BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. subtropis terutama di negara berkembang dengan kualitas sumber air yang tidak

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella typhi, suatu bakteri gram-negative. Demam tifoid (typhoid fever atau

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK. sakit umum terbesar di daerah Pekanbaru, Riau. Rumah Sakit ini berada di Jalan

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perbandingan Kloramfenikol dengan Seftriakson terhadap Lama Hari Turun Demam pada Anak Demam Tifoid

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Tahun 2006, World Health Organization melaporkan lebih dari seperempat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Pendahuluan Typhoid

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

BAB II KAJIAN PUSTAKA

SKRIPSI MARHAMAH K Oleh :

Menyababkan Demam Tifoid

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian penyakit Tifoid (Thypus) di masyarakat.

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada zat kimia yang dihasilkan oleh satu macam organisme, terutama fungi yang

ANALISIS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA TAHUN 2009 SKRIPSI

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella Typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bumbu bawang merah, bawang putih, jahe, garam halus, tapioka, minyak,

ABSTRAK PROFIL PEMBERIAN ANTIBIOTIK DAN PERBAIKAN KLINIS DEMAM PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

KAJIAN RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM TERAPI DEMAM TYPHOID PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP DI RSUD Dr. M.M DUNDA LIMBOTO

ASKEP THYPOID A. KONSEP DASAR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kesadaran (Rampengan, 2007). Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella

DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KABUPATEN CILACAP TAHUN 2008 SKRIPSI

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tifoid berasal dari bahasa Yunani yang berarti smoke, karena terjadinya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. termasuk Indonesia. Demam tifoid disebabkan oleh masuknya kuman Salmonella

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi virus dengue maupun demam berdarah dengue (DBD) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB I PENDAHULUAN UKDW. negara berkembang seperti Indonesia (Stella et al, 2012). S. typhii adalah bakteri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Demikian juga tubuh manusia yang diciptakan dalam keadaan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. untuk meningkat setiap tahun (Moehario, 2001). tifoid dibandingkan dengan anak perempuan (Musnelina et al., 2004).

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

GAMBARAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT R.A KARTINI JEPARA TAHUN 2009 SKRIPSI

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DINAS KESEHATAN PUSKESMAS LENEK Jln. Raya Mataram Lb. Lombok KM. 50 Desa Lenek Kec. Aikmel

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KARAKTERISTIK HASIL PEMERIKSAAN IGM ANTI SALMONELA TYPHI DI LABORATORIUM SURYA HUSADHA DENPASAR PADA BULAN JUNI -NOVEMBER 2013

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Infeksi merupakan masalah terbanyak yang dihinggapi oleh negara yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. lainnya termasuk di Indonesia (Gasem et al., 2002; Vollaard et al., 2005; Prajapati

infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit)

BAB I PENDAHULUAN. dapat menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015). Demam tifoid

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dengan atau tanpa gangguan kesadaran yang disebabkan oleh Salmonella typhi. 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernafasan bagian atas; beberapa spesiesnya mampu. memproduksi endotoksin. Habitat alaminya adalah tanah, air dan

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

PATOGENISITAS MIKROORGANISME

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh Salmonella typhi (Soedarmo, dkk., 2003). Demam typhoid masih

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1 Demam Tifoid 2.1.1.1 Definisi Demam Tifoid Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang bersifat akut karena infeksi Salmonella enterica subspesies enterica serotype typhi. Demam tifoid dikarakteristikkan dengan demam yang lama, bakteremia tanpa gejala perdarahan atau gangguan jantung, serta invasi dan multipikasi bakteri dengan mononuclear phagocytic cell dari hati, limpa, kelenjar getah bening, dan peyer s patches. 19 2.1.1.2 Epidemiologi Demam Tifoid Demam tifoid merupakan masalah utama di dunia dengan estimasi insidensi 16.000.000 33.000.000 kasus baru per tahun dengan kematian 216.000 600.000 jiwa, sedangkan lebih dari 21,7 juta kasus tifoid dan lebih dari 200.000 kematian terjadi di Asia. 19,22 Di Indonesia kasus demam tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, rata-rata 500 100.000 penduduk dengan kematian 0,6 5%. 7 Insidensi rata-rata penduduk perdesaan sebesar 358 per 100.000 penduduk, sedangkan penduduk perkotaan sebesar 810 per 100.000 penduduk per tahun. 10 7

