1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit adalah salah satu penyakit neurodegeneratif yang bersifat progresif. Penyakit ini merupakan penyakit neurodegeneratif tersering kedua setelah demensia Alzheimer. Penyakit Parkison paling banyak dialami pada usia lanjut dan jarang ditemukan pada umur dibawah 30 tahun. Sebagian besar kasus ditemukan pada usia 40-70 tahun, rata-rata pada usia 58-62 tahun dan kirakira 5% muncul pada usia dibawah 40 tahun. (PERDOSSI, 2008). Insiden lebih tinggi pada laki-laki, ras kulit putih dan didaerah industri tertentu, insidensi terendah terdapat pada populasi Asia dan kulit hitam Afrika. Faktor lingkungan memiliki peranan penting dalam menimbulkan penyakit ini (Sharma, 2008) Angka prevalensi penyakit di Amerika Utara diperkirakan sebesar 160 per 100.000 populasi dengan angka kejadian sekitar 20 per 100.000 populasi. Prevalensi dan insidensi penyakit semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Prevalensi berkisar antara 0,5-1% pada usia 65-69 tahun. Pada umur 70 tahun prevalensi dapat mencapai 120 dan angka kejadian 55 kasus per 100.000 populasi pertahun. Prevalensi meningkat sampai 1-3% pada usia 80 tahun atau lebih. Di Indonesia belum ada data prevalensi penyakit yang pasti, namun diperkirakan terdapat sekitar 400.000 penderita penyakit. Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada pria dari pada wanita dengan angka perbandingan 3:2 (Joesoef, 2007).
2 Penyakit mempunyai gejala yang khas berupa adanya tremor, bradikinesia, rigiditas dan abnormalitas postural. Disamping itu terdapat pula gejala psikiatri berupa depresi, cemas, halusinasi, penurunan fungsi kognitif, gangguan sensorik, akathesia dan sindrom restless legs, gangguan penciuman, gangguan otonom serta gangguan tidur yang disebabkan oleh efek samping obat antiparkinson maupun bagian dari perjalanan penyakitnya. Perjalanan penyakit atau derajat keparahan dari penyakit diukur berdasarkan stadium Hoehn dan Yahr atau Unified s Disease Rating Scale (UPDRS) (PERDOSSI, 2008). Patogenesis yang mendasari terjadinya penyakit antara lain adalah : stres oksidatif, disfungsi mitokondria, eksitotoksisitas, inflamasi dan kelemahan sistem ubiquitin proteasom (Seidl & Potashkin, 2011). Adanya peningkatan zat besi yang terdeteksi pada substansia nigra pasien dengan penyakit meyakinkan pentingnya peranan stres oksidatif dalam patogenesis penyakit. Metabolisme dopamin endogen ternyata juga menyebabkan peningkatan produksi racun yang mempertinggi terjadinya stres oksidatif pada pasien penyakit (Siderowf, 2003). Stres oksidatif di otak memiliki peranan penting pada onset penyakit dan menyebabkan peningkatan kerusakan oksidatif di substansia nigra (Prasad, et al.,1999). Asam merupakan antioksidan dan celator zat besi dalam tubuh terutama di dalam darah dan jaringan otak, yaitu dengan mengikat radikal hidroksil dan peroksinitrit, yang dianggap sebagai mediator pusat kerusakan oksidatif dalam patogenesis penyakit. Karena stres oksidatif dapat
3 berkontribusi pada hilangnya neuron dopaminergik di substansia nigra individu dengan penyakit. Penurunan kadar asam pada neuron nigrostriatal pada manusia meningkatkan kerentanan terhadap stres oksidatif. Sehingga kadar asam yang lebih tinggi pada serum diasosiasikan dengan penurunan risiko yang signifikan terhadap munculnya penyakit (Cipriani, et al., 2010). Banyak penelitian telah menunjukan bahwa peningkatan kadar asam menghasilkan efek perlindungan terhadap progresifitas penyakit. Ada beberapa penelitian yang mendukung hipotesis bahwa peningkatan kadar asam berhubungan dengan penurunan kejadian Penyakit idiopatik. Davis, et al. (1996), telah melakukan penelitian dengan data dari The Honolulu Heart Program yang melibatkan 8006 orang Jepang atau orang Okinawa selama 30 tahun, menunjukkan bahwa laki-laki dengan kadar asam di atas rata-rata memiliki 40 persen penurunan kejadian terjadinya penyakit idiopatik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Weisskopf, et al. (2009) yang diikuti oleh 18.000 laki-laki, menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara kadar asam dengan kejadian penyakit. Alonso, et al. (2007) telah mengidentifikasi 1.052 kasus penyakit dan 6634 kelompok kontrol, menemukan bahwa pasien yang sebelumnya didiagnosis gout mengalami penurunan 30 persen kejadian penyakit, dimana hasilnya signifikan pada pria, tetapi tidak pada wanita. Penelitian kohort prospektif lain yang dilakukan oleh Gao Xiang, et al,. (2007), dengan subjek 47.406 orang dari Health Professionals Study, didapatkan bahwa diet tinggi purin dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah terjadinya penyakit setelah follow up selama 14
4 tahun, walaupun demikian risiko terbentuknya batu ginjal dan risiko penyakit kardiovaskuler menjadi meningkat. Sedangkan, Schwarzschild, et al. (2008), dalam penelitian yang menggunakan data dari s research examination, menilai hubungan antara kadar asam dan perkembangan penyakit secara klinis dan radiografi. Penelitian tersebut melibatkan 804 subjek dengan diagnosis awal penyakit, mendapatkan hubungan yang berbanding terbalik antara skala UPDRS dengan kadar asam pada laki-laki, sementara hubungan ini tidak signifikan pada wanita. Bukti lain menunjukan pada penderita gout dengan hiperurisemia memiliki risiko yang lebih rendah untuk terjadinya penyakit (Pello, et al., 2009). Studi lain yang dilakukan oleh Hou dan Lai (2011), menyebutkan bahwa stadium Hoehn dan Yahr tidak berhubungan dengan kadar asam, stadium Hoehn dan Yahr berhubungan dengan umur pasien dan durasi dari penyakit (Hou & Lai, 2011). Menurut Andreadou, et al. (2009), pada penelitiannya melaporkan adanya hubungan yang signifikan berupa korelasi negatif antara kadar asam dengan durasi dan terapi penyakit hanya pada laki-laki, sedangkan pada perempuan tidak ada hubungan yang signifikan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jain, et al. (2011), menyebutkan bahwa pada laki-laki kadar asam yang rendah dikaitkan dengan risiko terjadinya penyakit yang lebih tinggi, sedangkan kadar asam yang tinggi tidak berhubungan dengan penurunan lebih lanjut dalam risiko terjadinya penyakit, pada kadar asam yang tinggi dapat meningkatkan risiko gout, penyakit jantung, atau penyakit ginjal (Chen, et al., 2012 ; Shah & Keenan, 2010).
