BAB I PENDAHULUAN. ada di atas rata-rata anak seusianya. Hal ini membuat anak berbakat membutuhkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pertengahan tahun (Monks, dkk., dalam Desmita, 2008 : 190) kerap

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. Masa usia sekolah dasar merupakan masa akhir kanak-kanak yang. berkisar antara enam tahun sampai dua belas tahun, dimana anak mulai

2016 PROGRAM PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSI SISWA BERBAKAT DI KELAS AKSELERASI SMA X MEDAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Ahmadi (2005) yang menyebutkan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut muncul banyak perubahan baik secara fisik maupun psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

2.3.3 Tujuan Kelas Akselerasi Manfaat Kelas Akselerasi Keunggulan Kelas Akselerasi Kelemahan Kelas Akselerasi...

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menurut Kunandar (2009) merupakan investasi Sumber Daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. dilihat dari beberapa sekolah di beberapa kota di Indonesia, sekolah-sekolah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rahmah Novianti, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berinteraksi. Interaksi tersebut selalu dibutuhkan manusia dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PROGRAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIAL UNTUK REMAJA SISWA SMA KELAS AKSELERASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kesadaran dunia pendidikan di Indonesia untuk memberikan layanan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk. termasuk anak yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rini Restu Handayani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

SANGAT CERDAS, MEMANG BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Syifa Zulfa Hanani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA ANTARA KELAS AKSELERASI DAN KELAS NON AKSELERASI

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia yang unggul baik dalam bidang ilmu pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

1. Sekolah khusus Yaitu semua siswa yang belajar di sekolah ini adalah siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. pribadi atau pun potensi yang dimilikinya. masalah yang cukup besar bagi kemajuan negara ini.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V KARAKTERISTIK INDIVIDU, INTERAKSI SOSIAL TEMAN SEBAYA, KREATIVITAS DAN KOMPETENSI

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

HUBUNGAN ANTARA SELF MONITORING DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 3 PURWOKERTO. Al Khaleda Noor Praseipida

I. PENDAHULUAN. masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan inti dan arah penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau sekolah dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien (Zamroni,

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DAN KEYAKINAN DIRI (SELF-EFFICACY) DENGAN KREATIVITAS PADA SISWA AKSELERASI

BAB I PENDAHULUAN. setiap aspek kehidupan seperti menjadi lebih terbuka menerima teknologi,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENGERTIAN TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN adalah tugas - tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa-masa tertentu sesuai dengan norma-norma masyar

BAB I PENDAHULUAN. mempertajam keterampilan yang dimiliki serta menjalin pertemanan dengan

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang sangat kompleks. Banyak hal yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat meraih hasil belajar yang relatif tinggi (Goleman, 2006).

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau. perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (dalam Kompas, 2011) menyatakan bahwa didapatkan jumlah mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah suatu masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah

PEMANFAATAN MEDIA AUDIO VISUAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. dibandingkan dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. istilah ini dikenal Cerdas Istimewa adalah bentuk alternatif pelayanan pendidikan

HUBUNGAN KONSEP DIRI DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA KELAS AKSELERASI DI SMP NEGERI 2 DAN SMP PL DOMENICO SAVIO SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. anugerah manusia sebagai mahluk sosial, baik secara internal ( sosial untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman selalu memunculkan tantangan-tantangan baru,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis. Gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah Dasar RSBI Kebon Jeruk 11 Pagi merupakan sekolah yang sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki arti tersendiri di dalam hidupnya dan tidak mengalami kesepian.

BAB I PENDAHULUAN hingga (Unicef Indonesia, 2012). Menurut Departemen Sosial

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi (knowledge and technology big bang), tuntutan

Silabus Bimbingan Konseling (01) Sekolah : SMA... Kelas : XI (Sebelas) Mata Pelajaran / Layanan : Bimbingan dan Konseling Semester : 1 ( Ganjil )

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem penyelenggaraan pendidikan dasar, lanjutan, dan menengah

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Pada aplikasi riilnya, pelaksanaan program akselerasi selalu. pilihan, dengan kemampuan intelegensi di atas rata-rata.