8 2.1.1.3 Etiologi Demam Tifoid Gambar 2.1 Salmonella typhi Sumber: Brooks dkk. 20 Penyebab demam tifoid adalah Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) yang merupakan bakteri gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Ukuran bakteri 2 4x0,6 µm, suhu optimum untuk tumbuh adalah 37 o C dengan ph 6 8, serta dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, dan bahan tinja. Bakteri mempunyai antigen somatik (O) yang merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas, antigen ini tahan terhadap pemanasan 100 o C selama 2 5 jam dan pada pemberian alkohol. Antigen flagel (H) merupakan protein termolabil, antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60 o C dan pada pemberian alkohol atau asam. Antigen Vi/K merupakan antigen permukaan yang melindungi bakteri dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60 o C dengan pemberian asam dan fenol. 7,21

9 2.1.1.4 Patogenesis Demam tifoid terjadi ketika organisme S. typhi tertelan, bakteri tersebut akan menginvasi tubuh melalui mukosa di terminal ileum yang difasilitasi oleh M cells. S. typhi akan menempel pada mikrovili kemudian berpenetrasi melewati barier mukosa intestinal dengan mekanisme perusakan membran, actin rearrangement, dan internalisasi vakuola intraselular sehingga mencapai folikel limfoid intestinal (peyer s patches). Setelah itu, S. typhi akan memasuki limfoid mesenterium dan masuk ke dalam aliran darah melewati sistem limfatik sehingga dapat menyebabkan bakteremia primer. Pada tahap ini terjadilah periode inkubasi 7 14 hari, sedangkan gejala belum muncul. Organisme S. typhi ini yang sudah berada di dalam aliran darah akan masuk ke dalam jaringan RES (retikuloendotelial sistem) yaitu hati, limpa, empedu, dan sumsum tulang belakang untuk melakukan replikasi dengan makrofag. Setelah periode replikasi tersebut, bakteri akan masuk kembali ke dalam aliran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus dengan timbul gejala klinis. 22 Organisme Salmonella typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks lipopolisakarida yang bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan. Di samping itu, endotoksin merupakan stimulator untuk memproduksi sitokin oleh sel makrofag dan sel limfosit yang merupakan mediator untuk munculnya demam dan gejala proinflamatori. 7 Pada awal minggu kedua penyakit demam tifoid terjadi nekrosis superfisial yang disebabkan oleh toksin bakteri atau yang lebih utama disebabkan oleh sumbatan pembuluh-pembuluh darah kecil oleh hiperplasia sel limfoid (disebut sel tifoid). Mukosa yang nekrotik kemudian membentuk kerak yang

10 dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus berbentuk bulat atau lonjong, tidak teratur dengan sumbu panjang ulkus sejajar sumbu usus. Pada umumnya ulkus tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena, dasar ulkus dapat mencapai dinding otot usus bahkan dapat mencapai membran serosa. 23 Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk ulkus, maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga perforasi usus. Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai dengan beratnya ulserasi. Toksemia yang hebat akan menimbulkan demam tifoid yang berat, sedangkan terjadinya perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi. 23 Pada stadium akhir demam tifoid, ginjal kadang-kadang masih tetap mengandung bakteri Salmonella sp sehingga terjadi bakteriuria maka penderita merupakan urinari karier penyakit tersebut. Akibatnya, terjadi miokarditis toksik serta otot jantung membesar dan melunak. Anak dapat mengalami perikarditis tetapi jarang terjadi endokaritis. Tromboflebitis, periostitis, nekrosis tulang, dan juga bronkitis serta meningitis kadang-kadang dapat terjadi pada demam tifoid. 23 2.1.1.5 Tanda dan Gejala Demam Tifoid Gambaran klinis pada anak cenderung tidak khas, kebanyakan perjalanan penyakit berlangsung dalam waktu pendek dan menetap lebih dari 2 minggu.

