FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

dokumen-dokumen yang mirip
FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN


BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

ALAT BUKTI SAH SURAT: PENEMUAN, PEMBUKTIAN, DAN KETERTERIMAAN Budi Sampurna 1

Bagian Kedua Penyidikan

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

TINJAUAN YURIDIS PERANAN BUKTI FORENSIK DAN LAPORAN INTELEJEN PADA TAHAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME DI KOTA MEDAN (STUDI DI POLRESTA MEDAN)

BAB I PENDAHUUAN. lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh. pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. khususnya bagi pasien mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

1. PELAPORAN Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA KASUS PEMBUNUHAN OLEH IBU TERHADAP ANAK (BAYI)

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

K homo homini lupus ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia:pembunuhan, penganiayaan pemerkosaan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya sering ter

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

BAB IV ANALISIS SIDIK JARI SEBAGAI SARANA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Analisis Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

Transkripsi:

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D 101 07 521 ABSTRAK Ilmu kedokteran kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan peradilan. Pertanyaannya adalah apa yang sesungguhnya yang menjadi inti dan peran ilmu tersebut dalam hubungannya dengan proses peradilan. Jawaban yang paling esensial dan pertanyaan tersebut adalah bahwa ilmu kedokteran kehakiman berperan dalam hal menentukan hubungan kausalitas antara sesuatu perbuatan dengan akibat yang akan ditimbulkannya dari perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada tubuh, atau yang menimbulkan gangguan kesehatan, atau yang menimbulkan matinya seseorang, di mana terdapat akibat-akibat tersebutpatut diduga telah terjadi tindak pidana. Fungsi dan kedudukan Visum Et Repertum dalam perkara pidana sebagai pengganti corpus delicti, hasil pemeriksaan dokter yang dituangkan pada visum et repertum merupakan fakta atau bukti tentang tindak pidana yang berhubungan dengan tubuh, nyawa dan kesehatan manusia yang dituangkan di dalam bagian pemberitaan visum et repertum dan berisi hasil pemeriksaan secara rinci yang dibuat oleh dokter pemeriksa. hasil pemeriksaan tersebut diharapkan menjadi pendukung keyakinan hakim dalam memutus perkara tersebut secara tepat dan adil. Kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam perkara pidana sama dengan alat bukti lain, yang diatur dalam pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah. Kata Kunci : Visum Et Repertum, Corpus Delicti, Alat Bukti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana telah kita maklumi bersama, bahwa tidak ada satu ilmu pengetahuan pun yang dapat menyelesaikan persoalan yang menjadi objeknya tanpa bantuan ilmu pengetahuan lain, demikian juga dengan ilmu pengetahuan tentang hukum.satu contoh konkrit misalnya, apabila peradilan dihadapkan pada kasus-kasus yang berhubungan luka tubuh manusia, jelas segala sesuatu yang berhubungan dengan luka bukan menjadi kajian bidang ilmu hukum.belum lagi, apabila luka-luka tersebut telah terjadi untuk beberapa waktu yang lampau yang mungkin keberadaan untuk saat sekarang telah pulih kembali atau mungkin bertambah parah. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, untuk menentukan kapan saat terjadi luka dan apakah luka yang dimaksud itu diakibatkan oleh tindak kejahatan, diperlukan alat bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.berangkat dan ketidakmampuan mengungkap semuanya itu, hukum memerlukan bantuan dan disiplin ilmu pengetahuan lain, yaitu kedokteran.tentunya sumbangan ilmu pengetahuan kedokteran, bukan hanya terbatas untuk hal-hal semacam itu. Melainkan segala persoalan yang berhubungan dengan luka, kesehatan dan nyawa seseorang yang diakibatkan oleh kejahatan yang selanjutnya diterangkan oleh dokter, akan bermanfaat bagi proses penyelesaian perkara pidana. Istilah lain dan ilmu pengetahuan kedokteran kehakiman adalah Kedokteran Forensik, yang merupakan terjemahan dan Gerechtelijk geneeskunde atau forensic Medicine (legal medicine or medical jurisprudence)yang merupakan cabang

