BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung

BAB 1 PENDAHULUAN. Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

BAB I PENDAHULUAN. Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global,

BAB 1 PENDAHULUAN. dibutuhkan zat gizi yang lebih banyak, sistem imun masih lemah sehingga lebih mudah terkena

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi cacing yang

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Kebijakan Penanggulangan Kecacingan Terintegrasi di 100 Kabupaten Stunting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit infeksi cacing usus terutama yang. umum di seluruh dunia. Mereka ditularkan melalui telur

BAB 1 PENDAHULUAN. rawan terserang berbagai penyakit. (Depkes RI, 2007)

BAB 1 PENDAHULUAN. diarahkan guna tercapainya kesadaran dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Gambaran Kejadian Kecacingan Dan Higiene Perorangan Pada Anak Jalanan Di Kecamatan Mariso Kota Makassar Tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. belum mendapatkan perhatian serius, sehingga digolongkan dalam penyakit

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling

I. PENDAHULUAN. dengan sekitar 4,5 juta kasus di klinik. Secara epidemiologi, infeksi tersebut

xvii Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. yang menentukan kualitas sumber daya manusia adalah asupan nutrisi pada

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. depan yang perlu dijaga, ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Sekolah selain

Faktor risiko terjadinya kecacingan di SDN Tebing Tinggi di Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan Abstrak

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan yang sehat telah diatur dalam undang-undang pokok kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. (neglected diseases). Cacing yang tergolong jenis STH adalah Ascaris

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masalah kesehatan manusia, yaitu sebagai vektor penular penyakit. Lalat berperan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi parasit pada saluran cerna dapat disebabkan oleh protozoa usus dan

SUMMARY PERBEDAAN HIGIENE PERORANGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT KECACINGAN DI SDN 1 LIBUO DAN SDN 1 MALEO KECAMATAN PAGUAT KABUPATEN POHUWATO

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

Lampiran I. Oktaviani Ririn Lamara Jurusan Kesehatan Masyarakat ABSTRAK

ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2

BAB I PENDAHULUAN. Soil transmitted helminth (STH) merupakan cacing usus yang dapat. menginfeksi manusia dengan empat spesies utama yaitu Ascaris

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. satu kejadian yang masih marak terjadi hingga saat ini adalah penyakit kecacingan

BAB I PENDAHULUAN.

ABSTRAK. Infeksi kecacingan yang disebabkan oleh Soil Transmitted Helminths (STH)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '"/ *

BAB V PEMBAHASAN. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada anak-anak di SDN Barengan,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kerja. Tenaga kerja yang terpapar dengan potensi bahaya lingkungan

HUBUNGAN PERILAKU ANAK SEKOLAH DASAR NO HATOGUAN TERHADAP INFEKSI CACING PERUT DI KECAMATAN PALIPI KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2005

BAB I PENDAHULUAN juta kematian/tahun. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENCEGAHAN INFEKSI SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH

SKRIPSI. Oleh. Yoga Wicaksana NIM

BAB 1 PENDAHULUAN. Lalat adalah serangga jenis Arthropoda yang masuk dalam ordo Diptera.

BAB I PENDAHULUAN. seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization

PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) dalam Buletin. penyebab utama kematian pada balita adalah diare (post neonatal) 14%,

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang,

FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang termasuk Indonesia (Depkes RI, 2007). dan balita. Di negara berkembang termasuk Indonesia anak-anak menderita

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Anak usia sekolah merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai

BAB 1 : PENDAHULUAN. dikonsumsi masyarakat dapat menentukan derajat kesehatan masyarakat tersebut. (1) Selain

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan

BAB 1 PENDAHULUAN. lumbricoides dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia, dengan rata-rata kejadian

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JENIS PENYAKIT CACINGAN

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi parasit usus yaitu cacing dan protozoa. merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN KONDISI FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE DI KECAMATAN SEMARANG UTARA KOTA SEMARANG.

BAB I PENDAHULUAN. panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

1 Universitas Indonesia

Factors correlated with helminthiasis incidence on students of Cempaka 1 Elementary School Banjarbaru

BAB 1 PENDAHULUAN. Usia anak dibawah lima tahun (balita) merupakan usia dalam masa emas

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Helminthiasis atau

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Soil-transmitted helminthiasis merupakan. kejadian infeksi satu atau lebih dari 4 spesies cacing

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,

PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SOSIALISASI PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT PADA ANAK-ANAK TINGKAT SEKOLAH DASAR DI DESA TABORE KECAMATAN MENTANGAI KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. pasien dewasa yang disebabkan diare atau gastroenteritis (Hasibuan, 2010).

