BAB I PENDAHULUAN. 1 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, Bandung, Penerbit Mizan, 1999, p. 101

dokumen-dokumen yang mirip
Bab I PENDAHULUAN. Perubahan tersebut juga berimbas kepada Gereja. Menurut Tata Gereja GKJ, Gereja adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dra.Ny.Singgih D.Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988 hal. 82

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1 Chris Hartono, Mandiri dan Kemandirian, dalam Majalah Gema STT Duta Wacana, Maret 1983, p. 46.

Bab I Pendahuluan. LASILING, pada tanggal 20 dan 21 September 2005.

Dalam rangka mewujudkan kehidupan bergereja yang lebih baik, GKJ Krapyak mempunyai strategi pelayanan kemajelisan sebagai berikut :

1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bandung, 1999, hlm 30

BAB I PENDAHULUAN. informasi keuangan yang dibutuhkan oleh suatu organisasi. Informasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan. 1) Gambaran umum tentang orang Tionghoa yang ada di Indonesia.

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

Bab I Pendahuluan UKDW

BAB I. Pendahuluan UKDW

BAB V PENUTUP 5.1 KESIMPULAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. MASALAH. A.1. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Masalah

LEMBARAN KUESIONER PENELITIAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, p. 5

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1 Majelis Agung GKJW, Tata dan Pranata GKJW, Pranata tentang jabatan-jabatan khusu, Bab II-V, Malang,

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah

Pernikahan Kristen Sejati (2/6)

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasahan. 1. Latar Belakang Masalah

PERLU, SOSIALISASI PACARAN SEHAT

BAB I PENDAHULUAN. Obor Indonesia, 1999, p Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta:

HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA ADAT PANJAITAN JABODETABEK( NELSON PANJAITAN)

SALING TIDAK PERCAYA DALAM HIDUP BERKOMUNITAS Rohani, Februari 2012, hal Paul Suparno, S.J.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 PENJELASAN ISTILAH

BAB V PENUTUP. Pada bab ini dipaparkan tentang (1) kesimpulan dan (2) saran :

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119.

LEMBAGA KAJIAN BUDAYA JAWA (LEMKABUJA) SINODE GKJ WISMA KASIH, SALATIGA;

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. bertemunya masyarakat yang beragama, yang disebut juga sebagai jemaat Allah. 1

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB I PENDAHULUAN. yang mendukung dimiliki di jalur kehidupan yang sedang dilalui.

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN I. Latar Belakang Permasalahan

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

UKDW BAB I PENDAHULUAN

1 Wawancara dengan bpk sumarsono dan remaja di panti asuhan Yakobus

I.1. PERMASALAHAN I.1.1.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kategorial bisa digolongkan berbagai macam, misalnya kategorial usia (anak, remaja, pemuda, dewasa, lansia),

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

Kaum Adam, Jadilah Pria Sejati

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan aset dan generasi penerus bagi keluarga, masyarakat

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1 Totok S. Wiryasaputra, Pendampingan Pastoral Orang Sakit, Seri Pastoral 245, Pusat Pastoral Yogyakarta,

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki pasangan akan selalu saling melengkapi satu sama lain.

UKDW BAB I Latar Belakang Permasalahan

Bab I Pendahuluan Latar Belakang Permasalahan Pertumbuhan iman

BAB I PENDAHULUAN. memanggil mereka di dalam dan melalui Yesus Kristus. 1 Ada tiga komponen. gelap kepada terang, dari dosa kepada kebenaran.

BAB I PENDAHULUAN. hal.1. 1 Dalam artikel yang ditulis oleh Pdt. Yahya Wijaya, PhD yang berjudul Musik Gereja dan Budaya Populer,

UKDW. Bab I. Pendahuluan

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan. Pelayanan kepada anak dan remaja di gereja adalah suatu bidang

BAB I PENDAHULUAN. Katolik, Hindu, dan Budha. Negara menjamin kebebasan bagi setiap umat bergama untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I. PENDAHULUAN. Gereja adalah suatu kehidupan bersama religius yang dijalani oleh manusia

Bab I Pendahuluan. Edisi 55, Fakultas Teologi UKDW, Yogyakarta, 1999, hal

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dimulai pada tugas perkembangan masa dewasa awal, yaitu fase

Kalender Doa Proyek Hanna Januari 2013

BAB I PENDAHULUAN. menjadi negara yang kaya dengan keunikan dari masing-masing suku tersebut.