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini, di Indonesia pilihan jalur untuk menempuh pendidikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa sekarang masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan. Ketika remaja dihadapkan pada lingkungan baru misalnya lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN GURU KELAS DALAM MENGIDENTIFIKASI MASALAH SISWA SD

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan di Indonesia dirumuskan sebagai satu hak yang diperuntukkan bagi semua warga negara, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Anak berbakat termasuk golongan anak berkebutuhan khusus di mana kemampuan intelektual mereka ada di atas rata-rata anak seusianya. Hal ini membuat anak berbakat membutuhkan sistem pembelajaran khusus sesuai dengan kebutuhannya. Di Indonesia sendiri jumlah anak berbakat khususnya dengan kemampuan intelektual di atas rata-rata makin bertambah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah anak cerdas berbakat hingga tahun 2006 sudah mencapai 1 juta anak (Pertiwi, 2014). Jumlah yang besar ini tentu saja memerlukan perhatian dan layanan pendidikan khusus. Pemerintah melalui UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Bab IV pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus. Disebutkan juga pada pasal 12 ayat (1) yaitu, Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya; serta menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari batas waktu yang ditentukan. Dengan peraturan ini terlihat bahwa kesadaran pemerintah akan pentingnya pembelajaran khusus bagi anak dengan kecerdasan tinggi semakin meningkat. Keberadaan anak berbakat sendiri menjadi bernilai karena potensi inetlektual mereka yang tinggi dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat apabila dikembangkan dengan baik. Adanya usaha untuk memberikan layanan 1

2 pendidikan khusus yang sesuai anak berbakat menjadi penting agar potensi mereka dapat berkembang secara maksimal. Terman (dalam Hoctor, 2013) mengungkapkan bahwa tes intelijensi dan skor IQ adalah merupakan alat utama untuk mengukur dan mendefinisikan keberbakatan. Anak berbakat adalah mereka yang diasosiasikan dengan skor IQ yang tinggi, yaitu skor di atas 130. Renzulli (dalam Semrud-Clikeman, 2007) dalam teorinya Three Dimensional Model juga mengemukakan bahwa anak berbakat memiliki karakteristik khusus yaitu (a) memiliki kemampuan yang tinggi dalam suatu bidang tertentu, (b) tingkat komitmen yang tinggi dan (c) tingkat kreativitas yang tinggi. Kemudian, laporan yang diberikan pada Kongres Amerika yaitu Laporan Marland (The Marland Report) menyatakan bahwa anak dengan kemampuan tinggi memerlukan layanan pendidikan khusus lebih dari apa yang bisa disediakan pihak sekolah pada umumnya. Laporan ini juga memberikan definisi resmi tentang anak berbakat di mana selain kemampuan intelektual, siswa juga menunjukkan pemikiran kreatif, kepemimpinan, kemampuan seni serta kemampuan psikomotor yang baik (Hoctor, 2013). Selain kemampuan intelektual yang tinggi, anak berbakat diasumsikan memiliki kemampuan di atas rata-rata di bidang lain seperti kondisi fisik, kecerdasan emosi dan hubungan interpersonal. Shechtman dan Silektor (2012) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa anak berbakat menunjukkan skor yang lebih tinggi dalam kompetensi sosial yang meliputi empati, konsep diri akademis, serta kestabilan emosi dibandingkan dengan mereka dengan tanpa keberbakatan. Secara umum, anak berbakat juga menunjukkan keunggulan di aspek emosi. Mereka cenderung lebih dewasa, memiliki lebih sedikit persoalan emosi, serta lebih matang secara sosial (Robinson, 2002; Santrock, 2007). Semrud-Clikeman (2007)

3 mengemukakan bahwa anak berbakat memiliki ketrampilan sosial yang bagus dan diterima dengan baik di lingkungan sosialnya. Terdapat berbagai macam model layanan pendidikan untuk anak berbakat, salah satunya adalah program akselerasi yang banyak dipraktekkan di Indonesia. Program ini memberikan pelayanan pendidikan bagi mereka yang memiliki potensi dan bakat intelektual untuk bisa menjalani program pendidikan reguler dalam waktu yang lebih singkat. Secara ideal, masa studi berkurang karena proses penyelenggaraan program ini disesuaikan dengan potensi siswa yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, adanya pemberian rencana pembelajaran yang berbeda, serta pemberian kurikulum khusus yang disesuaikan dengan kemampuan, kesiapan dan motivasi siswa (Colangelo & Assouline, 2009). Karena itulah siswa akselerasi dapat melewati masa sekolah dalam waktu satu tahun lebih cepat dibandingkan kelas reguler. Di Indonesia, program akselerasi diselenggarakan mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) yang ditempuh selama 5 tahun serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ditempuh selama 2 tahun. Penentuan siswa untuk program ini menggunakan acuan tingginya skor IQ dari tes intelijensi serta hasil tes kemampuan akademik oleh pihak sekolah. Program akselerasi menjadi alternatif pendidikan untuk anak berbakat karena kurikulumnya yang kompleks dan padat disesuaikan dengan kemampuan intelektual yang tinggi serta kesiapan dan motivasi siswa dalam belajar (Colangelo dan Assouline, 2009). Program akselerasi di Indonesia banyak diterapkan di tingkat sekolah menengah yaitu SMP dan SMA. Pada tingkat SMA, kebanyakan usia siswa berkisar antara 15-18 tahun dan termasuk dalam masa remaja (13-18 tahun). Pada masa remaja, terdapat perubahan yang signifikan pada aspek biologis, psikologis serta lingkungan sosial yang nantinya akan mempengaruhi pembentukan kepribadian serta konsep diri.

