BABI PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BABI PENDAHULUAN. Pada era globalisasi ini, banyak terjadi persamgan dalam kehidupan

BABI PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan dengan persoalan-persoalan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dimasyarakat pada saat ini melalui media-media seperti televisi, koran, radio dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial, individu di dalam menjalin hubungan dengan individu lain perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahap perkembangannya, seperti pada tahap remaja.

PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir lo

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peneitian

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan NAPZA merupakan suatu pemakaian obat yang bukan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BABI PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. pertama dalam berpacaran. Dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis remaja

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BABI PENDAHULUAN. Dalam menjalani suatu kehidupan, banyak orang yang mempunyai pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat. Hal ini dinyatakan di dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila:

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. psikis, maupun secara social (Sudarsono, 2004). Inilah yang disebut sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

Dalam era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan informasi yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Minggu. Biasanya kegiatan Sekolah Minggu diadakan di dalam gereja.

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BABI PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BABI PENDAHULUAN. Selama rentang waktu kehidupannya, manusta mengalami perubahanperubahan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. mana yang benar dan salah, dengan pikiran manusia dapat berpikir bahwa dia

BABI PENDAHULUAN. Berbagai ulasan di media massa menceritakan kisah hidup seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahkluk belajar (learning human). Sejak lahir manusia. mengenal lingkungannya, memahami dirinya sendiri, dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

TOPIK 2 = PEMBINAAN REMAJA & PEMUDA

BABI PENDAHULUAN. Era global temyata membawa dampak bagi kehidupan manusia. Di satu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan diharapkan mampu. mewujudkan cita-cita bangsa. Pendidikan bertujuan untuk membantu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Lampiran 1 PEDOMAN WAWANCARA

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan ini pula dapat dipelajari perkembangan ilmu dan teknologi yang

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran, di antaranya: pendidikan dan pelatihan guru, pengadaan sarana dan

BABI PENDAHULUAN. Pada hakekatnya manusia diciptakan sebagai makhluk sosia1. Sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Y, 2009). Pada dasarnya pendidikan seksual merupakan suatu informasi

KOMUNIKASI EFEKTIF ANTARA ORANG TUA DAN REMAJA MENGENAI TEMAN BERGAUL REMAJA. Dra. Muniroh A, M. Pd Afra Hafny Noer, S. Psi, M. Sc

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. data untuk kepentingan tugas, untuk akses jual-beli yang saat ini disebut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa, dimana individu berjuang untuk tumbuh menjadi sesuatu,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adalah Sekolah Dasar (SD). SD merupakan jenjang pendidikan setelah taman kanakkanak

LAMPIRAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

Setiap anak perlu untuk berkembang secara optimal dalam kehidupannya. Perkembangan optimal tersebut adalah dambaan semua orang tua, karena anak pada

BABI PENDAHULUAN. Sepanjang rentang kehidupan, setiap individu melewati beberapa fase

Kamu Sangat Penting Buat Saya

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

MODUL GENDER UNTUK ANAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yuyun Yuniarsih, 2014 Perilaku sosial remaja tunadaksa yang menggunakan jejaring sosial

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar pemikiran tersebut, pendidikan karakter. dengan metode serta pembelajaran yang aktif.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan tahapan-tahapan stimulasi yang perlu dilalui dan proses

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena sudah menjadi masalah nasional dan bahkan internasional. Di

B. Kegiatan Ceramah tentang Narkoba Tahap Kegiatan Kegiatan Peserta Media & Alat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama adalah hal yang penting sehingga harus tertanam kuat

PENGALAMAN REMAJA DALAM MENERIMA PENDIDIKAN SEKS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah, mengontrol diri dan bertanggungjawab serta berperilaku sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

