14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan Keadaan hewan pada awal penelitian dalam keadaan sehat. Sapi yang dimiliki oleh rumah potong hewan berasal dari feedlot milik sendiri yang sistem pemeriksaan kesehatannya terpantau secara berkelanjutan. Sapi yang diterima harus memenuhi standar kriteria yang ditetapkan PT. Elders Indonesia. Peternakan dapat memastikan seluruh hewan yang dikirim adalah hewan yang sehat dan mendapatkan pakan baik yang mengandung konsentrat dan protein yang tinggi. Hal yang sama diungkapkan oleh Lestari et al. (2005) bahwa hewan yang mendapatkan pakan dengan komposisi protein yang cukup akan menghasilkan bobot karkas yang tinggi. Sebelum sapi dipotong dilakukan pemeriksaan antemortem terlebih dahulu oleh petugas medis yang dimiliki pihak rumah potong hewan PT. Elders Indonesia. Sapi yang telah diperiksa harus diistirahatkan terlebih dahulu agar mengurangi keadaan stres. Istirahat yang diberikan pada sapi yang akan dipotong sekitar 6-12 jam. Menurut Soeparno (2005) hewan harus diistirahatkan selama 12-18 jam sebelum dipotong, sapi harus dipuasakan agar memperoleh bobot tubuh kosong (karkas optimal), sehingga pengukuran yang dilakukan tepat. Sapi yang sudah mendapatkan prosedur yang tepat harus dibersihkan terlebih dahulu agar mengurangi rasa stres setelah itu dimasukan ke dalam ruang potong. Tindakan ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat mengenai hewan yang meliputi jumlah karkas, jeroan, dan lainnya. Tindakan kedua adalah postmortem (pemeriksaan setelah pemotongan) yaitu pemeriksaan karkas dan alat-alat dalam (viscera), serta produk akhir. Pemeriksaan postmortem yang dilakukan antara lain adalah pemeriksaan karkas, pertama dari kelenjar limfe, pemeriksaan kepala pada bagian mulut, lidah, bibir, dan otot masseter, dan pemeriksaan paru-paru, jantung, ginjal, hati serta limpa. Jika terdapat kondisi abnormal pada karkas, organ internal atau bagian-bagian karkas lainnya, maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
15 Proporsi Karkas dari Hidup Parakkasi (1999) menyatakan bahwa konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena mengetahui tingkat konsumsi pakan. Pertumbuhan dapat diukur dengan menghitung selisih bobot awal dengan bobot akhir setelah proses pemeliharaan lalu dibagi dengan lama pemeliharaan (Soeparno 2005). potong adalah bobot tubuh hewan sesaat sebelum dipotong (Sugana dan Duldjaman 1983). Meiaro (2008) mengemukakan bahwa bobot potong akan memiliki korelasi positif dengan tubuh kosong (bobot karkas optimal). Peningkatan bobot potong akibat dari pertumbuhan hewan. tubuh kosong adalah bobot potong setelah dikurangi dengan bobot isi saluran pencernaan dan empedu. karkas adalah bobot bagian tubuh yang tertinggal setelah darah, kepala, kaki, kulit, saluran pencernaan, usus, kantong urine, jantung, trakea, paru-paru, ginjal, limpa, hati, dan jaringan lemak (yang melekat pada bagian tubuh tersebut) diambil (Lawrie 2003). Data hasil pembelahan karkas sapi Brahman Cross disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil pembelahan sapi Brahman Cross pada berbagai bobot hidup Parameter (rataan) Sapi I II III (rataan) (rataan) hidup 497.00-527.50-582.00 - karkas paruh 1 132.00 26.56 140.75 26.68 153.75 26.42 karkas paruh 2 132.50 26.66 146.00 27.68 153.75 26.42 total karkas 264.50 53.22 286.75 54.36 307.50 52.84 Data pada Tabel 1 menunjukkan semakin tinggi bobot potong maka akan semakin tinggi juga bobot karkas yang dihasilkan. Jumlah dan mutu pakan yang baik tidak dapat merubah tubuh hewan yang secara genetis bertubuh kecil, tetapi pemberian pakan dalam jumlah yang rendah tidak akan mampu memberikan pertambahan bobot hidup dan pertumbuhan karkas secara optimal sesuai dengan potensi genetik yang ada pada masing-masing hewan. Kecepatan tumbuh, persentase karkas yang tinggi hanya mungkin dapat terealisasi apabila hewan tersebut dapat memperoleh pakan yang cukup (Padang dan Irmawati 2007).
