BAB V SIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Nurhayati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana yang diamanatkan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Para pendidik mempunyai tanggung jawab besar untuk membantu siswa

BAB I PENDAHULUAN. SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Bagaimana? Apa? Mengapa?

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

BAB I PENDAHULUAN. individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu anak mempunyai hak

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ;

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2015 PENGEMBANGAN PROGRAM PUSAT SUMBER (RESOURCE CENTER) SLBN DEPOK DALAM MENDUKUNG IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA DEPOK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2015 UPAYA GURU D ALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN VOKASIONAL BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KOMITMEN KEPALA SEKOLAH DALAM MENYIAPKAN KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK ABK. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya. Penyelenggaraan pendidikan di

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak hanya dibutuhkan oleh anak-anak normal (siswa reguler), akan

BAB I PENDAHULUAN !"#$%&'

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. normal, namun anak anak yang memiliki keterbelakangan mental juga

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan luar biasa

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pendidikan dan yang ditegaskan dalam Undang-Undang

Resume Diagnosti kesulitan Belajar

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

NIM. K BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berkembang secara normal. Orang tua pun akan merasa senang dan bahagia

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PENGUATAN EKOSISTEM PENDIDIKAN MELALUI BATOBO SEBAGAI OPTIMALISASI PENDIDIKAN INKLUSI DI PAUD

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

2015 PENGARUH METODE DRILL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMAKAI SEPATU BERTALI PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN KELAS 3 SDLB DI SLB C YPLB MAJALENGKA

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS. DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Maosul, 2013

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

MENGATASI PERMASALAHAN PERILAKU ANAK PENYANDANG AUTISME DENGAN METODE APPLIED BEHAVIOUR ANALYSIS (ABA) DI TK PERMATA BUNDA SURAKARTA

: UTARI RAHADIAN SETIYOWATI K

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ingatan adalah salah satu bagian dalam kognisi. Kata ingatan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. memandang latar belakang maupun kondisi yang ada pada mereka. Meskipun

BAB I PENDAHULUAN. Ai Nuraeni, 2014 Pembelajaran PAI Untuk Siswa Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V PEMBAHASAN. berkebutuhan khusus di SMK Negeri 8 Surabaya. Surabaya semakin di percaya oleh mayarakat.

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. Temuan penelitian menggambarkan bahwa kondisi objektif implementasi

SISTEM PENDIDIKAN DI SEKOLAH LUAR BIASA (SLB) D YPAC BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam fungsi motorik, afektif maupun kognitifnya. Orang-orang yang fungsi. kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri

BAB II LANDASAN TEORI. keadaan yang biasa, mempunyai kelainan dan tidak normal. Pada undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

KISI-KISI PENGEMBANGAN SOAL UJI KOMPETENSI AWAL SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN MATA PELAJARAN GURU KELAS SDLB KOMPETENSI PEDAGOGIK

BAB I PENDAHULUAN. yang begitu bahagia dan ceria tanpa lagi ada kesepian. dengan sempurna. Namun kenyataannya berkata lain, tidak semua anak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. investasi untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan dipaparkan simpulan dan saran yang berkenaan dengan hasil penelitian ini. A. SIMPULAN Berdasarkan analisis terhadap hasil pengolahan data, penulis membuat beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Guru-guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat memiliki sikap yang cukup positif tentang penyelenggaraan sekolah inklusif, baik dalam sikap secara umum maupun dalam komponen kognitif sikap, komponen afektif, maupun konatif. Variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap terbentuknya sikap guru yang cukup positif tentang sekolah inklusif ini meliputi variabel jenis sekolah, pelatihan pendidikan inklusif, dan jumlah siswa di kelas, sedangkan variabel latar belakang pendidikan guru dan pengalaman menangani anak berkebutuhan khusus tidak berpengaruh secara signifikan. 2. a. Jenis sekolah tempat guru mengajar berpengaruh secara signifikan terhadap sikap guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif, baik terhadap sikap secara umum maupun terhadap komponen kognitif sikap, komponen afektif, maupun konatif sikap. Pengaruh Untuk sitasi (citation), tuliskan: Herlina. (2010). Sikap Guru Sekolah Dasar terhadap Penyelenggaraan Sekolah Inklusif. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. (Tesis)

