BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

dokumen-dokumen yang mirip
4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

INDONESIA Percentage below / above median

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

Deskripsi dan Analisis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL

Assalamu alaikum Wr. Wb.

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

Propinsi Kelas 1 Kelas 2 Jumlah Sumut Sumbar Jambi Bengkulu Lampung

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

BAB 6 Kebijakan Fiskal

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA

PEMBIAYAAN KESEHATAN. Website:

DESKRIPTIF STATISTIK PONDOK PESANTREN DAN MADRASAH DINIYAH

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

LAPORAN MINGGUAN DIREKTORAT PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN PERIODE 18 MEI 2018

PEMANTAUAN CAPAIAN PROGRAM & KEGIATAN KEMENKES TA 2015 OLEH: BIRO PERENCANAAN & ANGGARAN JAKARTA, 7 DESEMBER 2015

Gambar 1: Sumber fiskal Aceh mengalami peningkatan yang substansial dalam 6 tahun terakhir

KESEHATAN ANAK. Website:

PUSAT DISTRIBUSI DAN CADANGAN PANGAN BADAN KETAHANAN PANGAN RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN TAHUN 2015

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA. No Nama UPT Lokasi Eselon Kedudukan Wilayah Kerja. Bandung II.b DITJEN BINA LATTAS

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website:

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

BAB I PENDAHULUAN. pada perbankan didalam suatu negara. Saat ini bank merupakan salah satu peranan

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014)

BERITA RESMI STATISTIK

PERTUMBUHAN, KEMISKINAN, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN

C UN MURNI Tahun

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004

SURVEI HARGA PROPERTI RESIDENSIAL

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BERITA RESMI STATISTIK

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

KESEHATAN INDERA PENGLIHATAN PENDENGARAN. Website:

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DKI JAKARTA

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI ACEH

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

Disabilitas. Website:

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

PAGU SATUAN KERJA DITJEN BINA MARGA 2012

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI JAWA TIMUR

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DIY

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BENGKULU

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PULAU JAWA DAN KALIMANTAN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran politik dan administrasi, desentralisasi fiskal dipandang sebagai alat untuk mencapai alokasi sumber daya yang efisien dan untuk meningkatkan pembangunan. Selain itu, desentralisasi fiskal dianggap mampu untuk menghindari dari masalah pemerintahan yang tidak efisien, ketidakstabilan ekonomi makro, serta pertumbuhan ekonomi yang tidak memadai (Seymour et al., 2002). Pendukung lainnya berpendapat bahwa desentralisasi fiskal memungkinkan pemerintah daerah dalam posisi yang lebih baik untuk memahami dan memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan apa saja yang dibutuhkan oleh daerah setempat. Selain itu, dengan desentralisasi, pemerintah daerah merupakan yang lebih dekat kepada warganya sehingga mereka memiliki pengaruh yang lebih besar untuk melakukan tanggung jawab fiskal yang lebih baik dalam hal pelayanan publik secara umum (Lin et al., 2000). Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, desentralisasi fiskal memiliki tujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih optimal kepada masyarakat di Indonesia (delivery of services) dan mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah serta antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam memenuhi kewajibannya untuk memberikan pelayanan. Kapasitas fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan umum anggaran pendapatan dan belanja daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas Page 1

pemerintahan setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin. Sedangkan indeks kapasitas fiskal, yaitu kapasitas fiskal masing-masing daerah provinsi dibagi dengan rata-rata kapasitas fiskal seluruh daerah provinsi (PMK No. 244/PMK.07/2011). Di Indonesia, pelaksanaan konsep desentralisasi dan otonomi daerah telah berlangsung dengan terbitnya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan. Direvisi menjadi undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan. Perubahan paling signifikan atas pelaksanaan desentralisasi adalah pendelegasian kekuasaan administratif dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Beberapa fungsi penting seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, lingkungan, investasi, pertanian, dan kehutanan di suatu daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah bersangkutan (Harjowiryono, 2011). Pada tahun 2001, Indonesia mengalami salah satu perubahan kelembagaan yang paling signifikan dalam sejarah. Sejak tahun itu, Indonesia telah menerapkan desentralisasi, dan dengan cepat pindah diri dari salah satu sistem yang paling terpusat di dunia menjadi salah satu yang paling terdesentralisasi. Mereka mengatakan bahwa itu adalah "Big Bang", karena sejumlah besar aparat pemerintah dipindahkan ke daerah pada tahun itu, pengeluaran pemerintah daerah meningkat tajam, dan sistem fiskal antar pemerintah sepenuhnya baru itu diberlakukan (Hofman and Kaiser, 2002). Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah sebagaimana di maksud bersumber dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan. Untuk keterangan lebih lanjut, dapat dilihat pada Gambar 1.1. Page 2

