II. TINJAUAN PUSTAKA. baik untuk komonitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang-surut. masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara (Kusmana et al., 2003).

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJAUAN PUSTAKA. pendapat mengenai asal-usul katanya. Macnae (1968) menyebutkan kata mangrove

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

TINJAUAN PUSTAKA. pada daerah landai di muara sungai dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

1. Pengantar A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

Hasil dan Pembahasan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa portugis mangue dan bahasa inggris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosschen (hutan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

PT. SANJI WANATIRTA INDONESIA. Jalan Anggrek No. 09, Sambilegi Baru, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta Telp: Fax:

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. membiarkan radiasi surya menembus dan memanasi bumi, menghambat

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer.

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi - manggi,

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komonitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang-surut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan komonitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut. Tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa melayu), hutan bakau adalah nama lain dari hutan mangrove yang sering disebut oleh masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara (Kusmana et al., 2003). Hutan mangrove dapat diartikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang pada saat air pasang dan tidak tergenang pada saat air surut seperti laguna dan muara sungai dimana tumbuhannya memiliki toleransi yang tinggi terhadap kadar garam (Kusmana et al., 2003). Mangrove merupakan suatu tempat yang bergerak akibat adanya pembentukan tanah lumpur dan daratan secara terus-menerus sehingga secara perlahan berubah menjadi semi daratan. Berbagai pengertian mangrove yang berbeda-beda sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu formasi hutan daerah tropika dan subtropika yang terdapat di pantai rendah dan tenang, berlumpur serta mendapat pengaruh pasang surut air laut. Hutan mangrove juga merupakan mata rantai penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi suatu perairan (Arief, 2003).

Arief (2003) menunjukkan keterkaitan hutan mangrove dalam pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan terhadap manusia maka fungsi dan manfaat hutan mangrove dibedakan menjadi lima yaitu fungsi kimia, fungsi biologi, fungsi ekonomi, fungsi fisik dan fungsi wisata. Fungsi kimia kawasan mangrove adalah sebagai berikut : a. Sebagai penghasil oksigen karena merupakan tempat terjadinya proses daur ulang b. Sebagai penetralisir limbah dan bahan-bahan berbahaya dari pabrikpabrik maupun kapal-kapal di lautan. c. Sebagai penyerap karbondioksida melalui proses fotosintesis. Fungsi biologi kawasan mangrove adalah sebagai berikut : a. Sebagai sumber bahan makanan bagi invertebrata kecil melalui proses pelapukan dan kemudian invertebrata kecil tersebut sebagai makanan bagi hewan-hewan yang lebih besar. b. Sebagai tempat memijah atau asuhan bagi udang, ikan, kepiting maupun kerang, dimana hewan-hewan tersebut akan kembali ke lepas pantai pada saat dewasa. c. Sebagai habitat alami berbagai jenis biota. d. Sebagai sumber plasma nutfah. e. Sebagai tempat berlindung serta berkembang biak burung dan satwa lain. Arief (2003) menambahkan, secara ekonomi hutan mangrove merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat sekitar, industri maupun negara. Adapun fungsi ekonomi kawasan mangrove adalah sebagai berikut :

a. Sebagai penghasil kayu, misalnya kayu bahan bangunan, bahan perkakas rumah tangga, arang serta kayu bakar. b. Sebagai penghasil bahan baku industri, misalnya bahan obat-obatan, pewarna, kosmetik. c. Sebagai penghasil bibit, misalnya ikan, udang, kepiting dan kerang Fungsi wisata kawasan mangrove adalah sebagai berikut : a. Sebagai tempat penelitian. b. Sebagai tempat konservasi dan pendidikan. c. Sebagai tempat kunjungan wisata atau sebagai kawasan wisata. Fungsi fisik kawasan mangrove adalah sebagai berikut : a. Sebagai pelindung garis pantai agar tetap stabil. b. Sebagai penahan sedimen. c. Mencegah terjadinya abrasi pantai, erosi serta menahan hembusan angin kencang dari laut ke darat. 2.2. Vegetasi Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia : a. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.

b. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. c. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. d. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Mangrove diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok mayor, minor dan kelompok asosiasi mangrove. Pengertian masing-masing kelompok tersebut adalah sebagai berikut : a. Kelompok mayor (vegetasi dominan) merupakan komponen yang memperlihatkan karakter morfologi, seperti mangrove yang memiliki sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologi khusus untuk mengeluarkan garam agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Komponennya penyusunnya berbeda taksonomi dengan tumbuhan daratan, hanya terjadi di hutan mangrove serta membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluar sampai ke dalam komunitas daratan. Di Indonesia, mangrove yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah R. apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba, A.marina, A. officinalis, B. gymnorhiza, B. cylinrica, B. parvifolia, B. sexangula, Ceriops tagal, Kandelia candel, X. granatum,dan X. moluccensis. b. Kelompok minor (vegetasi marjinal) merupakan komponen yang tidak termasuk elemen yang menyolok dari tumbuh-tumbuhan yang mungkin terdapat di sekeliling habitatnya dan yang jarang berbentuk tegakan murni. Jenis-jenis ini biasanya bersekutu dengan mangrove yang tumbuh

pada pinggiran yang mengarah ke darat dan terdapat secara musiman pada pada rawa air tawar, pantai, daratan landai, dan lokasi-lokasi mangrove lain yang merjinal. Walaupun jenis ini ada di mangrove, tetapi jenis-jenis ini tidak terbatas pada zona litoral. Jenis-jenis ini yang penting di Indonesia adalah B. cylindrica, Lumnitzera racemosa, X. moluccensis, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Ficus retusa, F. microcorpa, Pandanus spp., Calamus erinaceus, Glochidion littorale, Scolopia macrophylla, dan Oncosperma tigillaria. c. Asosiasi mengrove merupakan komponen yang ditemukan spesies yang tumbuh di dalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan darat. Di Indonesia, mangrove yang termasuk dalam kelompok ini adalah tapak kuda (Ipomea pes caprae), jeruju (Acanthus illicifolius), nipah (Nypa fructicans), dan gelang laut (Sesuvium portulacastrum L.) (Kustanti, 2011) Berdasarkan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Guideline 2006, sumber emisi berbasis lahan dibagi menjadi 6 kategori yaitu: (1) Lahan Hutan, (2) Padang Rumput, (3) Lahan pertanian, (4) Lahan basah, (5) Permukiman, dan (6) Lahan lain. Setiap kategori tersebut memiliki potensi GRK masing-masing tergantung dari kegiatan yang terjadi pada masing-masing penggunaan lahan. Kategori lahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Lahan Hutan (Forest Land) Kategori ini termasuk seluruh lahan dengan vegetasi berkayu yang konsisten dengan batasan hutan dalam kategori inventarisasi GRK. Juga

termasuk sistem vegetasi yang belum termasuk dalam kategori hutan akan tetapi berpotensi untuk menjadi hutan. 2. Lahan pertanian (Crop Land) Kategori ini termasuk lahan pertanian, yaitu sawah, sistem agro-forestry yang tidak termasuk dalam kategori lahan hutan. 3. Padang Rumput (Grass Land) Kategori ini termasuk padang rumput yang bukan sebagai lahan pertanian. Juga termasuk vegetasi berkayu, dan bukan rumput lainnya seperti belukar dan semak yang tidak termasuk kategori lahan hutan. Kategori ini termasuk seluruh padang rumput pada lahan di areal rekreasi, pertanian dan konisten dengan defisini nasional. 4. Lahan basah (Wet Land) Kategori ini termasuk areal gambut yang diekstraksi dan lahan yang digenangi air seluruhnya atau sebagian sepanjang tahun (misalnya lahan gambut) dan bukan termasuk sebagai kategori Lahan Hutan, Lahan Pertanian, Padang Rumput atau Pemukiman. Termasuk waduk sebagai bagian dari sungai serta danau. 5. Pemukiman (Settlement) Kategori ini termasuk seluruh lahan yang dibangun seperti infrastruktur untuk transportasi, serta pemukiman, kecuali sudah masuk dalam kategori lain. Hal ini harus konsisten dengan definisi nasional.

