BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTITUBERKULOSIS PADA PASIEN TUBERCULOSIS MULTI DRUG RESISTANT DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI PERIODE JANUARI-JUNI

DIAGNOSIS DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA TB-MDR. Priyanti Z Soepandi

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular. langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium

MULTI DRUG RESISANT TUBERCULOSIS (MDR-TB): PENGOBATAN PADA DEWASA

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

BAB I PENDAHULUAN. sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan global. yang utama. Penyakit infeksi ini menyerang jutaan manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama. kesehatan global. TB menyebabkan kesakitan pada jutaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. Multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB) merupakan salah satu fenomena

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB I PENDAHULUAN. bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) complex (Isbaniyah et al., 2011;

Identifikasi Faktor Resiko 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan. oleh mikroorganisme patogen.menurut WHO tahun 2012,

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri patogen penyebab tuberkulosis.

Pengobatan TB pada keadaan khusus. Kuliah EPPIT 15 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat (Price & Wilson, 2005).

ABSTRAK EFEK SAMPING PENGOBATAN TUBERKULOSIS DENGAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS KATAGORI 1 PADA FASE INTENSIF

PEMBAHASAN. 1. Air beroksigen 2. Pemakaian masker 3. Rokok elektronik 4. Iklan kanker paru 5. MDR TB

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

Priyanti Z Soepandi. Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI- RS Persahabatan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Resistensi ganda obat anti-tuberculosis (multidrug resistant. pemberantasan TB di dunia. Pada tahun 2003 WHO menyatakan insiden TB

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi, yang juga dikenal sebagai communicable disease atau transmissible

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk melalui udara yang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRACT. Keywords : Mycobacterium tuberculosis, Resistance, Isoniazid, Rifampin, Streptomycin, Ethambutol. xviii

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

BAB 1 PENDAHULUAN. TB Paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA PENDERITA DIABETES MELITUS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM) SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis complex (Depkes RI, 2008). Tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

TUTIK KUSMIATI, dr. SpP(K)

PEDOMAN MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diagnosis tuberkulosis (TB) paru pada anak masih menjadi masalah serius hingga saat ini. Hal

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

I. PENDAHULUAN. secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua Negara (Dave et al, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. komplikasi berbahaya hingga kematian (Depkes, 2015). milyar orang di dunia telah terinfeksi bakteri M. tuberculosis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FKUI-RS Persahabatan

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis. yang telah menjadi masalah global dengan jumlah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Resistansi M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan di mana bakteri

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG. Mycobacterium non tuberculosis pertama kali. ditemukan pada abad ke 19 ketika penyakit mirip

repository.unimus.ac.id

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World. Health Organization (WHO) dalam Annual report on global TB

I. PENDAHULUAN. prevalensi tuberkulosis tertinggi ke-5 di dunia setelah Bangladesh, China,

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

Transkripsi:

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Multidrug Resistant Tuberculosis (TB-MDR) 2.1.1 Definisi Multidrug resistant tuberculosis (TB-MDR) adalah tuberkulosis akibat infeksi Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap rifampisin dan isoniazid (INH) dengan atau tanpa resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) lainnya (Sinaga, 2013). Rifampisin dan INH merupakan 2 obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS. Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: a. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan b. Resistensi inisial ialah apabila tidak diketahui dengan pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah c. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan Insidensi TB-MDR terus meningkat sejak diperkenalkannya pengobatan TB pertama tahun 1943. Penggunaan rifampisin yang meluas pada awal tahun 1970-an mengakibatkan munculnya resistensi yang kemudian mengharuskan penggunaan pengobatan TB lini kedua (Sinaga, 2013). Selain itu, kesalahan petugas kesehatan dan ketidakpatuhan pasien selama pengobatan TB juga menjadi pencetus munculnya TB-MDR. Dengan kasus yang terus meningkat dan meluas di berbagai negara, TB-MDR merupakan masalah global yang harus diatasi bersama (Ormerod, 2005). 2.1.2. Epidemiologi TB-MDR tersebar luas dengan frekuensi yang bervariasi di semua negara yang masuk dalam survei WHO pada tahun 2011. Sedikitnya 30 negara termasuk Indonesia terdata sebagai negara dengan beban TB-MDR di atas 1.000 kasus. Negara-negara dengan beban TB-MDR tertinggi diantaranya India (66.000 kasus),