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya bagi negara berkembang dan miskin. Hal ini dikarenakan secara epidemiologi penyakit kecacingan sangat erat kaitannya dengan situasi ekonomi dan sosial, lingkungan suatu bangsa serta perilaku yang menjadi kebiasaan individu. Pada saat ini diperkirakan lebih dari 2 milyar orang terinfeksi cacing di seluruh dunia, sekitar 300 juta orang menderita infeksi cacing yang berat dan sekitar 150.000 kematian terjadi setiap tahun akibat infeksi Soil Transmitted Helminths (Depkes, 2004). STH yang paling sering menginfeksi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan hookworn. Diperkirakan sekitar 807 juta manusia di dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides, sekitar 604 juta menderita trikuriasis dan hookworm (A.duodenale dan N. Americanus) menginfeksi sekitar 576 juta manusia di seluruh dunia (Depkes, 2006). Kecacingan merupakan salah satu diantara banyak penyakit yang berkaitan dengan lingkungan dan personal Hygiene. Sekitar 40-60% penduduk di Indonesia menderita kecacingan, sebagian besar penderita kecacingan tersebut hidup di wilayah kumuh dan berada pada golongan anak-anak dan usia sekolah. Pada tahun 2008 pemeriksaan tinja yang dilaksanakan di 8 Provinsi, mempunyai range yang cukup 1

2 tinggi yaitu antara 2,7% - 60,7% dengan prevalensi terendah di Sulawesi Utara yaitu 2,7%. Jika dilihat dari jenis cacing maka distribusi prevalensi cacingan menurut jenis cacing pada anak SD di kabupaten terpilih di 27 provinsi tahun 2002 2008 menunjukkan bahwa prevalensi menurut jenis cacing yang paling tinggi adalah cacing cambuk dan yang paling rendah adalah cacing tambang (Depkes, 2009). Tingginya angka kecacingan di Indonesia tidak terlepas dari kondisi geografis Indonesia yang memiliki iklim tropis, dengan kelembaban udara yang tinggi serta tanah yang subur sehingga menjadi lingkungan yang baik untuk kehidupan cacing. Kelompok masyarakat yang memiliki hygiene perorangan dan sanitasi dasar perumahan yang kurang baik juga dapat menyebabkan terjadinya kecacingan. (Soedarto, 2008). Selain itu, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang personal hygiene, seperti kebiasaan cuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar (BAB), kebersihan kuku, jajan di tempat yang kebersihannya tidak terjaga, (Darnely, 2011) sanitasi lingkungan yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, sosio ekonomi yang rendah (Widjana dan Sutisna, 2000) serta minimnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya kecacingan juga menjadi faktor penyebab tingginya infeksi kecacingan (Yuliati et al, 2010) Berdasarkan data Profil Dinas Kesehatan Sumatera Utara, prevalensi kecacingan di Sumatera Utara masih berada di atas angka 10% termasuk kota Medan, dimana pelaksanaan program pengendalian masalah kecacingan masih menargetkan untuk menurunkan prevalensi kecacingan menjadi < 10 % tahun 2012. Secara khusus di kota Medan, belum ada data mengenai prevalensi kecacingan, apalagi pada anak

3 balita (Dinas Kesehatan Provinsi Sumut, 2012). Kecacingan masih menjadi penyakit yang kurang mendapat perhatian (neglected disease) yaitu sekelompok penyakit menular yang tidak menyebabkan kematian secara langsung (WHO, 2015). Selain itu, sasaran dari program pengendalian masalah kecacingan diprioritaskan pada beberapa komponen penduduk, namun sampai saat ini baru kelompok anak sekolah dasar yang terjangkau, sedangkan untuk balita data kecacingan masih belum menjadi prioritas (Dinas Kesehatan Provinsi Sumut, 2012). Anak balita merupakan kelompok yang berada dalam periode kritis dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Oleh karena itu akan terjadi resiko yang sangat besar bila pada kelompok ini terjadi infeksi kecacingan (WHO, 2015). Menurut WHO anak balita adalah salah satu kelompok masyarakat yang beresiko untuk menderita kecacingan sebab pada usia ini anak belum bisa secara mandiri mengurus pesonal hygienenya. Selain itu anak balita khususnya usia 24 59 bulan sudah dapat bermain sendiri tanpa harus digendong atau dipangku oleh ibunya, memasukkan benda atau makanan apa saja kedalam mulutnya dan mencari tahu hal hal yang baru tanpa memikirkan resiko atau bahaya apa yang akan terjadi. Salah satu penularan cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura dapat terjadi apabila anak menelan larva infektif yang melekat di jari tangan pada waktu anak menghisap jari atau tidak mencuci tangan sebelum makan. Kejadian ini sering terjadi terutama pada anak yang sering bermain dan kontak dengan tanah yang tercemar telur cacing. Selain itu penularan juga dapat terjadi apabila anak memakan makanan atau memasukkan mainan kedalam mulutnya yang telah dihinggapi lalat atau kecoa yang

