BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Perubahan Puncak Gunungapi Merapi Sebelum dan Sesudah Erupsi (Sumber : BPPTKG, 2014)

dokumen-dokumen yang mirip
Contents BAB I... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pokok Permasalahan Lingkup Pembahasan Maksud Dan Tujuan...

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta merupakan gunung paling aktif di dunia. Gunung Merapi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and

KARAKTERISTIK LONGSOR TEBING (DEBRIS AVALANCHE) DAN PERUBAHAN MORFOLOGI HULU SUNGAI SENOWO PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGENDALIAN SEDIMEN. Aliran debris Banjir lahar Sabo works

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang,

PERUBAHAN MORFOLOGI SUNGAI CODE AKIBAT ALIRAN LAHAR PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN Dian Eva Solikha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I - 1

PENDEKATAN MORFOLOGI SUNGAI UNTUK ANALISIS LUAPAN LAHAR AKIBAT ERUPSI MERAPI TAHUN 2010 DI SUNGAI PUTIH, KABUPATEN MAGELANG

Studi Pengaruh Lahar Dingin Pada Pemanfaatan Sumber Air Baku Di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi (Studi Kasus: Gunung Semeru)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. daratan. Salah satu kenampakan alam yang meliputi wilayah perairan ialah sungai.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

IDENTIFIKASI LOKASI RAWAN BENCANA BANJIR LAHAR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PABELAN, MAGELANG, JAWA TENGAH

PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

Kemampuan Tampungan Sungai Code Terhadap Material Lahar Dingin Pascaerupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010

Pemodelan Aliran Lahar Menggunakan Perangkat Lunak LAHARZ Di Gunung Semeru, Jawa Timur

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan

BAB II. METODELOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sungai

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

BAB I PENDAHULUAN. dibanding erupsi tahun 2006 dan Dari tiga episode tersebut, erupsi terbesar

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

IDENTIFIKASI PERUBAHAN MORFOLOGI KUBAH LAVA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK UCAPAN TERIMA KASIH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sungai

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. hujan setelah gunungapi meletus atau setelah lama meletus. Aliran dari lahar ini

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN AKIBAT ALIRAN LAHAR DINGIN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KALI GENDOL KABUPATEN SLEMAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN

MORFODINAMIK KALI PUTIH AKIBAT ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI 2010 DI KABUPATEN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH. Brianardi Widagdo

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

07. Bentangalam Fluvial

MIGRASI SEDIMEN AKIBAT PICUAN HUJAN ( KASUS KALI GENDOL GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA )

Beda antara lava dan lahar

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah dan variasi bencana

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Jenis Bahaya Geologi

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan Gunung berapi Pasifik), juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL...

IDENTIFIKASI KERUSAKAN AKIBAT BANJIR BANDANG DI BAGIAN HULU SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LIMAU MANIS ABSTRAK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sungai

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

BAB III METODOLOGI BAB III METODOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

PENGARUH LAHAR DINGIN PASCA ERUPSI MERAPI 2010 TERHADAP KONDISI FISIK SUNGAI PROGO BAGIAN TENGAH. Jazaul Ikhsan 1, Galih Wicaksono 2

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

BAB III LANDASAN TEORI

KAJIAN MUATAN SEDIMEN TERSUSPENSI DI SUNGAI CODE DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Rutsasongko Juniar Manuhana

BAB 1 PENDAHULUAN. Peristiwa banjir lahar dingin biasanya mengancam daerah-daerah di. yang lalu Gunung Merapi di Jawa Tengah meletus,

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek

BAB I PENDAHULUAN. Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada, dan selanjutnya di tingkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bencana yang tinggi. Salah satu bencana yang banyak melanda daerah-daerah di

kerugian yang bisa dihitung secara nominal misalnya rusaknya lahan pertanian milik warga. Akibat bencana tersebut warga tidak dapat lagi melakukan pek

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gunungapi Merapi adalah salah satu gunungapi paling aktif di Indonesia maupun di dunia (Surono dkk, 2012) yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Secara administrasi, Gunungapi Merapi berada pada empat kabupaten yaitu Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali. Gunungapi Merapi hingga saat ini masih aktif mengalami letusan dari skala rendah hingga skala tinggi. Letusan atau erupsi gunungapi merupakan semburan material hasil proses volkanik ke permukaan bumi akibat adanya proses magma di dalam bumi. Erupsi Gunungapi Merapi sendiri sudah berlangsung sejak 20 abad terakhir dan tercatat dari tahun 1822 telah terjadi letusan sebanyak 33 kali (Thouret dkk, 2000). Erupsi Gunungapi Merapi dengan skala besar terakhir terjadi pada tahun 2010. Kala itu material piroklastik yang dihasilkan akibat letusan mencapai ± 130 juta m 3 dengan kategori skala menengah (Kusumosubroto, 2013). Erupsi Gunungapi Merapi yang terjadi pada tahun 2010 merupakan erupsi dengan skala Volcanic Explosivity Index (VEI) 4 terbesar selama abad ke 20 (Surono dkk, 2012). Erupsi yang terjadi pada tahun 2010 menyebabkan adanya perubahan morfologi Gunungapi Merapi. Perubahan morfologi puncak Gunungapi Merapi sebelum erupsi dan sesudah erupsi pada bulan Oktober-November tahun 2010 ditunjukkan pada Gambar 1.1. Gambar 1.1. Perubahan Puncak Gunungapi Merapi Sebelum dan Sesudah Erupsi (Sumber : BPPTKG, 2014) 1

