PEMANFAATAN PMSG LOKAL SEBAGAI ALTERNATIF HORMON SUPEROVULASI

dokumen-dokumen yang mirip
RESPONS REPRODUKSI SAPI POTONG INDUK PADA UMUR PENYAPIHAN PEDET BERBEDA DI KONDISI PETERNAKAN RAKYAT DI LAHAN KERING

Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan II Membangun Kewirausahaan Dalam Pengelolaan Kawasan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal

PENGARUH SURGE FEEDING TERHADAP TAMPILAN REPRODUKSI SAPI INDUK SILANGAN PERANAKAN ONGOLE (PO) SIMENTAL

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERAH EKS-IMPOR DAN LOKAL PADA TIGA PERIODE KELAHIRAN DI SP 2 T, KUTT SUKA MAKMUR GRATI, PASURUAN

PERAN KADAR PROGESTERON DALAM PLASMA DARAH UNTUK DETEKSI ESTRUS DAN AKTIVITAS OVARIUM

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

PERBAIKAN PAKAN DAN PENGGUNAAN HORMON PADA SAPI INDUK UNTUK MENGHASILKAN PEDET KEMBAR DI JAWA TIMUR

BAB V INDUKSI KELAHIRAN

PEMBERIAN WHOLE SERUM KUDA LOKAL BUNTING YANG DISENTRIFUGASI DENGAN CHARCOAL TERHADAP BIRAHI DAN KEBUNTINGAN PADA SAPI POTONG

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

EFEKTIVITAS PENYUNTIKAN ESTRO-PLAN (PGF-2Α SINTETIS) TERHADAP PENYERENTAKAN BERAHI SAPI BALI DI KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN

RESPON PENYUNTIKAN HORMON CAPRIGLANDIN PGF2 ERHADAP SINKRONISASI BERAHI INDUK SAPI BALI DI KABUPATEN BANTAENG SULAWESI SELATAN

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :83-87 ISSN : Agustus 2009 INDUKSI ESTRUS DENGAN PMSG DAN GN-RH PADA SAPI PERAH ANESTRUS POSTPARTUM

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

SINKRONISASI ESTRUS MELALUI MANIPULASI HORMON AGEN LUTEOLITIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BALI DAN PO DI SULAWESI TENGGARA

PENGGUNAAN BAHAN PAKAN LOKAL SEBAGAI UPAYA EFISIENSI PADA USAHA PEMBIBITAN SAPI POTONG KOMERSIAL: Studi Kasus di CV Bukit Indah Lumajang

PENDAHULUAN Latar Belakang

MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI. Agung Budiyanto

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG

PENGGUNAAN PROGESTERON SINTETIK PADA SAPI PERAH FRIES HOLLAND (FH) PENERIMA INSEMINASI BUATAN DAN DI EMBRIO SAPI MADURA

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI

BAB I. PENDAHULUAN A.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

Pemantauan dan Pengukuran Proses Layanan Purna Jual. Kegiatan Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal. Kepala BIB Lembang

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

STRATEGI PEMENUHAN GIZI MELALUI OPTIMALISASI PEMANFAATAN LIMBAH UNTUK PEMBESARAN SAPI POTONG CALON INDUK

(Biopotency Test of Monoclonal Antibody Anti Pregnant Mare Serum Gonadotropin in Dairy Cattle)

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Waktu Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) terhadap Jumlah Korpus Luteum dan Kecepatan Timbulnya Berahi pada Sapi Pesisir

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

PENGARUH JENIS SINKRONISASI DAN WAKTU PENYUNTIKAN PMSG TERHADAP KINERJA BERAHI PADA TERNAK KAMBING ERANAKAN ETAWAH DAN SAPERA

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

POLA ESTRUS INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE DIBANDINGKAN DENGAN SILANGAN SIMMENTAL-PERANAKAN ONGOLE. Dosen Fakultas Peternakan UGM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peningkatan Angka Kebuntingan melalui Pemberian Hormone Eksogen CIDR-B dan Injeksi hcg pada Sapi Bali di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari

EFISIENSI SUPEROVULASI PADA SAPI MELALUI SINKRONISASI GELOMBANG FOLIKEL DAN OVULASI MAIDASWAR

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PO DENGAN SKOR KONDISI TUBUH YANG BERBEDA PADA KONDISI PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN MALANG