Gambar 1.1 Tipologi Penerimaan Daerah Dalam Desentralisasi Pajak Daerah Retribusi Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lain-lain PAD yang Sah Pendapatan Daerah Dana Perimbangan (DP) Dana Bagi Hasil (DBH) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Bagi Hasil SDA Penerimaan Daerah (Desentralisasi) Lain-lain Pendapatan yang Sah Dana Alokasi Khusus (DAK) SILPA Pembiayaan Daerah Penerimaan Pinjaman Daerah Dana Cadangan Daerah Hasil Penjualan Kekayaan Daerah Sumber: Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Page 3

Bila dilihat pada data Kementerian Dalam Negeri (2014), tren daerah otonom di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, total daerah otonom di Indonesia sebanyak 371 dan pada 2013 meningkat menjadi 545. Bisa dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Tren Daerah Otonom di Indonesia, 2000-2013 Daerah Otonom 2000 2001 2002 2003 2004-2006 2007-2008 2009-2012 2013 Provinsi 30 31 32 32 33 33 33 34 Kota 73 85 89 91 91 95 98 98 Kabupaten 268 268 302 349 349 370 399 413 Total 371 383 422 471 473 498 530 545 Sumber: Kementerian Dalam Negeri (2014) Sebenarnya, ada beberapa perdebatan mengapa tingkat kedua (kabupaten), bukan tingkat pertama (provinsi), mendapat otonomi yang lebih besar. Para pendukung tingkat pertama percaya bahwa tingkat provinsi memiliki kemampuan untuk menjalankan otonomi jauh lebih baik daripada aparat tingkat kedua, dan dari sudut pandang ekonomi, tingkat provinsi memiliki kapasitas fiskal yang jauh lebih baik. Para pendukung tingkat kedua percaya bahwa unit pemerintahan yang terdesentralisasi harus unit yang paling dekat dengan rakyat sebagai pelanggan utama pelayanan pemerintah (Brodjonegoro, 2001). Selain daerah otonom yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang ada dari Kementerian Keuangan (2013), total komposisi pendapatan daerah di Indonesia dari tahun 2000-2012 cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan hal tersebut bisa kita lihat bahwa desentralisasi tidaklah buruk, dan juga dengan desentralisasi dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) tersebut. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 1.2 dan Gambar 1.2. Page 4

Tabel 1.2 Komposisi Pendapatan Daerah Provinsi di Indonesia, 2000-2012 (Rp triliun) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Rata- Rata PAD 4,19 9,94 14,23 17,73 22,50 27,74 30,36 35,19 44,52 45,37 56,87 73,70 86,27 36,05 DBH 1,91 7,65 9,09 10,04 11,41 15,30 18,85 16,88 24,34 22,77 28,35 28,99 37,96 17,96 DAU - 6,52 7,35 8,62 8,52 9,16 13,75 13,72 11,10 19,19 19,25 22,55 25,53 13,24 DAK - 0,16 1,38 1,69 0,01 0,02 0,01 0,78 0,40 1,30 0,81 1,27 1,25 0,72 Sumber: Kementerian Keuangan (2013) Gambar 1.2 merupakan ilustrasi grafik dari Tabel 1.2. Di situ dapat dilihat lebih jelas tren peningkatan pendapatan daerah di Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Sehingga harapannya, dengan adanya desentralisasi fiskal, akan lebih membawa kebaikan terhadap perekonomian provinsi di Indonesia. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 Gambar 1.2 Tren Pendapatan Daerah Provinsi di Indonesia, 2000-2012 (Rp triliun) 0 2000 2004 2008 2012 PAD DBH DAU DAK Sumber: Kementerian Keuangan (2013) Page 5

