PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE)

dokumen-dokumen yang mirip
KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS

A. Sifat Fisik Kimia Produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

: Komposisi impurities air permukaan cenderung tidak konstan

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS PPM DAN SUHU 85 C

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berputar, sehingga merupakan suatu siklus (daur ulang) yang lebih dikenal

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA

METODOLOGI PENELITIAN

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

STUDI KESTABILAN BUSA MENGENAI PENGARUH SUHU DAN ELEKTROLITSERTA KONSENTRASI SURFAKTAN DENGAN DAN TANPA MINYAK

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

Kelompok B Pembimbing

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding

PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI UNTUK APLIKASI CHEMICAL FLOODING

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2.

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR

III. METODOLOGI PENELITIAN

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) :

STUDI PENENTUAN RANCANGAN FLUIDA INJEKSI KIMIA

MODUL KIMIA SMA IPA Kelas 10

APLIKASI SURFAKTAN DARI MINYAK SAWIT UNTUK PEMBUANGAN DEPOSIT WAX PADA PERFORASI DAN SISTEM PIPA SUMUR PRODUKSI (STUDI KASUS SUMUR MINYAK XP)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Preparasi Adsorben

III. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Anionik Terhadap Salinitas Optimum dalam Mikroemulsi Spontan dengan Sample Minyak Lapangan M. Ratna Widyaningsih

Wardaya College IKATAN KIMIA STOIKIOMETRI TERMOKIMIA CHEMISTRY. Part III. Summer Olympiad Camp Kimia SMA

SURFACE TENSION ( Tegangan Permukaan )

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK PERCOBAAN II SIFAT-SIFAT KELARUTAN SENYAWA OGANIK

BAB I PENDAHULUAN. Prarancangangan Pabrik HPAM dari Monomer Acrylamide Kapasitas ton/tahun


BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut

Transkripsi:

i PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE) RISTA FITRIA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

ii

iii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penambahan Garam Anorganik, Pelarut Alkohol dan Alkali Terhadap Formula Surfaktan MES Air Formasi Minyak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014 Rista Fitria NIM F34100003

iv ABSTRAK RISTA FITRIA. Pengaruh Penambahan Garam Anorganik, Pelarut Alkohol, dan Alkali Terhadap Formula Surfaktan MES Air Formasi Minyak (studi kasus Lapangan Sandstone). Dibimbing oleh ANI SURYANI dan ERLIZA HAMBALI. Penggunaan surfaktan metil ester sulfonat (MES) untuk keperluan enhance oil recovery (EOR) dikarenakan kemampuannya dalam menurunkan nilai IFT minyak bumi air mencapai 10-3 dyne/cm. Kinerja surfaktan dapat diketahui melalui metode penurunan nilai IFT dan metode kelakuan fasa. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kinerja surfaktan (MES) dengan penambahan garam anorganik, co-surfactant dan alkali pada kondisi berbeda. Media pendispersi yang digunakan pada penelitian ini adalah air formasi dan air demineral. Metode penurunan nilai IFT menggunakan alat spinning drop tensiometer TX500D yang diuji pada suhu 40, 50, dan 60 o C. Pengujian menunjukkan bahwa penurunan nilai IFT dipengaruhi oleh konsentrasi surfaktan, garam anorganik, pelarut alkohol dan alkali pada media pendispersi air formasi dan air demineral. Metode kelakuan fasa dilakukan dengan metode uji tabung yang dilakukan pada suhu 50 o C. Hasil terbaik metode kelakuan fasa terjadi pada media pendispersi air formasi dengan penambahan 0,3% surfaktan MES. Kata kunci : Alkali, garam anorganik, interfacial tention (IFT), kelakuan fasa, metil ester sulfonat (MES), pelarut alkohol ABSTRACT RISTA FITRIA. The Effect of Addition of Inorganic Salts, Solvents Alcohol, and Alkali to Formula "MES surfactant - Water Formation - Oil" (Sandstone Field case study). Supervised by ANI SURYANI and ERLIZA HAMBALI. The application of methyl ester sulfonate (MES) surfactant for enhance oil recovery (EOR) was due to its ability to reduce interfacial tension in crude oil-water system that reaches 10-3 dyne/cm. Performance of methyl ester sulfonate (MES) surfactant can be identified with the spinning drop IFT method and phase behavior method. The objectives of this research were to determine of MES surfactant performance with addition of inorganic salt, alcohol, and alkaly in different conditions. The dispersing media used in this research is the formation water and demineralized water. The spinning drop IFT method was conducted using spinning drop tensiometer TX500C tested in 40, 50 and 60 o C. The researched showed that reduction of IFT value was affected by surfactant, inorganic salt, solvent alcohol, and alkali in the formation water and demineralized water dispersion medium. The phase behavior method was conducted using test tube method performance at 50 o C. The best result of phase behavior methode was found in formation water dispersion medium with the 0,3% of methyl esteer sulfonat (MES) addition. Keywords : Alkali, alcohol, inorganic salt, interfacial tension (IFT), methyl ester sulfonate (MES), phase behavior

v PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE) RISTA FITRIA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

vi

viii

ix PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah kinerja surfaktan, dengan judul Pengaruh Penambahan Garam Anorganik, Pelarut Alkohol dan Alkali Terhadap Formula Surfaktan MES Air Formasi Minyak. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ani Suryani DEA dan Prof Dr Erliza Hambali selaku pembimbing, serta para teknisi SBRC LPPM IPB dan teman-teman yang telah membantu jalannya penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala do a dan kasih sayangnya. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Desember 2014 Rista Fitria

x DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xiii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Tegangan Antarmuka 3 Kelakuan Fasa 6 Pengaruh Garam Anorganik, Pelarut Alkohol dan Alkali terhadap Kinerja Surfaktan 7 Metil Ester Sulfonat 11 Fluida Reservoir 13 METODE 15 Bahan 15 Alat 15 Prosedur Analisis Data 15 HASIL DAN PEMBAHASAN 17 Formulasi Larutan Surfaktan 17 Uji Densitas 19 Uji Nilai IFT 26 Uji Kelakuan Fasa 36 SIMPULAN DAN SARAN 39 Simpulan 39 Saran 40 DAFTAR PUSTAKA 40 RIWAYAT HIDUP 100

xi DAFTAR TABEL 1 Sifat fisiko kimia alkohol 9 2 Komposisi minyak bumi secara umum 13 3 Sifat fisika kimia fluida minyak lapangan sandstone yang digunakan dalam penelitian 14 4 Sifat fisika kimia fluida air lapangan sandstone yang digunakan dalam penelitian 14 5 Data viskositas pada media pendispersi air formasi 31 6 Data viskositas pada media pendispersi air demineral 31 7 Hasil uji kelakuan fasa 37 DAFTAR GAMBAR 1 Hubungan capillary number dengan oil recovery 4 2 Kadar garam dan tegangan antarmuka 5 3 Diagram pseudoterner air formasi-surfaktan-minyak 6 4 Proses transesterifikasi trigliserida dengan metanol 12 5 Reaksi sulfonasi metil ester 13 6 Hubungan antara konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan dengan media pendispersi air formasi 20 7 Hubungan konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan dengan media pendispersi air demineral 20 8 Hubungan konsentrasi NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi 21 9 Hubungan konsentrasi NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral 22 10 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu pengukuran 40 o C 22 11 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu pengukuran 50 o C 23 12 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu pengukuran 60 o C 23 13 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu pengukuran 40 o C 23