11 Masa inkubasi rata-rata bervariasi 7 20 hari. Inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari. Lamanya masa inkubasi berkorelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum atau status gizi, dan status imunologis pasien. 9 Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua maka gejala dan tanda klinis makin jelas berupa demam remiten, lidah terlihat kotor ditutupi dengan selaput putih, ujung dan tepi lidah kemerahan serta tremor, pembesaran hati dan limpa, tidak nyaman pada perut, perut kembung, mungkin disertai gangguan kesadaran dari yang ringan dengan kesadaran apatis sampai dengan yang berat. 7,9 Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern yaitu sering naik turun pada pagi lebih rendah atau normal, sedangkan sore atau malam lebih tinggi (demam intermiten), dapat pula mendadak tinggi dan remiten 39 41 o C. 9 Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua, merupakan nodul kecil menonjol dengan diameter 2 4 cm, berwarna merah pucat, serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli bakteri yang di dalamnya mengandung bakteri Salmonella, terutama didapatkan di daerah perut, dada, dan kadang-kadang daerah bokong maupun bagian fleksor lengan atas. 9

12 2.1.1.6 Diagnosis Demam Tifoid Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada 3 prinsip, yaitu isolasi bakteri, deteksi antigen mikrob, dan titrasi antibodi terhadap organisme penyebab. 4 Berdasarkan anamnesis ditanyakan munculnya demam yang naik secara bertahap tiap harinya, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, dan selanjutnya pada minggu kedua demam terus menerus tinggi. Apakah anak sering mengigau (delirium), penurunan kesadaran, malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung, dan apakah terdapat gejala klinis demam tifoid lainnya. 24 Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi perifer dapat ditemukan leukositosis (20.000 25.000 sel/mm 3 ) dan trombositopenia terutama pada demam tifoid berat. 22 Pemeriksaan biakan Salmonella dapat menggunakan darah, sumsum tulang, feses, dan urin dengan hasil basil Salmonella tumbuh. 7 Kultur darah inilah yang merupakan gold standard metode diagnostik. 4 Dapat juga dilakukan pemeriksaan serologis didapatkan titer O Ag 1/320 atau meningkat 4 kali dalam interval satu minggu. 24 Pemeriksaan tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan infeksi Salmonella dan pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan IgG Salmonella typhi. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan. 25

13 2.1.1.7 Terapi Demam Tifoid Penderita demam tifoid dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan mengoptimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan, observasi terhadap perjalanan penyakit, minimalisasi komplikasi, dan isolisasi untuk menjamin pencegahan terhadap kontaminasi. 24 Tatalaksana umum demam tifoid adalah istirahat, perawatan, diet dengan makanan tanpa serat dan mudah dicerna, terapi penunjang, serta pemberian antibiotik. 26 Obat-obat lini pertama dalam pengobatan demam tifoid adalah kloramfenikol 50 100 mg/kgbb/hari secara oral atau intravena dibagi dalam 4 dosis. Kloramfenikol masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid karena efektif, murah, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral. Umumnya perbaikan klinis sudah tampak dalam waktu 72 jam. Dalam lima tahun terakhir telah dilaporkan kasus demam tifoid berat pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh resistensi obat ganda terhadap Salmonella typhi yang disebut multidrug resistant Salmonella typhi (MDRST) sehingga bila pengobatan dengan obat lini pertama dinilai tidak efektif dapat diganti dengan antimikrob yang lain atau obat lini kedua yaitu seftriakson dengan dosis 80 mg/kgbb/hari secara intravena atau intramuskular. 24

14 Rekomendasi pemberian antibiotik pada demam tifoid dengan dan tanpa komplikasi dan tifoid berat terdapat pada Tabel 2.1 dan 2.2. Tabel 2.1 Terapi Demam Tifoid tanpa Komplikasi Resistensi Antibiotik Dosis per Hari (mg/kgbb) Sensitif sepenuhnya Kloramfenikol 50 75 Amoksisilin 75 100 Hari 14 21 14 Multidrug-resistant Florokuinolon atau Cefixime 15 15 20 5 7 7 14 Quinolone-resistant Sumber: Behrman dkk. 22 Azitromisin atau Seftriakson 8 10 75 7 10 14 Tabel 2.2 Terapi Demam Tifoid Berat Resistensi Antibiotik Dosis per Hari (mg/kgbb) Sensitif sepenuhnya Ampisilin 100 atau Seftriakson 60 75 Hari 14 10 14 Multidrug-resistant Fluorokuinolon 15 10 14 Quinolone-resistant Seftriakson 60 75 10 14 Sumber: Behrman dkk. 22 2.1.1.8 Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid yaitu perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, dan typhoid encephalopathy pada 10 15% pasien. 19 Perdarahan usus umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut membesar, nyeri pada perabaan, sering kali disertai dengan penurunan tekanan darah dan terjadi syok, diikuti dengan perdarahan saluran cerna sehingga tampak darah kehitaman yang keluar bersama tinja. 27