kedokteran khusus yang berkaitan dengan interaksi (hubungan: penulis) antara medis dan hukum. Terdapat 2 cabang ;clinic forensic medicine yang berhubungan dengan manusia hidup dan dan clinical pathology yangberbubungan dengan mayat. (J. Guwandi, Suara Pembaruan, 23/11/1997) Dalam pembahasan di muka kita telah mengetahui bahwa ilmu kedokteran kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan peradilan. Pertanyaannya adalah apa yang sesungguhnya yang menjadi inti dan peran ilmu tersebut dalam hubungannya dengan proses peradilan. Jawaban yang paling esensial dan pertanyaan tersebut adalah bahwa ilmu kedokteran kehakiman berperan dalam hal menentukan hubungan kausalitas antara sesuatu perbuatan dengan akibat yang akan ditimbulkannya dari perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada tubuh, atau yang menimbulkan gangguan kesehatan, atau yang menimbulkan matinya seseorang, di mana terdapat akibat-akibat tersebutpatut diduga telah terjadi tindakpidana. 1 Berdasarkan hasil pemeriksaan ahli forensik inilah, selanjutnya dapat diketahui apakah lukanya seseorang, tidak sehatnya seseorang, atau matinya seseorang tersebut diakibatkan oleh akibat tindak pidana atau tidak. Dokter ahli forensik dapat memberikan bantuannya dalam hubungannya dengan proses peradilan.dalam hal sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan. Bentuk bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat diberikan pada saat terjadi tindak pidana (di tempat kejadian perkara, pemeriksaan korban yang luka, pemeriksaan mayat, pemeriksaan korban yang telah dikubur melalui penggalian mayat), dan pemeriksaan barang bukti, akan diterangkan harus diberikan secara tertulis, yang sering kita sebut surat tersebut dengan istilah Visum Et Repertum. Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis ingin mengangkat Fungsi Visum Et Repertum Dalam Perkara Pidana dalam pembahasan skripsi ini. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah fungsi Visum Et Repertum dalam perkara pidana? 2. Bagaimana kekuatan pembuktianvisum Et Repertumdalam perkarapidana. II. PEMBAHASAN A. Pengertian Pembuktian Setiap tindak pidana yang terjadi yang dilakukan seseorang maupun sekelompok orang tidak serta merta dapat dijatuhkan hukuman begitu saja. Untuk mengetahui seseorang atau sekelompok orang benar melakukan tindak pidana dan patut mendapat hukuman tidak hanya ditentukan dari adanya pengaduan orang saja, akan tetapi hams dibuktikan benar tidaknya kesalahan yang dilakukan, oleh seseorang itu. Dalam hukum pidana dikenal asas praduga tak bersalah (persumption of innocent), setiap orang yang tidak bersalah sebelum ada pembuktian terhadap kesalahannya. Pembuktian merupakan faktor menentukan dalam proses pengadilan. Keberhasilan pihak-pihak yang berperkara tergantung pada pembuktian pihak berperkara, tidak cukup menjelaskan kronologi peristiwanya saja. Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan rekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan perkara pidana. Berbagai macam pengertian pembuktian sebagaimana dikemukakan oleh para ahli.r.subekti mengemukakan Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dari yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. 2 1 Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan Dan Aspek Hukum Praktikkedokteran, Djambatan, Jakarta, 2000. Hal 3 2 Subekti. R, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta, 2001. Hal 71 57

Selanjutnya menurut Martiman Prodjohamidjojo Mengemukakan membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. 3 Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberikan kepastian tentang keterangan suatu peristiwa sesuai bukti, sesuai hukum acara yang berlaku. 1. Alat Bukti Dalam hukum acara pidana dikemukakan alat bukti yang sah adalah: (1) keterangan saksi; (2) keterangan ahli; (3) surat; (4) petunjuk; (5) keterangan terdakwa. 4 ad. a. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu 5 ad. b. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. 6 ad. c. Surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 ayat (1) huruf c. dibuat atas nama sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah adalah : - berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang-memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya 3 Martiman Prodjohamidjoyo, Sistim Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003. Hal 92 4 Pasal 184 Ayat (1) Kuhap 5 Pasal 1 Ke-27 Kuhap 6 Pasal 1 Ke-28 Kuhap sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; - surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hak yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau menurut sesuatu keadaan; - surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu yang diminta secara resm i dari padanya; - surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi pembuktian yang lain. 7 ad. d. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik di antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 8 ad. e. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. 9 Dalam proses peradilan pidana yang mempunyai fungsi yang luhur mencari kebenaran materil dengan tidak mengorbankan tersangka sehingg orang yang bersalah akan dinyatakan dan orang yang tidak bersalah. diperlukan sedikitnya 2 (dua) alat bukti yang sah agar tersangka dapat diajukan dimuka sidang pengadilan sesuai dengan pasal 183 KUHAP sebagaimana telah disebutkan di atas. 2. Pengertian Visum Et Repertum Visum berasal dari bahas latin, asal kata visual yang berarti melihat dan repertum berarti melaporkan. Dalam Lembaran Negara 350 Tahun 1973: Suatu laporan medik forensik oleh dokter atas dasar sumpah jabatan terhadap pemeriksaan 7 Pasal 187 Kuhap 8 Pasal 188 Kuhap. 9 Pasal 189 Ayat(L) Kuhap 58