xii 14 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu pengukuran 50 o C 24 15 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu pengukuran 60 o C 24 16 Hubungan antara pengaruh konsentrasi NaOH dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi 25 17 Hubungan antara pengaruh konsentrasi NaOH (%) dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral 25 18 Hubungan konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan dengan media pendispersi air demineral 26 19 Hubungan konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan dengan media pendispersi air formasi 27 20 Hubungan pengaruh konsentrasi garam NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral 29 21 Hubungan pengaruh konsentrasi garam NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi 29 22 Mekanisme reaksi terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat 30 23 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu 40 o C 33 24 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu 50 o C 33 25 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu 60 o C 33 26 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu 40 o C 34 27 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu 50 o C 34 28 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu 60 o C 34 29 Hubungan konsentrasi NaOH dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi pada air demineral 35 30 Hubungan konsentrasi NaOH dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi pada air formasi 35 31 Reaksi pembentukan petroleum soap 36 32 Formula 0,3% MES dan 1% NaOH dalam media pendispersi air formasi 39

xiii DAFTAR LAMPIRAN 1 Perhitungan total endapan kalsium karbonat 44 2 Prosedur pengujian formula surfaktan 44 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT 46 4 Data hasil perhitungan standar deviasi 56 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi 64 6 Data hasil uji kelakuan fasa 89 7 Dokumentasi hasil uji kelakuan fasa 95

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanfaatan surfaktan untuk keperluan enhance oil recovery (EOR) memerlukan persyaratan yang lebih khusus meliputi: ultralow interfacial tension ( 10-3 dyne/cm), kompatibel dengan air formasi dan stabil terhadap suhu reservoir, ph berkisar 6 8, memiliki fasa III (fasa tengah) atau fasa II (-), dan oil recovery incremental berkisar 15 20% original oil in place (OOIP) (BPMIGAS 2009). Bila surfaktan mempunyai ultralow interfacial tension (<10-2 dyne/cm) dapat diduga mampu meningkatkan oil recovery sekitar 10-20% (Aczo 2006). Salah satu surfaktan yang penting untuk dikembangkan lebih lanjut untuk keperluan enhance oil recovery (EOR) adalah surfaktan metil ester sulfonat (MES) dari minyak sawit. Berdasarkan analisis IFT pada MES, diketahui bahwa nilai IFT yang diperoleh 7,7 10-3 dan stabil pada suhu reservoir, yaitu sampai suhu 80 C. Hal ini menjelaskan bahwa surfaktan MES sudah terbukti mampu menghasilkan IFT yang rendah 10-3 dyne/cm untuk lapangan sandstone di Indonesia dan tahan pada suhu reservoir. Tegangan antarmuka (interfacial tension, IFT) antara minyak dan mikroemulsi merupakan salah satu parameter utama dalam EOR. Tegangan antarmuka tersebut harus dikontrol dan ditentukan sebelum slug mikroemulsi digunakan untuk proses EOR. Suatu keadaan IFT yang rendah antara minyak mentah dan air formasi dibutuhkan untuk mempermudah proses pengaliran tetesantetesan minyak yang terperangkap didalam pori-pori batuan. Hal ini karena kondisi tersebut akan mengurangi kerja deformasi yang dibutuhkan untuk menggerakkan minyak mentah yang terperangkap didalam pori-pori batuan. Uji kelakuan fasa ditujukan untuk megetahui tipe fasa yang terbentuk dari campuran minyak, surfaktan dan air yaitu tipe II(-), tipe III, atau tipe II(+). Perubahan tipe fasa dari tipe II(-) ke tipe II(+) dapat terjadi dengan adanya peningkatan kadar garam. Dalam proses perubahan tipe fasa dari tipe II(-) ke tipe II(+) selalu melewati tipe III. Namun fasa mikroemulsi ini sulit sekali terlihat karena jumlah yang terbentuk biasanya sangat sedikit. Lebih dari satu tipe mikroemulsi dapat terbentuk diantaranya mikroemulsi fasa bawah terbentuk dari daerah tipe II(-) atau tipe III, mikroemulsi fasa atas terbentuk dari daerah tipe II(+) atau tipe III dan mikroemulsi fasa tengah yang selalu berasal dari tipe III (Sheng 2011). Nilai IFT terkecil dari suatu fluida tercapai sesaat sebelum terbentuknya mikroemulsi. Dengan semakin kecilnya nilai IFT, efektivitas surfaktan dalam meningkatkan oil recovery dapat tercapai. Dalam penelitian ini digunakan media pendispersi air formasi dan air demineral yang dicampurkan dengan surfaktan metil ester sulfonat pada konsentrasi tertentu dengan penambahan garam anorganik, pelarut alkohol dan alkali dengan konsentrasi yang berbeda. Konsentrasi surfaktan yang ditambahkan berpengaruh terhadap nilai IFT, tipe fasa, dan volume mikroemulsi yang dihasilkan. Peningkatan kadar garam dapat merubah tipe fasa dari tipe II(-) ke tipe II(+) dan tipe III dapat terbentuk pada kadar garam optimum. Menurut Sheng (2011), pelarut merupakan bahan kimia yang molekulnya bisa membentuk lapisan interfacial. Pelarut selalu ditambahkan pada saat

2 memformulasikan surfaktan karena dapat meminimalisasi kemunculan gels, kristal, emulsi yang terpisah dari larutan surfaktan, mengurangi waktu kesetimbangan, dan mengurangi viskositas mikroemulsi. Alkohol memiliki fungsi lain, yaitu menstabilkan mikroemulsi. Ketika sebuah mikroemulsi dihasilkan oleh suatu surfaktan tanpa ada alkohol di dalamnya, maka micelle tersebut memiliki kemampuan terlarut yang tidak terbatas. Menurut Eni (2007), penambahan alkali diharapkan mampu menurunkan nilai IFT, terbentuknya gejala emulsi dan terjadi perubahan wettability. Oleh karena itu, penting dilakukannya penelitian ini. Perumusan Masalah Suatu keadaan IFT yang rendah antara minyak mentah dan air formasi dibutuhkan dalam proses EOR. Selain itu, emulsi yang dihasilkan antara surfaktan yang memiliki ultralow interfacial tension ( 10-3 dyne/cm) dengan air formasi dan minyak hanya mencapai fasa II (-). Penambahan garam anorganik, pelarut alkohol dan alkali diharapkan mampu menghasilkan nilai IFT yang rendah ( 10-3 dyne/cm) dan emulsi dengan fasa III. Penelitian ini diterapkan pada air formasi lapangan sandstone dan air demineral. Pengujian kinerja surfaktan ini dilakukan melalui beberapa tahap, sebagai berikut: formulasi air dengan penambahan surfaktan MES, garam anorganik, berbagai jenis pelarut alkohol dan alkali pada konsentrasi yang berbeda. Selanjutnya dilakukan uji nilai densitas dan IFT serta uji kelakuan fasa. Tujuan Penelitian Tujuan kegiatan pelitian ini adalah untuk mendapatkan database uji nilai IFT dengan sampel air demineral dan air formasi lapangan sandstone. Selain itu, didapatkan formulasi yang terbaik yang memiliki nilai ultralow interfacial tension ( 10-3 dyne/cm) dan mengetahui kelakuan fasa terhadap konsentrasi surfaktan metil ester sulfonat (MES) dengan penambahan garam anorganik, pelarut alkohol, dan alkali. Ruang Lingkup Penelitian Fokus penelitian ini adalah formulasi air dengan penambahan surfaktan MES, garam anorganik, berbagai jenis alkohol dan alkali pada konsentrasi yang berbeda. Pengujian kinerja surfaktan dengan metode nilai IFT dan metode uji kelakuan fasa. Pemilihan formulasi terbaik yang memiliki nilai ultralow interfacial tension ( 10-3 dyne/cm) dan dihasilkannya emulsi dengan fasa III. Penelitian ini dibatasi hanya untuk air demineral dan studi kasus air formasi lapangan sandstone.

3 TINJAUAN PUSTAKA Tegangan Antarmuka Tegangan antarmuka (Interfacial Tension) adalah ukuran gaya molekuler yang berada di batas antara dua fasa zat. Satuan gaya yang digunakan adalah dyne/cm. Teknik pengukuran tegangan antarmuka menggunakan spinning drop tensiometer dilakukan atas dasar percepatan gravitasi bumi memberikan pengaruh kecil pada bentuk drop fluida yang tersuspensi di dalam cairan, pada saat drop dan cairan berada di dalam tabung putar pada arah longitudinal. Pada saat kecepatan putaran rendah, drop fluida akan berbentuk elips dan jika kecepatan putar tinggi, maka drop fluida akan berbentuk silinder. Pada saat drop fluida berbentuk silinder tersebut dilakukan pengukuran jari-jari silinder (r), perbedaan densitas drop dan cairan di sekeliling drop (Δρ) dan kecepatan putar drop (ω). Alat spinning drop tensiometer mampu mengukur tegangan antarmuka (IFT) hingga 10-6 mn/m. Pada akhirnya, tegangan permukaan dihitung (γ) dengan menggunakan persamaan berikut (Drelich et al. 2002). γ = 1 4 r3 ρrω 2 Keterangan : r : jari-jari γ : tegangan antarmuka Δρ : selisih densitas drop dan densitas cairan ω : kecepatan putar Molekul surfaktan tersusun atas dua bagian yaitu hydrophilic (bagian kepala) dan hydrophobic (bagian ekor). Bagian hydrophilic mempunyai kelarutan yang baik dalam pelarut dan cenderung untuk membawa molekul surfaktan ke dalam larutan, sedangkan bagian hydrophobic cenderung tidak disukai oleh pelarut karena memiliki afinitas yang lebih kecil pada molekul-molekul pelarut. Struktur molekul tersebut menyebabkan konsentrasi surfaktan terkumpul pada permukaan dan menurunkan tegangan antarmuka larutan. Dalam sistem minyak-air, bagian hydrophobic akan mengikat fasa minyak sementara bagian hydrophilic akan mengikat fasa air. Penginjeksian surfaktan dalam sistem minyak-air akan membuat surfaktan terdispersi dalam minyak dan air yang kemudian diikuti dengan terbentuknya emulsi minyak dalam air. Di dalam pori-pori batuan (pore throat) droplet-droplet minyak yang terjebak didalamnya akibat adanya efek kapilaritas dan tingginya interfacial tension antara minyak-air, membuat droplet-droplet tersebut tidak bisa diproduksi dengan injeksi air saja. Dengan penambahan surfaktan diharapkan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara minyak-air sehingga tekanan kapiler minyak dan batuan berkurang. Menurut Emegwalu (2009) tekanan kapiler yang tinggi menyebabkan recovery factor yang rendah. Tekanan kapiler yang rendah diperlukan untuk me-recovery sebagian besar sisa minyak yang masih terjebak setelah waterflooding. Dengan turunnya tegangan antarmuka tersebut, minyak akan terkonsentrasi pada permukaan batuan. Pada akhirnya, surfaktan dapat mengikat minyak dan minyak dapat diproduksi. Pengaruh dari IFT dalam recovery minyak