KINERJA REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS DI TIGA PROVINSI DI INDONESIA: STUDI KASUS DI PROVINSI JAWA TIMUR, JAWA TENGAH DAN KALIMANTAN SELATAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

COMPARISON REPRODUCTION PERFORMANCE OF IMPORTED HOLSTEIN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

PERFORMANS PRODUKTIVITAS INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) BERANAK KEMBAR DAN TURUNANNYA DI KANDANG PERCOBAAN LOLIT SAPI POTONG, PASURUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

Efisiensi reproduksi sapi perah PFH pada berbagai umur di CV. Milkindo Berka Abadi Desa Tegalsari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang

PEMACUAN KEAKTIFAN BERAHI MENGGUNAKAN HORMON OKSITOSIN PADA KAMBING DARA ESTRUS ACTIVITY INDUCTION OF YOUNG GOAT BY OXYTOCIN

ONSET DAN LAMA ESTRUS KAMBING KACANG YANG DIINJEKSIPROSTAGLANDINF2α PADA SUBMUKOSA VULVA

SKRIPSI. PERFORMAN REPRODUKSI INDUK SAPI BALI PASCA SINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN (PGF 2α ) DAN HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN (hcg)

PENGARUH SUBSTITUSI KONSENTRAT KOMERSIAL DENGAN TUMPI JAGUNG TERHADAP PERFORMANS SAPI PO BUNTING MUDA

UMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PO INDUK PADA POLA PERKAWINAN BERBEDA DALAM USAHA PETERNAKAN RAKYAT: STUDI KASUS DI KABUPATEN BLORA DAN PASURUAN

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA KEBUNTINGAN (CONCEPTION RATE) PADA SAPI POTONG SETELAH DILAKUKAN SINKRONISASI ESTRUS DI KABUPATEN PRINGSEWU

Muchamad Luthfi, Tri Agus Sulistya dan Mariyono Loka Penelitian Sapi Potong Jl. Pahlawan 02 Grati Pasuruan

PENGARUH PENAMBAHAN KACANG KEDELAI ( Glycine max ) DALAM PAKAN TERHADAP POTENSI REPRODUKSI KELINCI BETINA NEW ZEALAND WHITE MENJELANG DIKAWINKAN

Perbaikan Performans Produksi dan Reproduksi Sapi Jabres

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

PENYERENTAKAN BERAHI DENGAN PROGESTERON DALAM SPONS PADA TERNAK DOMBA DI KABUPATEN CIANJUR

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PERFORMAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN SAPI PERANAKAN LIMOUSINE DI KECAMATAN BERBEK KABUPATEN NGANJUK

ABSTRACT. Key words: Ongole Offspring, Estrous, Estrous Synchronization, PGF 2 α, Parities

PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT... PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI

KONSENTRASI PROGESTERON PLASMA PASCA TERAPI ANTIBIOTIK DAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN PADA SAPI PYOMETRA

KAJIAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SAPI POTONG MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING DI SULAWESI SELATAN

MATERI DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada peternakan sapi rakyat di Kabupaten

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH FOLIKEL YANG MENGALAMI OVULASI TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN DOMBA PADA BERAHI PERTAMA SETELAH PENYUNTIKAN PGF2,

JURNAL TERNAK Vol. 06 No.01 Juni

PERFORMANS PEDET SAPI PERAH DENGAN PERLAKUAN INDUK SAAT MASA AKHIR KEBUNTINGAN

Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hcg pada Induk Sapi Potong

IMPLEMENTASI SINKRONISASI OVULASI MENGGUNAKAN GONADOTROPHIN RELEASING HORMONE (GNRH) DAN PROSTAGLANDIN (PGF 2α ) PADA INDUK SAPI BALI

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

SKRIPSI TRESNA SARI PROGRAM STUD1 ILMU NUTFUSI DAN MAKAWAN TERNAK

Perlakuan Superovulasi Sebelum Pemotongan Ternak (Treatment Superovulation Before Animal Sloughter)

