BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada industri telekomunikasi seluler di Indonesia dari tahun 2003 sampai dengan 2012 maka dapat diperoleh kesimpulan, yaitu : 1. a. Undang-undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 telah menggeser arah struktur pasar dari yang bermula berbentuk monopoli menjadi oligopoli. Hal tersebut ditunjukkan oleh peningkatan jumlah perusahaan atau operator yang semakin bertambah sejak dibukanya liberalisasi industri telekomunikasi di Indonesia pada tahun 2002. Sebelum terjadi liberalisasi industri telekomunikasi yaitu pada tahun 2001, jumlah perusahaan operator seluler berjumlah 4 unit. Pada tahun 2012 jumlah perusahaan telekomunikasi seluler mengalami peningkatan dengan jumlah operator yang mencapai 10 unit. Hal ini berimbas pada tingkat konsentrasinya yang semakin menurun tiap tahunnya. Berdasarkan hasil analisis struktur pasar dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa perusahaan Telkomsel adalah pemain dominan dalam industri ini dengan perolehan pangsa pasarnya yang pada tahun 2012 berjumlah 45,3 persen dan merupakan pemain dominan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Selain itu, analisis struktur pasar yang diproksikan dengan jumlah tingkat konsentrasi tiga perusahaan terbesar (Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata) atau CR3, diperoleh hasil yang menunjukkan nilai CR3 pada industri telekomunikasi seluler di Indonesia pada tahun 2012 mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya, dari 82,3 persen di tahun 2011 menjadi sebesar 83,1 persen pada tahun 2012. Church dan Ware (1999) menyatakan bahwa meningkatnya derajat 78
konsentrasi dapat meningkatkan kemampuan penjual untuk mengatasi persaingan dan mengkoordinasikan perilaku harga. Kenaikan konsentrasi penjual menyebabkan kolusi lebih mudah terjadi. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian dimuka menunjukkan bahwa kenaikan tingkat konsentrasi tidak menyebabkan praktik kolusi terjadi pada industri telekomunikasi seluler, karena tingkat kompetisi antar pemain dalam industri ini cenderung tinggi. Hal tersebut ditunjukkan oleh perilaku pemain yang saling bersaing baik dalam strategi harga maupun non harga. Struktur pasar industri telekomunikasi seluler di Indonesia pada tahun 2012 memiliki bentuk pasar oligopoli Sweezy model, hal tersebut dilihat dari jumlah pemain dalam industri ini yang relatif sedikit (10 perusahaan), barang yang ditawarkan bersifat homogen yang terdiferensiasi, dan terjadi persaingan non-harga, akibat dari aksi-reaksi antar perusahaan, maka bentuk kurva permintaan yang dihadapi oleh perusahaan dalam pasar oligopolis adalah patah atau kinked demand curve (Bain, 1956). b. Berdasarkan analisis perilaku perusahaan dalam penelitian ini, operator Telkomsel selaku pemimpin pasar, tidak menerapkan kebijakan menentukan harga, karena berdasarkan hasil analisis dimuka, perusahaan pesaing dapat menerapkan strategi frontal attack untuk menyerang perusahaan lainnya baik dalam strategi harga yang berujung dengan adanya perang tarif yang berkepanjangan ataupun strategi non tarif yang berbentuk inovasi produk dalam bentuk bundle product. Masing-masing perusahaan telekomunikasi seluler melakukan diferensiasi produk yang tersegmentasi sesuai dengan sasaran pasarnya. Produk yang ditawarkan oleh operator seluler merupakan perpaduan antara jasa dan produk yang nyata. Target pasar tidak terlalu tersegmentasi, karena hampir seluruh konsumen membutuhkan produk ini, sehingga produk yang ditawarkan tidak 79
terdeferensiasi secara kuat berdasarkan target market. Hal ini yang menyebabkan perilaku perusahaan sangat reaktif di dalam persaingan untuk mempertahankan posisi perusahaan dan mendapatkan target pasar baru. c. Hasil analisis kinerja pada industri telekomunikasi seluler di Indonesia menunjukkan adanya implikasi dari perilaku perusahaan yang melakukan perang tarif yang ditunjukkan dengan adanya penurunan Average Revenue Per User (ARPU) masing-masing operator yang dapat dilihat pada lampiran 6. Apabila dilihat dari kinerja profitabilitasnya, Telkomsel merupakan perusahaan dengan kestabilan kinerja profitabilitas paling baik dan stabil dengan nilai Net Income Margin (NIM) pada tahun 2012 sebesar 29 persen. Sedangkan Bakrie Telecom merupakan perusahaan yang paling fluktuatif keuntungannya, bahkan nyaris bangkrut dengan nilai NIM pada tahun 2012 sebesar (negatif) -105,6 persen. 