Erupsi Gunungapi Merapi yang terjadi menimbulkan adanya bahaya, baik berupa bahaya primer maupun bahaya sekunder. Bahaya primer merupakan bahaya yang ditimbulkan langsung oleh aktivitas gunungapi berupa awan panas, aliran piroklastik, gas beracun, dan hujan abu, sedangkan bahaya sekunder sudah dipengaruhi oleh faktor lain. Salah satu bahaya sekunder akibat erupsi Gunungapi Merapi adalah aliran lahar. Bahaya ini mampu memberikan dampak secara langsung pada kondisi fisik maupun sosial sekitar Gunungapi Merapi. Material piroklastik yang dikeluarkan akibat erupsi Gunungapi Merapi berupa bom, lapilli, pasir, dan kerikil. Material ini kemudian memicu terjadinya lahar yang mengalir di sekitar lingkungan Gunungapi Merapi. Lahar merupakan material campuran yang berasal dari adanya aktivitas volkanik dan dipicu oleh kondisi iklim yaitu hujan (Lavigne, 1999). Kejadian lahar di Gunungapi Merapi juga diperbesar dengan tingginya curah hujan di daerah pegunungan. Pada kejadian 1994-1996 lahar di Merapi dipicu oleh intensitas hujan setebal 40 mm dalam kurun waktu 2 jam (Lavigne dan Thouret, 2002). Lahar memiliki pengaruh yang berkepanjangan akibat banyaknya faktor yang mempengaruhi sehingga kerugian yang ditimbulkan akibat bahaya ini cukup besar. Dampak fisik erupsi Gunungapi Merapi akibat aliran lahar dapat diidentifikasi melalui perubahan lingkungan dari sungai-sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi. Menurut De Bélizal, dkk (2013) setidaknya terdapat 13 sungai yang terkena dampak aliran lahar dari erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010 dan salah satunya adalah Sungai Senowo yang berada di Kabupaten Magelang. Sungai Senowo merupakan salah satu anak Sungai Pabelan yang juga berhulu di Gunungapi Merapi. PVMBG (2010) menyebutkan bahwa Sungai Senowo masuk ke dalam area yang terdampak erupsi tahun 2010. Sebagian besar wilayah Sungai Senowo juga masuk ke dalam zona Kawasan Rawan Bencana (KRB) III dan II yang ditunjukkan pada Gambar 1.2. Oleh karena itu, daerah sekitar Sungai Senowo memiliki potensi besar untuk terkena dampak dari aktivitas Gunungapi Merapi. Kondisi fisik Sungai Senowo yang demikian juga dapat menyebabkan karakterisitik morfologi Sungai Senowo sangat mudah berubah. 2

PETA KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI, YOGYAKARTA enowo Sungai Senowo Gambar 1.2. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi Tahun 2010 (PVMBG, 2010) Pasca erupsi Gunungapi Merapi yang terjadi tahun 2010, Sungai Senowo mengalami gangguan pada sistem sungai dan kondisi morfologi sungainya akibat adanya aliran lahar. Aliran lahar yang intensif ini memicu besarnya proses erosi yang terjadi pada dasar sungai (riverbed) dan tebing sungai (riverbank). Erosi tebing sungai kemudian dapat memicu adanya longsor tebing sungai karena kondisi tebing yang sudah tidak stabil. Sebagian besar longsoran di Sungai Senowo memiliki material berupa debris yang kering dan dikenal dengan debris avalanche. Selain dua peristiwa tersebut, lahar juga menyebabkan adanya sedimentasi pada lembah sungai yang menambah jumlah material sungai. Penelitian mengenai morfodinamika Sungai Senowo difokuskan pada kejadian longsoran tebing (debris avalanche) serta perubahan morfologi bagian hulu sungai akibat lahar. Proses longsor tebing sungai mengakibatkan adanya penambahan material pada sungai yang juga berdampak pada perubahan morfologi sungai dari hulu ke hilir. Perubahan morfologi sungai ini ditunjukkan dengan adanya pendangkalan maupun pelebaran alur dan lembah sungai. 3

Kajian mengenai dampak aliran lahar di Sungai Senowo menjadi sangat penting sebagai salah satu upaya mitigasi bahaya erupsi Gunungapi Merapi. Hal ini melihat aktivitas Gunungapi Merapi yang hingga saat ini masih aktif terus mengalami erupsi meskipun dengan skala rendah. Selain itu, masih banyaknya material volkanik hasil erupsi tahun 2010 di bagian atas serta kondisi iklim di sekitar Gunungapi Merapi menyebabkan kejadian lahar di Sungai Senowo masih mungkin terjadi. Keadaan ini juga dapat memicu terjadinya erosi dan longsor tebing yang semakin besar serta berpengaruh terhadap morfologi Sungai Senowo. 1.2. Perumusan Masalah Material volkanik hasil erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010 memberikan dampak terhadap kondisi lingkungan sekitar Gunungapi Merapi, baik secara ekologis maupun sosial. Dampak ini terjadi akibat turunnya material erupsi dan kemudian melewati sungai-sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi. Peristiwa ini diperbesar dengan tingginya curah hujan sekitar Gunungapi Merapi yang kemudian menyebabkan material piroklastik bercampur dengan air. Kedua peristiwa yang berlangsung secara bersamaan ini kemudian menimbulkan adanya proses berkelanjutan yaitu akumulasi antara keduanya sehingga membentuk aliran lahar (Kusumosubroto, 2013). Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa aliran lahar mampu mempengaruhi stabilitas sistem hidrologi dan morfologi pada sungai yang berhulu di gunungapi. Sungai Senowo adalah salah satu sungai yang dilewati aliran lahar hasil erupsi Gunungapi Merapi. Sungai Senowo yang berhulu di Gunungapi Merapi mengalami gangguan sistem sungai baik secara hidrologi maupun morfologi sungainya. Mekanisme pergerakan aliran lahar menuju sungai mengakibatkan adanya proses erosi pada dasar dan tebing sungai. Erosi yang terjadi secara terus menerus akan menyebabkan adanya kerusakan tebing sungai (riverbank failure) dan memicu adanya longsor tebing berupa material debris (debris avalanche). Material ini berupa partikel kasar (pasir, batuan, kerikil, bongkahan) dan setelah proses longsoran berhenti membentuk blok hasil runtuhan. Bekas longsoran dengan material debris di Sungai Senowo ditunjukkan pada Gambar 1.3. 4

Hasil Longsoran berupa Material Debris Gambar 1.3. Longsoran Tebing Sungai Senowo dengan Material Debris (Sumber : Foto Lapangan, 2014) Distribusi, tipologi dan dimensi longsor tebing sungai pada setiap titik berbeda-beda menyebabkan adanya variasi perbedaan karakteristik setiap longsoran. Perbedaan karakteristik longsoran dipengaruhi oleh beberapa faktor yang memicu terjadinya longsor. Lahar yang menyebabkan adanya erosi tebing dan dasar sungai, sedimentasi, serta kejadian longsor kemudian mempengaruhi morfologi Sungai Senowo itu sendiri. Perubahan morfologi sungai dapat terlihat melalui morfografi maupun morfometri sungai. Berdasarkan masalah tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apa karakteristik longsor tebing (debris avalanche) hulu Sungai Senowo pasca erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010? 2. Bagaimana perubahan morfologi hulu Sungai Senowo pasca erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010? 1.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui karakteristik longsor tebing (debris avalanche) hulu Sungai Senowo pasca erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010. 2. Mengetahui perubahan morfologi hulu Sungai Senowo pasca erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010. 5

1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kegunaan secara keilmuan maupun secara teknis. Secara keilmuan, penelitian ini menambah jumlah penelitian yang berkaitan dengan volkanik dan debris, serta pengembangan studi geomorfologi yang berkaitan dengan fenomena kebencanaan. Secara teknis, penelitian ini dapat memberikan informasi terkait dampak erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010 di Sungai Senowo khususnya bahaya lahar. Informasi ini dapat digunakan sebagai prediksi potensi dan dampak bencana aliran lahar serta sebagai bahan masukan atau pertimbangan pemangku kepentingan maupun masyarakat terkait upaya mitigasi bencana aliran lahar di Sungai Senowo. 1.5. Telaah Pustaka 1.5.1. Studi Geomorfologi Kegunungapian Geomorfologi gunungapi secara umum mempelajari dinamika proses dan bentuk gunungapi melalui kedua prosesnya yang merusak (destructive) maupun membangun (constructive). Kajian geomorfologi gunungapi secara lebih spesifik dapat digunakan untuk merekontruksi bentuk asli gunungapi bahkan setelah terjadi proses erosional, mengestimasi pertumbuhan dan pengurangan material wilayah gunungapi, dan membandingkan efek iklim terhadap pengurangan material (Thouret, 1999). Siebert (1996) menjelaskan bahwa konsekuensi dari konstruksi yang cepat menyebabkan banyak gunungapi memiliki lembah-lembah yang dalam dan lereng yang tegas akibat dari struktur yang tidak stabil. Gunungapi diklasifikasikan menurut tipe aktivitas magma dan hasil erupsi (Macdonald, 1972). Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan klasifikasi gunungapi didasarkan oleh skala geomorfik, tipe kontruksional atau erosional, monogenesis atau poligenesis, tipe aktivitas, serta tipe magma dan material yang dierupsikan (Francis, 1993). Thouret (1999) menjelaskan bahwa klasifikasi bentukan gunungapi terbagi atas enam jenis, antara lain adalah bentukan monogenetik, bentukan poligenetik, bentukan perisai, bentukan yang dihasilkan oleh hasil erupsi dan erosional, bentukan yang dihasilkan oleh proses denudasi 6

dan inversi relief, dan bentukan yang dihasilkan oleh perubahan morfologi. Pada dasarnya bentanglahan volkanik berbeda dengan bentanglahan lainnya dan harus diperhatikan proses-proses yang terjadi di dalamnya. Proses-proses yang terjadi di wilayah kegunungapian bersifat dinamis dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek. Geomorfologi gunungapi secara mendetail juga mempelajari tentang morfologi gunungapi yang didasarkan atas fasies pembetukannya. Fasies gunungapi adalah sejumlah ciri litologi dan paleontologi yang ditunjukkan oleh suatu endapan pada suatu bagian lokasi di gunungapi (Schieferdecker, 1959). Bentang alam gunungapi dari kerucut gunungapi, lereng gunungapi, serta kaki gunungapi dan sekitarnya oleh Williams dan McBirney (1979) diklasifikasikan menjadi tiga zona atau fasies, yaitu fasies sentral, fasies proksimal, dan fasies distal. Bogie dan Mackenzie (1998) secara lebih lanjut membagi gunungapi menjadi empat fasies, yaitu fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal seperti pada Gambar 1.4. Gambar 1.4. Pembagian Fasies Gunungapi (Bogie dan Mackenzie, 1998) Pembagian fasies gunungapi dapat bermanfaat dalam bidang kebencanaan. Melalui pemahaman tentang fasies gunungapi tipe bencana pada masing-masing 7

fasies dapat diperkirakan. Bronto (2006) menjelaskan berbagai ancaman bahaya dalam keempat fasies gunungapi. Dalam fasies sentral dan proksimal, wilayah ini memiliki ancaman bahaya lontaran batu pijar, lava, gas beracun, dan awan panas. Pada wilayah fasies medial, jenis bahaya yang dapat mengancam adalah hujan abu, lahar, dan awan panas. Pada wilayah fasies distal, ancaman bahaya yang dapat terjadi adalah hujan abu, aliran lahar, dan banjir. 1.5.2. Lahar Lahar merupakan terminologi khusus dalam bahasa Jawa yang dikemukakan oleh Schmidt (1934) dan Van Bemmelen (1949), yang mana erat kaitannya dengan kajian kegunung-apian (dalam Kusumosubroto, 2013). Lahar adalah aliran sedimen volkanik yang tersuspensi dalam air (Sumaryono, 2011). Lahar merupakan hasil transformasi material piroklastik yang sudah bercampur dengan air hujan (Lavigne dkk, 2000; Lavigne dan Thouret 2002). Lahar merupakan bentuk dari aliran debris (debris flow) yang terjadi di wilayah gunungapi yang juga sering disebut sebagai volcanic debris flow. Adanya aliran debris (debris flow) disebabkan oleh tiga komponen penting yang bekerja dalam satu proses. Ketiga komponen penting tersebut adalah adanya material sedimen, air, dan gaya gravitasi (Ferruci dkk, 2005). Gaya gravitasi dalam aliran debris mengakibatkan material lahar bergerak menuruni lereng dari atas ke bawah. Volcanic debris flow memiliki perbedaan dengan aliran debris biasa pada asal pembentukannya dan besaran. Aliran debris biasanya berada pada besaran 10 2 m 3 hingga 10 7 m 3, sedangkan lahar berada pada kisaran 10 4 m 3 hingga lebih dari 10 9 m 3, yang mengakibatkan pergerakan lahar terjadi lebih cepat (Vallance, 2005 dalam Kusumosubroto, 2013). Mekanisme aliran lahar dapat terjadi akibat adanya beberapa proses yaitu (1) hujan, (2) tumpahan air dari danau kawah, (3) lelehan salju akibat proses pemanasan hidrotermal atau akibat pengendapan aliran lava maupun aliran piroklastik, (4) runtuhan dinding kaldera, dan (5) gempa bumi yang memicu tanah longsor (Kusumosubroto, 2013). Gambar 1.5. menunjukkan ilustrasi terbentuknya aliran lahar akibat hujan di wilayah gunungapi. Berdasarkan mekanisme tersebut, 8

aliran lahar hujan terjadi akibat adanya material piroklastik di bagian hulu yang kemudian bercampur dengan air hujan. Hasil campuran tersebut kemudian mengalir ke bawah dan terendapkan di bagian hilir. Gambar 1.5. Ilustrasi terbentuknya aliran lahar akibat hujan di wilayah gunungapi (Kusumosubroto, 2005; 2009 dalam Kusumosubroto, 2013) Bahaya lahar akibat gunungapi memberikan dampak baik secara ekologis maupun sosial-ekonomi. Secara ekologis, dampak aliran lahar akan mengganggu sistem sungai yang berhulu di gunungapi baik kondisi hidrologis maupun kondisi morfologi, memicu terjadinya erosi dan longsor, merusak lahan pertanian, dan sebagainya. Secara sosial-ekonomi dampak banjir lahar mampu menurunkan produktivitas pertanian akibat terganggunya sistem irigasi dan kerusakan lahan pertanian. Selain itu, lahar juga menganggu aktivitas manusia akibat rusaknya bangunan dan infrastruktur yang ada. Endapan aliran lahar juga memberikan dampak positif yaitu adanya penambahan material berupa pasir dan batu yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan. 1.5.3. Lahar Akibat Erupsi Gunungapi Merapi Lahar merupakan salah satu bahaya sekunder yang sering terjadi setelah adanya erupsi Gunungapi Merapi. Kejadian lahar di Gunungapi Merapi telah terekam dari letusan tahun 1500-an sampai tahun 2000, setidaknya ada 61 letusan yang menyebabkan terjadinya lahar (Lavigne dkk, 2000). Hujan merupakan 9

pemicu utama terjadi aliran lahar di sekitar lingkungan Gunungapi Merapi. Frekuensi lahar yang pertama tergantung pada intensitas hujan dan yang kedua tergantung pada jumlah serta durasi hujan. Beberapa kejadian lahar dengan pemicu utama hujan juga terjadi di Mayon (Rodolfo dan Arguden, 1991), di Pinatubo (Tun~gol dan Regalado, 1997), di Unzen (Iwamoto, 1996), dan di Merapi (Lavigne, 1998) (dalam Lavigne dan Thouret, 2002). Lavigne dan Thouret (2002) juga menyebutkan bahwa kejadian lahar di Gunungapi Merapi tidak hanya dipicu oleh hujan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor fisik lainnya seperti (1) kemiringan lereng; (2) volume dan ketebalan sedimen; (3) karakteristik fisik endapan piroklastik seperti permeabilitas, tekanan pori, dan ukuran butir; serta (4) tutupan vegetasi. Erupsi Gunungapi Merapi yang terjadi pada tahun 2010 menyebabkan bencana lahar yang melewati 13 sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi. Ketiga belas sungai tersebut adalah Sungai Tringsing, Sungai Senowo, Sungai Pabelan, Sungai Lamat, Sungai Blongkang, Sungai Putih, Sungai Batang, Sungai Krasak, Sungai Boyong, Sungai Kuning, Sungai Opak, Sungai Gendol, dan Sungai Woro (Hadmoko dkk, 2011). Penelitian yang dilakukan De Bélizal, dkk (2013) juga menyebutkan bahwa akibat erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010, distribusi deposit lahar terbesar adalah Sungai Putih dan terendah adalah Sungai Batang dan Sungai Blongkeng seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.6. 0 10 20 30 40 50 60 Frekuensi kejadian Gambar 1.6. Distribusi lahar pada sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi akibat erupsi tahun 2010 (De Bélizal, dkk 2013) 10

1.5.4. Longsor Tebing (Debris Avalanche) Longsor merupakan bencana alam yang sering terjadi pada daerah yang relatif miring dan dipicu oleh media pengangkut yaitu air maupun angin. Longsor terjadi akibat adanya perpindahan material dari tempat satu ke tempat yang lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsoran antara lain adalah kondisi geologi, hidrologi, topografi, iklim, maupun aktivitas manusia. Secara umum terjadinya longsor disebabkan karena adanya (1) penambahan beban pada lereng, (2) penggalian atau pemotongan tanah pada kaki lereng, (3) perubahan posisi muka air, (4) kenaikan tekanan lateral oleh air, (5) perubahan penggunaan lahan, dan (6) adanya getaran atau gempa bumi. Hal ini lah yang mengakibatkan adanya bermacam-macam jenis dan tipologi longsor (Hardiyatmo, 2012) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.7. Gambar 1.7. Tipe-Tipe Longsoran (Highland dan Bobrowsky, 2008) 11

Longsor tebing sungai merupakan salah satu jenis longsor yang diakibatkan adanya erosi pada bagian dinding atau tebing sungai. Longsoran tebing sungai ini dapat berupa reruntuhan material debris sehingga dapat disebut dengan debris avalanche. Berdasarkan Gambar 1.7, debris avalanche merupakan salah satu tipe longsoran yang terjadi di permukaan bumi. Longsoran ini merupakan hasil campuran bahan rombakan dan atau batuan yang bergerak menuruni lereng oleh gaya gravitasi. Debris avalanche yang terjadi pada bentukan gunungapi dihasilkan oleh proses erupsi dan erosional. Schuster and Crandell (1984) dalam Kusumosubroto (2013) mengemukakan bahwa debris avalanche adalah pergerakan yang sangat cepat dari berbagai macam meterial tak bersortasi akibat adanya gaya gravitasional. Longsor tebing (debris avalanche) tergolong dalam longsor dengan skala besar karena ukuran materialnya hasil letusan yang besar dengan konsentrasi bahan padat mencapai > 60 % (Lavigne dan Thouret, 2002). Proses terjadinya longsor tebing (debris avalanche) lebih cepat dibandingkan tanah longsor (landslide), begitu juga dengan jarak jangkauan yang jauh lebih panjang. Penghancuran blok material yang lebih cepat ini dipengaruhi adanya gaya gravitasi yang lebih besar bekerja dibandingkan dengan gaya kinetik. Gaya gravitasi ini juga dipengaruhi oleh kelerengan bidang, semakin kecil sudut kelerengan maka gaya dorong gravitasinya juga semakin kecil. Longsor tebing (debris avalanche) biasanya terjadi pada kelerengan yang relatif miring, meskipun demikian pada sudut kelerengan yang kecil proses longsoran juga dapat terjadi. Hal ini dikarenakan pemicu longsor tebing tidak hanya dari kelerengan dan gaya gravitasi tetapi juga air hujan yang mampu mengerosi material tebing (Kusumosubroto, 2013). 1.5.5. Variabel dan Pengukuran Longsor Tebing Karakteristik longsor tebing dapat diketahui berdasarkan sebaran atau distribusi longsor secara spasial, tipologi longsoran serta dimensi longsor. Tipologi longsoran menunjukkan tipe longsoran berdasarkan kronologi terjadinya longsor yang dapat dijadikan perkiraan besarnya proses longsoran serta lamanya 12

waktu longsoran yang terjadi. Berdasarkan gerakannya longsoran berupa material debris dibagi menjadi 4 tipologi khusus yaitu jatuhan (fall), ambrukan (topple), luncuran (slide), dan aliran (flow) (Varnes, 1978) Longsoran yang bermaterial debris dapat dilihat pada gambar Gambar 1.8. Tipe fall (jatuhan) Tipe flow (aliran) Tipe slide (luncuran) Tipe topple (ambrukan) Gambar 1.8. Tipe Longsoran dengan Material Debris (Varnes, 1978) Pemeriksaan terhadap longsor tidak terlepas dari dimensi longsor. Dimensi longsor mampu menjadi pertimbangan dalam menganalisis pemicu dan besar kecilnya kejadian longsor. Dimensi longsor merupakan besaran longsoran yang diukur pada bidang longsor dengan menggunakan suatu alat ukur tertentu. Dimensi longsor akan menunjukkan perbedaan karakteristik setiap longsoran secara kuantitatif (dengan angka). Berdasarkan standar dari Food and Agriculture Organization (FAO) dalam Marui (1988) terdapat 3 pengukuran dimensi longsoran yang dapat dilakukan di lapangan yaitu panjang longsor, lebar longsor, dan tinggi longsor. Selain pengukuran ketiga variabel longsoran tersebut, pengukuran dimensi longsoran untuk mendapatkan nilai volume hasil longsoran menurut Chen, dkk (2014) juga dilakukan dengan mengukur nilai horizontal material hasil longsoran dan kedalaman longsoran. Dimensi longsor yang akan diukur di lapangan ditunjukkan pada Gambar 1.9. 13

Y Gambar 1.9. Ilustrasi Pengukuran Dimensi Longsoran (Chen, dkk., 2014) Keterangan : a. Tinggi longsor merupakan ukuran longsoran yang diukur mulai dari puncak mahkota ke bagian bawah kaki longsor. Tinggi longsoran biasanya sejajar dengan tinggi tebing. b. Panjang longsor merupakan ukuran longsoran yang diukur dari mahkota longsor hingga kaki longsor dan sejajar dengan poros. c. Lebar longsor merupakan ukuran longsoran dari satu sisi ke sisi yang lain yang tegak lurus terhadap poros. d. Nilai luas area material longsoran yang diukur berdasarkan sumbu x (horizontal) dan sumbu y (vertikal). e. Kedalaman material longsoran merupakan ukuran longsoran dari pertemuan garis permukaan sebelum longsor dan garis permukaan setelah longsor hingga garis terendah permukaan setelah longsor. 1.5.6. Morfologi Sungai 1.5.6.1. Sungai Sungai merupakan suatu sistem hidrologi yang bekerja menampung air maupun sedimen dan mengalirkannya dari hulu ke hilir. Dalam sistem sungai X 14

terdapat proses erosi yang terjadi di bagian hulu, transportasi yang terjadi di bagian tengah, dan deposisi pada bagian hilir. Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2011 Tentang Sungai menyebutkan : Sungai adalah alur atau wadah alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. Berdasarkan fungsi hidrologi sungai berfungsi menampung air hujan sebagai input dan mengalirkannya hingga ke laut. Selain itu, sungai juga memiliki fungsi ekologis yang mana di dalamnya terjadi interaksi antara beberapa komponen yang saling mempengaruhi satu sama lain. 1.5.6.2. Morfologi Sungai Karakteristik sungai dapat diketahui melalui kondisi morfologi sungainya baik aspek morfometri maupun aspek morfografi. Morfologi merupakan salah satu objek utama kajian geomorfologi yang mengkaji bentuk dan fenomena di permukaan bumi secara deskriptif (morfografi) maupun secara kuantitatif (morfometri). Morfologi sungai merupakan ukuran dan atau bentuk sungai yang bersifat dinamis akibat adanya proses transportasi material yang mengerosi badan sungai (Kusimi, 2008). Forman dan Gordon (1986) menjelaskan bahwa morfologi sungai ditunjukkan dengan adanya struktur sungai yaitu berdasarkan tepian aliran sungai, alur sungai, bantaran sungai, dan tebing sungai. Aspek morfografi sungai dapat diketahui berdasarkan parameter morfografi yaitu bentuk lembah, pola aliran sungai, dan kondisi topografi pada sungai, sedangkan identifikasi morfometri berdasarkan kemiringan lereng pada sungai, tinggi tebing, volume sungai, kedalaman sungai, panjang sungai, lebar sungai, dan luas penampang sungai (Rao dkk, 2010). Morfometri merupakan suatu penilaian sehingga dalam aplikasinya dibutuhkan adanya pengukuran. Beda halnya dengan morfografi yang merupakan hasil penilaian secara kualitatif. 15

Identifikasi morfologi sungai dapat juga ditunjukkan dengan adanya profil melintang maupun profil memanjang. Profil merupakan gambaran atau representasi dari kondisi permukaan bumi dalam suatu area pengukuran. Profil memanjang merupakan gambaran penampang sungai dari hulu ke hilir, sedangkan profil melintang dapat diukur secara vertikal berdasarkan segmen sungai dari sisi kanan maupun kiri sungai. Pengukuran profil memanjang dan melintang ini harus membentuk siku atau saling tegak lurus. Pengukuran profil memanjang searah dengan sumbu garis dan profil melintang dengan arah memotong tegak lurus sumbu garis pada interval jarak tertentu. Pengukuran profil memanjang dan melintang dilakukan dengan mengukur jarak dan beda tinggi titik-titik di atas permukaan bumi. Pembuatan profil memanjang sungai dapat dilakukan dengan pengukuran berantai. Teknik pengukuran profil ini sering disebut juga dengan teknik profiling. 1.5.6.3. Morfodinamika Sungai Sungai merupakan bagian sistem fluvial terbuka (Schumm, 1977) yang memiliki sifat sangat dinamis sehingga menyebabkan adanya morfodinamika sungai atau perubahan morfologi sungai. Adanya perubahan morfologi sungai menunjukkan ketidakstabilan sungai. Terjadinya perubahan ini tidak terlepas dari adanya penyebab yang mempengaruhi kondisi sungai baik dari alam maupun akibat adanya aktivitas manusia. Perubahan morfologi sungai terjadi melalui mekanisme erosi pada tebing sungai (riverbank erosion), erosi pada dasar sungai (riverbed erosion), perubahan alur sungai (channel avulsion), penambahan material dasar sungai, dan luapan aliran (overbank maupun overflow) (Tanarro dkk, 2010). Mekanisme tersebut juga dapat diperbesar pada saat kecepatan dan debit aliran sungai besar. Hal ini tentu dapat mempercepat proses penggerusan dan pengangkutan material sungai. Letusan gunungapi merupakan salah satu faktor dari alam yang menyebabkan adanya perubahan morfologi sungai khususnya pada sungai-sungai yang berhulu di gunungapi. Letusan gunung berapi menghasilkan puing-puing material akibat erupsi yang kemudian terakumulasi dengan air sungai membentuk 16

lahar. Lahar yang melewati sungai mampu mempengaruhi proses sosial di sekitar sungai. Proses sosial ini merupakan dampak tidak langsung dari letusan gunungapi yang biasanya juga dipicu oleh aktivitas manusia. 1.5.7. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Identifikasi Morfodinamika Sungai Kajian morfodinamika pasca erupsi menunjukkan adanya perubahan morfologi sungai. Identifikasi terhadap adanya perubahan alur sungai dapat diketahui dengan melakukan pengamatan penginderaan jauh. Perubahan morfologi sungai pada periode tertentu dilakukan dengan komparasi hasil data penginderaan jauh berupa data spasial multi temporal. Sistem penginderaan jauh yang dapat diaplikasikan dalam pengamatan perubahan morfologi alur sungai adalah LiDAR dan UAV. Teknologi penginderaan jauh dengan sistem LiDAR (Light Detection and Ranging) dan UAV (Unmanned Aerial Vehicle) akan memberikan gambaran mengenai dinamika perubahan morfologi sungai. Melalui teknik tersebut material endapan lahar pada periode yang berbeda akan terlihat dengan detail. Adanya kenampakan longsoran tebing juga terlihat dengan jelas sehingga dapat diketahui distribusi longsoran tebing. Data LiDAR biasanya memiliki resolusi yang tinggi dibandingkan dengan data penginderaan jauh yang didapat secara konvensional. Hugenholtz, dkk. (2013) mendefinisikan bahwa LiDAR adalah sistem pengideraan jauh dengan berbasis laser yang dapat merekam masing-masing obyek dan posisi permukaan bumi dalam bentuk tiga dimensi yang terekam secara point cloud. Data yang dihasilkan LiDAR memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada pengukuran yang dapat menampilkan bentuk tiga dimensi lainnya seperti total station, fotogrametri, atau INSAR dengan keunggulan yang mampu menembus tutupan kanopi vegetasi dan awan (Doneus dan Briese, 2011). Pemetaan permukaan bumi menggunakan LiDAR adalah metode yang telah diakui untuk menghasilkan data yang presisi dan informasi spasial yang tergeoreferensi mengenai bentuk dan karakteristik permukaan bumi. Pengumpulan 17

data ketinggian menggunakan LiDAR memiliki keuntungan daripada berbagai metode yang lain karena LiDAR memiliki resolusi dan akurasi yang tinggi. Sistem LiDAR secara airborne adalah metode perekaman yang paling sering digunakan untuk mendapatkan data Digital Elevation Model (DEM) (NOAA, 2012). Sistem perekaman data permukaan bumi menggunkana LiDAR airborne dapat dilihat pada Gambar 1.10. Gambar 1.10. Sistem Perekaman LiDAR Airborne (NOAA, 2012) UAV (Unmanned Aerial Vehicle) sering juga disebut sebagai Unmanned Aerial System atau UAS secara sederhana adalah pesawat tanpa awak (drone) yang dikendalikan untuk perekaman data penginderaan jauh. Tahun-tahun belakangan ini para ahli Fotogrametri dan Penginderaan Jauh menerbangkan UAS untuk pengamatan topografi permukaan bumi. Hasil perekaman data UAV/UAS memiliki resolusi yang tinggi dengan level resolusi sampai sentimeter (Colomina dan Molina, 2014). 1.6. Penelitian Sebelumnya Penelitian terkait longsoran tebing sungai dengan material debris (debris avalanche) dan perubahan morfologi bagian hulu Sungai Senowo merupakan penelitian yang pertama dilakukan. Di Indonesia, penelitian terkait longsor tebing 18

sungai khususnya dengan tipe debris avalanche saat ini masih sangat minim dilakukan. Meskipun begitu, penelitian longsor untuk longsor lahan sudah banyak dilakukan. Penelitian perubahan morfologi sungai sudah pernah dilakukan di beberapa sungai yang juga berhulu di Gunungapi Merapi dan terdampak aliran lahar. Beberapa penelitian sejenis khususnya terkait perubahan morfologi sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi dan terkena lahar digunakan peneliti sebagai acuan dalam penelitian ini. Margiono pada tahun 1999 melakukan penelitian di Sungai Senowo dengan tujuan mengetahui pengaruh dari adanya checkdam terhadap sedimentasi material pada morfologi dasar Sungai Senowo. Penelitian ini dilakukan dengan menghitung debit sedimen, pengukuran penampang melintang dan memanjang sungai dan pengamatan pasir. Hasil dari pengukuran penampang melintang dan memanjang inilah yang menjadi acuan dalam penelitian ini, sehingga dalam penelitian ini morfologi sungai digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui pengaruh chekdam. Suryani (2011), Sholika (2011), dan Kusuma (2013) melakukan penelitian terkait perubahan morfologi sungai dengan lokasi penelitian yang berbeda-beda. Suryani (2011) melakukan penelitian di Sungai Putih. Aspek morfologi sungai dihitung untuk mengetahui karakteristik luapan lahar yang terjadi. Hasil dari penelitian ini berupa karakteristik morfologi Sungai Putih sebelum erupsi Merapi tahun 2010, pengaruh morfologi Sungai Putih terhadap luapan lahar, serta profil memanjang dan melintang sebelum dan sesudah erupsi Merapi tahun 2010. Lokasi penelitian yang dilakukan oleh Sholika (2011) adalah Sungai Code. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi Sungai Code pasca Erupsi Merapi tahun 2010. Metode yang digunakan adalah pengukuran langsung di lapangan dengan membagi sungai menjadi beberapa segmen. Hasil penelitian ini difokuskan pada perubahan profil memanjang dan melintang setiap segmen. Kusuma (2013) juga melakukan penelitian di salah satu sungai terdampak erupsi Merapi yaitu Sungai Opak. Penelitian ini mengkaji perubahan morfologi berdasarkan pengendapan sedimen. Hasil dari penelitian ini adalah 19

sedimen rating curve dan discharge rating curve beserta persebaran ukuran sedimen dasar sungai dan hasil uji statistik, serta perbandingan profil alur Sungai Opak sebelum dan sesudah tahun 2010. De Bélizal, dkk (2013) mengkaji daerah yang terkena dampak dari erupsi Gunungapi Merapi dan upaya mitigasi yang dapat dilakukan. Penelitian ini menggabungkan 4 pendekatan sebagai metode penelitian yaitu survei lapangan, teknik penginderaan jauh, laboratorium analisis dan pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari pemerintah daerah. Salah satu hasil dari penelitian ini adalah mengetahui besarnya area terdampak erupsi pada 13 sungai yang terkena dampak aliran lahar. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan penelitian sebelumnya yang pertama adalah lokasi penelitian difokuskan pada Sungai Senowo bagian hulu. Selain itu, peneliti juga lebih menekankan pada adanya longsoran tebing sungai dengan material debris. Peneliti mengidentifikasi karakteristik longsoran tebing sungai dengan beberapa parameter yaitu distribusi, dimensi, dan tipologi. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain, perubahan morfologi sungai diketahui dengan membandingkan perubahan sebelum dan sesudah erupsi tahun 2010, sedangkan penelitian ini mengetahui perubahan morfologi sungai pada pasca erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010 yaitu dengan mengacu pada data tahun 2012 dan 2014. Monitoring perubahan morfologi dilakukan melalui analisis morfografi dan morfometri yang juga ditunjukkan melalui profil memanjang dan profil melintang Sungai Senowo pada setiap segmen sungai. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, dijadikan sebagai acuan penelitian longsor tebing (debris avalanche) dan morfologi sungai di bagian hulu Sungai Senowo. Penelitian yang dijadikan acuan tersebut juga sebagai perbandingan untuk mengetahui keaslian penelitian. Perbandingan beberapa penelitian yang sudah ada sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan disajikan pada Tabel 1.1. 20

Nama Peneliti, Lokasi, Tahun Margiono (Sungai Senowo, 1999) Trimida Suryani (Sungai Putih, 2011) Dian Eva Solikha (Sungai Code, 2011) Rona Kusuma (Sungai Opak, 2013) Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian Sebelumnya Judul Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian Pengaruh Checkdam dan Penambangan Pasir terhadap Morfologi Sungai Senowo Kabupaten Magelang, Jawa Tengah Pendekatan Morfologi Sungai untuk Analisis Luapan Lahar Akibat Erupsi Merapi Tahun 2010 di Sungai Putih, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah Perubahan Morfologi Sungai Code Akibat Aliran Lahar Pasca Erupsi Merapi Tahun 2010 Kajian Sedimen Transport dan Perubahan Morfologi Sungai Opak Pasca Erupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010 Mengetahui pengaruh dari adanya checkdam terhadap sedimentasi material pada morfologi dasar Sungai Senowo 1. Mengetahui karakteristik morfologi Sungai Putih sebelum erupsi 2010 2. Menganalisis debit aliran lahar dan dampak yang ditimbulkan di Sungai Putih 3. Mengetahui perubahan profil memanjang dan melintang sungai sebelum dan sesudah erupsi Merapi tahun 2010 Mengetahui perubahan morfologi Sungai Code pasca Erupsi Merapi tahun 2010 1. Menganalisa konsentrasi sedimen suspensi dalam debit aliran 2. Mengetahui persebaran sedimen muatan dasar di Sungai Opak 3. Mengkaji perubahan morfologi sungai akibat deposisi sedimen di Sungai Opak Perubahan ketinggian dan kemiringan dasar sungai antara tahun 1976-1993 yang ditunjukkan dengan pasokan material berkurang dan kecepatan aliran yang meningkat 1. Karakteristik morfologi Sungai Putih sebelum erupsi Merapi tahun 2010 2. Pengaruh morfologi Sungai Putih terhadap luapan lahar 3. Profil memanjang dan melintang sebelum dan sesudah erupsi Merapi tahun 2010 Peta perubahan morfologi sungai pasca erupsi serta profil penampang memanjang dan melintang per segmen 1. Sedimen rating curve dan discharge rating curve 2. Persebaran ukuran sedimen dasar sungai dan hasil uji statistik 3. Perbandingan profil alur Sungai Opak sebelum dan sesudah tahun 2010 21