ini terjadi karena jenis sekolah tempat guru mengajar (SD umum atau SLB) memberikan corak pengalaman yang berbeda terhadap guru dan membentuk persepsi guru tentang tuntutan masyarakat terhadap dirinya untuk menentukan sikap tentang penyelenggaraan sekolah inklusif. b. Sekolah luar biasa, sebagai tempat guru mengajar, memberikan pengaruh lebih besar daripada sekolah umum dalam membentuk sikap yang cukup positif pada guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif 3. Latar belakang pendidikan guru tidak berpengaruh secara signifikan terhadap sikap guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif. Hal ini terjadi, diduga karena guru, baik yang berlatar belakang pendidikan luar biasa maupun non pendidikan luar biasa, tidak dipersiapkan secara optimal untuk menjawab kebutuhan pendidikan unik setiap siswa berkebutuhan khusus. 4. a. Pelatihan pendidikan inklusif berpengaruh secara signifikan terhadap sikap guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif, baik terhadap sikap secara umum, komponen kognitif sikap, komponen afektif, maupun konatif. Hal ini terjadi karena pelatihan pendidikan inklusif memberikan pengetahuan dan pengalaman terhadap guru tentang penyelenggaraan sekolah inklusif, dan menjadi media bagi terjadinya konformitas para guru terhadap ide-ide tentang pendidikan inklusif yang disampaikan oleh para instruktur pelatihan. b. Intensitas pelatihan pendidikan inklusif berperan dalam pembentukan arah 148

sikap guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif. Makin intensif pelatihan pendidikan inklusif, makin positif sikap guru terhadap penyelenggaraan sekolah inklusif, dan sebaliknya. 5. a. Jumlah siswa di kelas berpengaruh secara signifikan terhadap komponen kognitif sikap guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif, namun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap komponen afektif, komponen konatif, maupun sikap secara umum. Kemudahan guru dalam menangani kelas kecil membentuk persepsi, keyakinan, dan ide yang positif (komponen kognitif) tentang penanganan anak berkebutuhan khusus di kelas umum, sebaliknya, kesulitan guru dalam menangani kelas besar membentuk persepsi, keyakinan, dan ide yang negatif (komponen kognitif) tentang penanganan anak berkebutuhan khusus di kelas umum. Namun, nilai-nilai moral universal maupun normatif tentang penerimaan dan pengakuan terhadap keberagaman individu menjadikan para guru tidak terpengaruh oleh jumlah siswa di kelas dalam menentukan sikap (secara umum, afektif, maupun konatif) tentang penanganan anak berkebutuhan khusus di kelas umum. b. Makin sedikit jumlah siswa di kelas, makin positif sikap kognitif guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif dibandingkan dengan jumlah siswa yang lebih banyak. 6. Pengalaman menangani anak berkebutuhan khusus tidak berpengaruh secara signifikan terhadap sikap guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif. Hal ini terjadi karena tidak/kurang ada 149