16 Karkas dari Hidup Data pada Tabel 1 menunjukkan bobot karkas tertinggi ditunjukkan pada kelas III sebesar 153.75 kg, dan bobot terkecil ditunjukkan pada kelas I. karkas kelas II berada diantara bobot kelas I dan kelas III. Penelitian ini memberikan hasil bahwa hewan yang memiliki bobot hidup besar akan memiliki bobot karkas yang besar juga. sapi kelas III memiliki bobot paling besar dikarenakan bobot hidup yang dimiliki oleh hewan kelas III juga besar. hewan kelas I memiliki bobot paling kecil dikarenakan bobot hidup hewan kelas I juga merupakan bobot paling kecil diantara kelas II dan kelas III. Penelitian ini memberikan hasil bahwa semakin besar bobot hidup hewan akan menghasilkan bobot potong dalam bentuk karkas yang besar juga. Pola pertumbuhan tergantung dari sistem manajemen (pengelolaan) yang dipakai, tingkat nutrisi pakan yang tersedia, kesehatan dan iklim, dan potensi pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor bangsa, heterosis (Hybrid Vigour), pakan dan jenis kelamin (Hasnudi 2005). Konsumsi protein dan energi yang tinggi akan menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih cepat (Soeparno 2005). Pemberian ransum yang berkualitas tinggi dalam jumlah yang cukup akan meningkatkan pertambahan bobot hidup sehingga menghasilkan bobot potong yang tinggi sehingga bobot karkas yang dihasilkan juga tinggi (Lestari et al. 2005). Karkas sebagai satuan produksi dinyatakan dalam bobot dan persentase karkas. Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong dikalikan 100. Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi bobot, dan komposisi kimia karkas (Soeparno 2005). Faktor kimia dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu faktor fisiologis dan nutrisi. Umur, bobot hidup, dan kadar laju pertumbuhan juga dapat mempengaruhi komposisi karkas. daging karkas yang semakin meningkat disebabkan oleh konsumsi protein pakan yang juga semakin meningkat (Lestari et al. 2005). Konsumsi protein yang tinggi mengakibatkan deposisi protein juga semakin tinggi. Deposit protein dalam tubuh menentukan produksi dan pertumbuhan hewan, yaitu semakin tinggi deposisi protein maka produksi dan pertumbuhan hewan juga semakin baik. Bertambahnya umur hewan sejalan dengan pertambahan bobot hidupnya, maka
17 bobot karkas akan bertambah. Data persentase bobot karkas tiap kelas sapi Brahman Cross disajikan pada Gambar 1. 54.50 54.00 53.50 53.00 52.50 52.00 Kelas I Kelas II Kelas III Persentase karkas 53.22 54.36 52.84 Gambar 1 Persentase bobot karkas pada kelas sapi Brahman Cross. Persentase bobot karkas tertinggi yang diperoleh dari penelitian ini adalah kelas II sebesar 54.36, sedangkan persentase terkecil pada kelas III sebesar 52.84, dan kelas I memiliki persentase sebesar 53.22. Persentase terbesar tidak dihasilkan dari bobot hewan yang terbesar dari ketiga kelas ini. Persentase terkecil diperoleh dari kelas hewan yang berbobot hidup paling kecil. Menurut Ngadiyono (1995), bobot karkas sapi Brahman Cross optimal dengan persentase sebesar 54 dari berat hidup. Proporsi tulang, otot dan lemak merupakan variabel yang saling berpengaruh. Komposisi kimia karkas yang terutama air, protein, lemak dan abu secara proporsional. Bila proporsi salah satu variabel berubah, maka variabel lainnya akan mengalami perubahan juga. Dalam penelitian ini, hewan kelas III memiliki persentase karkas lebih kecil dari kelas II karena memiliki persentase lemak yang tinggi. Semakin tinggi kandungan lemak dalam tubuh hewan, maka jumlah karkas dalam persentase akan menurun. Penelitian ini memberikan hasil bahwa hewan yang besar belum tentu memiliki perbandingan karkas terhadap bobot tubuh yang besar juga. Karkas merupakan bagian terpenting dari hewan potong dan mendapat perhatian khusus karena produksi daging dan nilai ekonomis hewan ditentukan oleh komposisi dan produksi karkasnya (Purbowati et al. 2005). Penggunaan pakan yang dapat menghasilkan bobot karkas yang tinggi diharapkan dapat diaplikasikan pada proses feedlot agar dapat memproduksi daging secara optimal.
