TANIN. IWAN RISNASARI Shut Fakultas Pertanian Jurusan Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,-

Abstrak. Tumbuhan perdu setengah merambat dengan percabangan memanjang. Daun

Korosi merupakan efek yang paling merusak pada logam, oleh karena itu untuk melindungi bagian-bagian logam dari korosi dapat digunakan banyak cara,

SAT. Ekstraksi Daun Gambir Menggunakan Pelarut Metanol-Air Sebagai Inhibitor Korosi. Rozanna Sri Irianty dan Komalasari. 1.

PENGARUH PERBANDINGAN PELARUT ETANOL-AIR TERHADAP KADAR TANIN PADA SOKLETASI DAUN GAMBIR (Uncaria gambir Roxb)

Oleh : Ridwanti Batubara, S.Hut., M.P. NIP DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hasil hutan tidak hanya sekadar kayu tetapi juga menghasilkan buahbuahan

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

Respon Vinir Mahoni Terhadap Perekat TUF Dari Ekstrak Serbuk Gergajian Kayu Merbau (Intsia Sp.)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mulat Sari Widhiasih 13/348224/TK/40835 Francisca Larasati 13/348226/TK/

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENGELOMPOKKAN SIFAT-SIFAT MATERI

I. PENDAHULUAN. Telur merupakan sumber protein hewani yang baik, murah dan mudah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Hasil hutan non kayu sebagai hasil hutan yang berupa produk di luar kayu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. kayu yang harus diketahui dalam penggunaan kayu adalah berat jenis atau

BAB I PENDAHULUAN. Boiler merupakan salah satu unit pendukung yang penting dalam dunia

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ISOLASI BAHAN ALAM. 2. Isolasi Secara Kimia

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. kayu jati sebagai bahan bangunan seperti kuda-kuda dan kusen, perabot rumah

MAKALAH KIMIA ANALITIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

EKSTRAKSI DAUN GAMBIR MENGGUNAKAN PELARUT ETANOL-AIR Oleh: Komalasari, ST.,MT., Ir.Rozanna Sri Irianty, M.Si, Dr. Ahmad Fadli.

II. DESKRIPSI PROSES

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kayu saat ini merupakan komponen yang dibutuhkan dalam kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

EKSTRAK DAUN GAMBIR SEBAGAI INHIBITOR KOROSI Oleh: Dr. Ahmad Fadli, Ir.Rozanna Sri Irianty, M.Si, Komalasari, ST., MT. Abstralc

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan sudah tidak layak jual atau busuk (Sudradjat, 2006).

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

MORFOLOGI DAN POTENSI. Bagian-Bagian Kayu - Kulit kayu - Kambium - Kayu gubal - Kayu teras - Hati - Lingkaran tahun - Jari-jari

MATERIA MEDIKA INDONESIA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

PROSES PRODUKSI INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Industri yang menghasilkan limbah logam berat banyak dijumpai saat ini.

PENGARUH KONSENTRASI INHIBITOR EKSTRAK DAUN GAMBIR DENGAN PELARUT ETANOL-AIR TERHADAP LAJU KOROSI BESI PADA AIR LAUT

TINJAUAN PUSTAKA. nabati yang penting di Indonesia. Kelapa minyak sawit mengandung kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Anonim, 2006). Dengan. Banyak faktor yang membuat potensi hutan menurun, misalnya

V HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi kebutuhan industri perkayuan yang sekarang ini semakin

IV PEMBAHASAN 4.1 Nilai ph dan Kadar Ekstraktif Kayu (Kelarutan Air Panas)

I. PENDAHULUAN. akumulatif dalam sistem biologis (Quek dkk., 1998). Menurut Sutrisno dkk. (1996), konsentrasi Cu 2,5 3,0 ppm dalam badan

IDENTIFIKASI SIFAT EKSTRAK KULIT KAYU MEDANG HITAM (CINNAMOMUM PORRECTUM ROXB.) SEBAGAI BAHAN PENGAWET KAYU

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

BAB I PENDAHULUAN. anorganik dan limbah organik. Limbah anorganik adalah limbah yang berasal

FRAKSINASI BERTINGKAT

KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN GULA, GARAM DAN ASAM. Disiapkan oleh: Siti Aminah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanin sebagai pelindung

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

Proses Pembuatan Madu

MAKALAH PROGRAM PPM PEMUTIHAN SERAT ECENG GONDOK. Oleh: Kun Sri Budiasih, M.Si NIP Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas MIPA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Kayu. Christin Remayanti, ST., MT. & Dr. Eng. Indradi Wijatmiko

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN EKSTRAK ETANOL DAUN BERTONI (Stevia rebaudiana) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan energi semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi

MATERI DAN PERUBAHANNYA. Kimia Kesehatan Kelas X semester 1

LATIHAN SOAL ULANGAN HARIAN

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan,

Warna Alami Kayu. Evalina Herawati. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

ion dari dua zat atau lebih. Pelarut etanol akan melarutkan senyawa polar yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : PUJI ASTUTI A

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK (KI2051)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. penggunaan baik sebagai bahan konstruksi maupun sebagai bahan non-konstruksi.

Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan

UJI IDENTIFIKASI ETANOL DAN METANOL

ALAT PENGERING BERKABUT UNTUK MENGHASILKAN ZAT WARNA ALAMI DARI KULIT KAYU MAHONI, JAMBAL, DAN TINGI GUNA MENGGANTIKAN SEBAGIAN WARNA SINTETIK BATIK

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK KI-2051 PERCOBAAN 7 & 8 ALDEHID DAN KETON : SIFAT DAN REAKSI KIMIA PROTEIN DAN KARBOHIDRAT : SIFAT DAN REAKSI KIMIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BIOETANOL DARI PATI (UBI KAYU/SINGKONG) 3/8/2012

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Biomassa adalah segala material yang berasal dari tumbuhan atau hewan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asam asetat dalam ilmu kimia disebut juga acetid acid atau acidum aceticum,

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

Transkripsi:

TANIN IWAN RISNASARI Shut Fakultas Pertanian Jurusan Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Pemanfaatan kayu yang dipergunakan untuk mencukupi berbagai kebutuhan, mulai dari kayu bakar sampai bahan bangunan makin meningkat. Hal ini disebabkan karena kayu merupakan sumberdaya alam yang mudah diperoleh, bersifat terbarukan (renewable), mudah dalam pengolahannya serta memiliki penampilan yang dekoratif. Disamping sifat-sifat yang menguntungkan kayu juga memiliki kelemahan, yaitu sangat mudah diserang atau dirusak oleh faktor biologis seperti jamur, bakteri, serangga dan cacing laut sehingga dapat menurunkan kekuatan dan masa pakai kayu. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya kecenderungan untuk menggunakan kayu-kayu yang memiliki keawetan alami tinggi (kelas awet I dan II). Akan tetapi jenis kayu yang memiliki kelas awet I dan II sangat sedikit yaitu hanya 15% dari 4000 jenis kayu yang ada di Indonesia, maka ketergantungan pada jenis-jenis kayu ini harus dihilangkan (Martawijaya, 1983 dalam Surjokusumo, 1992). Dilain pihak masih sekitar 85% kayu Indonesia terdiri dari kayu-kayu tak dikenal, jarang digunakan dan memilki kelas awet rendah. Salah satu upaya untuk memanfaatkan kayu yang mempunyai keawetan rendah adalah dengan cara pengawetan. Dengan cara pengawetan, kayu yang mempunyai kelas awet III V dapat dipakai untuk keperluan konstruksi dan memiliki masa pakai yang lebih panjang. Dengan cara pengawetan, kayu akan menjadi lebih tahan terhadap makhluk hidup perusak kayu seperti serangga dan jamur. Secara alami keawetan kayu salah satunya ditentukan oleh peranan zat ekstraktif yang spesifik dari setiap jenis kayu. Sebagai contoh dalam kayu jati (Tectona grandis) terdapat senyawa tektoquinon dan pada kayu ebony (Diospyros virginia) yang diekstrak dengan campuran aseton, heksan dan air mengandung senyawa 7-methyl juglone sebagai anti rayap. Begitu pula ekstrak tanin yang mengandung senyawa polifenol tinggi dapat tahan terhadap serangan rayap dan jamur (Carter et al, 1978). Tanin dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda. Di Indonesia sumber tanin antara lain diperoleh dari jenis bakau-bakauan atau jenis-jenis dari Hutan Tanaman industri seperti akasia (Acacia sp), ekaliptus (Eucalyptus sp), pinus (Pinus sp) dan sebagainya. Tanin adalah polifenol alami yang selama ini banyak digunakan sebagai bahan perekat tipe eksterior, yang terutama terdapat pada bagian kulit kayu. Tanin memiliki sifat antara lain dapat larut dalam air atau alkohol karena tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH, dapat mengikat logam berat, serta adanya zat yang bersifat anti rayap dan jamur (Carter et al, 1978). 2002 digitized by USU digital library 1

Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan ekstrak tanin dalam usaha pengawetan kayu-kayu yang kelas awetnya rendah, disamping juga dalam rangka pemanfaatan limbah kayu berupa kulit kayu yang selama ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal. 2002 digitized by USU digital library 2

II. BAHAN PENGAWET Hunt dan Garrat (1986), menyatakan bahwa bahan pengawet kayu adalah bahan-bahan kimia yang apabila digunakan secara baik terhadap kayu akan membuat kayu tahan terhadap serangan jamur, serangga dan binatang laut. Beberapa persyaratan untuk bahan pengawet yang baik agar usaha pengawetan memberikan hasil yang baik (supriana dan Martawijaya, 1973), adalah sebagai berikut : a. Beracun terahadap makhluk perusak kayu b. Mudah masuk kedalam kayu c. Bersifat permanen, tidak mudah luntur atau menguap d. Tidak berbahaya bagi manusia atau hewan e. Bersifat netral terhadap bahan lain misalnya logam, perekat, cat dan sebagainya f. Tidak merusak kayu baik secara fisik, mekanik maupun kimia dari kayu g. Tidak mempertinggi bahaya kebakaran h. Mudah dikerjakan, diangkut, diperoleh dan bila mungkin harganya murah Keefektifan suatu bahan pengawet sebagian besar tergantung pada daya racunnya atau kemampuan menjadikan kayu itu beracun terhadap organismeorganisme perusak kayu (Hunt dan Garrat, 1986). Keefektifan suatu bahan pengawet juga dipengaruhi oleh kesempurnaan penetrasi dan banyaknya retensi pada kayu perlakuan (Haygreen dan Bowyer, 1989). Garam-garam larut air yang biasa digunakan sebagai bahan pengawet kayu adalah mengandung krom heksavalen seperti dikromat atau krom trioksida. Ion kromat dan dikromat tidak hanya terfiksasi dengan cepat pada kayu tetapi juga membantu fiksasi garam-garam tembaga seperti yang terjadi pada Cu-Cr-Ar (CCA) pada proses pengawetan kayu. Perlakuan impregnasi kayu dengan larutan krom trioksida dapat meningkatkan kestabilan karena bersifat tahan air (water resistance) dan menolak air (water repellency). Ada dua pendapat yang menerangkan pernyataan tersebut yaitu : (1) Selulose dan lignin terpolimerisasi dengan adanya fiksasi krom (2) Valensi heksavalen atau trivalen setelah reduksi pada krom terfiksasi pada kayu (Pizzi, 1981). 2002 digitized by USU digital library 3

III. KEPERMANENAN BAHAN PENGAWET DI DALAM KAYU Salah satu faktor penentu keberhasilan pengawetan kayu adalah kesempurnaan fiksasi unsur aktif dari bahan pengawet tersebut dengan zat kayu, sehingga bahan pengawet yang sudah masuk kedalam kayu tidak mudah tercuci (luntur). Fiksasi terjadi pada waktu kayu yang sudah diawetkan masih dalam keadaan basah, oleh karena itu kayu yang sudah diawetkan tidak boleh segera dikeringkan, tetapi perlu dijaga agar tetap basah selama beberapa waktu tertentu (Padlinurjaji, 1985). Uji kepermanenan suatu bahan pengawet di dalam kayu yaitu dengan melakukan perendaman terhadap kayu yang telah diawetkan di dalam air mengalir atau dalam air yang berulangkali diganti (selang 2 hari dilakukan penggantian air), dalam jangka waktu 14 hari, dan diamati kehilangan berat bahan pengawet. Pengujian kehilangan bahan pengawet karena penguapan, pelarutan atau pencucian juga dilakukan dengan cara siklus pemanasan dan pengeringan, direndam atau disemprot. Pengujian percepatan yang hampir mendekati kondisi-kondisi sebenarnya, dilakukan dengan cara penancapan tongkat-tongkat kecil dari kayu yang sudah diawetkan ke dalam tanah, pada lokasi yang cocok bagi pembusukan atau serangan serangga (atau dalam air laut, bila yang diinginkan itu perlindungan terhadap cacing laut). Akan tetapi hasilnya sangat dipengaruhi oleh iklim setempat, juga kondisi tanah dan air, serta jenis-jenis perusak kayu yang ada (Hunt dan Garrat, 1986). 2002 digitized by USU digital library 4