Spiritualitas Penatalayanan

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya mengenai penyelengaraan

Gambaran konsep pacaran, Nindyastuti Erika Pratiwi, FPsi UI, Pendahuluan

GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL DAN KOMITMEN PADA INDIVIDU YANG BERPACARAN BEDA AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. 1986, h Afra Siauwarjaya, Membangun Gereja Indonesia 2: Katekese Umat dalam Pembangunan Gereja

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN 1. PERMASALAHAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

BAB I PENDAHULUAN. GPIB, 1995 p. 154 dst 4 Tata Gereja GPIB merupakan peraturan gereja, susunan (struktur) gereja atau sistem gereja yang ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB IV CAWAN DAN SLOKI DALAM PERJAMUAN KUDUS. istilah orang Jawa wong jowo iku nggoning semu artinya orang Jawa itu peka

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

PELAYANAN ANAK. PELAYANAN ANAK Sesi 1: Menjangkau Anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini di Indonesia dapat dilihat terjadinya banyak tindak

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN

DOAKAN PARA WANITA DAN PARA GADIS AGAR MEREKA MEMILIH KESUCIAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena,

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Permasalahan Dalam kehidupan ini, manusia tercipta sebagai laki-laki dan perempuan. Mereka saling membutuhkan satu dengan yang lain. Seorang laki-laki membutuhkan seorang perempuan dan sebaliknya seorang perempuan membutuhkan seorang laki-laki. Menurut Ratna Megawangi dalam bukunya yang berjudul Membiarkan Berbeda, Carol Gilligan, seorang psikolog dari Harvard University mengatakan bahwa manusia secara alami mempunyai perbedaan sebagai laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini seharusnya dilihat sebagai keragaman yang memang harus ada di alam ini sehingga dapat saling melengkapi. 1 Laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi di dalam pekerjaan, kebutuhan akan kasih sayang dan melanjutkan kehidupan. Di dalam kehidupan masyarakat, kita dapat melihat adanya perkawinan yang menjadi salah satu contoh dari keberadaan laki-laki dan perempuan yang saling melengkapi ini. Namun sayang, kebanyakan masyarakat kemudian menganggap bahwa perkawinan merupakan jalan hidup yang harus dilalui oleh seseorang agar hidupnya menjadi lengkap atau normal. Hal ini yang sering kali membuat orang menganggap bahwa pilihan seseorang untuk tidak hidup dalam perkawinan atau yang biasa disebut dengan hidup membujang merupakan jalan hidup yang tidak lumrah. Seseorang yang hidup membujang sering menimbulkan berbagai pertanyaan masyarakat di sekitarnya, mulai dari pertanyaan yang biasa-biasa saja seperti mengapa dan ada apa ia membujang, sampai pertanyaan yang mengandung kecurigaan. Sedangkan alasan seseorang yang memilih hidup membujang juga bermacammacam, di antaranya tidak ingin mengurusi rumah tangga, terpaksa karena cintanya telah dikhianati saat berpacaran sehingga menutup diri tidak mau berkawan lagi, serta adanya motivasi yang sungguh-sungguh dari dalam diri seseorang untuk melayani Tuhan dan sesama secara penuh. Berbagai alasan ini juga mempengaruhi penilaian dan sikap masyarakat terhadap orang yang memilih hidup membujang tersebut. Di dalam materi sarasehan 2 Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga (MPHB) tahun 2004 dapat kita lihat bahwa penilaian masyarakat terhadap hidup membujang memang mengalami perkembangan. Di dalam masyarakat yang tradisional, terdapat penilaian yang ambivalen (serba mendua). Pada satu pihak, membujang dinilai sebagai sesuatu yang tabu atau terlarang untuk dibicarakan, tetapi di pihak lain cara hidup membujang yang dipilih oleh orang-orang tertentu dihargai atau dinilai 1 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, Bandung, Penerbit Mizan, 1999, p. 101