keterlibatan emosional pada guru dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. 7 Pelatihan pendidikan inklusif merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap terbentuknya sikap yang cukup positif pada guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif, baik pada sikap secara umum, pada komponen afektif sikap, maupun komponen konatif. Sedangkan jenis sekolah tempat guru mengajar merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap terbentuknya komponen kognitif sikap yang cukup positif pada guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif. 8 Sebagian besar guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat memilih sekolah luar biasa sebagai tempat mendidik anak berkebutuhan khusus. 9. Guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat lebih memilih SLB sebagai tempat mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus yang tergolong tingkat sedang sampai berat dan kebutuhan khusus yang tidak secara langsung berkaitan dengan masalah akademik, dan memilih SD umum sebagai tempat mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus yang tergolong ringan, yang berkaitan langsung dengan masalah akademik, atau yang memiliki bakat intelektual maupun bakat khusus. 10. Guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat memilih sekolah luar biasa sebagai tempat mendidik yang utama bagi anak-anak yang memiliki jenis kebutuhan khusus: buta, hambatan pendengaran tingkat sedang dan berat, tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, dan tunagrahita berat, cerebral palsy, cacat fisik, agresif, antisosial, cemas (menarik diri), ADD, ADHD, dan autisme. 11. Guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat memilih sekolah umum (sekolah 150

inklusif) sebagai tempat mendidik anak-anak yang memiliki jenis kebutuhan khusus: low vision, hambatan pendengaran tingkat ringan, hambatan intelektual slow learner, disleksia, disgrafia, diskalkulia, anak berbakat intelektual, dan anak berbakat khusus lainnya. 12. Terdapat perbedaan sudut pandang antara guru yang memilih menempatkan anak berkebutuhan khusus di SD umum dengan yang memilih menempatkan anak berkebutuhan khusus di SLB, yaitu dalam menilai dampak kebutuhan khusus anak (raw input) terhadap proses belajar mengajar di sekolah umum. Guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Bawat yang memilih SD umum sebagai tempat mendidik anak berkebutuhan khusus beranggapan bahwa kebutuhan khusus anak (raw input) tidak akan menimbulkan gangguan terhadap proses belajar mengajar di sekolah umum, sementara guru yang memilih SLB sebagai tempat mendidik anak berkebutuhan khusus menilai bahwa kebutuhan khusus anak akan menjadi gangguan bagi proses belajar mengajar jika anak ditempatkan di sekolah umum. 13. Terdapat pandangan yang paralel antara guru yang memilih SD umum sebagai tempat mendidik anak berkebutuhan khusus dengan guru yang memilih SLB sebagai tempat mendidik anak berkebutuhan khusus, yaitu masing-masing memandang sekolah pilihannya memiliki sumberdaya manusia (instrumental input) yang memadai untuk menangani anak berkebutuhan khusus. 14. Terdapat kesamaan pandangan antara guru yang memilih SD umum sebagai tempat mendidik anak berkebutuhan khusus dengan guru yang memilih SLB sebagai tempat mendidik anak berkebutuhan khusus, yaitu bahwa proses pelaksanaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus membutuhkan kerjasama 151

antara guru SD umum, guru SLB, dan orangtua. Akan tetapi, guru yang memilih SD umum sebagai tempat mendidik anak berkebutuhan khusus menekankan pentingnya peningkatan kompetensi guru dalam menangani anak berkebutuhan khusus, sementara guru yang memilih SLB sebagai tempat mendidik anak berkebutuhan khusus menekankan pentingnya penerapan individualisasi program atau layanan oleh guru terhadap anak. Artinya, guru (instrumental input) di SD umum masih dipandang kurang kompeten jika dibandingkan dengan guru di SLB dalam menangani anak berkebutuhan khusus. 15. Terdapat pandangan yang paralel antara guru yang memilih SD umum sebagai tempat mendidik anak berkebutuhan khusus dengan guru yang memilih SLB sebagai tempat mendidik anak berkebutuhan khusus, yaitu masing-masing memandang sekolah pilihannya sebagai tempat yang tepat untuk mengembangkan potensi anak berkebutuhan khusus. 16. Pemilihan tempat selain sekolah luar biasa dan sekolah umum sebagai tempat mendidik anak berkebutuhan khusus didasarkan pada alasan-alasan yang berkenaan dengan raw input (anak dipandang akan bermasalah jika ditempatkan di SLB atau sekolah umum), environmental input (SLB dan sekolah umum tidak dapat memenuhi kebutuhan khusus anak), dan proses (penanganan secara intensif, pelayanan multidisipliner, kerjasama dengan SLB, dan kesinambungan dukungan orangtua). 17. Terdapat kesenjangan (discrepancy) antara sikap dengan perilaku guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat mengenai penyelenggaraan sekolah inklusif. 18. Pernyataan-pernyataan bahwa Sikap positif merupakan faktor yang sangat 152

