya sesuai azas hukum yang menyatakan lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah dapat diterapkan secara total obyektif kepada diri Terdakwa di dalam Persidangan ini. 9 Sinar Grafika. 2004. Himpunan Undang-undang Peradilan. Jakarta : Sinar Grafika. Hal 157. 10 Said Sissa Hadi, dan Teguh Prasetyo. HUKUM PIDANA MILITER DI INDONESIA. Yogyakarta : Mitra Prasaja Offset. 2002 Hal 23. 10
Majelis Hakim berpendapat bahwa ternyata hasil audit yang dibuat oleh Tim Audit dengan kalkulasi biaya berdasarkan kuitansi pembayaran yang terlampir dalam surat dakwaan Oditur Militer Tinggi tidak bersesuaian, dengan demikian pula hasil penghitungan kalkulasi kerugian yang dibuat oleh Tim Audit tidak dapat dijadikan dasar penghitungan laba rugi, karena tidak bersesuaian dengan bukti-bukti pembayaran yang telampir dalam surat Dakwaan Oditur Militer Tinggi. Selain itu berdasarkan fakta-fakta dalam surat putusan Nomor PUT/18- K/PMT-III/AD/VII/2008, Majelis Hakim berpendapat uang sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dari hasil keuntungan EMKL Puskopaddam XVII/Cendrawasih yang dipinjam secara pribadi oleh Terdakwa menjadi tanggungjawab pribadi Terdakwa dengan pihak koperasi Puskopaddam XVII/Cendarawasih dan bukan merupakan unsur pidana, melainkan lebih ke unsur perdata. Karena unsur kepemilikan / siapa pemilik persis belum jelas, dan masih merupakan kewenangan pada Hakim Perdata dalam lingkungan Peradilan Umum dan bukan kewenangan Hakim Peradilan Militer. Penulis akan memberikan analisis lebih lanjut berdasarkan permasalahan diatas. 11
C. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam skripsi ini secara khusus Permasalahan yang ingin di bahas dalam skripsi adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kompetensi Peradilan Militer dalam menangani perkara tindak pidana umum? 2. Apakah sudah tepat pertimbangan Hakim Peradlan Militer berdasarkan surat putusan Nomor : PUT/18-K/PMT-III/AD/VII/2008? D. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis dan mengetahui kompetensi Peradilan Militer dalam menangani perkara tindak pidana umum. 2. Menganalisis ketepatan pertimbangan Hakim Peradilan Militer berdasarkan surat Putusan Nomor : PUT/18-K/PMT- III/AD/VII/2008. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan konsep-konsep dan asas-asas hukum tindak pidana militer dan proses peradilannya, sehingga dapat menambah pengetahuan. 2. Manfaat Praktisi : Dari penelitian ini dapat memahami tentang pertimbangan Hakim Peradilan Militer, dan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam memberikan putusan terhadap Anggota TNI. 12
F. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian : Jenis penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya 11. Dalam hal ini berkaitan dengan putusan hakim Peradilan Militer yang memutus bebas terdakwa anggota TNI yang didakwa melakukan tindak pidana penggelapan. 2. Pendekatan masalah : Pendekatan menggunakan pendekatan kasus dan juga melalui pendekatan undang-undang 12. 3. Pengumpulan bahan Hukum : a. Bahan Hukum primer : Bahan hukum yang penulis buat merupakan bahan hukum dari undangundang yang berkaitan dengan permasalahan ini, diantaranya adalah : 1. UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer. 3. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Militer. 4. Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. 5. Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 6. putusan Peradilan Militer Tinggi III Surabaya. 11 Johny ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Banyu Media, 2011, hal 57. 12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994, hal 32. 13
b. Bahan Hukum Sekunder : bahan hukum sekunder menggunakan kepustakaan berupa buku, majalah, hasil penelitian, makalah dalam seminar, dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier diambil dari kamus hukum dan ensiklopedia. 4. Unit Amatan : Dengan mengacu pada surat putusan Nomor : PUT/18-K/PMT- III/AD/VII/2008. Dan undang-undang yang berkaitan dengan permasalahan. 5. Unit Analisis Tentang pertimbangan Hakim Peradilan Militer dalam memberikan putusan terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana dengan melihat fakta-fakta yang terjadi dalam persidangan. 14