2. Dalam menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri telekomunikasi seluler di Indonesia, penelitian ini menggunakan regresi data panel dengan metode model biasa (common effect). Dari beberapa indikator kinerja industri telekomunikasi seluler yang diproksikan dengan variabel NIM, hasil uji regresi didapatkan bahwa variabel jumlah aset mempunyai hubungan positif signifikan terhadap peningkatan NIM. Oleh karena itu, semakin besar jumlah aset yang dimiliki semakin besar tingkat keuntungannya. Sedangkan variabel ARPU dan CR3 menunjukkan pengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap NIM, penurunan pendapatan operator per pelanggan yang diproksikan dengan ARPU yang terjadi di Indonesia berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap kinerja perusahaan, hal ini menunjukkan pendapatan perusahaan telekomunikasi seluler tidak hanya bergantung dari pemasukan yang berasal dari penggunaan telepon dan SMS pelanggan saja. Demikian pula 80
tingkat konsentrasi industri yang berpengaruh terhadap kinerja, ini menunjukkan semakin terkonsetrasi suatu pasar dalam industri, perusahaan dengan pangsa pasar terbesar (dalam penelitian ini Telkomsel), semakin tinggi tingkat keuntungan atau profitabilitas yang dimilikinya. 5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, maka beberapa saran berikut disampaikan untuk peningkatan kinerja industri telekomunikasi seluler di Indonesia, yaitu: 1. Struktur pasar oligopoli ketat yang terjadi pada industri telekomunikasi seluler di Indonesia merupakan struktur pasar yang menguntungkan konsumen karena dengan adanya struktur pasar oligopoli ketat, tarif yang ditawarkan masing-masing operator menjadi lebih terjangkau bagi pelanggan dalam menggunakan jasanya. Akan tetapi persaingan tarif yang berkelanjutan menurunkan nilai pendapatan seluler per pengguna (ARPU) yang diperoleh masing-masing perusahaan seluler. Liberalisasi industri telekomunikasi yang baru dilakukan pada tahun 2002 berimbas pada perubahan struktur industri telekomunikasi seluler dari yang hanya dikuasai oleh tiga operator terbesar dengan penguasaan tingkat konsentrasi CR3 sebelum liberalisasi sebesar 100 persen, menjadi struktur pasar oligopoli ketat, sehingga persaingan tarif yang terjadi merupakan salah satu tahapan perusahaan operator seluler untuk menuju ketahap kedewasaan agar mampu menghasilkan produk secara efisien. 2. Adanya isu berupa penurunan jumlah perusahaan industri telekomunikasi seluler yang dicanangkan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) dan Asosiasi 81
Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) tidak disetujui oleh penulis, mengingat bila jumlah operator semakin sedikit, maka tingkat konsentrasi makin terpusat yang dapat berakibat adanya struktur pasar berbentuk monopoli seperti yang pernah terjadi sebelum dibukanya era liberalisasi telekomunikasi pada tahun 2002. 3. Semakin terjangkaunya harga smartphone dikalangan masyarakat Indonesia, dapat menjadi samudera biru bagi para perusahaan operator seluler, karena penurunan ARPU yang terjadi tiap tahunnya dapat ditutupi oleh pemasukan dari layanan data yang makin digemari. Selain itu dengan adanya teknologi baru berupa telepon dan SMS tidak menggunakan tarif akan tetapi menggunakan layanan data dan pertumbuhan pelanggan internet yang pesat, membuat wacana konvergensi dalam industri telekomunikasi semakin dapat terealisasikan. Untuk itu strategi yang dapat diterapkan oleh masingmasing perusahaan adalah peningkatan layanan dan kualitas digital. 4. Saran bagi penulis untuk pemerintah pusat adalah harus adanya pengawasan ketat terkait adanya kebijakan penetapan pemasangan biaya infrastruktur yaitu BTS yang diserahkan kepada pemerintah daerah. Tingkat teledensitas seluler di Indonesia terus meningkat tiap tahunnya, namun bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, teledensitas di negara Indonesia termsasuk rendah, hal ini membuktikan tingginya teledensitas karena masih terkonsentarsi di wilayah tertentu saja. Dengan adanya ketetapan Permenkominfo No. 2 Tahun 2008 tentang Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi yang diserahkan kepada Perda masing-masing, bebarapa perusahaan operator seluler mengalami kesulitan untuk membangun BTS karena birokrasi yang berbelit-belit dan penetapan biaya tarif pemasangan yang berbeda antar daerah. 82