4 Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya (Hoge dan Renzulli, 1993). Pembentukan konsep diri dipengaruhi oleh banyak faktor namun pada masa tersebut, remaja mulai membuat perbandingan antara dirinya dengan orang lain. Anggapan tentang bagaimana penilaian orang lain terhadap diri memainkan peranan penting bagi perkembangan konsep diri seseorang (Sebastian, Burnett dan Blakemore, 2008). Penelitian oleh Sarouphim (2001) mengungkapkan bahwa anak berbakat menunjukkan tingkat konsep diri yang tinggi serta rendahnya simptom depresi. Hal ini karena pada umumnya mereka mendapatkan tanggapan positif tidak hanya dari keluarga dan teman tetapi juga lingkungan sekolah dan masyarakat karena dianggap memiliki kualitas lebih dibandingkan teman sebaya yang tanpa keberbakatan. Tanggapan positif ini akan meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri siswa, sehingga mereka memandang diri mereka sendiri secara positif. Siswa akselerasi diasumsikan memiliki konsep diri yang tinggi karena adanya label anak pintar dan berbakat intelektual dari lingkungan sekitar. Kemampuan intelektual yang tinggi akan membuat mereka mendapatkan prestasi akademis yang baik dan meningkatkan penilaian mereka terhadap diri sendiri (Riaz dan Shahzad, 2010). Program akselerasi memiliki dua aspek yang banyak disorot yaitu aspek akademis dan aspek perkembangan sosial. Colangelo dan Assouline (2009) dalam laporan mengenai program akselerasi mengungkapkan bahwa secara umum akselerasi merupakan program efektif bagi anak berbakat secara akademis. Apabila dilaksanakan dengan baik, proses pembelajaran akan lebih menarik dan memberikan motivasi lebih bagi siswa. Penyusunan kurikulum yang berbeda juga dianggap lebih sesuai dengan tingkat kemampuan intelektual mereka. Alsa (2007) juga mengemukakan bahwa

5 beban tugas belajar dalam program akselerasi dapat menjadi stressor positif (eustress) bagi siswa. Walaupun begitu, terdapat kekhawatiran bahwa adanya program akselerasi menghambat kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan sosialnya (Robinson, 2008). Namun Colangelo dan Assouline (2009) mengemukakan bahwa akselerasi meningkatkan penyesuaian sosial, atau bahkan tidak berdampak sama sekali pada penyesuaian sosial. Asumsi secara teori juga menyebutkan bahwa rata-rata anak berbakat lebih matang secara sosial dibandingkan dengan teman sebayanya seperti pada pola pertemanan, pengetahuan sosial, perilaku dan kepribadiannya (Robinson, 2008). Namun, masih ada kekhawatiran akan dampak program akselerasi terhadap kemampuan sosial serta kualitas interaksi sosial siswa (Kompas, 2009). Secara umum pelaksanaan akselerasi di Indonesia lebih menekankan pada aspek akademis dan dikhawatirkan hal ini akan mengurangi kesempatan siswa mengembangkan kemampuan sosialnya dan mengurangi kesempatan berinteraksi dengan temantemannya. Anak dengan kemampuan lebih tinggi dibandingkan teman sebayanya memiliki resiko untuk mengalami keterasingan sosial, mendapatkan kritik serta tekanan sosial lainnya dari orangtua, teman ataupun pihak sekolah dan lingkungan (Callahan, 2011). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Rosanda (2011) mengemukakan bahwa siswa akselerasi menunjukkan rasa kekeluargaan yang tinggi terhadap teman satu kelas namun jarang bergaul dengan siswa dari kelas lainnya sehingga timbul kesan sombong. Sama seperti pada tahap perkembangan lain, remaja juga memiliki tugas-tugas perkembangan yang perlu dipenuhi. Havighurst (dalam Sarwono, 2002) mengemukakan bahwa remaja memiliki beberapa tugas perkembangan yang harus