penting bagi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif harus dimaknai secara hati-hati. Sikap positif saja tidak dapat dijadikan dasar untuk memprediksi keberhasilan penyelenggaraan sekolah inklusif, tetapi perlu pula dipertimbangkan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengatasi hambatan/kesulitan dalam menyelenggarakan sekolah inklusif. B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis berpendapat bahwa ada beberapa pihak yang diharapkan dapat berperan bagi keberhasilan penyelenggaraan sekolah inklusif, yaitu: a. Prodi Pendidikan Kebutuhan Khusus SPs UPI dan/atau Pusat Kajian Pendidikan Inklusif UPI, sebagai lembaga formal yang mendalami pendidikan anak berkebutuhan khusus dan pendidikan inklusif, b. Pemerintah Kabupaten Kuningan, sebagai pemegang kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di wilayah Kabupaten Kuningan Jawa Barat, dan c. Peneliti selanjutnya yang berminat meneliti tentang sikap ataupun penyelenggaraan sekolah inklusif, dimana hasil penelitiannya akan dapat dijadikan sebagai salah satu masukan bagi upaya untuk keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif. 153

Adapun saran yang penulis ajukan adalah sebagai berikut: 1. Bagi Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus Sekolah Pascasarjana UPI. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa para guru memiliki sikap yang cukup positif terhadap penyelenggaraan sekolah inklusif, namun masih tetap mengutamakan SLB sebagai pilihan penempatan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Hal ini bisa menjadi hambatan bagi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Selain itu, penelitian ini juga membuktikan bahwa pelatihan pendidikan inklusif maupun interaksi antara pelatihan pendidikan inklusif dan pengalaman menangani anak berkebutuhan khusus berpengaruh terhadap terbentuknya sikap positif guru tentang penyelenggaraan sekolah inklusif. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika Prodi Pendidikan Kebutuhan Khusus SPs UPI, melalui Pusat Kajian Pendidikan Inklusif, menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan program-program berikut ini: a. Pelatihan pendidikan inklusif bagi para guru, baik guru sekolah umum maupun guru sekolah luar biasa, secara berkelanjutan. Tujuan pelatihan tersebut mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, sehingga dapat diiharapkan para guru tidak hanya memiliki pengetahuan yang benar dan memadai tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif, namun juga afek positif terhadap pendidikan inklusif, serta kemampuan praktis dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Dengan kompetensi tersebut, para guru akan terdorong untuk mengimplementasikan pendidikan inklusif. 154

b. Pendampingan bagi para guru, khususnya guru sekolah umum, dalam melaksanakan pendidikan inklusif. Dengan pendampingan, diharapkan tindakan para guru dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif akan terarah sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 2. Bagi Pemerintah Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa sebenarnya para guru SD di Kabupaten Kuningan sudah memiliki landasan normatif yang memadai untuk mengimplementasikan pendidikan inklusif, yang ditandai dengan terbentuknya komponen afektif sikap yang cukup positif pada para guru. Namun, pengetahuan dan keterampilan mereka tentang penanganan anak berkebutuhan khusus kurang memadai, yang bisa berdampak pada kurang kuatnya keyakinan dalam diri mereka bahwa mereka akan berhasil mengimplementasikan pendidikan inklusif. Sementara itu, penelitian ini juga membuktikan bahwa pelatihan pendidikan inklusif berpengaruh terhadap terbentuknya sikap positif guru tentang penyelenggaraan sekolah inklusif. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Kuningan, melalui Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga, sangat diharapkan untuk: a. Menjalin kerjasama dengan pihak-pihak yang berkompeten tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif (misalnya Pusat Kajian Pendidikan Inklusif Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia) untuk menyusun dan melaksanakan program pelatihan pendidikan inklusif yang berkelanjutan bagi para guru, 155