2 mulia. Meskipun kenyataannya, kebanyakan dari mereka menganggap bahwa membujang merupakan hal yang tabu. Hal ini disebabkan karena bagi mereka kehidupan bersama manusia ditandai dengan adanya ikatan-ikatan yang sangat kuat baik ikatan darah maupun ikatan terhadap alam. Manusia dikenai berbagai macam hukum yang harus ditaati bahkan dianggap kodrat, salah satunya yaitu melanjutkan keturunan. Akan tetapi ada juga orang yang memang memilih untuk hidup menyendiri seperti bertapa di gua-gua dan hidup tidak menikah, meskipun ada yang pernah menikah. Orang-orang yang membujang dengan alasan seperti ini lebih dipandang terhormat oleh masyarakat. Sedangkan masyarakat yang lebih maju bisa memaklumi cara hidup membujang, tetapi tetap menganggap bahwa hal itu tidak lumrah. Hal ini terjadi karena masyarakat yang lebih maju tidak lagi melihat manusia berdasarkan ikatan darah dan alam, melainkan berdasarkan status sosialnya, sehingga perkawinan juga menjadi masalah status sosial. Di dalam masyarakat yang demikian terdapat pembedaan bapak, ibu dan anak. Jadi tidak ada tempat bagi orang yang hidup membujang. Biasanya mereka dimasukkan begitu saja ke salah satu kelompok. Mulai usia 30 tahun, seorang laki-laki disebut bapak dan seorang perempuan disebut ibu. Lain lagi dengan masyarakat modern yang sudah menganggap bahwa hidup membujang merupakan hal yang wajar dan dapat dimengerti. Hal ini terjadi karena dalam masyarakat modern, manusia tidak lagi dilihat berdasarkan ikatan darah dan alam maupun status sosial, tetapi berdasarkan kemampuannya. Pilihan seseorang untuk hidup membujang merupakan urusan pribadi, selama tidak mengganggu orang lain. 2 Meskipun sudah terlihat adanya pergeseran pemahaman terhadap orang-orang yang memilih untuk hidup membujang, tetapi masih banyak pandangan dan sikap yang tidak menyenangkan dari masyarakat terhadap mereka. Apalagi bila pilihan untuk hidup membujang diambil oleh seorang perempuan. Kebanyakan orang tetap ingin tahu alasan seseorang yang memilih untuk hidup membujang. Bahkan banyak yang masih menganggap bahwa seseorang yang hidup membujang, apalagi perempuan adalah orang yang tidak laku. Mereka biasa menyebut dengan istilah perawan tua. Pandangan masyarakat ini dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satu di antaranya yaitu budaya. Budaya patriakhal yang menempatkan posisi perempuan sebagai masyarakat kelas dua yang berada di bawah laki-laki akan dapat membuat perempuan yang hidup membujang semakin dipandang tidak baik. Keadaan yang demikian seringkali membuat seseorang yang hidup membujang merasa dihakimi, malu, dan tersisih. Tidak jarang mereka 2 Hidup Membujang dalam Materi Sarasehan 2 Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga 2004 yang dikeluarkan oleh lembaga pembinaan dan pengaderan sinode GKJ dan GKI Jawa Tengah, p. 119-122

3 lebih dahulu menutup diri dari masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, sering kali mereka kurang dapat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan bersama. Hal ini bisa juga berakibat dalam partisipasi mereka di dalam kehidupan bergereja. Sebagai warga gereja yang sudah dewasa, mereka seharusnya dapat berperan aktif dalam kegiatan bergereja. Tetapi hidup membujang dapat menjadi kendala bagi dirinya untuk berpartisipasi secara aktif. II. Deskripsi Permasalahan Dalam permasalahan yang diungkapkan di atas terlihat bahwa cara hidup membujang merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian kita bersama, mengingat adanya beberapa warga gereja yang memilih cara hidup ini. Seseorang yang hidup membujang mempunyai kemungkinan untuk tidak dapat terlibat aktif dalam kehidupan bergereja. Beberapa hal yang bisa menjadi penyebab diantaranya : budaya yang ada di gereja tersebut, pandangan para pemimpin gereja, dan warga jemaat disekitarnya, bahkan dirinya sendiri. Salah satu gereja yang kental dipengaruhi oleh budaya adalah Gereja Kristen Jawa (GKJ). Budaya Jawa yang juga patriakhal dapat dirasakan di dalam kehidupan GKJ itu. Pandangan yang tidak baik karena pengaruh budaya terhadap hidup membujang dapat menjadi permasalahan dalam kehidupan bergereja. Bahkan telah terjadi dalam kehidupan GKJ Temon. Mereka yang hidup membujang pernah tidak diperbolehkan untuk menjadi anggota majelis. Meskipun dalam perkembangannya, pandangan ini mulai bergeser dan mulai adanya orang yang hidup membujang sebagai anggota majelis. Dengan demikian tidak mengherankan apabila tema Hidup Membujang dimasukkan sebagai bahan sarasehan 2 dalam MPHB, yang dikeluarkan oleh Lembaga Pembinaan dan Pengaderan Sinode GKJ dan GKI Jawa Tengah tahun 2004. 3 Oleh karena itu, penyusun tertarik untuk menggali lebih jauh bagaimana kedudukan dan peran perempuan Jawa yang hidup membujang dalam kehidupan bergereja. III. Judul Dari permasalahan yang telah diungkapkan di atas, penyusun akan membahas permasalahan itu dengan judul : KEDUDUKAN DAN PERAN PEREMPUAN JAWA YANG HIDUP MEMBUJANG DALAM KEHIDUPAN GEREJA KRISTEN JAWA (Sebuah studi kasus di GKJ Temon tentang kedudukan dan peran Perempuan Jawa yang hidup membujang) 3 Scn 2, p. 117-126