6 dipenuhi antara lain menjalin hubungan baik dengan teman sebaya, mencapai peran sosial sesuai dengan jenis kelamin, mencapai kemandirian sosial serta emosional, dan berperilaku sosial yang bertanggungjawab. Untuk mencapai tugas perkembangan tersebut, penting bagi remaja untuk berhubungan tidak hanya dengan teman sebaya namun juga siswa lain angkatan dan orang dewasa di lingkungan sekolah. Interaksi dengan lingkungan sekitar akan membentuk konsep diri seseorang yang mencakup penilaian, perasaan dan pandangan individu terhadap dirinya (Mead, dalam Burns, 1993). Konsep diri ini akan berpengaruh pada bagaimana ia berpikir, bertindak serta berinteraksi dengan orang lain (Calhoun dan Acocella, 1990). Apabila berhasil membentuk konsep diri yang baik maka akan berpengaruh pada bagaimana ia berinteraksi dengan teman sebaya dan proses penyesuaian sosial pun tidak berjalan maksimal dan tugas perkembangannya terpenuhi. Bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri banyak dipengaruhi oleh interaksi serta perbandingan sosial. Anak berbakat yang berada di kelas akselerasi akan berada di lingkungan homogen dan hanya berinteraksi dengan anak berbakat intelektual lainnya. Situasi seperti ini akan beresiko menurunkan harga diri karena dia berada di lingkungan dengan kompetisi yang makin ketat (Robinson, 2002). Di Indonesia sendiri, keadaan menjadi lebih kompleks karena adanya labelling tertentu dari masyarakat terhadap anak berbakat yang mengikuti program akselerasi (Suara Merdeka, 2006). Labelling ini dapat berupa hal yang positif maupun negatif. Selain itu pemberian labelling kepada siswa akselerasi tidak hanya berasal dari masyarakat tetapi juga dari teman sekolah. Terdapat anggapan bahwa anak akselerasi terkesan sombong dan mementingkan pelajaran serta kurang bersosialisasi dengan teman lain.

7 Preliminary study untuk penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai seorang siswa kelas akselerasi dari salah satu SMA yang menghasilkan gambaran seperti apa program akselerasi dan bagaimana efeknya terhadap siswa. Ditinjau dari ruang kelas, kelas akselerasi berada jauh dari kelas reguler di satu angkatan. Hal ini membuat interaksi antara kelas akselerasi dan reguler kurang maksimal. Jam belajar dan jam istirahat antara dua program tersebut sebenarnya sama, dan jam istirahat pun kebanyakan digunakan baik untuk makan maupun kegiatan lain di luar kelas. Walaupun begitu terdapat ada anggapan kurang baik tentang siswa akselerasi seperti mereka kurang membaur dengan kelas reguler, sering pergi bergerombol, serta jarang bermain. Menurut subyek, anggapan tersebut memang ada benarnya. Kelas yang jauh membuat mereka susah berbaur dengan siswa kelas lain. Banyaknya beban tugas, ulangan dan materi yang lebih padat membuat siswa lebih fokus pada akademik dan mengurangi waktu bermain dengan teman, seperti yang ditunjukkan pada pernyataan berikut: Ada sih mba, anggapan kayak gitu. Yang anak aksel jarang main, jarang berkumpul dengan yang lain, dan dianggap gimanaa gitu karena jalannya sering bergerombol. Tapi anggapan tersebut ada benarnya juga sih. Karena fokus pada akademik, jadi susah. Apalagi karena lokasi kelas jauh dibandingkan teman seangkatan ataupun kaka kelas akselerasi. Terus juga karena anak aksel jarang berpartisipasi di even sekolah dan menjadi panitia karena lebih fokus ke pelajaran, Keadaan ini memicu timbulnya labelling negatif pada siswa program akselerasi yaitu anggapan bahwa anak akselerasi terkesan sombong dan mementingkan pelajaran serta kurang bersosialisasi dengan teman lain. Interaksi dengan teman sebaya serta membangun pertemanan menjadi hal yang penting apalagi di usia remaja di mana peran teman sebaya menjadi semakin dominan. Namun walaupun dianugerahi kelebihan dibandingkan anak lain, anak berbakat memiliki kecenderungan untuk mengalami kesulitan dalam pergaulannya, terutama saat situasi tidak mendukung keadaan mereka. Robinson (2002) mengemukakan