HUBUNGAN BOBOT HIDUP INDUK SAAT MELAHIRKAN TERHADAP PERTUMBUHAN PEDET SAPI PO DI FOUNDATION STOCK

PENGARUH PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PERSENTASE BIRAHI DAN ANGKA KEBUNTINGAN SAPI BALI DAN PO DI KALIMANTAN SELATAN

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

BAB IV DIAGNOSA KEBUNTINGAN

BIRTH WEIGHT AND MORPHOMETRIC OF 3 5 DAYS AGES OF THE SIMMENTAL SIMPO AND LIMOUSINE SIMPO CROSSBREED PRODUCED BY ARTIFICIAL INSEMINATION (AI) ABSTRACT

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE TERHADAP SERVICE PER CONCEPTION DAN CALVING INTERVAL SAPI POTONG PERANAKAN ONGOLE DI KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Minggu Topik Sub Topik Metode Pembelajaran

Transkripsi:

PEMANFAATAN PMSG LOKAL SEBAGAI ALTERNATIF HORMON SUPEROVULASI (Local PMSG as an Alternative Superovulation Hormone) DIAN RATNAWATI, D.M. DIKMAN dan J. EFENDY Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2, Grati, Pasuruan 67184 ABSTRACT Superovulation is one of many ways to increase national herd population. The use of imported PMSG has many constraints, due to high cost and less availability. There is a cheaper alternative, by using local PMSG. The aim of this research was to study the effectivity of local PMSG as a cheap and efficient alternative hormone for superovulation. Superovulation was done in pen of Beef Cattle Researh Institute, using 20 cows. There were two treatments applied: treatment A, using imported PMSG dose 1000 IU (Folligon, produced by Intervet Holland) and treatment B, using local PMSG dose 1000 IU (Gonaplas, produced by Airlangga University Surabaya). The stages of superovulation was: synchronization oestrus (twice injection of prostaglandine for 11 days) and followed by superovulation (PMSG injection at day 10 after oestrus, prostaglandine injection at 2 days after PMSG injection and introduced to bull for mating). Blood sample was taken before PMSG injection and day 16 after mating, analyzed using ELISA. Pregnant detection was done through rectal palpation. The parameters were: number of corpus luteum, progesterone level, conception rate and economic value. Data was analyzed by ANOVA. Conception rate of treatment A was 60% and treatment B was 40%. Progesterone level increased after superovulation, treatment A (2.7 ± 4.6 ng/ml) non significantly different from treatment B (2.5 ± 4,1 ng/ml). Treatment A showed 7 cows (70%) had corpus luteum 1 2. There were 3 cows (30%) at treatment B had only 1corpus luteum. It is concluded that the use of local PMSG was efficient, so that it can be used as alternative hormone for superovulation. Key Words: Superovulation, Local PMSG, PO Cattle ABSTRAK Teknik superovulasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan populasi ternak nasional. Pemanfaatan hormone PMSG impor sebagai hormon superovulasi terkendala dengan harga yang mahal dan ketersediaan. Terdapat alternatif lain yang lebih murah dengan menggunakan PMSG lokal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas PMSG lokal sebagai alternatif hormon superovulasi yang murah dan efisien. Superovulasi dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong, menggunakan 20 ekor induk sapi PO, dibedakan menjadi dua perlakuan (tipe hormon) yaitu: perlakuan A dengan PMSG impor dosis 1000 IU (Folligon, produksi Intervet, Holland) dan perlakuan B dengan PMSG lokal dosis 1000 IU (Gonaplas, produksi Universitas Airlangga, Surabaya). Tahapan superovulasi adalah sebagai berikut: Sinkronisasi berahi (Penyuntikan hormon Prostaglandin sebanyak 2 kali dengan jarak waktu 11 hari) dan Superovulasi (Penyuntikan PMSG pada hari ke-10 setelah terjadi berahi dan penyuntikan Prostaglandin pada hari ke-2 setelah penyuntikan PMSG dan langsung dicampur dengan pejantan untuk perkawinan). Pengambilan darah dilakukan sebelum injeksi PMSG dan 16 hari setelah terjadi perkawinan dan dianalisa dengan metode ELISA. Deteksi kebuntingan menggunakan palpasi rektal. Parameter meliputi jumlah corpus luteum, konsentrasi hormon progesteron, jumlah kebuntingan dan nilai ekonomis. Analisis data dengan ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kebuntingan pada perlakuan A 60% dan perlakuan B 40%. Kadar hormon progesteron darah setelah perlakuan superovulasi meningkat, yaitu: pada perlakuan A (2,7 ± 4,6 ng/ml) tidak berbeda nyata (P > 0,05) dengan perlakuan B (2,5 ± 4,1 ng/ml). Pada perlakuan A terdapat 7 ekor induk (70%) memiliki corpus luteum 1 2 buah, sedangkan pada perlakuan B terdapat 3 ekor induk (30%) yang memiliki corpus luteum 1 buah. Disimpulkan bahwa Penggunaan PMSG lokal cukup efisien sehingga dapat dijadikan alternatif hormon superovulasi. Kata Kunci: Superovulasi, PMSG Lokal, Sapi PO 32