4 telah mengandung telur infektif setelah kontak dengan tanah atau feces manusia yang mengandung telur cacing (Helmi, 2000) Selain itu, berdasarkan penelitian Yudhasthuti dan Any (2012) bahwa anak balita yang tinggal di rumah dengan sarana sanitasi khususnya jamban yang tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 5 kali terkena infeksi kecacingan bila dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah dengan sarana jamban yang memenuhi syarat. Selain itu ada hubungan antara kebiasaan cuci tangan anak setelah buang air besar dengan kejadian infeksi kecacingan anak balita. Anak balita yang tidak cuci tangan setelah buang air besar mempunyai peluang 5 kali lebih besar mengalami kecacingan dibandingkan anak yang mencucuci tangan setelah buang air besar. Penelitian yang sama juga menunjukkan ada hubungan antara rumah berlantai tanah dengan infeksi kecacingan pada anak balita. Anak balita yang tinggal di rumah berlantai tanah mempunyai peluang 5 kali lebih besar mengalami kecacingan dibanding anak balita yang tinggal di rumah yang tidak berlantai tanah. Selain itu faktor lain yang berhubungan dengan kecacingan adalah pengetahuan orang tua, rendahnya pengetahuan orang tua/ibu tentang kesehatan lingkungan dan kecacingan berhubungan dengan terjadinya kecacingan pada balita. Oleh karena itu, orangtua khususnya ibu memiliki peran yang besar untuk menjaga kebersihan dan kesehatan anaknya. Berdasarkan penelitian Wang, (2012) di China menunjukkan bahwa pendidikan ibu memegang peranan yang penting dalam menjaga kebersihan dan kesehatan anak baik balita maupun anak usia sekolah untuk

5 terhindar dari kecacingan. Ibu yang berpendidikan rendah berhubungan dengan kejadian kecacingan pada anak. Begitu juga dengan penelitian Ogunkanbi dan Sowemimo (2014) yang melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kecacingan pada anak usia pra sekolah di Nigeria menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan orang tua, sanitasi lingkungan rumah berhubungan dengan kejadian kecacingan di Nigeria. Kecacingan secara langsung tidak membahayakan nyawa, namun dapat membuat kualitas hidup penderitanya menurun karena dapat menurunkan kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderitanya sehingga secara ekonomi dapat menyebabkan kerugian. Penyakit kecacingan menimbulkan dampak yang besar pada masyarakat karena dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi) dan metabolisme makanan. Oleh karena itu, penyakit kecacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah, menghambat perkembangan fisik, mental, kemunduran intelektual pada anak anak dan produktifitas, dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Kemenkes, 2006). Penelitian di Amerika Latin mengemukakan bahwa infeksi cacing tambang pada anak dapat menyebabkan anemia (kekurangan zat besi). Hal ini menyebabkan peningkatan risiko ketidakmampuan belajar, dan anak-anak yang terinfeksi hampir empat kali lebih mungkin pertumbuhannya terhambat (Sorensen et al, 2011). WHO juga berpendapat bahwa anak-anak yang mengalami kecacingan dapat mempengaruhi perkembangan kognitif dan fisik pada anak-anak karena

6 kecacingan mempengaruhi proses malabsorpsi zat gizi mikro, sehingga mengurangi kemampuan untuk makan, selain itu menyebabkan gangguan pada saluran usus dan empedu. Ujungnya semua dampak tersebut memiliki pengaruh besar pada pembangunan sosial dan ekonomi di masyarakat karena kecacingan pada anak akan mengurangi kemampuan untuk belajar serta meningkatkan ketidakhadiran sekolah ketika dewasa(who, 2014). Oleh karena itu WHO menjadikan balita atau anak usia pra sekolah sebagai salah satu sasaran program pengentasan kecacingan di dunia, salah satunya di Indonesia. Selain itu WHO juga merekomendasikan pemberian rutin kemoterapi preventif dengan Albendazole atau Mebendazole sebagai intervensi utama untuk mengendalikan kecacingan pada anak balita atau usia pra sekolah (WHO, 2015) Upaya penanggulangan kecacingan belum menunjukkan hasil yang maksimal, hal tersebut dapat dilihat pada sebagian besar provinsi di Indonesia yang menunjukkan bahwa angka prevalensi kecacingan saat ini masih di atas target nasional yang ingin dicapai pada tahun 2010 yaitu kurang dari 10% (<10%) (Rahayu dan Muttaqien, 2013). Kota Medan termasuk kota yang belum mencapai target nasional untuk kecacingan (<10%), padahal kota ini merupakan ibukota provinsi yang memiliki banyak fasilitas penunjang kesehatan termasuk puskesmas. Salah satu Puskesmas yang masih memiliki kasus tentang kecacingan adalah Puskesmas Bromo. Puskesmas Bromo terletak di kecamatan Medan Denai dan memiliki wilayah kerja di kelurahan Tegal Sari Mandala II yang terdiri dari 15 lingkungan dengan luas wilayah 18 Ha.