6. Lahan Lainnya (Other Land) Kategori ini termasuk lahan terbuka, berbatu, es, dan lahan lainnya yang tidak masuk dalam lima kategori lainnya. Hal ini memungkinkan total areal secara nasional teridentifikasi jika data tidak tersedia. Jika data tersedia, suatu negara disarankan untuk mengklasifikasikannya sebagai lahan tidak terkelola (unmanaged lands) seperti kategori lahan di atas (misalnya lahan yang tidak terkelola sebagai Lahan Hutan Padang Rumput, dan Lahan Basah). Hal ini akan meningkatkan tranparansi dan kemampuan untuk melacak konversi dari lahan yang terkelola menjadi kategori tertentu di atas. 2.3. Biomassa Biomassa juga didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas (Brown, 1997). Biomassa hutan sangat relevan dengan isu perubahan iklim. Biomasa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon. Dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% diantaranya tersimpan dalam vegetasi hutan. Sebagai konsekuensi, jika terjadi kerusakan hutan, kebakaran, pembalakan dan sebagainya akan menambah jumlah karbon di atmosfer. Dinamika karbon di alam dapat dijelaskan secara sederhana dengan siklus karbon. Siklus karbon adalah siklus biogeokimia yang mencakup pertukaran/perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer

dan atmosfer bumi. Siklus karbon sesungguhnya merupakan suatu proses yang rumit dan setiap proses saling mempengaruhi proses lainnya (Sutaryo, 2009). Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau Carbon dioksida (CO 2 ), Metana (CH) dan nitrous oksida (NO) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem (Hairiah et al., 2011). Penghitungan biomassa merupakan salah satu langkah penting yang harus diketahui dan dilakukan dalam sebuah kegiatan atau proyek mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan. Hanya kegiatan yang bertipe substitusi pkarbon tidak memerlukan penghitungan biomassa. Jenis-jenis kegiatan lainnya seperti pencegahan deforestasi, pengelolaan hutan tanaman dan agroforestry memerlukan penghitungan biomassa (Sutaryo, 2009). Pengukuran biomasa pohon dapat dilakukan dengan menaksir volume pohon (tanpa melakukan perusakan). Volume pohon dapat ditaksir dari ukuran diameter batangnya, yang diukur setinggi dada (DBH) atau 1,3 m dari permukaan tanah. Jika diperlukan maka tinggi pohon juga dapat diukur untuk mempertinggi akurasi estimasi volume pohonnya. (Hairiah et al., 2011). Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya

pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga Negara penghasil emisi CO 2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO 2 di dunia (Noor et al., 2006). Hairiah dan Rahayu (2007) melaporkan, tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO2 ke udara lewat respirasi dan pelapukan (dekomposisi) seresah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO 2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO 2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO 2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO 2 ke udara serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada lahan-lahan pertanian dan

melindungi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi jumlah CO 2 yang berlebihan di udara. Jumlah C tersimpan dalam setiap penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai cadangan C. Hutan mangrove terdapat di sepanjang garis pantai di kawasan tropis, dan menjadi pendukung berbagai jasa ekosistem, termasuk produksi perikanan dan siklus unsur hara. Namun luas hutan mangrove telah mengalami penurunan sampai 30 50% dalam setengah abad terakhir ini karena pembangunan daerah pesisir, perluasan pembangunan tambak dan penebangan yang berlebihan (Departemen Kehutanan, 2009). Suatu lahan mangrove dapat dikategorikan sebagai lahan kritis, apabila lahan tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi, baik sebagai fungsi produksi, fungsi perlindungan maupun fungsi pelestarian alam. Berdasarkan hasil-hasil kajian sebelumnya, kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh faktor biofisik lingkungan dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. (Departemen Kehutanan, 2009). Dalam sistem pengelolaan hutan modern, inventore hutan tidak hanya berkepentingan dengan hutan dan kawasannya saja. Masalah-masalah di luar hutan dan kawasan hutan mempunyai arti yang tidak kalah pentingnya sehingga juga harus dikumpulkan secara cermat dengan persiapan yang memadai. Tergantung pada tujuan inventore hutan, maka kecermatan pencatatan masing-masing informasi tersebut akan berbeda-beda. Untuk informasi yang dianggap penting tentu saja diperlakukan data yang lebih akurat dibandingkan dengan informasi lain yang mempunyai kedudukan