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, pendapatan asli daerah selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Bila dilihat pada Gambar 1.3, terlihat bahwa tidak banyak provinsi di Indonesia yang memiliki PAD di atas rata-rata. Provinsi yang memiliki PAD di atas rata-rata tersebut, memiliki karakteristik seperti terdapatnya sumber daya alam atau terdapat jumlah penduduk yang banyak. Seperti pada provinsi Sumatera Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Sisanya masih di bawah rata-rata. 10.000.000,00 Gambar 1.3 PAD Rata-rata Provinsi, 2000-2012 (Rp juta) 9.000.000,00 8.000.000,00 7.000.000,00 Juta Rupiah 6.000.000,00 5.000.000,00 4.000.000,00 3.000.000,00 2.000.000,00 1.000.000,00 - DKI JaBar JaTim JaTeng KalTim SumUt Riau SumSel SulSel Bali KalSel Lampung SumBar DIY KalBar Jambi NAD SulUt NTB KalTeng Papua SulTeng Bengkulu NTT SulTra Maluku PAD Rata-Rata Sumber: Kementerian Keuangan (2013) Page 6

Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No. 33 Tahun 2004). Pada Gambar 1.4 dapat dilihat bahwa hanya terdapat 6 provinsi yang memiliki DBH di atas rata-rata, seperti Aceh, Riau, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Dimana provinsi yang memiliki DBH yang besar mempunyai sumber daya alam yang banyak, terkecuali DKI Jakarta. DKI memiliki DBH yang besar, karena merupakan pusat pemerintahan. Banyak perusahaan pertambangan, kehutanan dan perikanan memiliki kantor pusat di DKI. Yang mana hal tersebut dapat meningkatkan DBH provinsi DKI Jakarta. 7.000.000,00 Gambar 1.4 DBH Rata-rata Provinsi, 2000-2012 (Rp juta) 6.000.000,00 5.000.000,00 Juta Rupiah 4.000.000,00 3.000.000,00 2.000.000,00 1.000.000,00 - DKI KalTim Riau NAD JaBar SumSel JaTim Papua DIY JaTeng KalSel SumUt Jambi SulSel Lampung Bali KalTeng Maluku NTB KalBar SumBar SulUt SulTra NTT SulTeng Bengkulu DBH Rata-Rata Sumber: Kementerian Keuangan (2013) Page 7

Dana alokasi umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan pasal 27 UU No. 33 Tahun 2004, maka (1) Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN. (2) DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. (3) Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. (4) Alokasi dasar sebagaimana dimaksud dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah. Melihat pada Gambar 1.5, terdapat sebanyak 9 provinsi yang memiliki DAU di atas rata-rata. Dimana provinsi yang mendapatkan DAU di atas rata-rata, memiliki DBH dan PAD yang cenderung di bawah rata-rata. Dibutuhkan alokasi DAU yang cukup besar untuk membiayai operasional provinsi tersebut. 1.200.000,00 Gambar 1.5 DAU Rata-rata Provinsi, 2000-2012 (Rp juta) 1.000.000,00 800.000,00 Juta Rupiah 600.000,00 400.000,00 200.000,00 - Papua JaBar JaTim JaTeng SulSel SulUt SumSel Maluku SumUt DKI KalTeng KalBar NTT SumBar Lampung SulTeng SulTra NTB DIY Bengkulu Riau Jambi NAD KalSel Bali KalTim DAU Rata-Rata Sumber: Kementerian Keuangan (2013) Page 8

Dana alokasi khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 pasal 40, pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. (1) Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. (2) Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. (3) Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis. Pada Gambar 1.6, dapat dilihat bahwa hanya ada 3 provinsi yang memiliki DAK di atas rata-rata yaitu Sulawesi Selatan, Papua dan Maluku. Bisa dikatakan bahwa ketiga provinsi tersebut merupakan daerah tertinggal. Diperlukan DAK yang besar untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dari provinsi tersebut. 400.000,00 Gambar 1.6 DAK Rata-rata Provinsi, 2000-2012 (Rp juta) 350.000,00 300.000,00 250.000,00 Juta Rupiah 200.000,00 150.000,00 100.000,00 50.000,00 - Papua Maluku SulSel SulUt KalTeng JaBar NTT SumSel SulTeng NTB NAD SulTra Riau KalSel JaTim KalBar DAK Rata-Rata Lampung SumBar SumUt Bengkulu Jambi JaTeng KalTim DIY Bali DKI Sumber: Kementerian Keuangan (2013) Page 9