18 Proporsi Non Karkas dari Hidup Hasil potong hewan hidup dibagi menjadi dua yaitu karkas dan non karkas. Hasil potong non karkas terdiri dari kepala, lidah, kaki, kulit, ekor dan lemak. Data hasil potong non karkas sapi Brahman Cross disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil potong non karkas sapi Brahman Cross pada berbagai bobot hidup Parameter Sapi Kelas I Kelas II Kelas III hidup 497.00-527.50-582.00 - Kepala 16.91 3.40 17.38 3.29 18.48 3.18 Lidah 1.28 0.26 1.20 0.23 1.24 0.21 Kaki 8.09 1.63 9.97 1.89 10.12 1.74 Kulit basah 37.92 7.63 48.07 9.11 46.66 8.02 Ekor 1.33 0.27 1.75 0.33 1.80 0.31 Lemak (perut, jagal, leher) 22.26 4.48 23.63 4.48 28.87 4.96 total non karkas 87.79 17.67 102.00 19.33 107.17 18.42 Data pada Tabel 2 menunjukkan bobot kepala merupakan salah satu organ yang memiliki bobot besar. kepala diantara ketiga kelas menunjukkan kenaikan menurut tingkatan bobot hidup. kepala tertinggi sebesar 18.48 kg pada kelas III, sedangkan persentase tertinggi sebesar 3.40 pada kelas I. tertinggi lidah sebesar 1.28 kg pada kelas I, dan persentase tertinggi sebesar 0.26 pada kelas I. dan persentase organ lidah tidak menunjukkan perubahan yang positif sesuai dengan pertambahan bobot hidup. kaki terbesar 10,12 kg pada kelas III, sedangkan persentase tertinggi kaki sebesar 1.89 pada kelas II. kulit tertinggi sebesar 48.07 kg pada kelas II dan persentase tertinggi sebesar 9.11 pada kelas II. ekor tertinggi sebesar 1.80 kg pada kelas III, sedangkan persentase tertinggi sebesar 0,33 pada kelas II. Persentase total non karkas tertinggi sebesar 107.17 kg pada kelas III, sedangkan persentase tertinggi sebesar 19.33 pada kelas II. Lemak merupakan salah satu sumber energi yang member kalori paling tinggi. Lemak mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda, pertumbuhan lemak
19 sangat lambat, tetapi pada saat fase penggemukan, pertumbuhannya meningkat dengan cepat (Berg dan Butterfield 1976). Energi dari sebagian besar lemak didalam tubuh hewan tersimpan didalam depot lemak, termasuk depot lemak yang disebut intramuskuler. Depot lemak intramuskular berbeda diantara spesies, umur hewan dan diantara otot. Pada umumnya, penurunan aktivitas otot akan meningkatkan deposisi lemak didalam jaringan otot. lemak tertinggi ditunjukkan pada hewan kelas III dengan nilai 28.87 kg, sedangkan bobot lemak terkecil pada kelas I dengan nilai 22.26 kg, dan bobot lemak kelas II adalah 23.63 kg. Hal yang menarik dalam penelitian ini adalah nilai lemak berbanding lurus dengan bobot hidup. Semakin besar bobot hidup hewan akan memiliki jumlah lemak yang besar juga, karena dengan meningkatnya bobot hidup terlihat peningkatan juga pada nilai bobot lemak. Deposisi lemak pada sapi merupakan fungsi linier dari waktu dan umur, misalnya kadar laju deposisi lemak bisa konstan (Koch et al. 1979). Data Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin besar tubuh hewan akan memiliki lemak yang besar. Pengukuran ketebalan lemak subkutan untuk kualitas hasil berdasarkan United States Departement of Agriculture (USDA), yaitu diukur secara subjektif antara rusuk 12 dan 13 pada permukaan area otot longissimus dorsi (LD), pada posisi pemisahan seperempat depan dan seperempat belakang dari karkas. Pengukurannya dilakukan tegak lurus permukaan lemak, diposisi tiga per empat bagian sumbu panjang otot LD (Swatland 1984). Indikator ketebalan lemak punggung berperan penting sebagai indikator produktivitas karkas, karena memberikan hasil pendugaan yang akurat. Ketebalan lemak punggung, selain digunakan untuk mengestimasi bobot lean dan bobot lemak, juga dapat digunakan untuk estimasi persentase lean dan persentase lemak (Priyanto 1993). Data mengenai persentase bobot lemak sapi Brahman Cross disajikan pada Gambar 2.
20 5.00 4.90 4.80 4.70 4.60 4.50 4.40 4.30 4.20 Kelas I Kelas II Kelas III Persentase bobot lemak 4.48 4.48 4.96 Gambar 2 Persentase bobot lemak pada tiap sapi Brahman Cross. Persentase lemak tertinggi ditunjukkan pada kelas III dengan nilai 4.96, sedangkan persentase lemak terendah pada kelas hewan dua dengan nilai 4.48, dan persentase terendah pada kelas I dengan nilai 4.48. Semakin besar bobot tubuh maka akan menghasilkan persentase yang besar pula. Menurut Seebeck dan Tulloh (1968), dengan adanya kenaikan bobot karkas, maka proporsi otot, tulang, fascia dan tendo menurun sedangkan proporsi lemak meningkat. Meningkatnya jumlah lemak yang ada pada hewan menunjukkan deposit lemak. Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, kondisi hewan, bangsa, proporsi bagian-bagian non karkas, pakan, umur, jenis kelamin, dan pengebirian (Devendra 1983). Perubahan bobot karkas disebabkan oleh perubahan komposisi karkas yang terdiri dari otot, lemak, dan tulang. Karkas hewan akan berubah komposisinya sesuai dengan genetik, kandungan nutrisi pakan, dan pengaruh lingkungan (Aberle et al. 2001). Ransum yang mengandung energi tinggi cenderung meningkatkan komposisi lemak pada karkas dibandingkan dengan ransum yang berenergi rendah. Pembatasan konsumsi energi akan menurunkan perlemakan, walau pertumbuhan tulang dan jaringan urat daging mungkin masih dapat berlangsung (Parakkasi 1999). Hal ini juga berlaku pada hewan domba, babi, dan ayam. Hewan yang diberi pakan berenergi tinggi mengandung lemak lebih banyak daripada yang diberi pakan berenergi rendah (Soeparno 2005). Proporsi Jeroan dari Hidup Jeroan dibedakan menjadi dua bagian yaitu jeroan merah dan jeroan hijau. Jeroan merah meliputi organ bagian dada, paru, jantung, hati, limpa, ginjal dan tenggorokan. Jeroan hijau meliputi organ pencernaan, lambung ( rumen,
21 retikulum, abomasum, dan omasum) dan usus. Data proporsi bobot jeroan sapi Brahman Cross pada tiap kelas bobot hidup disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Proporsi bobot jeroan sapi Brahman Cross pada berbagai bobot hidup Sapi Kelas I Kelas II Kelas III Parameter (rataan) (rataan) (rataan) Jeroan Merah: Paru 2.45 0.49 2.13 0.40 2.57 0.44 Jantung 1.26 0.25 1.25 0.23 1.69 0.29 Hati 4.16 0.83 4.19 0.79 5.09 0.87 Limpa 1.29 0.26 0.77 0.14 0.82 0.14 Ginjal 0.81 0.16 0.77 0.14 0.88 0.15 Tenggorokan 2.10 0.42 1.67 0.31 1.77 0.30 Total Jeroan Merah 12.07 2.41 10.78 2.01 12.82 2.19 Jeroan Hijau: Lambung 8.44 1.69 9.44 1.79 10.49 1.80 Usus 4.32 0.86 3.95 0.74 4.85 0.83 Bool 1.09 0.21 0.97 0.18 0.96 0.16 Total Jeroan Hijau 13.85 2.76 14.36 2.71 16.30 2.79 Total Jeroan 25.92 5.17 25.14 4.72 29.12 4,98 Nilai tertinggi jeroan merah terdapat pada organ hati kelas III dengan bobot 5.09 kg sedangkan nilai terendah jeroan merah pada organ ginjal kelas II dengan nilai 0.77 kg. Nilai tertinggi pada jeroan hijau terdapat pada organ lambung dengan nilai 10.49 kg sedangkan nilai terendah jeroan hijau pada organ bool dengan nilai 0.97 kg. Jeroan Hijau Jeroan hijau terdiri dari lambung, usus dan bool (bagian setelah usus). Lambung kelas I memiliki bobot 8.44 kg, sedangkan kelas II memiliki lambung sebesar 9.44 kg dan kelas III memiliki jumlah bobot lambung tertinggi sebesar 10.49 kg. Persentase bobot lambung kelas III adalah 1.80. Secara persentase, kelas III juga memiliki persentase yang paling tinggi diantara kelas I dan kelas II. usus terbesar terdapat pada kelas III sebesar 4.85 kg, sedangkan bobot usus terkecil pada kelas II sebesar 3.95 kg dan bobot usus kelas II sebesar 4.32 kg.
22 Persentase usus terbesar dimiliki oleh kelas III dengan nilai 10.49. bool kelas I sebesaar 1,09 kg, dan bobot bool kelas II sebesar 0.97 kg, sedangkan bobot bool kelas III sebesar 0.96 kg. Penelitian ini menunjukkan bahwa bobot bool tidak menunjukkan korelasi positif terhadap bobot hidup. Jeroan Merah Jeroan merah terdiri atas paru, jantung, hati, limpa, ginjal, dan tenggorokan. paru menunjukkan data yang jelas mengenai perubahan bobot. paru terbesar ditunjukkan pada kelas III sebesar 2.57 kg dibandingkan dengan kelas I dengan besar 2.45 kg dan kelas II dengan besar 2.13 kg. paru tidak menunjukkan korelasi positif terhadap persentase paru terhadap bobot keseluruhan. Persentase tertinggi ditunjukkan pada kelas I dengan nilai 0.49, dibandingkan dengan kelas II sebesar 0.40 dan kelas III sebesar 0.44. Demikian juga dengan jantung, bobot jantung terbesar ditunjukkan pada kelas III sebesar 1.69 kg, sedangkan kelas I sebesar 1.26 kg dan kelas II sebesar 1.25kg. dan persentase jantung berbanding terbalik dengan bobot hidup. Persentase jantung menunjukkan korelasi yang positif dengan bobot hidup. Persentase tertinggi ditunjukkan pada kelas III sebesar 0.29, sedangkan kelas I sebesar 0.25 dan kelas II sebesar 0.23. Persentase jantung antara kelas I dan dua berbanding lurus terhadap bobot jantung. hati tertinggi ditunjukkan pada kelas III dengan nilai 5.09 kg sedangkan bobot kelas I sebesar 4.16 kg dan bobot kelas II sebesar 4.19 kg. Persentase bobot hati tertinggi juga ditunjukkan pada kelas III dengan nilai 0.87, sedangkan kelas I sebesar 0.83 dan kelas II sebesar 0.79. hati kelas I berbanding terbalik dengan persentase bobot hati dan bobot hidup. Data persentase bobot jeroan sapi Brahman Cross disajikan pada Gambar 3. 5.20 5.00 4.80 4.60 4.40 Kelas I Kelas II Kelas III Persentase total jeroan 5.17 4.72 4.98 Gambar 3 Persentase Jeroan tiap kelas sapi Brahman Cross.