15 Komplikasi lainnya yaitu hepatitis, kolesistitis, pankreatitis, delirium, meningitis, kegagalan koordinasi, miokarditis, syok, bronkitis, pneumonia, anemia, disseminated intravascular coagulation (DIC), faringitis, osteomielitis, artritis, dan limfadenitis supuratif. 19 2.1.1.9 Pencegahan Strategi pencegahan yang dipakai adalah selalu menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, serta tersedia air bersih sehari-hari. 4 Dapat juga diberikan vaksin tifoid yang umumnya diberikan vaksin polisakarida dalam bentuk injeksi. Vaksin ini dapat diulang setiap 3 tahun dan bagi anak dianjurkan diberikan jika sudah berusia 2 tahun. 28 2.1.1.10 Prognosis Kesembuhan penyakit demam tifoid ini bergantung pada ketepatan terapi antibiotik yang digunakan, biasanya tingkat kekambuhan demam tifoid ini sebesar 2 4%. 22 2.1.2 Antibiotik Antibiotik adalah substansi kimiawi antimikrob yang dihasilkan oleh berbagai jenis mikroorganisme. Obat ini membunuh mikroorganisme atau menekan pertumbuhan atau perkembangbiakannya, khususnya yang merugikan manusia. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada penggunaan antibiotik di antaranya resistensi mikrooorganisme terhadap antibiotik, faktor farmakokinetik dan farmakodinamik, faktor interaksi serta efek samping obat, dan faktor biaya. 30

16 2.1.2.1 Mekanisme Kerja Antibiotik Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dapat dikelompokkan atas enam kelompok: 29 1. bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme; 2. bekerja dalam menghambat sintesis dinding sel mikroorganisme; 3. bekerja dalam merusak sintesis protein sel mikroorganisme; 4. bekerja dalam menghambat sintesis protein sel mikroorganisme; 5. bekerja dalam mengganggu metabolisme asam nukleat pada mikroorganisme; 6. bekerja menghambat metabolisme sel mikroorganisme. 2.1.2.2 Kloramfenikol Kloramfenikol adalah antibiotik yang bekerja untuk menghambat sistesis protein bakteri yang berikatan dengan 50s subunit dari ribosom bakteri dan mencegah pembentukan ikatan peptid oleh peptidil transferase. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan bakterisidal, spektrum luas, untuk demam tifoid, waktu paruh berkisar 1,5 4 jam dan terdistribusi ke jaringan. Dosis kloramfenikol per oral 50 100 mg/kgbb/hari akan mengalami hidrolisis di usus dan menghasilkan kloramfenikol bebas yang ada di dalam darah. Selain sediaan untuk dikonsumsi per oral, tersedia pula kloramfenikol sediaan parenteral yaitu kloramfenikol suksinat dengan dosis 25 50 mg/kgbb/hari yang diberikan secara intravena maupun intramuskular. Indikasi kloramfenikol untuk pengobatan demam tifoid, meningitis, dan salmonelosis lainnya. Kloramfenikol dimetabolisme di hepar dengan asam glukoronik di paru-paru dan juga di ginjal setelah pemberian kloramfenikol parenteral. Absorpsi kloramfenikol terjadi di saluran cerna dan