PENGINJILAN I. PENTINGNYA VISI DAN MISI PENGINJILAN DALAM GEREJA LOKAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPA MATERI GAYA MAGNET MELALUI METODE INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa mencari identitas diri. Remaja lebih senng menghabiskan waktu bersama dengan ternan -ternan sebaya. Pola perilaku pada remaja pun lebih sering dipengaruhi oleh ternan -ternan sebaya. Jika remaja masuk dalam kelompok remaja yang berperilaku baik, maka remaja tersebut cenderung berperilaku baik pula. Ji ka remaja masuk dalam kelompok anak yang berperilaku kurang baik, maka remaja tersebut cenderung berperilaku seperti ternan -ternan yang ada di kelompoknya, yaitu berperilaku kurang baik. Beberapa contoh perilaku remaja yang kurang baik adalah pemakaian obat-obatan terlarang dan alkohol, kenakalan remaja, kehamilan remaja, bunuh diri, dan gangguan -gangguan makan karena merasa tidak puas dengan bentuk tubuhnya (Santrock, 2002: 19). Menurut Hartini (1999: 76), cukup banyak remaja yang jatuh dalam narkoba, pergaulan bebas, dan masalah-masalah sosial lainnya. Hartini juga menjelaskan bahwa masa remaja adalah masa dimana mereka ingin mendapatkan pengakuan dari orang -orang di sekitamya, atau lebih tepatnya yaitu masa untuk mencari identitas diri. Masa remaja, khusu snya remaja awal, adalah masa-masa mencari identitas diri karena pada masa inilah, remaja mulai mencari identitas yang tepat untuk dirinya dengan mengikuti ternan sebaya, namun masih tetap bisa diatur oleh norma yang berlaku, dengan demikian, penelitian ini berfokus pada remaja awal (usia 12-1 5 tahun). Remaj a dengan usia 12-1 5 tahun (Piaget dalam Santrock, 2002:1 0) termasuk dalam tahap perkembangan kognisi operasional formal. Pada tahap operasional formal ini, remaja mulai berpikir secara abstrak,

2 idealistis, dan logis. Remaja yang mulai berpikir secara abstrak, idealis, dan logis, rawan masuk dalam masalah-masalah yang negatif karena remaja mulai mempertimbangkan hal-hal yang idealis menurut mereka dan bukan menurut orangtua lagi. Apa yang menurut orangtua b enar, remaja dapat mempertimbangkannya dengan pemikiran mereka dan membandingkan dengan pengalamannya saat melihat teman-temannya. Namun, remaja dengan pemikiran ini masih dapat dinasehati atau diarahkan agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang negatif karena adanya pertimbanganpertimbangan yang mereka lakukan. Remaja dengan pemikiran idealis dan logis diharapkan dapat diajak untuk bertukar pikiran dalam mencari pilihan yang tepat dan benar dalam menentukan pencarian jati dirinya. Remaja yang rawan masuk dalam masalah-masalah yang negatif, memerlukan pendampingan dan bimbingan dari orang yang lebih dewasa, terutama orangtua dan keluarga. Peran orangtua dan masyarakat di lingkungan sekitar remaja sangat diperlukan untuk membimbing para remaja agar tidak jatuh dalam kenakalan remaja (Hartini, 1999: 80). Salah satu upaya pencegahan dan penanganan dapat dilakukan dengan program kakak asuh (big brothers and big sisters) (Gold & Petronio dalam Santrock, 2002: 25). Upaya-upaya pencegahan dan penanganan dapat dilak ukan di berbagai tern pat, seperti lingkungan keluarga, sekolah, atau pun di Gereja. Gereja merupakan tempat lain yang dapat membantu orangtua dalam mendidik anak remaja mereka, khususnya mendidik dalam pemahaman materi pendalaman Alkitab, mengingat bahwa re maja sudah memiliki pandangan sendiri dalam hal ketuhanan. Mendidik remaja melalui pengajaran Alkitab di gereja diduga merupakan salah satu upaya pencegahan dan penanganan untuk remaja yang bermasalah. Salah satu contohnya remaja yang rajin membaca Alkitab akan menemukan banyak kutipan mengenai cinta kasih dan bagaimana seharusnya menjalin relasi