7 Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan kepada 30 balita yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Bromo diketahui bahwa sebagian besar memiliki personal hygiene yang sangat buruk dimana sebagian besar balita banyak yang bermain di halaman yang beralaskan tanah dengan tidak menggunakan alas kaki, memiliki kuku yang panjang dan hitam sehingga menjadi faktor resiko untuk terjangkitnya kecacingan. Selain itu hanya sedikit ibu rumah tangga yang mengajarkan anaknya untuk cuci tangan dengan sabun setelah buang air besar. Data yang didapat dari petugas Puskesmas Bromo diketahui bahwa ada masyarakat yang melaporkan ke petugas Posyandu bahwa feces anak balitanya mengeluarkan cacing pada saat buang air besar. Feces yang mengandung cacing merupakan salah satu indikator yang jelas bahwa seseorang mengalami kecacingan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan petugas Puskesmas Bromo diketahui bahwa dari lima belas lingkungan yang ada di wilayah kerja Puskesmas Bromo ada lima lingkungan yang masyarakatnya memiliki binatang ternak seperti babi di rumahnya yaitu lingkungan lima, enam, tujuh, delapan dan empat belas. Kondisi ini diperburuk dengan kebiasaan masyarakat yang tidak mengkandangkan binatang ternaknya sehingga binatang tersebut dapat berada dimana mana. Keadaan ini menyebabkan masyarakat sering kontak dengan binatang ternaknya dan tanah tempat binatang ternaknya berada. Babi merupakan hospes perantara cacing cestoda yaitu spesies Taenia Solium yang dapat menyebabkan penyakit Teaniasis pada manusia. Infeksi cacing Teania Solium dapat berasal dari kebiasaan mengkonsumsi daging babi mentah atau yang dimasak kurang sempurna. Selain itu, infeksi dapat

8 terjadi apabila manusia kontak dengan telur cacing infekstif yang dapat berasal dari kotoran (feces) babi yang telah mengandung telur cacing. Apabila feces maupun makanan babi tidak ditangani dengan baik maka dapat menjadi sumber penularan cacing pita tersebut ditambah lagi kebiasaan masyarakat yang jarang menggunakan alas kaki dan jarang mencuci tangan pakai sabun setelah kontak dengan tanah maupun dengan hewan ternak khususnya balita yang sering bermain dirumahnya. Berdasarkan hal diatas dianggap perlu dianggap perlu untuk melakukan sebuah penelitian untuk mengetahui apakah faktor karakteristik, personal hygiene, dan sanitasi lingkungan rumah berhubungan dengan kejadian kecacingan pada balita khususnya usia 24 59 bulan. 1.2. Perumusan Masalah Kejadian kecacingan di Indonesia masih tinggi dengan prevalensi sekitar 40 60 %. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan kepada 30 anak balita yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Bromo diketahui bahwa sebagian besar memiliki personal hygiene yang sangat buruk dimana sebagian besar anak balita banyak yang bermain di halaman yang beralaskan tanah dengan tidak menggunakan alas kaki, memiliki kuku yang panjang dan hitam dan hanya sedikit ibu yang mengajarkan anaknya untuk cuci tangan dengan sabun setelah buang air besar. Selain itu, dari lima belas lingkungan ada lima lingkungan yang memelihara binatang ternak seperti babi yang tidak dikandangkan dengan baik sehingga berpotensi untuk terjadinya penularan kecacingan. Adanya laporan dari masyarakat kepada petugas posyandu bahwa feces

9 anak balitanya mengeluarkan cacing pada saat buang air besar memperkuat indikasi telah terjadinya kecacingan pada anak balita. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kajian untuk menganalisis pengaruh karakteristik, personal hygiene, dan sanitasi lingkungan rumah terhadap kejadian kecacingan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Bromo kota Medan Tahun 2015. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh karakteristik, personal hygiene, dan sanitasi lingkungan rumah terhadap kejadian kecacingan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Bromo kota Medan Tahun 2015. 1.4. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis penelitian ini antara lain : 1. Ada pengaruh karakteristik ibu terhadap kecacingan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Bromo 2. Ada pengaruh personal hygiene ibu terhadap kecacingan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Bromo 3. Ada pengaruh personal hygiene anak terhadap kecacingan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Bromo 4. Ada pengaruh sanitasi lingkungan rumah terhadap kecacingan pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Bromo

10 1.5. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini antara lain, 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau informasi awal bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan dalam meningkatkan upaya promosi, preventif dan kuratif kejadian kecacingan di wilayah kerjanya. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengembangan konsep dalam manajemen penyakit berbasis wilayah perkotaan