baik guru sekolah umum maupun guru sekolah luar biasa. Tujuan pelatihan tersebut adalah agar para guru memiliki kompetensi kognitif, afektif, maupun psikomotorik dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif. Untuk itu, materi pelatihan tidak hanya yang bersifat teoritik, melainkan juga praktik langsung menangani anak berkebutuhan khusus di sekolah umum. Melalui pelatihan tersebut, diharapkan para guru akan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang penanganan anak berkebutuhan khusus sehingga siap mengimplementasikan pendidikan inklusif. Implementasi pendidikan inklusif secara benar akan sangat membantu anak-anak berkebutuhan khusus maupun non berkebutuhan khusus mengembangkan potensi dirinya secara optimal, sehingga pada akhirnya turut membantu pemerintah daerah dalam mengembangkan sumberdaya manusia di wilayahnya. b. Mengembangkan SLB menjadi Resource Center, sehingga bisa membantu sekolah-sekolah umum yang berada di sekitarnya dalam menangani anakanak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah mereka. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya. a. Dalam berbagai literatur dipaparkan pentingnya peran sikap bagi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Namun, sikap tidak sama dengan perilaku, melainkan baru merupakan potensi untuk menjadi perilaku. Artinya, sikap positif terhadap penyelenggaraan sekolah inklusif tidak serta merta menunjukkan implementasi positif dalam pendidikan inklusif. Sejalan 156

dengan beberapa hasil penelitian lain, penelitian ini menunjukkan bahwa sikap tidak selalu secara langsung berkorelasi dengan perilaku. Meskipun guru memiliki sikap cukup positif terhadap penyelenggaraan sekolah inklusif, namun dalam memilih tempat mendidik anak berkebutuhan khusus, guru menilai bahwa sekolah tertentu (sekolah umum atau sekolah luar biasa) lebih cocok untuk anak dengan jenis dan tingkat kebutuhan khusus tertentu pula. Jadi, walaupun guru memiliki sikap cukup positif terhadap sekolah inklusif, namun guru tidak memilih sekolah inklusif sebagai tempat mendidik semua anak dari berbagai jenis dan tingkat kebutuhan khusus. Faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya diskrepansi antara sikap dengan perilaku adalah perceived behavioral control dan actual behavioral control yang ada pada pemilik sikap. Oleh karena itu, jika ada peneliti yang ingin menguji peran sikap dalam keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif, akan sangat baik jika mempertimbangkan faktor-faktor tadi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengukuran sikap. b. Selain itu, keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif dipengaruhi pula oleh faktor lain, diantaranya adalah peraturan/kebijakan mengenai pendidikan inklusif. Pemerintah sudah menetapkan berbagai peraturan tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif, diantaranya adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa dan yang terbaru yaitu Bab VII Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Namun, 157

pelaksanaan peraturan tersebut juga sangat dipengaruhi oleh sikap penyelenggara pemerintahan. Kasus-kasus tidak berjalannya penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah umum yang ditunjuk untuk menjadi percontohan sekolah inklusif sangat berkaitan dengan political will penyelenggara pemerintahan untuk mensukseskannya. Oleh karena itu, akan sangat bermanfaat jika ada peneliti selanjutnya yang melakukan penelitian tentang sikap, termasuk perceived dan actual behavioral control para penyelenggara pemerintahan yang bertanggungjawab menangani pendidikan terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Diharapkan hasil penelitian tersebut akan menjadi input bagi pemerintah dalam merancang strategi penyelenggaraan pendidikan inklusif sebagai wujud pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut di atas. 158