3 yang positif dengan orang lain. Sebagai contoh salah satu ayat dalam Alkitab, yaitu Roma 12:17 berbunyi : "Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!" Ayat Alkitab ini meng ajarkan bahwa sebagai pengikut Kristus, kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan dan sebaliknya, kita diajar untuk melakukan apa yang baik bagi semua orang. Remaja yang mudah emosi, dapat diajar melalui ayat Alkitab tersebut agar remaja tidak 1 angsung melakukan tindak kekerasan (melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan) ketika sedang dalam kondisi emosi. Pengajaran Alkitab di setiap gereja dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Kegiatan pengajaran Alkitab di suatu Gereja dapat dibedakan berdasarkan jenjang usia. Gereja X di Surabaya Pusat memiliki kegiatan untuk remaja dari kelas 1 SLIP sampai 3 SMU. Kegiatan tersebut berupa cell group dimana remaja dibagi berdasarkanjenjang kelas (1 SLIP sampai 3 S:tvru) dan jenis kelamin (laki -laki dan perempuan). Dalam cell group ini, remaja dibimbing oleh pemuda gereja X sebagai guru. Hal ini mendukung pendapat Gold dan Petronio dalam hal remaja yang rawanjatuh dalam hal-hal negatif dapat dicegah dan ditangani dengan adanya program kakak asuh. Iugas guru dalam cell group adalah menyampaikan penjelasan ayat-ayat Alkitab. Bahan penyampaian Firman Iuhan diperoleh dari kurikulum yang telah disusun selama satu semester. Dalam satu semester, guru pengajar memiliki target tersendiri, yaitu remaja menjadi lebih mengerti dan memahami Alkitab. Setiap guru pengajar dan pembimbing remaja di gereja X memiliki target, yaitu menghasilkan remaja yang takut akan Iuhan dan nantinya dapat menjadi guru pengajar di cell group setelah lulus S:tvru. Setiap minggu, guru pengajar mempersiapkan materi pendalaman Alkitab dan berharap agar para

4 remaja yang dibimbing memiliki kerinduan untuk mendalami Alkitab melalui materi yang disampaikan dengan cara terlibat aktif dalam diskusi di cell group. Remaja yang mengikuti cell group di Gereja X tidak sebanyak remaja yang mengikuti ibadah Minggu. Dari jumlah remaja di Gereja X, yaitu sekitar 200 remaja, yang terdaftar mengikuti cell group berkisar antara 120-130 remaja (sekitar 65% yang terdaftar mengikuti cell group). Remaja yang tergolong aktif hadir dalam cell group berkisar antara 80-90 orang (sekitar 69% aktif hadir dalam cell group). Dari sekitar 69% remaja yang hadir dalam cell group, remaja yang aktif bertanya dan berdiskusi dalam cell group sekitar 45%. Sedikitnya jumlah remaja yang aktif berdiskusi dalam cell group membuat banyak guru pengajar mengeluh. Guru pengajar JUga mengeluhkan sikap remaja yang tidak taat saat dibimbing. Berdasarkan wawancara dengan seorang guru di Gereja X, diperoleh hasil sebagai berikut : guru H pemah merasa putus asa karena remaja dalam cell group yang ia pegang lebih suka membicarakan tentang game online daripada memperhatikan ajaran pendalaman Alkitab. Dalam kesempatan ini, peneliti yang juga berperan sebagai guru pengajar, sempat melakukan observasi dal am cell group untuk remaja kelas 1 SMU. Dari hasil observasi, peneliti melihat bahwa selama di kelas ( cell group), beberapa remaja tidak memperhatikan gurunya, mereka sering bennain sendiri dengan ternan yang lain saat guru menjelaskan materi pendalaman Alkitab. Dari hasil wawancara dengan beberapa guru pengajar, diketahui bahwa ketika di kelas (cell group), remaja tidak memperhatikan penj elasan materi yang disampaikan oleh gurunya, seperti hasil wawancara dengan guru T. Guru T mengatakan bahwa remaja di kel asnya sering bennain HP (hand-phone) sendiri, berbicara dengan temannya, bahkan ada