7 China (61.000 kasus), dan Federasi Rusia (44.000 kasus). Sementara Indonesia berada di urutan ke-9 (6.600 kasus) (WHO, 2013). WHO melaporkan 3,5% dari kasus baru TB di seluruh dunia merupakan TB-MDR. Persentase lebih tinggi ditemukan pada kasus TB yang sudah mendapat pengobatan sebelumnya, yaitu sekitar 20,5%. Hasil survei memperkirakan ada sekitar 480.000 kasus berkembang di tahun 2013, dan 210.000 diantaranya meninggal dunia (WHO, 2014). Sementara itu, untuk cakupan pengobatan, WHO melaporkan 1 dari 5 pasien TB-MDR yang dideteksi tahun 2011 telah mendapatkan pengobatan. Data yang disajikan WHO menunjukkan masih rendahnya tingkat pengobatan TB- MDR di negara-negara dengan beban TB-MDR tertinggi (Gambar 2.2.) (WHO, 2013). Belarusia memiliki cakupan pengobatan TB-MDR tertinggi dengan persentase 72% diantara 2000 kasus TB-MDR yang terdeteksi. Sementara persentase India (5%) dan China (2%) jauh berada di bawah negara-negara lain, tak jauh berbeda dengan Indonesia (4%) (WHO, 2013)..

8 Belarusia 2000 Afrika Selatan 8100 Peru 2100 Kazakhstan 8200 Brazil 1100 Ukraina 9500 Rep. Moldova 1600 Federasi Rusia 44000 Kirgiztan 1500 Uzbekistan 3000 Filipina 11000 Nepal 1100 Rep. Korea 1800 Azerbaijan 3400 Vietnam 3700 Bangladesh 3800 Ethiopia 2000 Mozambik 1800 Thailand 2200 Kenya 3400 India 66000 Indonesia 6600 DR Kongo 3400 Pakistan 10000 Myanmar 5500 China 61000 Afganistan 1100 Nigeria 3400 DPR Korea 3500 Angola 2000 33% 28% 22% 19% 17% 17% 16% 10% 9% 8% 6% 5% 5% 4% 4% 3% 3% 2% 2% 1% 1% 0% 57% 52% 48% 43% 72% 70% 65% 64% 0% 20% 40% 60% 80% Gambar. 2.1. Diagram Persentase Perkiraan Kasus TB-MDR yang Mendapat Pengobatan pada Tahun 2011 (jumlah perkiraan kasus TB-MDR tertulis di sebelah nama negara) (WHO, 2013) 2.1.3. Faktor Penyebab TB-MDR pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari pengobatan yang tidak adekuat. Faktor penyebab resistensi OAT terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain sebagai berikut (PDPI, 2011).

9 1. Faktor Mikrobiologik a. Resistensi yang natural b. Resistensi yang didapat c. Amplifier effect d. Virulensi kuman e. Tertular galur kuman MDR 2. Faktor Klinik a. Penyelenggara kesehatan Keterlambatan diagnosis Pengobatan tidak mengikuti pedoman Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin atau INH Tidak ada guideline/pedoman Tidak ada/kurangnya pelatihan TB Tidak ada pemantauan pengobatan Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada suatu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama maka penambahan 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten Organisasi program nasional TB yang kurang baik b. Obat Pengobatan TB jangka waktunya lama, lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan gagal sampai selesai/komplit Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare

10 Kualitas obat kurang baik misal pengunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana bioavabilitas rifampisinnya berkurang Regimen/dosis obat yang tidak tepat Harga obat yang tidak terjangkau Pengadaan obat yang terputus c. Pasien PMO tidak ada/kurang baik Kurangnya informasi atau penyuluhan Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang, dan lain lain Efek samping obat Sarana dan prasarana transportasi yang sulit/tidak ada Masalah sosial Gangguan penyerapan obat 3. Faktor Program a. Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan b. Amplifier effect c. Tidak ada program DOTS-PLUS d. Program DOTS belum berjalan dengan baik e. Memerlukan biaya yang besar 4. Faktor HIV/AIDS a. Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar b. Gangguan penyerapan c. Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar 5. Faktor Kuman Kuman M. Tuberculosis super strains a. Sangat virulen b. Daya tahan hidup lebih tinggi c. Berhubungan dengan TB-MDR