Berdasarkan Gambar 1.7, dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi di Indonesia sudah banyak yang di atas rata-rata. Sehingga bisa terlihat kalau perekonomian provinsi di Indonesia, menjadi semakin meningkat. Hanya terdapat 9 provinsi yang pertumbuhan ekonominya di bawah rata-rata. Seperti Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Papua, DIY, Riau, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur dan Aceh. Akan tetapi dari 9 provinsi tersebut, Aceh merupakan yang terburuk pertumbuhan ekonominya. Bahkan menjadi minus, tidak positif lagi. Hal tersebut disebabkan karena ada beberapa hal yang terjadi di Aceh. Mulai dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2003-2005, dan juga tsunami di Aceh pada tahun 2004 yang menimbulkan banyak kerugian materi maupun korban jiwa. Perekonomian Aceh menjadi menurun dan dalam proses pemulihan. Gambar 1.7 Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Provinsi, 2000-2012 (%) 8% 7% 6% 5% Persen 4% 3% 2% 1% 0% -1% SulTeng SulTra Jambi SulSel SulUt DKI SumUt Bengkulu JaTim KalTeng JaBar SumBar Bali Lampung KalSel JaTeng Maluku NTT SumSel KalBar Papua DIY Riau NTB KalTim NAD Growth Rata-Rata Sumber: Badan Pusat Statistik (2013) Page 10

1.2. RUMUSAN MASALAH Terdapat 2 pola pertumbuhan ekonomi di Indonesia: 1. Pertumbuhan ekonomi antarprovinsi di Indonesia yang bervariasi. 2. Provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional, umumnya memiliki sumber daya alam, penduduk, PAD, DBH, DAU dan DAK yang relatif tinggi. Indeks kapasitas fiskal juga telah ditetapkan oleh menteri keuangan sebagai indikator kemandirian fiskal daerah. 1.3. PERTANYAAN PENELITIAN 1. Bagaimana tipologi provinsi berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan indeks kapasitas fiskal 2000-2012? 2. Bagaimana pengaruh PAD, DBH, DAU, DAK, keterbukaan ekonomi, penanaman modal asing, penduduk, inflasi, suku bunga pasar uang, dummy pemekaran wilayah dan dummy waktu terhadap pertumbuhan ekonomi antar provinsi di Indonesia 2000-2012? 1.4. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan kontribusi desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dengan unit analisis provinsi di Indonesia dari tahun 2000-2012. Studi ini menggunakan data dari tahun 2000, karena pada tahun tersebut adalah saat yang tepat untuk melakukan penelitian mengenai desentralisasi fiskal. Dimana tahun sebelumnya yaitu 1999 telah dilakukan revisi undang-undangnya. Studi ini menggunakan desentralisasi fiskal pada tingkat provinsi di karenakan provinsi memiliki kemampuan untuk menjalankan otonomi jauh lebih baik daripada aparat tingkat kedua (kabupaten/kota), dan juga dari sudut pandang ekonomi tingkat provinsi memiliki kapasitas fiskal yang jauh lebih baik daripada tingkat kabupaten/kota. Page 11

1.5. SISTEMATIKA PENULISAN Bab 1: Pendahuluan: Bab ini menjelaskan latar belakang dan tujuan dari penulisan tesis ini. Bab 2: Tinjauan Pustaka: Bab ini menjelaskan berbagai teori terkait desentralisasi fiskal, meliputi federalisme fiskal, kapasitas fiskal, pertumbuhan ekonomi dan beberapa metodologi penelitian terdahulu yang telah ada. Bab 3: Metode Penelitian: Bab ini membahas metodologi yang digunakan dalam studi ini. Pembahasan dibagi dalam tiga bagian, yaitu jenis dan sumber data, variabel kapasitas fiskal dan hipotesis. Bab 4: Hasil Analisis: Bab ini membahas hasil analisis dari setiap tahapan metodologi pada Bab 3. Bab 5: Kesimpulan: Bab ini membahas kesimpulan yang dapat diambil dari hasil analisis pada Bab 4. Selain itu, bab ini juga menyertakan saran yang dapat digunakan pada pengembangan penelitian selanjutnya. Page 12