5 Peranan asam sebagai produk metabolisme purin masih menunjukan hasil yang kontroversial sebagai faktor risiko gangguan kardiovaskuler, serebrovaskuler maupun gangguan kognitif.. serum normal tinggi mungkin berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif pada populasi usia tetapi tidak secara independen (Barus et al., 2009; Schretlen et al.,2005). Berbagai penelitian tentang hubungan kadar asam dengan Penyakit di luar negeri sudah banyak dilakukan, sedangkan di Indonesia belum pernah ada penelitian tentang hubungan antara kadar asam dengan penyakit. Perbedaan tempat dan populasi dapat menimbulkan perbedaan hasil karena faktor ras dan lingkungan merupakan variabel perancu yang dapat sangat berpengaruh. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara kadar asam dengan derajat berat ringannya penyakit di Indonesia, khususnya populasi di Yogyakarta dan sekitarnya, yang pada akhirnya diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pemikiran peningkatan pelayanan kesehatan bagi penderita penyakit di Indonesia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat diambil beberapa masalah sebagai berikut : 1. Prevalensi penyakit semakin meningkat setiap tahun sesuai meningkatnya usia. 2. Salah satu faktor yang menyebabkan progresifitas dari penyakit berhubungan dengan stres oksidatif yang berlangsung terus menerus.
6 3. Asam sebagai salah satu antioksidan yang berfungsi sebagai neuroprotektan dapat berpengaruh terhadap perlambatan progresifitas penyakit. 4. Penelitian tentang pengaruh asam terhadap progresifitas dan berat ringannya penyakit di Indonesia belum pernah ada. C. Tujuan Penelitian Mengetahui apakah kadar asam pasien dengan penyakit berhubungan dengan derajat penyakit berdasarkan skala Hoehn dan Yahr. D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan tambahan pengetahuan tentang adanya hubungan kadar asam dengan berat ringannya penyakit. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan peranan asam penyakit, dan meningkatkan kualitas pengelolaan pada penyakit. 3. Para klinisi disamping memberikan terapi juga mengedukasi utk mengkonsumsi antioksidan alami serta diet yang mengandung purin dengan tetap mengevaluasi kadar asam tidak melebihi angka normal dan mengevaluasi risiko terhadap kardiovaskuler, serebrovaskuler dan ginjal. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran, didapatkan beberapa penelitian mengenai hubungan kadar asam dengan penderita penyakit sesuai dengan tabel 1.
7 Tabel 1. Penelitian Tentang Kadar Asam Urat dengan Penyakit No Penelitian Judul Metode Alat ukur Hasil 1. Iranmanesh et al., 2012 2. Ascherio et al., 2009 3. Cong-cong et al., 2012 4. Andreadou et al., 2009 5. Schwarzsc hild et al., 2008 6. Weisskopf et.al., 2007 7. Penelitian sekarang Serum Uric Acid Level in Patients with Disease Urate as a Predictor of the Rate of Clinical Decline in Disease Association of serum uric acid levels with the progression of s disease in Chinese patients Serum uric acid levels in patients with s disease: Their relationship to treatment and disease dion Serum Urate as a Predictor of Clinical and Radiographic Progression in Disease Plasma e and risk of s disease Korelasi Kadar Asam Urat dengan Stadium Hoehn dan Yahr pada Pasien Penyakit Casecontrol retrospec tive Doubleblind, randomiz ed trial Casecontrol retrospec tive study Casecontrol study Prospecti ve study Prospecti ve studies Cross- Sectional Onset UPDRS Hoehn & Yahr Durasi penyakit kadar asam dengan durasi dan terapi UPDRS Imaging SPECT (Single Photon Emission computed tomography) Hoehn & Yahr yang rendah meningkatkan risiko penyakit yang tinggi berhubungan dengan penurunan nilai UPDRS Terdapat korelasi negatif antara kadar asam dengan Stadium Hoehn & Yahr dan durasi penyakit Hubungan signifikan, korelasi negatif antara kadar asam dengan durasi dan terapi penyakit hanya pada laki-laki, pada perempuan tidak bermakna yang tinggi terkait dengan penurunan progresifitas penyakit. Terdapat korelasi negatif antara kadar asam dengan UPDRS tinggi menurunkan risiko terjadinya penyakit, serta dapat memperlambat progresifitas penyakit?