PENDAHULUAN Program Swasembada Daging Sapi Kerbau (PSDSK) 2014 diharapkan mampu meningkatkan produksi daging sapi nasional sehingga target pemenuhan kebutuhan daging sapi sebesar 90 95% dapat tercapai. Kemampuan produktivitas sapi potong dalam negeri belum memberikan hasil yang baik dalam upaya memenuhi kebutuhan daging yang setiap tahun meningkat. Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi dan produksi sapi potong dalam negeri adalah meningkatkan efisiensi reproduksi induk melalui peningkatan jumlah pedet setiap kelahiran atau kelahiran kembar (twinning). Teknik reproduksi yang dapat digunakan untuk menghasilkan kelahiran kembar adalah superovulasi. Superovulasi merupakan cara untuk meningkatkan jumlah oocyte yang diproduksi oleh ovarium melalui peningkatan jumlah kematangannya menjadi ovum/sel telur, sehingga terjadi ovulasi dan akan diikuti peningkatan jumlah corpus luteum. Tujuan superovulasi adalah meningkatkan jumlah ova yang diovulasikan dan tingkat fertilisasi dengan memastikan lingkungan fisiologi normal dalam saluran reproduksi untuk perkembangan embrio (KAFI dan MICHAEL, 1997). Pemanfaatan PMSG impor (Folligon) sebagai salah satu preparat hormon untuk superovulasi telah banyak digunakan di lapangan. Selama ini preparat PMSG yang banyak digunakan adalah produksi luar negeri (impor). Harga PMSG impor relatif mahal dan ketersediaan di pasar tidak selalu ada. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa superovulasi dengan menggunakan PMSG impor dosis 1000 IU, 1300 IU dan 1600 IU menghasilkan tingkat kebuntingan 50, 70 dan 80% (AFFANDHY et al., 2010). Hormon PMSG lokal (Gonaplas) merupakan salah satu alternatif pilihan yang murah apabila hormon PMSG impor tidak terjangkau karena terlalu mahal. Namun demikian, penggunaan hormon PMSG lokal selama ini masih terbatas untuk meningkatkan fertilitas pada sapi. Penggunaan hormon PMSG lokal untuk menghasilkan sapi kembar belum pernah dilakukan. Efektivitas PMSG lokal masih belum banyak diteliti secara intensif, untuk itu diharapkan dengan penelitian ini dapat diketahui secara ilmiah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas PMSG lokal sebagai alternatif hormon superovulasi yang murah dan efisien. MATERI DAN METODE Superovulasi dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan, Jawa Timur, menggunakan 20 ekor induk Sapi PO yang telah beranak (minimal satu kali) dan mempunyai skor kondisi tubuh (SKT) 6 7 (skala 1 9). Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola searah dengan dua perlakuan (tipe hormon) masing-masing sebanyak 10 ekor yaitu: 1. Perlakuan A dengan PMSG impor dosis 1000 IU (Folligon, produksi Intervet, Holland). 2. Perlakuan B dengan PMSG lokal dosis 1000 IU (Gonaplas, produksi Universitas Airlangga, Surabaya). Tahapan superovulasi adalah sebagai berikut: 1. Sinkronisasi berahi; Penyuntikan hormon Prostaglandin (PG) sebanyak 2 kali dengan jarak waktu 11 hari. 2. Superovulasi; Penyuntikan PMSG pada hari ke-10 setelah terjadi berahi, dilanjutkan dengan penyuntikan Prostaglandin pada hari ke-2 setelah penyuntikan PMSG dan langsung dicampur dengan pejantan (dilakukan pengamatan perkawinan). Pengambilan sampel plasma darah untuk analisa hormon progesteron dilakukan sebelum injeksi PMSG dan hari ke-16 hari setelah perkawinan. Analisa hormon menggunakan metode ELISA. Deteksi kebuntingan/corpus luteum menggunakan palpasi rektal. Pemberian pakan sebesar 3% bobot badan berdasarkan bahan kering. Parameter yang diukur adalah tingkat kebuntingan, jumlah corpus luteum, konsentrasi hormon progesteron dan nilai ekonomis. Analisis data menggunakan ANOVA. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perlakuan superovulasi dengan PMSG lokal dibandingkan dengan PMSG impor terhadap tingkat kebuntingan, jumlah corpus luteum dan profil hormon progesteron disajikan pada Tabel 1. 33