5 yang terlihat mendengarkan, tapi temyata melamun. Selain guru T, guru E juga sering menemui remaja di kelasnya yang tidak mendengarkan penjelasan materi yang ia sampaikan. Guru E mengatakan bahwa seringkali ketika diberi pertanyaan, murid-muridnya tidak menjawab dengan tepat, padahal pertanyaan tersebut sudah dijelaskan sebelumnya. Guru A juga mengeluhkan kondisi kerohanian remaja yang mulai menurun, seperti yang ia tunjukkan melalui selembar kertas pengukuran saat teduh (membaca suatu bagian Alkitab dan merenungkannya tiap pagi atau malam hari) yang cenderung menurun. Salah satu contohnya dari kondisi tersebut adalah remaja P yang biasanya aktif saat teduh (7 kali dalam sat u minggu), mengalami penurunan (sama sekali tidak melakukan saat teduh dalam satu minggu). Dari hasil wawancara dengan beberapa remaja yang mengikuti cell group, diketahui bahwa remaja berperilaku tidak memperhatikan gurunya karena remaja mengalami kebosa nan terhadap cara mengajar gurunya yang cenderung bersifat teacher oriented, yaitu berfokus pada guru. Oleh karena itu, guru dituntut untuk lebih aktif mengajar. Dari fenomena yang ada di Gereja X, peneliti mencari metode yang lebih efektif untuk diterapkan dalam cell group. Surahmad dalam Sudjarwo (n.d.) menjelaskan bahwa pemahaman belajar akan terbentuk apabila: (1) belajar terjadi dalam kondisi yang berarti bagi individu (2) adanya interaksi sosial yang intens antara guru dengan murid (3) hasil pelajaran adalah keb ulatan tingkah laku ( 4) siswa menghadapi secara pribadi (5) belajar adalah mengalami Hal ini didukung oleh Kolb ( dalam Afiatin, 2001: 32) yang menyatakan beberapa karakteristik experiential learning (belajar melalui pengalaman), yaitu bahwa bela jar merupakan proses, bukan hasil ( dalam memperoleh

6 suatu pengetahuan dibutuhkan proses dan belajar yang efektif adalah melalui proses, bukan dilihat dari hasilnya); bela jar merupakan suatu proses yang terus-menerus berasal dari pengalaman (belajar akan semakin efektif apabila murid mengalami proses pembelajaran itu sendiri); belajar adalah suatu proses adaptasi holistic (adanya proses penyesuaian diri terhadap keseluruhan pembelajaran itu sendiri); belajar melibatkan transaksi antara person dan lingkungan ( dalam pembelajaran dibutuhkan adanya person dan lingkungan); belajar adalah proses menciptakan pengetahuan (melalui pembelajaran, seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang baru). Dalam penelitian terdahulu, disebutkan model belajar experiential learning memudahkan individu dalam mengingat suatu pelajaran. Metode experiential learning berfokus atau berpusat pada aktivitas melakukan (learning by doing). Salah satu contoh dari metode experiential learning adalah metode games atau permainan. Materi yang dibawakan dengan metode games, pertama-tama akan membuat anak lebih tertarik untuk mempelajarinya, setelah itu, anak-anak dapat langsung belajar dari aktivitas games yang dilakukan (adanya pengalaman langsung dari anak untuk belajar melalui metode games). Gass (1993, dalam Afiatin, 2001: 33) mengemukakan beberapa prinsip dalam experiential learning, yaitu murid adalah partisipan, bukan penonton yang pasif; dalam proses belajar, murid harus dilibatkan secara aktif; aktivitas belajar adalah suatu hal yang nyata; belajar bukanlah suatu hal yang hanya ada dipikiran atau khayalan seseorang, melainkan suatu hal yang ada/nyata yang dapat dipelajari; dan m urid perlu merefleksikan hasil belajamya. Dalam belajar, selain dibutuhkan suatu proses, diperlukan juga refleksi diri untuk mengetahui makna dibalik pembelajaran tersebut. Pembelajaran dengan menggunakan metode experiential learning dapat membantu murid untuk lebih mudah memahami pelajaran yang