8 bahwa anak berbakat membutuhkan tantangan akademik dan teman sebaya yang memiliki kemampuan sepadan dengan dirinya. Terdapat istilah dissynchrony yang digunakan oleh Terassier (dalam Shechtman dan Silektor, 2012) untuk menjelaskan adanya jarak pada perkembangan internal dan sosial anak berbakat dibandingkan dengan teman seusia mereka. Ketidaksesuaian ini dapat beresiko menimbulkan kesulitan dalam aspek sosial, emosional serta penyesuaian diri anak berbakat. Selain itu, kesepian merupakan masalah umum yang dialami anak berbakat bahkan walaupun mereka termasuk populer di sekolah. Mereka cenderung lebih sensitif terhadap situasi dan isyarat sosial. Kemudian, hanya sedikit orang yang memiliki ketertarikan dan kemampuan intelektual yang sama dengan mereka sehingga anak berbakat cenderung sering merasa terasing. Anggapan masyarakat tentang anak berbakat tentu saja positif karena dianggap sebagai anak dengan kemampuan intelektual di atas rata-rata dan berbeda dengan teman sebaya. Label pada anak berbakat dipersepsi positif ataupun negatif tergantung bagaimana individu menyikapinya, namun anggapan ini tidak selalu berdampak positif terutama di lingkungan pertemanan. Label anak pintar serta masyarakat yang secara umum lebih menghargai aspek kognitif akan membentuk konsep diri tertentu pada anak. Ketidakberhasilan dalam membentuk konsep diri yang baik akan mempengaruhi interaksi anak dengan teman sebaya dan proses penyesuaian sosial pun tidak berjalan maksimal. Individu yang membentuk konsep diri negatif akan mengembangkan perasaan terbebani, tidak mampu, rendah diri dan tidak percaya diri walaupun memiliki tingkat intelektual tinggi. Sedangkan anak yang mempersepsi label yang ada secara positif, ia akan berkembang menjadi individu dengan konsep diri positif, percaya diri dan mampu menerima keadaan dirinya (Calhoun dan Acocella, 1990). Hal ini tentu akan

9 berdampak bagi penyesuaian sosial dengan lingkungannya. Namun pemahaman terhadap labelling tertentu serta sikap terhadap hal tersebut dapat berbeda untuk masing-masing individu. Subyek sendiri memparkan pendapatnya yaitu: Tapi ya kalo ada anggapan anak aksel lebih pintar daripada yg lain ya dijadiin motivasi aja sih mba. Apalagi saya percaya kalo Allah mengikuti prasangka hambanya. Kalo saya berpikir positi ya nanti apa yang saya jalani juga positif, gitu sih. Dari pernyataan di atas, subyek berpendapat bahwa anggapan positif terhadap anak akselerasi malah membuat dirinya lebih termotivasi. Walaupun sibuk dengan kegiatan akademis dan rencana belajar siswa akselerasi yang lebih padat, subyek tetap berusaha berbaur dengan teman lainnya melalui kegiatan OSIS ataupun ekstrakulikuler. Ia merasa apabila ia berpikir positif tentang suatu hal maka hal tersebut akan berjalan dengan positif. Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa penyesuaian sosial merupakan salah satu aspek penting pada tugas perkembangan remaja. Salah satu faktor pembentukan penyesuaian sosial yang baik adalah pribadi yang sehat dan konsep diri yang baik dan positif. Dari paparan sebelumnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan akselerasi masih memunculkan kekhawatiran terutama pengaruhnya pada aspek sosial siswa. Siswa dengan keberbakatan memiliki potensi luar biasa yang dapat berkembang maksimal apabila diberikan lingkungan yang mendukung. Program akselerasi sendiri secara teori dapat memaksimalkan potensi anak berbakat dan memberikan dampak positif pada siswa. Namun ulasan yang menggali tentang siswa akselerasi dan aspek psikologisnya pun masih terbatas dan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada tema terkait.

10 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dengan penyesuaian sosial siswa akselerasi. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan gambaran tentang tingkat penyesuaian sosial serta konsep diri siswa akselerasi SMA. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini dapat memberikan gambaran hubungan antara konsep diri dan penyesuaian sosial pada anak yang mengikuti program akselerasi. b. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya studi tentang anak berbakat 2. Manfaat Praktis Penelitian ini menghasilkan gambaran konsep diri siswa akselerasi hubungannya dengan penyesuaian sosial. Hasil tersebut dapat digunakan sebagai dasar perlakuan sekolah serta orangtua bagi siswa akselerasi agar perkembangan sosialnya berjalan dengan maksimal.