Tabel 1. Kadar hormon progesteron dan jumlah corpus luteum (CL) pada perlakuan dosis PMSG impor dan lokal 1000 IU Parameter Persentase induk dengan corpus luteum (%) Jumlah corpus luteum (buah) Progesteron awal (ng/ml) Progesteron akhir (ng/ml) A Perlakuan B 70 30 1,3 ± 0,5 a 1,0 ± 0,0 b 0,4 ± 0,5 2,0 ± 4,2 2,7 ± 4,6 2,5 ± 4,1 < 4,5 ng/ml (%) 70 90 > 4,5 ng/ml (%) 30 10 Tingkat kebuntingan ( % ) 60 40 A: dosis PMSG impor 1000 IU; B: dosis PMSG lokal 1000 IU. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05) Kegiatan superovulasi dengan menggunakan hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) impor dan lokal dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong. Hasil pemeriksaan rektal 90 hari menunjukkan tingkat kebuntingan perlakuan dengan PMSG impor (A) adalah sebesar 60% (6 ekor) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B (PMSG lokal) yaitu sebesar 40% (Tabel 1). Hormon PMSG impor yang digunakan adalah Folligon, produksi Intervet (Holland) dengan dosis yang diberikan 1000 IU (5 cc). Sedangkan hormon PMSG lokal yang digunakan adalah Gonaplas, produksi Universitas Airlangga Surabaya dengan dosis 1000 IU (6,7 cc). Tingkat kelahiran (kembar) akibat pengaruh hormon PMSG impor dan lokal belum dapat diketahui dan akan tetap diamati pada tahun 2011. HERMADI dan MAHAPUTRA (2010) menyatakan bahwa Gonaplas tersebut mampu mengatasi hipofungsi ovarium dengan menghasilkan tingkat kebuntingan 100% pada sapi perah dengan dosis 1000 IU dan 750 IU. Pertimbangan penggunaan gonaplas adalah karena lebih terjangkau dibandingkan dengan PMSG impor. Selama ini penggunaan gonaplas masih dalam batas memperbaiki kondisi reproduksi induk dan belum pernah digunakan sebagai induksi untuk menghasilkan sapi kembar. KAFI dan MICHAEL (1997) menyatakan bahwa terjadi banyak abnormalitas selama penelitian superovulasi, yaitu perkembangan folikel, ovulasi dan awal perkembangan embrio. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi respon superovulasi pada sapi potong, diantaranya faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik diantaranya umur, perbedaan genetik dan status ovarium saat perlakuan. Sedangkan faktor ekstrinsik diantaranya musim, nutrisi dan preparat hormon. Kebuntingan merupakan proses lanjutan setelah terjadinya fertilisasi sel telur oleh spermatozoa. Pemeriksaan kebuntingan dapat dilakukan melalui perabaan rektal minimal 60 hari setelah perkawinan. Indikasi terjadinya kebuntingan dapat diprediksi dari tidak adanya tanda-tanda berahi setelah 1 siklus berahi setelah perkawinan. Untuk mendiagnosa kebuntingan maupun kebuntingan kembar yang mungkin terjadi, dapat dilakukan juga dengan pemeriksaan terhadap kadar progesteron dalam darah. Sampling darah dilakukan pada hari ke 16 dari perkawinan. Sebagai pembanding dilakukan pula sampling darah sebelum perlakuan (superovulasi). TOLIEHERE (1985) menyatakan bahwa pengukuran progesteron dapat dilakukan pada hari ke-21 s/d 24 perkawinan dengan menggunakan teknik RIA (Radio Immuno Assay) dan tingkat ketepatannya mencapai 90%. Hasil pemeriksaan kadar hormon progesteron darah yang dilakukan sebelum perlakuan superovulasi menunjukkan rataan 0,4 ± 0,5 ng/ml pada perlakuan A dan 2,0 ± 4,2 ng/ml pada perlakuan B. Kadar hormon progesteron setelah perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan A (2,7 ± 4,6 ng/ml) tidak berbeda nyata (p > 0,05) dengan perlakuan B (2,5 ± 4,1 ng/ml). Berdasarkan pengelompokan kadar progesteron darah pada umur 16 hari perkawinan menunjukkan bahwa perlakuan A sebanyak 3 ekor (30%) bunting (> 4,5 ng/ml), sedangkan sisanya 7 ekor (70%) dubious bunting. Pada perlakuan B sebanyak 1 ekor (10%) menunjukkan kadar progesteron > 4,5 ng/ml (bunting 16 hari), dan sisanya 9 ekor (90%) dubious bunting. Pada kedua perlakuan terjadi kenaikan kadar progesteron antara sebelum dan sesudah perlakuan superovulasi dengan PMSG. GINTHER et al. (1976) 34

menyatakan bahwa kadar hormon progesteron sapi bunting yang diambil pada hari ke-16 setelah kawin mencapai 4,5 ng/ml. Sedangkan VANDEPLASSCHE (1982) menyatakan bahwa sapi dikatakan bunting apabila kadar hormon progesteron darahnya > 3 ng/ml pada hari ke- 24 setelah kawin. Sehingga hasil yang didapat mengindikasikan ketiadaan corpus luteum atau tidak adanya kebuntingan karena superovulasi dengan PMSG. Progesteron merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh corpus luteum dan plasenta dalam jumlah yang banyak pada sapi yang bunting dan sedikit pada sapi yang tidak bunting. Progesteron timbul setelah ovulasi dan menimbulkan perkembangan yang meluas dari endometrium, menyiapkan uterus untuk siap menerima embrio dan memberi makan. Secara garis besar fungsi fisiologik progesteron terhadap uterus diantaranya menghambat pengaruh oksitosin terhadap miometrium, menghambat kontraksi miometrium dan merangsang pertumbuhan kelenjar susu uterus pada endometrium. Dengan adanya kadar progesteron yang tinggi pada awal kebuntingan, dibandingkan dengan periode lain maka hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk pemeriksaan kebuntingan secara hormonal (Saragih, 1987). Hasil pengamatan terhadap corpus luteum pada hari ke 16 perkawinan dan didapatkan hasil terdapat 7 ekor dari perlakuan A (70%) memiliki corpus luteum 1 2 buah. Sedangkan pada perlakuan B terdapat 3 ekor (30%) sapi induk memiliki corpus luteum 1 buah. Rataan jumlah CL pada perlakuan A (1,3 ± 0,5 buah) lebih tinggi (P < 0,05) daripada perlakuan B (1,0 ± 0,0 buah). Corpus luteum terbentuk setelah folikel mengeluarkan sel telur, sehingga pada sapi induk yang diperlakukan superovulasi menghasilkan lebih banyak corpus luteum dan hormon progesteron. Menurut Winslow (1996), korelasi genetik antara tingkat ovulasi dengan kelahiran kembar mencapai 80% dan pada sapi dara lebih besar lagi 10%. Hormon PMSG memberikan pengaruh langsung terhadap pematangan oosit dengan cara merangsang perkembangan inti oosit sehingga jumlah oosit yang berhenti perkembangannya hanya sedikit. Dengan perkembangan oosit yang semakin banyak dan semakin cepat akan mempengaruhi jumlah CL yang akan terbentuk setelah terjadi ovulasi. Nilai ekonomi Berdasarkan hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan kebuntingan perlakuan superovulasi dengan hormon impor (Perlakuan A) adalah lebih efisien sebesar Rp. 113.375 (11,5%) Tabel 2. Analisis ekonomi superovulasi dengan PMSG impor (A) dan lokal (B) Uraian perlakuan Sinkronisasi berahi Perlakuan A (PMSG impor) (rupiah) Perlakuan B (PMSG lokal) (rupiah) Injeksi PGF 2 Rp. 100.000 200.000 200.000 Superovulasi PMSG impor 1 Rp.222.000* 222.000 PMSG lokal 1 Rp. 93.350 93.350 Sinkronisasi setelah superovulasi Injeksi PGF 1 Rp.100.000 100.000 100.000 Total biaya 522.000 Rp. 393.350 Persentase kebuntingan (%) 60 40 Biaya untuk menghasilkan 1 kebuntingan 870.000 983.375 Efisiensi ekonomi (Rp) 113.375 Persentase efisiensi (%) 11,5 *Harga pada tingkat rekanan 35

dibandingkan dengan hormon lokal (Perlakuan B). Analisis ekonomi ini didasarkan pada asumsi bahwa harga satu kali injeksi untuk hormon PGF sebesar Rp. 100.000 (5 cc), PMSG impor dosis 1000 IU (5 cc) sebesar Rp. 222.000 dan PMSG lokal dosis 1000 IU (6,7 cc) sebesar Rp. 93.350. Bobot badan dan konsumsi pakan Tabel 3. Bobot badan induk perlakuan superovulasi dengan PMSG impor (A) dan lokal (B). Parameter A Perlakuan Jumlah n (ekor) 10 10 Rata-rata BB (kg/ekor) B 368,3 ± 55,5 365,8 ±72,1 terhadap hormon. Kondisi reproduksi setiap induk berbeda tergantung dari beberapa faktor diantaranya pakan dan kondisi fisiologis ternak. Manifestasi klinis dari status kecukupan gizi dapat dilihat dari skor kondisi tubuh ternak. Pemberian pakan yang baik secara kualitas dan kuantitas akan sangat mendukung timbulnya berahi setelah melahirkan terutama kecukupan protein. Kasus yang banyak terjadi pada sapi induk adalah hipofungsi ovarium dan secara umum disebabkan karena induk masih dalam masa laktasi. Frekuensi dan lama penyusuan akan merangsang kelenjar mammae untuk produksi LTH yang berfungsi memelihara Cl, dampaknya yaitu tidak terjadi berahi dan memperpanjang tingkat APP (BEARDEN and FUQUAY, 1980; HAFEZ, 2000; MARKEY et al., 2000). Rata-rata performans bobot badan sapi perlakuan superovulasi adalah perlakuan A sebesar 368,3 ± 55,5 kg dan perlakuan B sebesar 365,8 ± 72,1 kg. Hasil pengamatan terhadap kedua perlakuan menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering (BK) dan protein kasar (PK) sebesar 7,61 kg/hari dan PK sebesar 0,60 kg/ hari. Kebutuhan nutrisi untuk bobot badan sebesar 350 kg adalah: BK sebesar 8,6 kg dan PK sebesar 0,79 kg, yang berarti tingkat pemenuhan kebutuhan untuk BK 88,5% sedangkan untuk PK sebesar 75,9%. Standar kebutuhan nutrisi pakan berdasarkan NRC (KEARL, 1986). Hijauan yang diberikan berupa rumput Gajah, rumput lapangan dan jerami padi. Sedangkan pakan penguat yang diberikan meliputi gaplek, bungkil kopra, kulit kopi, dedak, tumpi dan ampas kecap. Performans produksi induk berpengaruh terhadap performans reproduksinya, terutama respon Tabel 4. Konsumsi pakan sapi induk dengan perlakuan superovulasi Uraian Hijauan (kg/ekor/hari) Konsumsi pakan Penguat (kg/ekor/hari) KESIMPULAN Penggunaan PMSG lokal cukup efisien sehingga dapat dijadikan alternatif hormon superovulasi. Diperlukan pengkajian lebih lanjut terhadap jumlah kelahiran kembar yang dihasilkan sehingga nilai efisiensinya lebih nyata. DAFTAR PUSTAKA AFFANDHY, L, MARIYONO, Y.N. ANGGRAENY, P. SITUMORANG, P.W. PRIHANDINI, W.C. PRATIWI, D. RATNAWATI dan D.M. DIKMAN. 2009. Kejadian Kembar dan Pengaruh Hormon PMSG terhadap Kelahiran Kembar Sapi Potong 10%. Laporan Akhir Loka Penelitian Sapi Potong. Grati, Pasuruan. Total BS 10,42 11,00 21,42 Kebutuhan pakan (kg/ekor/hari) Rasio (%) BK 1,65 5,96 7,61 8,60 88,50 PK 0,17 0,42 0,59 0,79 75,90 BS: bahan segar; BK: bahan kering; PK: protein kasar *Kebutuhan BB 350 kg, berdasarkan standar NRC (KEARL, 1986) 36