17 diekskresikan melalui urin, empedu, dan feses sebanyak 30%, 3%, dan 1% masing-masing. Efek samping kloramfenikol yaitu gangguan pada sumsum tulang yang diakibatkan oleh efek penghambatan sintesis protein mitokondria sumsum tulang, reaksi alergi, mual, muntah, sakit kepala, dan pemberian kloramfenikol lebih dari 75 mg/kgbb/hari pada neonatus akan menyebabkan Gray baby syndrome. 29 2.1.2.3 Seftriakson Seftriakson merupakan antibiotik golongan beta-laktam yang termasuk sefalosporin generasi ke 3, berikatan dengan penicillin-binding proteins (PBPs) yang menghambat final transpeptidation sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri dan menghambat biosistesis dinding sel bakteri sehingga menyebabkan kematian sel. Dosis pada anak 50 75 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis. Indikasi untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap obat lain, kontraindikasi untuk neonatus hiperbilirubinemia dan yang memiliki hipersensitivitas terhadap seftriakson. Seftriakson didistribusi ke jaringan dan empedu. Seftriakson memiliki waktu paruh sekitar 6 9 jam, diabsorpsi lemah dalam plasma, dan diekskresikan melalui urin sebanyak 40 65%. 29 2.2 Kerangka Pemikiran Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang diakibatkan oleh bakteri Salmonella typhi. Penyakit ini ditransmisikan melewati makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh feses atau urin dari orang yang terinfeksi.

18 Demam tifoid ini masih merupakan salah satu penyebab penting morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia, terutama di daerah endemik seperti Meksiko, Amerika Latin, Asia, dan India. Di Indonesia penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk, status gizi, serta higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Pilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan, dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid anak. Di samping kloramfenikol, antibiotik lain yang dipergunakan untuk mengobati demam tifoid pada anak adalah kotrimoksazol dan seftriakson. Pemberian kloramfenikol ini harus memenuhi persyaratan yaitu kadar Hb >8 g/dl dan jumlah leukosit tidak kurang dari 2.000/uL sehingga pengobatan demam tifoid ini dapat beralih kepada antibiotik selain kloramfenikol. Di samping itu, pemakaian kloramfenikol dapat menimbulkan efek samping berupa penekanan sumsum tulang dan yang paling ditakuti terjadi anemia aplastik. Kloramfenikol menunjukkan efektivitas klinis masih sangat baik dalam memengaruhi lama hari rawat inap pasien bersamaan dengan penurunan demam yang cukup cepat. Namun, dari beberapa penelitian didapatkan sekitar 3 8% galur Salmonella telah resisten terhadap kloramfenikol. Pada penelitian mengenai resistensi Salmonella typhi, beberapa negara telah melaporkan multi drug

19 resistance (MDR) strain terhadap antibiotik kloramfenikol dan kotrimoksazol. Perkembangan MDR begitu cepat sehingga menyebabkan peningkatan mortalitas pada demam. Berdasarkan hal tersebut telah banyak penelitian untuk mencari obat alternatif pengobatan demam tifoid di antaranya seftriakson dan siprofloksasin yang merupakan antibiotik lini kedua. Obat tersebut menyebabkan demam turun lebih cepat, lama pengobatan lebih pendek, angka kesembuhan tinggi, dan efek samping minimal. Kedua golongan obat tersebut terutama ditujukan untuk galur Salmonella yang telah resisten terhadap obat standar. Pemberian antibiotik empiris yang tepat pada penderita demam tifoid sangat penting karena dapat mencegah komplikasi dan mengurangi angka kematian. Respons efektivitas antibiotik dinilai berdasarkan lama turun demam dan lama rawat inap di rumah sakit, yang merupakan istilah yang umum digunakan untuk mengukur durasi satu episode rawat inap.

20 Faktor lingkungan: Urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sanitasi buruk, dan higiene makanan kurang baik Insidensi daerah endemik meningkat termasuk Indonesia Faktor host: Usia, jenis kelamin, status gizi, dan status sosioekonomi Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh Manifestasi klinis Faktor agent: Salmonella typhi sebanyak 10 3 10 6 Diagnosis: isolasi bakteri + S. typhi = Demam tifoid Kloramfenikol Seftriakson Mendapatkan terapi Efikasi, ketersediaan, biaya, efek samping minimal, dan MDR Salmonella typhi Respons efektif dilihat dari lama turun demam di rumah sakit Terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua antibiotik tersebut Keterangan, --------: Tidak diteliti Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran