BAB 1 Non, bangun, non... sudah jam setengah tujuh. Aku menarik kembali selimutku yang ditarik hingga ke kaki. Lalu meringkuk ke dalamnya berusaha kembali meraih alam mimpi. SISCA INDRIANI! DENGAR MAMA! CEPAT BANGUN SUDAH JAM SETENGAH TUJUH! Suara orang yang berbeda, dan berteriak sekencang-kencangnya, membuatku benar-benar kaget dan setengah melompat duduk di atas ranjang empukku. Apa katanya, setengah tujuh? Aku segera meloncat mengambil handuk di jemuran yang ada disebelah pintu kamar mandi, melesat masuk ke dalam kamar mandi yang juga ada di dalam kamarku dan membersihkan diriku cepatcepat. Setelah mandi aku segera mengambil seragam untuk hari senin, topi, dan dasi, perlengkapan untuk upacara. Aku benar-benar tidak membayangkan
kalau terlambat dihari upacara. Bisa-bisa aku berdiri di depan para guru dan anak-anak satu sekolahan jika itu terjadi. Takut-takut aku melirik jam yang ada di meja belajarku. Dan betapa terkejutnya aku mendapati kalau sekarang baru jam 06.00. JAM ENAM. Dan... ya, aku ditipu. Aku duduk lunglai didepan meja saat itu juga. Kenapa nggak pernah belajar dari kejadian lampau si, Sisca? gerutuku dalam hati. Ya, namaku Sisca Indriani. Anak pertama dari tunggal bersaudara. Ups... ya, intinya aku anak tunggal. Dan ini bukan kali pertama aku tertipu. Sudah belasan, puluhan... aku tidak tahu. Yang jelas kejadian ini sering banget terjadi. Aku turun dari kamarku menuju ruang makan. Mama dan Papa sudah ada disana menikmati sarapannya. Aku berjalan dengan wajah ditekuk setekuk-tekuknya. Lalu duduk disamping mama. Makan dulu, Sis. Ujar Mama. 2
Hm... jawabku dengan kesal lalu berdoa dan mulai menyantap nasi goreng di hadapanku. Kenapa, kok kesel banget gitu mukanya? tanya Papa. Itu, Mama pake acara bohongin aku lagi. Kalau tahu masih jam segini aku masih bisa keramas dulu, biar rambutnya gak berminyak, jadi aku gak bete harus ngikat rambut kayak gini nih. Jawabku seraya menunjuk rambutku yang diikat ekor kuda. Setelah itu Mama dan Papa hanya tertawa, seraya menghabiskan sarapan. Pertanda buruk hari Senin. *** Hey, neng. Ngelamun aja? Oca, alias Rosalia Septiani. Sahabatku, kali ini berhasil membuat ku tersadar dari lamunanku yang semakin sinting. Bahkan di jam pelajaran Fisika yang begitu memerlukan konsentrasi, aku masih sempatsempatnya melamun seperti ini. 3
Oca deh, aku kaget tau! semburku tiba-tiba pada Oca. Padahal Oca juga gak salah, ya? Kan daripada kamu nanti kesambet, lebih baik aku sadarin kamu, kan? Hehe, Oca betul juga sih, daripada kemungkinan terburuk aku harus kesambet karena lamunan yang entah apa, lebih baik aku dikageti oleh Oca. Ngelamunin apa sih, Sis? Sambungnya lagi. Oca memasang wajah penuh tanda tanya padaku. Ngelamunin apa katanya? Aku sendiri saja tidak tahu. Yang ada di otakku saat itu adalah, bagaimana secepat-cepatnya menyelesaikan sekolah yang tinggal sebentar lagi ini, menuju perguruan tinggi, mempunyai kehidupan baru... dan... seorang kekasih mungkin membuatnya lebih sempurna. Mukanya santai aja Oca ku sayang. Penasaran banget? Aku itu cuma lagi ngelamunin gimana aku bisa lulus dengan nilai yang tinggi Oca, kamu tau kan, Ca. Otak aku tuh pas-pasan banget? kataku 4
memukul-mukul kepala ku dengan bolpoin yang dari tadi kupegang, sedikit berbohong. Yah belajar dong Sisca!! Ya amp... Oca tidak melanjutkan seruannya, karena sebuah sepidol hitam sudah meluncur kearah kami. Dan mendarat dengan tidak sukses di lantai. Untung gak kena.. huhh..huhh. Oca mengeluselus dadanya, tapi tetap saja pelototan mata dari Pak Ignas guru Fisika yang super ganas itu nggak meleset ke arah kami. Ini baru permulaan untuk hari Senin, detik-detik terakhir jam kedua pelajaran, tetapi sudah bisa ditebak akan menjadi jamnya Pak Ignas untuk bercuap-cuap dengan kalimat indahnya. Hari ini benar-benar bad day! Benar saja, ia sudah di depan sana dengan mulut indah berkumis rimba di atasnya yang terbuka. Hey, Rosa! Kau sudah merasa pintar, ya? Sudah mengobrol, pakai teriak pula! Pak Ignas mengomel dengan gaya bahasa daerah asalnya pada Oca. 5
Ocanya sih, senyum-senyum saja, hehe. Tak lama, bunyi bel istirahat membuat pak Ignas berhenti menyelesaikan amarahnya kepadaku dan Oca. Praise the Lord! Sisca. Ada titipan dari Edgar! Temanku yang duduk di dekat pintu kelas, menghampiriku sambil membawa sekotak coklat. Entah apa merek coklatnya, dan ada memo kecil tertulis disana. Dan isinya membuat ku ingin muntah. Bulu kuduk ku berdiri saat mebaca tulisan itu. To: My sweet heart Sisca Indriani. Aku benarbenar pusing dengan perbuatan Edgar. What? kataku seceplos-ceplosnya. Oca cuma nyengir kuda melihat reaksi ku barusan. Siapa mau coklat, lagi? Keliatannya, sih, kali ini agak mahal...pemberian Edgar Tanujaya, lohhhhh. Semua orang yang mendengar perkataanku segera berjalan cepat kearah diamana aku duduk. Eh, serius, Sis, ada coklat kiriman dari Edgar LAGI? Eh, mau dong, Sis! Wah, boleh buat 6
kami, Sis? Aku hanya mengangguk simpul menanggapi semua pertanyaan-pertanyaan itu lalu meninggalkan bangku ku, dan melangkah keluar. Mereka yang beruntung dapat mengambilnya sebelum kehabisan. Benar-benar seperti orang mengantri sembako. Memangnya segitu berharganya coklat dari seorang Edgar? Edgar! Tambah lagi faktor bad dayku untuk hari ini, dan ini... mungkin akan terjadi lagi esok, esoknya, bahkan esoknya lagi. Well. Kalian pasti bingung. Bukan-bukan, Edgar Tanujaya itu bukan kekasihku, bukan gebetanku, atau bahkan mantan kekasihku. Dia, anak hilang dari kelas XII IPA 4, dan dengan senang hati mengganggu setiap kehidupanku selama hampir dua tahun terakhir. Tidak perduli aku sedang memiliki kekasih, atau aku sedang jones, a.ka jomblo ngenes. Kalau boleh aku jujur, ya, memang Edgar adalah salah satu dari sekian banyak cowok-cowok populer di SMAVirena. Ketua OSIS, selalu menjadi perwakilan sekolah untuk lomba menyanyi, dan juga 7
sifat tegasnya menjadikan ia pantas untuk menjadi pempimpin. Tapi yang kalian perlu tahu, AKU, cewek yang biasa-biasa saja, cewek yang selalu duduk dalam ketegori nerd, ya walaupun nggak demen baca buku, dan seorang Edgar, EDGAR TANUJAYA begitu menggilaiku setengah mati. Dan aku harus tegaskan kepada kalian kalau aku, tidak akan pernah bisa meyukainya. Orang lain boleh menganggap Edgar adalah salah satu orang yang layak untuk dipuja. Di kagumi. Di hormati dengan jabatan ketua osisnya, yang walaupun sebentar lagi akan di lepasnya. Tapi kau akan tahu bagaimana menyebalkan dan mengganggunya ia ketika dia dengan segala cara harus mendapatkan yang ia inginkan. Dalam konteks ini, aku. Aku yang ia inginkan. Mudah saja untuk Edgar mendapatkan kekasih, mendapatkan wanita pujaan dengan segala kelebihan yang orang-orang lain pandang, dengan banyaknya wanita yang kepingin banget menjadi pacarnya. Tapi 8
dari sekian banyak perempuan kenapa harus aku? Aku kan bukan tipe cewek yang suka orang sepertinya. Pikiranku membawaku ke dalam putaran kejadian sekitar dua tahun yang lalu, saat Edgar pertama kali menemuiku di kelas, saat jam pelajaran olah raga berganti. Flashback 2 years ago. Gar, coba lo lihat deh cewek yang kuncir dua yang lagi nyoba-nyoba lari di sana. Revo menunjuk arah lapangan dari jendela kelasnya yang mengarah langsung. Di sana ada cewek yang bisanya hanya lari-lari kecil mengejar bola, tanpa menendang atau menggiringnya untuk mencetak gol. 9