Nama Peneliti, Lokasi, Tahun Edouard de Bélizal, dkk (Area terdampak erupsi Gunungapi Merapi, 2013) Tiara Handayani (Hulu Sungai Senowo, 2014) Judul Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian Rain-Triggered Lahars Following the 2010 Eruption of Merapi Volcano, Indonesia: A Major Risk Karakteristik Longsor Tebing (Debris Avalanche) dan Perubahan Morfologi Hulu Sungai Senowo Pasca Erupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010 1. Memetakan daerah yang terkena dampak banjir lahar 2. Menjelaskan upaya mitigasi bencana berdasarkan communitybased hazard management 1. Mengetahui karakteristik longsor tebing (debris avalanche) hulu Sungai Senowo pasca erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010 2. Mengetahui perubahan morfologi hulu Sungai Senowo pasca erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010 1. Peta zonasi dampak lahar dingin Merapi 2. Peta distribusi korban akibat lahar dingin di sekitar Merapi 1. Karakteristik longsor tebing (peta distribusi, peta tipologi, perubahan dimensi) hulu Sungai Senowo 2. Peta perubahan morfologi hulu Sungai Senowo 3. Profil memanjang dan melintang sungai 1.7. Kerangka Pemikiran Longsor tebing sungai dengan material debris merupakan salah satu dampak akibat adanya tenaga eksogen berupa lahar yang mengerosi dasar dan tebing sungai. Identifikasi longsor tebing dengan material debris (debris avalanche) pasca erupsi dilakukan dengan mengetahui karakteristik longsoran berdasarkan jumlah dan distribusi longsoran, dimensi longsor, serta tipologi longsor. Ketiga indikator tersebut memiliki variabel masing-masing. Variabel ini merupakan data yang dicari untuk mendapatkan karakteristik longsoran. Identifikasi morfodinamika sungai dilakukan dengan mengetahui adanya perubahan morfologi melalui data penginderaan jauh tahun 2012 dan 2014 serta survei lapangan 2014. Pengukuran morfologi dibagi menjadi 2 yaitu morfografi dan morfometri. Variabel data yang dicari antara lain adalah perubahan panjang 22

sungai dan perubahan lebar sungai (melalui profil memanjang dan melintang), perubahan dasar sungai, perubahan tinggi tebing sungai, perubahan alur sungai, serta topografi. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.11. Longsor Tebing Sungai Volume longsor Panjang longsor Tinggi longsor Lebar longsor Gerakan longsor Proses longsor Material bahan kasar Jumlah dan Distribusi Longsor Tebing Dimensi Longsor Tebing Tipologi Longsor Tebing Karakteristik Longsor Tebing Sungai Perubahan Morfologi Sungai Morfometri Sungai Morfografi Sungai Profil Sungai Luas Penampang Melintang Tinggi Tebing Lebar Lembah Pola Alur Sungai dan Dasar Sungai Bentuk Lembah Topografi Gambar 1.11. Kerangka Pikir Penelitian 23

1.8.Batasan Operasional Debris Avalanche adalah pergerakan yang sangat cepat dari berbagai macam meterial tak bersortasi akibat adanya gaya gravitasional (Schuster and Crandell, 1984 dalam Kusumosubroto, 2013). Erupsi Gunungapi adalah proses keluarnya material dari dalam bumi yang berupa material padat, cair maupun gas ke permukaan bumi akibat adanya aktivitas vulkanik (Ollier C., 1969). Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuklahan yang terbentuk pada permukaan bumi maupun di bawah permukaan laut dengan penekanan pada asal terbentuknya dan perkembangannya serta hubungannya dengan lingkungan (Verstappen, 1983). Lahar adalah hasil transformasi material piroklastik yang sudah bercampur dengan air hujan (Lavigne dkk, 2000; Lavigne dan Thouret 2002). Longsor Tebing Sungai adalah gerakan lereng yang diakibatkan adanya erosi pada bagian dinding atau tebing sungai. Morfodinamika Sungai adalah perubahan morfologi sungai melalui mekanisme erosi pada tebing sungai (riverbank erosion), erosi pada dasar sungai (riverbed erosion), perubahan alur sungai (channel avulsion), penambahan material dasar sungai, dan luapan aliran (overbank maupun overflow) (Tanarro dkk, 2010). Morfografi Sungai adalah bentuk sungai yang diketahui berdasarkan bentuk lembah, pola aliran sungai, dan kondisi topografi pada sungai (Rao dkk, 2010). Morfologi Sungai adalah ukuran dan atau bentuk sungai yang bersifat dinamis akibat adanya proses transportasi material yang mengerosi badan sungai (Kusimi, 2008). Morfometri Sungai adalah aspek kuantitatif dari sungai berdasarkan kemiringan lereng pada sungai, tinggi tebing, volume sungai, kedalaman sungai, panjang sungai, lebar sungai, dan luas penampang sungai (Rao dkk, 2010). 24