4 3. 1. Alasan pemilihan Judul a. Baru, dalam hal ini belum pernah ada pembahasan yang khusus tentang topik ini. b. Aktual, karena dalam kehidupan masyarakat banyak dijumpai Perempuan Jawa yang hidup membujang. c. Menarik, karena anggapan tabu terhadap kehidupan Perempuan Jawa yang membujang terdapat juga dalam kehidupan GKJ. d. Bermanfaat, karena dapat menolong masyarakat dan gereja untuk dapat lebih menghargai perempuan yang memutuskan untuk hidup membujang. 3. 2. Penjelasan Judul a. Perempuan Jawa yang dimaksudkan adalah perempuan yang asli berasal dari suku Jawa dan bertempat tinggal di Jawa. b. Hidup membujang artinya menjalani hidup sendiri atau tidak hidup dalam perkawinan, di mana pilihan ini disadari sepenuhnya oleh orang yang menjalaninya 4 c. GKJ Temon adalah salah satu Gereja Kristen Jawa yang berada di Dusun Kaliwangan Lor, Desa Temon Kulon, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo dan termasuk dalam keanggotaan Klasis Kulon Progo. IV. Batasan Permasalahan Dalam tulisan ini, penyusun membatasi diri pada hal-hal yang dapat menjadi kendala bagi perempuan Jawa yang hidup membujang untuk dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan bergereja. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam kehidupan orang-orang Jawa masih terlihat bahwa perempuan mendapat tempat yang lebih rendah daripada laki-laki. Oleh karena itu, kedudukan dan peran dari perempuan Jawa yang hidup membujang juga lebih dikhususkan dalam kehidupan GKJ yang kental dipengaruhi budaya Jawa, yaitu GKJ Temon. Pemilihan GKJ Temon didasarkan pada pengamatan penyusun yang melihat adanya beberapa warga jemaat perempuan yang hidup membujang dan belum maksimalnya keterlibatan mereka di dalam kehidupan gereja. 4 Scn 2, p. 119

5 V. Tujuan Penulisan Dalam tulisan ini, penyusun mempunyai tujuan untuk : 1. Mempelajari bagaimana kedudukan dan peran perempuan Jawa yang hidup membujang dalam kehidupan gereja. 2. Mengajak masyarakat dan gereja untuk menghargai perempuan Jawa yang memutuskan untuk hidup membujang seperti penghargaan yang diberikan kepada mereka yang hidup dalam perkawinan. 3. Mencari pandangan, sikap dan tindakan yang semestinya dilakukan gereja terhadap perempuan yang hidup membujang. VI. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif analisis. Penyusun mengumpulkan data, kemudian data itu disusun menjadi kasus. Dalam pengumpulan data ini penyusun mengadakan observasi di GKJ Temon dan wawancara dengan beberapa majelis, pengurus komisi dan pengurus wilayah, serta perempuan yang hidup membujang tentang kedudukan dan peran perempuan Jawa yang hidup membujang dalam kehidupan bergereja. Di samping itu, penyusunan ini juga dibantu dengan literatur yang menunjang dan terkait. VII. Sistematika Penulisan Untuk membantu penyusunan yang lebih teratur dan baik, penyusun memakai sistematika sebagai berikut : BAB I. PENDAHULUAN Dalam bab I ini akan diuraikan beberapa hal untuk memperjelas pembahasan yang dilakukan. Beberapa hal yang dirumuskan adalah latar belakang masalah, deskripsi masalah, judul (alasan pemilihan judul dan penjelasan judul), batasan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II. PEREMPUAN YANG HIDUP MEMBUJANG DALAM PERSPEKTIF BUDAYA JAWA DAN ALKITAB Bab ini akan menguraikan bagaimana pandangan budaya Jawa dan Alkitab terhadap perempuan hidup membujang.

6 BAB III. KEDUDUKAN DAN PERAN PEREMPUAN DI GKJ TEMON Bagian ini akan menguraikan bagaimana GKJ Temon memandang dan memberikan peran terhadap perempuan di dalam kehidupan bergereja. BAB IV. KEDUDUKAN DAN PERAN PEREMPUAN YANG HIDUP MEMBUJANG DI GKJ TEMON Bagian ini akan menguraikan bagaimana GKJ Temon memandang dan memberikan peran terhadap perempuan yang hidup membujang dalam kehidupan gereja. BAB V. ANALISIS Bab ini berisi analisis mengenai sikap yang seharusnya dilakukan gereja terhadap perempuan yang hidup membujang BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN Bagian ini berisi kesimpulan dan saran KEPUSTAKAAN LAMPIRAN