7 disampaikan, yaitu dengan adanya aktivitas yang dilakukan secara langsung (nyata) oleh murid sehingga murid dapat lebih mudah memahami materi pembelajaran yang disampaikan. Penelitian ini sangat penting untuk dilakukan karena selain sekolah, gereja juga dituntut untuk dapat mengajarkan atau mendidik para remaja dari segi moral agar para remaja, khususnya remaja awal tidak masuk dalam masalah-masalah atau kenakalan-kenakalan remaja. Banyak orangtua yang menginginkan agar anak remajanya memiliki kehidupan rohani yang baik (rajin saat teduh, rindu untuk bersekutu dan beribadah, rajin berdoa, dan aktif dalam pelayanan). Namun kenyataannya, remajaremaja tersebut justru mengalami penurunan dalam hal kehidupan rohaninya. Hal ini diduga terkait dengan metode pembelajaran yang digunakan dalam cell group. Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk memperkenalkan metode experiential learning bagi para remaja yang bergereja agar mereka tidak mengalami kebosanan dalam proses belajar di cell group. 1.2. Batasan Masalah Metode experiential learning yang digunakan adalah metode games (permainan) dan modeling role -play (bermain peran). Metode games merupakan suatu aktivitas yang digunakan untuk melibatkan peserta dan permainan tersebut haruslah sesuai dengan topik yang sedang dibahas. Games (permainan) lebih disukai oleh peserta yang ekstrovert (Brooks - Harris & Stock-Ward, 1999: 87). Metode modeling role-play digunakan untuk menunjukkan perilaku mengesankan yang berhubungan dengan topik yang dibawakan (Brooks -Harris & Stock-Ward, 1999: 90). Pendalaman Alkitab dibatasi pada 3 (tiga) tema dalam 3 (tiga) kali pertemuan, yaitu "Pukulan atau Ciuman" pada pertemuan pertama, "Damai

8 Lagi" pada pertemuan kedua, dan "Penginjilan Persahabatan" pada pertemuan ketiga. Iema "Pukulan atau Ciuman" dan "Penginjilan Persahabatan" akan menggunakan metode games (permaianan), sedangkan tema "Damai Lagi" akan menggunakan metode modeling role-play (bermain peran). Subjek penelitian dibatasi pada remaja awal dengan usia 13-14 tahun (kelas 2 SLIP) yang mengikuti cell group di Gereja X dengan pertimbangan pengaturan waktu lebih flexible dan sudah mulai beradaptasi dengan kelas cell group yang ada. Selain itu, remaja dengan usia 13-14 tahun (kelas 2 SLIP) termasuk remaja awal yang berada pada periode fantasi dimana remaja masih bisa dan mau diatur oleh norma yang berlaku di lingkungannya (Gizberg dalam Hartini, 1999: 77-78). Penelitian ini, masih menggunakan peran orang dewasa (guru) untuk membimbing remaja, khususnya untuk hasil evaluasi berupa refleksi diri. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. 1.3. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh metode experiential learning terhadap pemahaman materi pendalaman Alkitab pada remaja awal yang mengikuti cell group? 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji ada tidaknya pengaruh metode experiential learning terhadap pemahaman materi pendalaman Alkitab pada remaja awal yang mengikuti cell group di gereja X.

9 1.5. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memperkaya pengembangan teori Psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan, yaitu tentang teori p erkembangan remaja dan religiositas remaja dengan menguji pengaruh metode experiential learning terhadap pemahaman materi Pendalaman Alkitab pada remaja awal yang mengikuti cell group. 2. Manfaat Praktis a. Untuk guru pengajar: Diharapkan guru mengetahui ef ektivitas metode experiential learning terhadap pemahaman materi pendalaman Alkitab pada remaja sehingga guru dapat menerapkan metode tersebut pada saat mengajar di cell group. b. Untuk pihak gereja: Dengan mengetahui efektivitas metode experiential learning terhadap pemahaman materi pendalaman Alkitab pada remaja, maka pihak gereja dapat meningkatkan kualitas pengajaran terhadap remaja yang selama ini dilakukan pengajar di gereja X. c. Untuk subjek penelitian : Dengan penerapan metode experiential learning diharapkan para remaja yang mengikuti proses penelitian dalam cell group mendapat manfaat yang positif dari metode ini dan bagi remaja lain, diharapkan penelitian ini dapat memberi masukan adanya manfaat metode experiential learning bagi pemahaman materi pendalaman Alkitab di cell group.