kurang penting dalam inventore hutan. Jadi tingkat kecermatan informasi yang dicatat dalam inventore hutan ditentukan oleh tujuan inventore hutan yang diinginkan (Simon, 2007). Deforestasi dan perubahan tata guna lahan saat ini menyebabkan emisi karbondioksida (CO 2 ) sekitar 8 20% yang bersumber dari kegiatan manusia di tingkat global menempati posisi kedua setelah pembakaran bahan bakar fosil. Sebuah kesepakatan internasional mengenai iklim baru-baru ini menekankan pentingnya Reduced Emissions from Deforestation and Degradation (REDD+) sebagai kunci dan pilihan yang berbiaya relatif rendah untuk mitigasi perubahan Iklim ; strategi ini bertujuan untuk menjaga simpanan karbon (C) di darat melalui insentif finansial untuk melindungi hutan (misalnya, kredit karbon). REDD+ dan beberapa program serupa menuntut adanya pemantauan yang ketat atas simpanan dan emisi C yang menggarisbawahi pentingnya estimasi simpanan C secara tepat untuk berbagai tipe hutan, khususnya tipe-tipe yang memiliki cadangan C yang tinggi dan yang mengalami perubahan tata guna lahan yang tak terkendali (Donato et al., 2011). Sampai tahun 2009, luas kawasan konservasi di Indonesia mencapai 22.811.070 ha, yang merupakan peningkatan dari penunjukan kawasan konservasi pada tahun 1996 yang hanya 9,67 juta Ha, yang 6,65 juta ha ditetapkan sebagai Taman Nasional dan Taman Hutan Raya. Penetapan kawasan lindung dan kawasan konservasi tidak secara langsung menghasilkan keuntungan berupa kayu, akan tetapi hal ini akan mengkonservasi karbon di

hutan, mempertahankan biodiversity dan bermanfaat dalam mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir. Upaya peningkatan jumlah kawasan konservasi juga perlu didukung oleh upaya pengamanan hutan sehingga tidak terjadi gangguan hutan seperti kebakaran, pembalakan liar, perambahan dan sebagainya (Kementerian Kehutanan, 2011). Berdasarkan hasil-hasil kajian sebelumnya, kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh faktor biofisik lingkungan dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Untuk mengetahui faktor biofisik lingkungan yang berpengaruh terhadap terjadinya kerusakan hutan mangrove, perlu dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer dapat diperoleh dari survey langsung di lapangan atau dari data GIS (Geographic Information System) dan teknologi inderaja (penginderaan jauh, seperti citra satelit). Sedangkan data sekunder dapat diperoleh dari penelusuran terhadap data/dokumen penunjang yang berasal dari hasil kajian atau penelitian sebelumnya (Departemen Kehutanan, 2009). Berdasarkan cara pengumpulan data, penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Penilaian dengan menggunakan teknologi GIS (geographic information system) dan inderaja (citra satelit), dan 2. Penilaian secara langsung di lapangan (teristris). Cara penilaian pertama dapat dilakukan apabila tersedia data GIS dan inderaja dari kawasan mangrove yang akan diinventarisasi. Cara ini cukup efektif diterapkan apabila kawasan mangrove yang akan diinventarisasi

tersebut cukup luas. Sedangkan cara teristris dilakukan untuk areal yang tidak terlalu luas dan apabila tidak tersedia data citra satelit. Selain itu, cara kedua ini dapat diterapkan untuk melakukan pengecekan lapangan dari hasil interpretasi dan analisis citra satelit (pada cara pertama). Secara skematis, hubungan kedua cara penilaian tersebut dapat dijelaskan seperti terlihat pada Gambar 2. Kawasan Hutan Lindung Mangrove Apakah data inderaja (citra satelit) tersedia? Tidak Penentuan tingkat kekritisan mangrove secara teristris Penentuan tingkat kekritisan mangrove dengan teknologi inderaja Pengecekan Lapangan Peta tingkat Kekritisan Lahan mangrove Gambar 2. Cara penilaian tingkat kekritisan lahan mangrove