23 Persentase rata-rata jeroan yang diperoleh adalah 5.17, 4.72, dan 4.98. Dalam penelitian ini data yang diperoleh bahwa bobot saluran pencernaan pada sapi kelas I memiliki persentase paling besar terhadap bobot tubuh, sedangkan pada kelas II memiliki persentase paling kecil terhadap bobot tubuh. Sapi kelas III memiliki persentase diantara kelas I dan kelas II. Data penelitian ini menunjukkan bahwa untuk memperoleh bobot rata-rata isi pencernaan yang paling optimal adalah pada kelas I. Tingkat Loss Tingkat loss (kehilangan) merupakan faktor penting pada perhitungan jumlah karkas. Persentase karkas dipengaruhi oleh tingkat loss. Semakin tinggi nilai loss akan mengurangi proporsi karkas. Faktor yang merupakan komposisi dari loss yaitu darah, kotoran dan tulang. Data mengenai tingkat loss pada sapi Brahman Cross disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Tingkat loss sapi Brahman Cross pada berbagai bobot hidup Parameter Sapi Kelas I Kelas II Kelas III hidup 497.00 100.00 527.50 100.00 582.00 100.00 Total karkas 264.50 53.22 286.75 54.36 307.50 52.84 Total non karkas 87.79 17.67 102.00 19.33 107.17 18.42 Total jeroan 25.92 5.17 25.14 4.72 29.12 4.98 Tingkat loss (kehilangan) 118.76 23.90 113.57 21.52 138.17 23.75 Tingkat loss yang diperoleh merupakan sebuah parameter keidealan penyembelihan seekor ternak. Hewan yang ideal untuk disembelih adalah hewan yang memiliki tingkat loss yang rendah. Kelas hewan yang memiliki loss tertinggi adalah kelas I sebesar 23.90, sedangkan jumlah loss yang terbesar pada kelas III sebesar 138.75 kg. Jumlah loss tidak menentukan optimalisasi karkas, melainkan persentase tingkat loss. Semakin besar jumlah loss akan mengurangi tingkat persentase karkas. Tingkat loss merupakan faktor yang dapat ditekan.
24 Pemuasaan merupakan salah satu bentuk tindakan untuk mengurangi loss (kotoran). Hewan yang dipuasakan dengan prosedur yang tepat akan menghasilkan bobot karkas yang optimal, sehingga tindakan antemortem merupakan hal yang sangat penting untuk menentukan proporsi bobot karkas yang optimal. Hewan yang memiliki bobot loss yang paling rendah belum tentu menunjukkan persentase karkas terendah dan hewan yang memiliki bobot loss paling tinggi belum tentu menunjukkan persentase karkas yang tinggi. Hewan yang optimal harus memilki bobot loss yang rendah dan persentase yang rendah. Kedua aspek ini akan menentukan optmalisasi bobot karkas. Perbandingan Hasil Proporsi Perbandingan proporsi dapat menunjukkan perbedaan yang jelas pada tiap bagiannya. Bagian yang menjadi perbandingan antara lain adalah total karkas, loss, jeroan, dan lemak. Keempat hal ini yang akan mempengaruhi persentase seekor hewan yang dikatakan optimal. Berikut ini adalah data yang diperoleh secara umum untuk menentukan proporsi yang didapat. Dan data ini dapat menentukan optimalisasi pemotongan. Data rata-rata persentase sapi Brahman Cross per kelas disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Rata-rata persentase sapi Brahman Cross pada berbagai bobot hidup Parameter Sapi Kelas I Kelas II Kelas III () () () Total Karkas 53.22 54.36 52.84 Jeroan 5.17 4.72 4.98 Lemak 4.48 4.48 4.96 Loss 23.90 21.52 23.75 Dari Tabel 5 total karkas yang diperoleh dengan persentase tertinggi adalah sapi kelas II. Dan hasil loss yang diperoleh juga memiliki persentase terkecil. Kelas II juga memiliki bobot persentase jeroan paling kecil, dan kadar lemak yang rendah dibandingkan kelas lainnya. Faktor yang menyebabkan loss
25 antara lain darah dan kotoran. Sapi kelas II merupakan ukuran yang paling ideal pada penelitian ini, karena data menjelaskan bahwa loss yang dihasilkan pada sapi dengan bobot hidup II memiliki nilai terkecil sehingga memperkecil kerugian bagi peternak dan pengusaha. Jeroan dan lemak merupakan bagian yang cenderung memiliki nilai ekonomis yang rendah dibandingkan dengan daging, sehingga dengan data yang diperoleh, sapi kelas II memiliki nilai persentase yang rendah untuk bagian tersebut. Total karkas, tingkat loss, persentase jeroan, dan persentase lemak merupakan faktor yang menentukan optimalisasi hewan potong. Hewan yang optimal memiliki persentase karkas yang tinggi, tingkat loss yang rendah, persentase jeroan yang rendah, dan persentase lemak yang rendah. Hasil pada penelitian ini menyatakan sapi yang memiliki tingkat optimalisai tertinggi untuk dipotong adalah sapi kelas II dengan bobot hidup 501-550 kg.