BEARDEN, H.J. and FUQUAY. 1980. Applied Animal Reproduction. A. Prentice-Hall & Co. Reston Virginia. pp. 107. ECHTERNKAMP, S.E. and K.E. GREGORY. 2002. Reproductive growth, feedlot and carcass raits of twin vs. single births in cattle. J. Anim. Sci. 80(E. Suppl. 2): E64 E73. GINTHER, O.J., L.J. NUTI, M.C. GARCIA, B.C. WENTWORTH and W.J. TYLER. 1976. Factors affecting progesterone concentration in cow's milk and dairy products. J. Anim. Sci. 42(1): 155 159. GREGORY K.E., G.L. BENNETT, L.D. VAN VLECK, S.E. ECHTERNKAMP and L.V. CUNDIFF.1997. Genetic and environmental parametres for ovulation rate, twinning rate and weight traits in a cattle population selected for twinning. J. Anim. Sci. 75: 1213 1222. HAFEZ, E.S.E. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th Edition. Reproductive Health Center. IVF Andrology Laboratory. Kiawah Island, South Carolina, USA. pp. 509. MARKEY, D.R., J.M. SCREENAN, J.F. ROCHET and M.G. DISKIN. 2000. The effect of progesterone alone or in combination with estradiol on follicular dynamics, gonadotropin profile, and estrus in beef cows following isolation and restricted suckling. J. Anim. Sci. 78(7): 1917 1929. TOELIHERE, 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. VANDEPLASSCHE. 1982. Reproductive Efficiency in Cattle: A Guide for Projects in Developing Countries. Faculty of Veterinary Medicine Department of Reproduction and Obstetrics State University, Ghent. Roma. VAN VLECK, L.D., K.E. GREGORY and S.E. ECHTERNKAMP. 1991. Ovulation rate and twinning rate in cattle: Heritabilities and Genetic Correlation. J. Anim. Sci. 69: 3213 3219. WINSLOW, M. 1996. Twinning in Cattle. http://www.dreamessays.com/customessays/ Science/11755.htm. (17 Maret 2009). DISKUSI Pertanyaan: 1. Dalam paper sebelumnya disampaikan preparat aktif dari hewan lokal vs hormon fokuskan supaya dapat diketahui perbedaan respon disebabkan oleh faktor apa saja? 2. Rancangan acak lengkap terminologi disesuaikan dengan hasil. 3. Hasil uji yang berbeda nyata kurang lengkap? 4. Data kelahiran sapi apa sudah ada karena baru dimulai pertengahan 2010 jadi sapi masih bunting saat makalah ditulis dan hasil penelitian? 5. Hasil konsultasi dan hasil penelitian sebelumnya dapat dilihat di makalah. 6. Hasil dari Unair lebih rendah dari pada standar hormon lebih mudah dari pada standar hormon impor. Jawaban: 1. Preparat aktif dan import sama yaitu PMSG (pregnant mare serum gonadothropin) Perbedaannya = lupurt/folligon Lokal/gonaplas Produksi = Intervet Holland Ovair, FKM. 2. Untuk point 2 dan 3 terimakasih atas sarannya dan akan dilakukan perbaikan pada makalah. 3. Data tentang sapi belum ada karena baru dimulai pertengahan 2010 jadi masih bunting saat makalah ditulis. 4. Hasil konsultasi dan berdasarkan hasil peneliian sebelumnya dapat dilihat di makalah. 5. Hasil dari uraian lebih rendah karena standar homon lebih mudah dari pada standar hormon impor. 37