barang bukti medis (hidup/mati) atau barang bukti lain, biologis (rambut, sperma, darah), non-biologis (peluru, selongsong) atas permintaan tertulis oleh penyidik ditujukan untuk peradilan. Visumet Repertum merupakan laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Menurut Mun'im Idris, ahli kedokteran forensik dari Universitas Indonesia, Visum et Repertum adalah laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan pengadilan. 3. Prosedur Permohonan Visum Et Repertum Memberikan keterangan di depan sidang pengadilan bagi ahli kedokteran kehakiman khususnyadan ahli lain pada umumnya, serta setiap orang merupakan kewajiban. Pelanggaran terhadap kewajiban ini akan dikenakan ancaman hukuman. 10 Selanjutnya tugas ilmu kedokteran kehakiman sebagaimana dalam memberikan keterangan sebagai saksi ahli sebagaimana dalam pasal 224 KUHPidana tersebut di atas yang mengancam kepada siapa saja yang enggan atau menolak menjadi saksi dalam sidang pengadilan, sementara kesaksian dan keterangannya tersebut sangat diperlukan, yaitu apakah hubungan antara dunia hukum (baca: dalam proses peradilan) dengan ilmu kedokteran kehakiman merupakan hal yang kebetulan atau merupakan hal yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan? Pertanyaan di atas penting untuk kita carikan jawabannya, untuk menentukan tugas ilmu kedokteran kehakiman yang 10 Pasal 224 Kuhpidana harus memberikan hasil pemeriksaannya demi kepentingan proses peradilan. Untuk menjawab persoalan ini, ada baiknya kita mengutip beberapa pasal dalam KUHAP, sebagai berikut: (1) Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapatdimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli. 11 (2) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. 12 (3) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di lakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan Iuka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. 13 Berdasarkan pasal 132 ayat (1) dan pasal 133 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemeriksaan oleh kedokteran forensik atau yang ahli tentang itu terhadap korban yang luka, korban yang meninggal atau melakukan bedah mayat untuk kepentingan proses peradilan adalah merupakan tugas sepanjang diminta oleh pihak-pihak yang terkait. Yang berwenang meminta bantuan ahli kedokteran kehakiman adalah: a. Hakim pidana melalui jaksa dan dilaksanakan oleh penyidik; b. Hakim perdata, meminta langsung kepada ahli kedokteran kehakiman; c. Hakim pada Pengadilan Agama; d. Jaksa penuntut umum; 11 Pasal 132 Ayat (I) Kuhap 12 Pasal 133 Ayat (1) Kuhap 13 Pasal 133 Ayat (2) Kuhap 59

e. Penyidik. C. Fungsi dan Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Perkara Pidana Dalam pembahasan di muka kita telah mengetahui bahwa ilmu kedokteran kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan peradilan. Pertanyaannya adalah apa yang sesungguhnya yang menjadi inti dari peran ilmu tersebut dalam hubungannya dengan proses peradilan. Jawaban yang paling esensial dari pertanyaan tersebut adalah bahwa ilmu kedokteran kehakiman berperan dalam hal menentukan hubungan kausalitas antara sesuatu perbuatan dengan akibat yang akan ditimbulkannya dari perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada tubuh, atau yang menimbulkan gangguan kesehatan, atau yang menimbulkan matinya seseorang, di mana terdapat akibat-akibat tersebut patut diduga telah terjadi tindak pidana. Berdasarkan hasil pemeriksaan ahli forensik inilah, selanjutnya dapat diketahui apakah lukanya seseorang, tidak sehatnya seseorang, atau matinya seseorang tersebut diakibatkan oleh akibat tindak pidana atau tidak. Dokter ahli forensik dapat memberikan bantuannya dalam hubungannya dengan proses peradilan dalam hal: (1) Pemeriksaan di tempat kejadian perkara ini, biasanya dimintakan oleh pihakyang berwajib dalam hal dijumpai seseorang yang dalam keadaan meninggal dunia. Pemeriksaan oleh dokter ahli forensik ini akan sangat penting dalam hal menentukan jenis kematian dan sekaligus untuk mengetahui sebab-sebab dari kematiannya itu, yang dengan demikian akan sangat berguna bagi pihak yang berwajib untuk memproses atau tidaknya menuruthukurii. Dalam kaitah ini dokter akan membuat visum etrepertum sebelum jenazah dikuburkan. (2) Pemeriksaan terhadap korbanyang luka oleh ahli forensik dimaksudkan untuk mengetahui: (a) Ada atau tidaknya penganiayaan; (b) Menentukan ada atau tidaknya kejahatan atau pelang-garan kesusilaan; (c) Untuk mengetahui umur seseorang; (d) Untuk menentukan kepastian seorang bayi yang meninggal dalam kandungan seorang Ibu. Kesemuanya itu, akan dijadikan landasan untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran terhadap pasal 352,351,285,292,341,342, 288, dan 44 KUHPidana. Dalam pemeriksaan mayat, dilakukan oleh ahli forensik dimaksudkan apakah seseorang yang teiah menjadi mayat tersebut mati secara wajar atau sebaliknya.atau juga terdapat kemungkinan sebelumnya telah terjadinya penganiayaan yang menyebabkan matinya seseorang tersebut.untuk menentukan sebab-sebab tentang kematian, maka dokter ahli forensik harus mengotopsi (membedah) mayat tersebut. Selain itu pemeriksaan korban yang telah dikubur, bukan hanya dimungkinkan terhadap korban kejahatan yang untuk menghilangkan jejaknya pelaku menguburnya secara diam-diam. Akan tetapi mencakup seseorang yang dikubur secara biasa, sementara untuk kepentingan pemeriksaan pada sidang pengadilan hakim meminta visum et repertum terhadap mayat tersebut. Pemeriksaan barang bukti, dalam kaitan ini barang bukti yang dimaksud adalah barang bukti yang apabila dilihat dengan mata telanjang sulit untuk membuktikan siapakah sesungguhnyayangmempunyai barang-barang tersebut.seperti contoh adalah rambut, sperma, darah.kesemuanya itu merupakan barang bukti yang mesti di teliti oleh ahli forensik untuk kepentingan pembuktian. Dalam memberikan kesaksiandalam sidang pengadilan, dalam kaitan ini apa yang diucapkan olehnya (ahli forensik) akan dikategorikan sebagai keterangan ahli. Dalam perkara pidana dimana tanda buktinya atau corpus delicti merupakan suatu benda tidak bernyawa misalnya senjata tajam, kayu, senjata api, dan sebagainya yang dipakai pelaku tindak pidana untuk melakukan suatu tindak pidana barang hasil pencurian, 60

perampasan atau perampokan, obat-obat terlarang (narkotika atau psikotropika), uang palsu, barang-barang hasil penyelundupan dan lain-lain pada umunya selalu dapat diajukan dimuka persidangan pengadilan sebagai barang bukti. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila corpus delicti berupa tubuh manusia oleh karena misalnya luka-luka pada tubuh seseorang akan selalu berubah yaitu kemungkinan akan sembuh, membusuk atau akhirnya menimbulkan kematian dan mayatnya akan menjadi busuk dan dikubur. Selain sebagai pengganti corpus delicti, hasil pemeriksaan dokter yang dituangkan pada visum et repertum merupakan fakta atau bukti tentang tindak pidana yang berhubungan dengan tubuh, nyawa dan kesehatan manusia yang dituangkan di dalam bagian Pemberitaan visum et repertum dan berisi hasil pemeriksaan secara rinci yang dibuat oleh dokter pemeriksa. hasil pemeriksaan tersebut diharapkan menjadi pendukung keyakinan hakim dalam memutus perkara tersebut secara tepat dan adil. Penolakan dokter ahli tanpa alasan yang dibenarkan atas permohonan penyidik menurut prosedur hukum untuk membuat visum et repertum, menjadi saksi dan bahkan tidak datang sebagai saksi dapat diancam pidana berdasarkan ketentutan perundangundangan. 14 Berdasarkan uraian tersebut di atas nampak fungsi visum et repertum pada perkara pidana yang diberikan oleh seorang dokter ahli sebagai bentuk keterangan akan menjadi salah satu alat buktiyang sah bagi hakim untuk mengwujudkan kebenaran materil sebagai tujuan dari hukum acara pidana D. Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Dalam Perkara Pidana Dalam ilmu hukum dikenal luas adanya doktrin yang menyatakan bahwa pembuktian dalam hukum acara pidana bertujuan mencari kebenaran materiil, sedangkan pembuktian dalam hukum acara perdata bertujuan mencari kebenaran formil.dengan kebenaran materiil, dimaksudkan bahwa kebenaran itu tidak cukup dibuktikan berdasarkan alat-alat bukti formal 14 Pasal 216, Pasal 224, Dan Pasal 522 Kuhp belaka, melainkan harus didasarkan atas galian keterangan yang tersembunyi di balik faktafakta yang nampak di permukaan (the underlying truth behind the concrete facts).karena itu, hakim pidana tidak boleh berhenti hanya dengan memeriksa alat-alat bukti yang nampak tanpa berusaha sungguhsungguh mendalami untuk menemukan kebenaran yang lebih sejati yang ada di balik fakta-fakta yang nampak di permukaan tersebut. Sebaliknya, para hakim perdata, cukup meng-andalkan pembuktian yang bersifat formal dengan hanya mengandalkan apa yang dapat diketahui dari alat-alat bukti formal, seperti surat-surat berupa akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum (public official) ataupun surat-surat yang dibuat tanpa, perantaraan seorang pejabat umum. Hal tersebut sangat berbeda dari doktrin kebenaran materiil yang harus ditemukan oleh hakimdalam proses pemeriksaan. Hakim tidak boleh hanya terpaku pada fakta-fakta yang tampak dari luar, tanpa menguji secara cermat apa-apa yang terdapat di balik layar (the underlying truth). Dari proses penelitian yang mendalam itulah hakim dapat memperoleh keyakinan tentang kebenaran fakta yang harus dijadikannya dasar dalam pengambilan keputusan yang seadil-adilnya. Begitu pula peranan dokter untuk menemukan kebenaran sejati dalam perkara hukum memegang peranan penting dan menentukan.ada banyak permasalahan, baik menyangkut dokter sebagai subyek utama pelaksana di lapangan maupun perangkat hukumnya.bidang hukum dan kedokteran tidak dapat dipisahkan untuk penegakan hukum, khususnya dalam rangka pembuktian atas kesalahan seseorang.hanya dokter yang dapat membantu mengungkap misteri atas keadaan barang bukti yang berupa tubuh atau bagian dari tubuh manusia.oleh karena itu diperlukan perlindungan hukum terhadap dokter.dalam membahas dokter sebagai pembuat Visum et Repertum dalam penegakan hukum dan permasalahannya. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil terhadap perkara tersebut. Hal ini 61

dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan "Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya". Dengan adanya ketentuan perundangundangan diatas, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya.dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam perkara pidana sama dengan alat bukti lain, yang diatur dalam pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah adalah : 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan Terdakwa; Dengan alat bukti tersebut di atas hakim dapat memutuskan suatu perkara hakim mempertimbangkan berbagai hal yaitu adanya 2 (dua) alat bukti yang sah disertai keyakinannya menentukan kebenaran materiil bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah dalam perbuatannya. III. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Fungsi dan kedudukan Visum Et Repertum dalam perkara pidana sebagai pengganti corpus delicti, hasil pemeriksaan dokter yang dituangkan pada visum et repertum merupakan fakta atau bukti tentang tindak pidana yang berhubungan dengan tubuh, nyawa dan kesehatan manusia yang dituangkan di dalam bagian Pemberitaan visum et repertum dan berisi hasil pemeriksaan secara rinci yang dibuat oleh dokter pemeriksa. hasil pemeriksaan tersebut diharapkan menjadi pendukung keyakinan hakim dalam memutus perkara tersebut secara tepat dan adil. 2. Kekuatan pembuktianvisum Et Repertum dalam perkara pidana sama dengan alat bukti lain, yang diatur dalam pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah adalah : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat ; d. Petunjuk; e. Keterangan Terdakwa; Dengan alat bukti tersebut di atas hakim dapat memutuskan suatu perkara hakim mempertimbangkan berbagai hal yaitu adanya 2 (dua) alat bukti yang sah disertai keyakinannya menentukan kebenaran materiil bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah dalam perbuatannya. B. Saran 1. Perlu sosialisasi mengenai fungsi dan kedudukan Visum Et Repertumdalam perkara pidana kepada masyarakat karena masyarakat banyak yang menolak untuk dilakukan otopsi terhadap suatu korban yang mengalami tindak pidana dengan berbagai macam alasan. 62

2. Biaya-biaya untuk melakukan otopsi yang dituangkan dalam Visum Et Repertum perlu dikurangi mengingat kemampuan masyarakat belum terjangkau karena tarif sangat mahal. 63

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2000. Subekti. R, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta, 2001. Abdul Hakim G. Nusantara Cs., Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan-Peraturan Pelaksana, Djambatan, Jakarta., 1992. Martiman Prodjohamidjoyo, Sistim Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003. Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, 1962. B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana C. Sumber Lain J. Guwandi, Harian Suara Pembaruan, 23/11/1997. 64

BIODATA ARSYADI, Lahir di Limbungan, 02 Februari 1980, Alamat Rumah Jalan Racci Dg. Naja Lingk. Limbungan, Nomor Telepon +62..., Alamat Email... 65