IV. POTENSI TANIN SEBAGAI BAHAN PENGAWET KAYU Dinding sel kayu disusun oleh tiga unsur utama yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin yang kesemuanya merupakan polimer alami. Selain disusun oleh tiga unsur utama, terdapat pula sejumlah kecil bahan atau unsur yang disebut ekstraktif, yang bisa diperoleh dengan cara eksraksi. Tsoumis (1976) menjelaskan bahwa zat ekstraktif terdiri dari bermacammacam zat yang berbeda dalam struktur komposisi kimianya seperti gum, lemak, damar, gula, pati, minyak, alkaloid dan tanin. Istilah zat ekstraktif ini didasarkan atas dapat/tidaknya diekstraksikan dari dalam kayu dengan menggunakan pelarut netral atau pelarut organik. Tanin adalah senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawaan polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H dan O serta sering membentuk molekul besar dengan berat molekul lebih besar dari 2000. Tanin yang terdapat pada kulit kayu dan kayu dapat berfungsi sebagai penghambat kerusakan akibat serangan serangga dan jamur, karena memilki sifat antiseptik (Hathway, 1962). Menurut Sjostrom (1981) tanin adalah suatu senyawa polifenol dan dari struktur kimianya dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu tanin terhidrolisis (hidrolizable tannin) dan tanin terkondensasi (condensed tannin). Ekstrak dari tanin tidak dapat murni 100%, karena selain terdiri dari tanin ada juga zat non tanin seperti glukosa dan hidrokoloid yang memiliki berat molekul tinggi (Pizzi, 1983). Sumber Tanin Tanin dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda. Menurut Markham (1988), sebagian besar flavonoid yang berasal dari hasil biosintesa (kira-kira 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan) diubah menjadi tanin, sehingga flavonoid tersebut merupakan salah satu fenol alam yang terbesar. Di Indonesia sumber tanin yang paling banyak adalah bakau-bakauan yang tumbuh di hutan mangrove, yang tersebar luas dari Aceh sampai Irian Jaya. Selain jenis bakau, tanin dapat juga ditemukan pada jenis-jenis dari hutan tanaman industri seperti akasia, pinus, ekaliptus dan sebagainya. Sifat-sifat Tanin Tumbuh-tumbuhan Menurut Browning (1966) sifat utama tanin tumbuh-tumbuhan tergantung pada gugusan phenolik-oh yang terkandung dalam tanin, dan sifat tersebut secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: a. Sifat kimia tanin! Tanin memiliki sifat umum, yaitu memiliki gugus phenol dan bersifat koloid. Karena itu di dalam air bersifat koloid dan asam lemah! Semua jenis tanin dapat larut dalam air. Kelarutannya besar, dan akan bertambah besar apabila dilarutkan dalam air panas. Begitu juga tanin 2002 digitized by USU digital library 5

akan larut dalam pelarut organik seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik lainnya! Dengan garam besi memberikan reaksi warna. Reaksi ini digunakan untuk menguji klasifikasi tanin, karena tanin dengan garam besi memberikan warna hijau dan biru kehitaman. Tetapi uji ini kurang baik, karena selain tanin yang dapat memberikan reaksi warna, zat-zat lain juga dapat memberikan warna yang sama! Tanin akan terurai menjadi pyrogallol, pyrocatechol dan phloroglucinol bila dipanaskan sampai suhu 210 0 F-215 0 F (98,89 0 C-101,67 0 C)! Tanin dapat dihidrolisa oleh asam, basa dan enzim! Ikatan kimia yang terjadi antara tanin-protein atau polimer-polimer lainnya terdiri dari ikatan hidrogen, ikatan ionik dan ikatan kovalen b. Sifat fisik tanin! Umumnya tanin mempunyai berat molekul tinggi dan cenderung mudah dioksidasi menjadi suatu polimer, sebagian besar tanin bentuknya amorf dan tidak mempunyai titik leleh! Tanin berwarna putih kekuning-kuningan sampai coklat terang, tergantung dari sumber tanin tersebut! Tanin berbentuk serbuk atau berlapis-lapis seperti kulit kerang, berbau khas dan mempunyai rasa sepat (astrigent)! Warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya langsung atau dibiarkan di udara terbuka! Tanin mempunyai sifat atau daya bakterostatik, fungistatik dan merupakan racun Proses Pemisahan Tanin Tanin dapat diekstrak dengan menggunakan campuran pelarut campuran (bertingkat) atau pelarut tunggal. Ekstraktif biasanya diekstrak dari kayu dan kulit kayu pada jenis-jenis pohon tertentu, utnuk tujuan penelitian dalam menentukan struktur kimia, kualitas dan kuantitas ekstraktif serta kemungkinan pemanfaatannya. Umumnya tanin diekstrak dengan menggunakan pelarut air, karena lebih murah dengan hasil yang relatif cukup tinggi, tetapi tidak menjamin jumlah senyawaan polifenol yang ada dalam bahan tanin tersebut (Hathway, 1962). Browning (1966) menjelaskan bahwa untuk memperoleh ekstrak dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi, maka umumnya digunakan etanol atau aseton dengan perbandingan volume air yang sebanding. Adapun tahapan persiapan dan ekstraksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Tahap persiapan bahan dan pelarut b. Tahap pembuatan serbuk bahan dengan ukuran yang tepat sesuai keperluan ekstraksi c. Tahap ekstraksi d. Tahap pemekatan larutan ekstrak Proses ekstraksi dapat dilakukan secara tunggal atau bertahap sesuai kepentingan dan tujuan ekstraksi yang ingin dicapai. Salah satu proses ekstraksi yang biasa dilakukan adalah dengan menggunakan beberapa unit otoklaf yang terbuat dari stainless stell atau tembaga (karena tanin dapat men gkompleks ion logam berat/ion Fe 3+ ), dimana masing-masing otoklaf secara berkelompok dengan menggunakan aliran counter current. 2002 digitized by USU digital library 6

Penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis dengan menggunakan kulit akasia diperoleh hasil rata-rata kadar ekstrak kulit akasia berdasarkan berat kering oven serbuk adalah 10,44%, dan rata-rata kadar tanin adalah 78,64% (berdasarkan berat ekstrak). Berdasarkan kelas komponen kimia kayu Indonesia kandungan zat ekstraktif kulit akasia termasuk dalam kelas komponen tinggi. Agar terjadi fiksasi yang cukup kuat antara bahan pengawet dengan kayu, maka setelah dilakukan penetrasi bahan pengawet dilanjutkan dengan perlakuan uap formalin. Hal ini terbukti setelah dilakukan uji kepermanenan bahan pengawet di dalam kayu (dengan cara pencucian), pada kayu yang telah diawetkan tanpa perlakuan uap formalin semua bahan pengawet yang ada di dalam kayu keluar, sedangkan kayu yang mendapatkan perlakuan uap formalin tahan terhadap pencucian. Untuk mengetahui efektifitas bahan pengawet, penulis melakukan uji pengumpanan kayu perlakuan tersebut terhadap rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus light). Dipilihnya rayap kayu kering karena dari penelitian-penelitian terdahulu diketahui bahwa rayap tersebut menyerang hampir semua jenis kayu yang tidak diawetkan kecuali beberapa jenis kayu yang memiliki keawetan alami. Dari pengujian tersebut diperoleh hasil bahwa bahan pengawet kayu dengan menggunakan tanin dapat meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap kayu kering. 2002 digitized by USU digital library 7

DAFTAR PUSTAKA Browning, B. L. 1966. Methods of Wood Chemistry. Vol I, II. Interscience Publishers. New York. Carter, F. L., A. M. Carlo and J. B. Stanley. 1978. Termiticidal Components of Wood Extracts : 7-Methyljuglone from Diospyros virginia. Journal Agriculture Food Chemistry. 26(4): 869-873. Hathway, D. E. 1962. The Condensed Tannins. In Wood Extractives (Hillis W. E). Academic Press. New York. Haygreen, J. G and J. L Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Gadjah mada University Press. Yogyakarta. Hunt, G. M dan G. A. Garrat. 1986. Pengawetan Kayu. Akademica Pressindo. Jakarta. Markham, K. R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Terjemahan. Istitut Teknologi Bandung. Bandung. Pizzi, A. 1981. The Chemistry and Kinetic Behaviour of Cu-Cr-As/B Wood Preservatives Part 1. Fixation of Chromium on Wood Holzforschung 35(5), pp: 87-100. Pizzi, A. 1983. Tannin-Based Wood Adhesives. In A. Pizzi. Ed. Wood Adhesives Chemistry and Technology. Marcel Dehler, Inc. New York. Pp: 178-243. Supriana, N dan A. Martawijaya. 1973. Risalah Pengawetan Kayu. No. 35. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Surjokusumo, S. dan N. Nugroho. 1992. Rekayasa Pengawetan Kayu Bangunan untuk Gedung dan Perumahan. Makalah Seminar Asosiasi Pengawetan kayu Indonesia (APKIN), tanggal 14 Desember 1992, di Denpasar. Bali. Tsoumis, G. 1976. Kayu Sebagai bahan Baku. Proyek Penterjemahan Literatur Kehutanan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 2002 digitized by USU digital library 8