11 2.1.4. Pemeriksaan Laboratorium Drug Susceptibility Testing (DST) berperan penting dalam mengidentifikasi dan mengobati pasien TB-MDR atau dengan risiko tinggi TB- MDR (WHO, 2014). 1. DST Fenotipik (DST Konvensional) Prinsip DST fenotipik ialah mengkultur bakteri bersama dengan OAT untuk melihat adanya hambatan terhadap pertumbuhan bakteri. DST fenotipik dapat dilakukan secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect) pada medium padat ataupun cair. Pada metode langsung (direct), satu set medium yang mengandung dan tidak mengandung OAT diinokulasikan secara langsung dengan spesimen yang telah didekontaminasikan dan dijadikan konsentrat. Tes tidak langsung (indirect) membutuhkan pertumbuhan kultur murni dari spesimen, dilusi dari isolat kemudian diinokulasikan ke medium yang mengandung dan tidak mengandung OAT. Tes tidak langsung (indirect) telah digunakan secara luas dan saat ini digunakan sebagai standar referensi. 2. DST Genotipik a. Xpert MTB/RIF Xpert MTB/RIF adalah pemeriksaan diagnostik molekuler menggunakan PCR (polymerase chain reaction) untuk mengidentifikasi DNA Mycobacterium tuberculosis complex dan mutasi yang berkaitan dengan resistensi rifampisin secara langsung dari spesimen sputum dalam waktu kurang dari 2 jam. Pemeriksaan ini memiliki tingkat sensitifitas dan spesifitas yang sama dengan kultur pada medium padat dan telah direkomendasikan WHO sebagai tes diagnostik awal untuk pasien dengan risiko TB-MDR yang tinggi. b. Line Probe Assay (LPA) LPA molekuler memungkinkan deteksi yang cepat terhadap resistensi rifampisin (dengan atau tanpa isoniazid). LPA merupakan pemeriksaan berteknologi tinggi yang dapat memeriksa 12 spesimen sekaligus dan dapat menyelesaikan berbagai tes dalam satu hari.

12 2.1.5. Penatalaksanaan a. Kelompok OAT untuk Pengobatan TB-MDR Jenis obat yang digunakan dalam pengobatan TB-MDR terbagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut (PDPI, 2011). Tabel 2.1. Kelompok OAT untuk Pengobatan TB-MDR Kelompok 1 OAT lini 1. Etambutol (E), Pirazinamid (Z) Kelompok 2 Obat suntik. Kanamisin (Km), Amikasin (Am), Kapreomisin (Cm), Streptomisin (S) Kelompok 3 Fluorokuinolon. Moksifloksasin (Mfx), Levofloksasin (Lfx), Ofloksasin (Ofx) Kelompok 4 Bakteriostatik OAT lini 2. Etionamid (Eto), Protionamid (Pto), Siklosrin (Cs), Terzidone (Trd), PAS Kelompok 5 Obat yang belum diketahui efektifitasnya. Klofazimine (Cfz), Linezoid (Lzd), Amoksiclav (Amx/clv), Tiosetazone (Thz), Imipenem/cilastin (Ipm/cln), H dosis tinggi, Klaritromisin (Clr) (PDPI, 2011)

13 b. Strategi Pengobatan Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi penggunaan OAT di negara tersebut. Di bawah ini beberapa strategi pengobatan TB-MDR (PDPI, 2011). a. Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi pasien yang representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan individual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan. b. Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif. Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual. c. Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan. Regimen standar TB-MDR di Indonesia adalah: 6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs Z: Pirazinamid, E: Etambutol, Kn: Kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs: Sikloserin Etambutol tidak diberikan bila terbukti resisten. 2.1.6. Evaluasi Pengobatan dan Konversi Kultur Sputum Evaluasi pengobatan dilakukan secara ketat untuk menilai tanda-tanda kegagalan pengobatan. Evaluasi terhadap respon pengobatan dilakukan melalui anamnesis rutin, pemeriksaan fisik, foto toraks dan pemeriksaan laboratorium. Gejala-gejala klasik TB batuk, produksi sputum, demam dan berat badan menurun - secara umum mengalami perbaikan dalan beberapa minggu pertama (WHO, 2014). Temuan paling penting yang menandakan adanya perbaikan TB maupun TB-MDR ialah konversi kultur sputum. Perubahan kultur sputum yang semula

14 positif Mycobacterium tuberculosis menjadi negatif setelah fase pengobatan merupakan salah satu indikator keberhasilan pengobatan TB maupun TB-MDR. Kultur sputum dinyatakan telah konversi bila pemeriksaan kultur sputum yang dilakukan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil yang negatif. Tanggal pertama pengambilan spesimen kultur dengan hasil konversi negatif dijadikan tanggal konversi. Pemeriksaan kultur sputum dilakukan setiap bulan selama fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan (WHO, 2014). Pada manajemen TB-MDR, penggunaan obat injeksi (suntik), peralihan dari fase intensif ke fase lanjutan dan penentuan keberhasilan pengobatan bergantung pada status mikrobiologi dari kultur sputum pasien. Konversi kultur sputum dini telah terbukti secara luas menunjukkan keberhasilan pengobatan baik pada kelompok sensitif maupun resisten OAT. Konversi kultur sputum setelah 2 bulan pengobatan dilaporkan secara luas sebagai prediktor kuat dan indikator dini dari keberhasilan pengobatan pada TB sensitif OAT. Hal yang sama juga ditemukan pada kelompok TB-MDR, hasil pengobatan yang lebih baik didapatkan dari pasien TB-MDR yang berhasil mengalami konversi kultur sputum setelah 2 bulan (Basit et al., 2014). 2.2. Hubungan Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus 2.2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, saraf, ginjal, jantung dan pembuluh darah (Purnamasari, 2009). Pada tahun 2014, diperkirakan 9% dewasa 18 tahun di seluruh dunia menderita diabetes (WHO, 2015). Sementara di Indonesia, proporsi penduduk 15 tahun dengan diabetes melitus (DM) adalah 6,9% (Riskesdas, 2013).

15 Diperkirakan terdapat 8,4 juta kasus DM di Indonesia pada tahun 2000, dan akan berkembang menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (Wild, 2004). Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurut tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM, lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada Tabel 2.2. (Purnamasari, 2009). Tabel 2.2. Kriteria diagnostik DM 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl (11.1 mmol/l) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir 2. Atau Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/l) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam 3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dl (11,1 mmol/l) TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air (Purnamasari, 2009

16 2.2.2. Epidemiologi Tuberkulosis disertai Diabetes Melitus Tuberkulosis dan diabetes melitus sama-sama diketahui sebagai penyakit yang menimbulkan beban global yang besar. Sekitar sepertiga penduduk dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan 10% diantaranya akan mengidap TB aktif sepanjang hidupnya. Pada saat yang sama, dunia juga menghadapi peningkatan prevalensi diabetes bersama dengan penyakit tidak menular lainnya (Skowronski et al., 2013). Meningkatnya prevalensi kedua penyakit tersebut diikuti dengan meningkatnya kasus yang diakibatkan oleh asosiasi diantara keduanya. Diperkirakan 10% kasus infeksi TB di seluruh dunia berkaitan dengan diabetes dan kondisi tersebut meningkatkan risiko terkena infeksi TB sebesar 2-3 kali serta risiko meninggal selama dalam pengobatan dibandingkan dengan tanpa diabetes (WHO, 2011). Sebagai negara dengan prevalensi TB tertinggi ke-3 di dunia (WHO,2015) serta tertinggi ke-5 untuk prevalensi DM (IDF, 2014), Indonesia menghadapi begitu banyak kasus TB yang dicetuskan maupun diperberat oleh keadaan penyakit kronis pada pasien-pasien DM. Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia menemukan riwayat DM tipe 2 pada 13,3% pasien TB. Penelitian tersebut menyatakan adanya hubungan yang kuat antara TB dan DM di Indonesia (Alisjahbana et al., 2006). 2.2.3. Pengaruh Diabetes Melitus terhadap Infeksi Tuberkulosis Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat mengarah pada berbagai komplikasi, diantaranya penyakit vaskular, neuropati, dan rentannya terkena infeksi termasuk infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis melalui berbagai mekanisme. Mekanisme yang terlibat meliputi kondisi yang memang secara langsung berkaitan dengan diabetes yaitu hiperglikemia dan insulinopenia seluler, juga kondisi yang secara tidak langsung disebabkan oleh diabetes yaitu terganggunya fungsi makrofag dan limfosit yang menyebabkan menurunnya kemampuan tubuh dalam melawan organisme infektor (Dooley et al., 2009).

17 Sel efektor yang terpenting untuk melawan tuberkulosis adalah fagosit (makrofag alveolar dan monosit prekursornya) dan limfosit. Diabetes diketahui mempengaruhi kemotaksis, fagositosis, aktivasi, dan presentasi antigen oleh fagosit sebagai respon terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis. Pada pasien diabetes, kemotaksis monosit juga terganggu, dan gangguan ini tidak dapat diperbaiki dengan insulin (Dooley et al., 2009). Percobaan yang dilakukan pada mencit menunjukkan hasil bahwa mencit yang telah dijadikan mencit diabetes kronis memiliki beban bakteri yang lebih tinggi dibandingkan kontrol yang normoglikemia ketika diinfeksikan dengan Mycobacterium tuberculosis. Ekspresi sistem imun adaptif tertunda pada mencit dengan diabetes kronis, ditandai dengan berkurangnya produksi IFN-γ pada fase awal infeksi di paru-paru dan sedikitnya jumlah MTB antigen (ESAT-6) responsive T-cell dibandingkan dengan mencit kontrol dalam satu bulan pertama infeksi (Martens et al., 2007).