4 dimodelkan oleh kurva capillary desaturation, dimana saturasi residual oil berkorelasi dengan fungsi capillary number. Capillary number (Nc) didefinisikan sebagai rasio viskositas dan gaya kapiler. Capillary number secara umum dapat dihitung dari persamaan di bawah ini: Nc = Keterangan: v = laju alir efektif (cm/s) μ = viskositas larutan pendesak (cp) σ = tegangan antarmuka (dyne/cm) θ = sudut kontak kebasahan/wetting angle vμ σ cos θ Menurut Emegwalu (2009) peningkatan nilai capillary number mengindikasikan peningkatan recovery minyak sisa/residual oil. Peningkatan viskositas dari fluida menyebabkan peningkatan kecepatan perpindahan yang tidak efektif. Namun, nilai Nc yang besar dapat dicapai dengan cara mengurangi tegangan antarmuka (IFT) antara air dan minyak dengan menggunakan surfaktan. Dan sebaliknya semakin besar nilai IFT menyebabkan capillary number semakin kecil. Dengan semakin kecilnya capillary number berdasarkan kurva capillary desaturation maka perolehan minyak yang dihasilkan semakin sedikit. Korelasi antara minyak yang dapat diperoleh dan nilai capillary number dapat dilihat pada Gambar 2.2. Gambar 2.1 Hubungan capillary number dengan oil recovery (Chatzis dan Morrow 1994) Waterflood pada kondisi water-wet biasanya memiliki nilai Nc berkisar antara 10 7-10 -5. Critical capillary number berada pada kisaran 10-5 -10-4. Namun pada kondisi desaturasi oil-wet nilai Nc berada pada kisaran 10-2 -10-1 (Emegwalu 2009). Peneliti sebelumnya, Al-Sahhaf (2002), menjelaskan terbentuknya ultra low IFT dipengaruhi beberapa parameter diantaranya, berat molekul rata-rata surfaktan, distribusi berat molekul surfaktan, struktur molekul surfaktan, konsentrasi surfaktan, berat rata-rata molekul minyak mentah beserta bentuk molekulnya, elapsed time, suhu sistem, yang bisa divariasikan nilainya menyesuaikan kondisi proses produksi dari suatu reservoir ke reservoir yang lain.

5 Salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar untuk mencapai nilai IFT minimum adalah konsentrasi surfaktan. Cayias et al. (1977), menjelaskan bahwa IFT menurun seiring bertambahnya konsentrasi surfaktan. Penurunan sampai pada sebuah nilai konsentrasi tertentu, nilai tegangan antarmuka akan mencapai nilai minimum. Ketika konsentrasi terus ditingkatkan hingga melebihi nilai konsentrasi kritis ini, nilai tegangan antarmuka justru meningkat. Chan dan Shah (1981) menjelaskan bahwa nilai konsentrasi surfaktan tertentu yang menunjukkan nilai tegangan antarmuka dan tegangan permukaan minimal merupakan nilai Critical Micelle Concentration (CMC) yang sebenarnya. Jumlah molekul suatu surfaktan dalam campuran minyak mentah dan air formasi meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi surfaktan. Ketika konsentrasi surfaktan pada fasa cair mendekati nilai CMC, nilai tegangan antarmuka dan tegangan permukaan akan mencapai nilai minimum. Healy dan Reed (1974) mempelajari pengaruh konsentrasi garam NaCl terhadap tegangan antarmuka γmo (mikroemulsi minyak) dan γmw (mikroemulsi air), serta pengaruh terhadap parameter kelarutan (solubilization paremeter) Vo/Vs dan Vw/Vs. Vs adalah volume surfaktan dalam mikroemulsi, sedangkan Vo dan Vw masing-masing adalah volume minyak dan volume air dalam fasa mikroemulsi. Gambar 2.2 Kadar garam dan tegangan antarmuka (Sugiharjo et al. 2001) Gambar 2.2 menunjukkan pengaruh konsentrasi garam dalam air terhadap tegangan antarmuka dan proses kelarutan dalam sistem minyak-airsurfaktan/cosurfaktan. Pada gambar tersebut terdapat hubungan antara konsentrasi larutan NaCl terhadap IFT. Pada sumbu mendatar terdapat tiga bagian yang terdiri dari l, m dan u. Bagian l menunjukkan kondisi emulsi fasa bawah, bagian m kondisi emulsi fasa tengah dan bagian u kondisi emulsi fasa atas.

6 Kelakuan Fasa Kelakuan fasa dari mikroemulsi bersifat kompleks dan terikat pada beberapa parameter diantaranya tipe dan konsentrasi dari surfaktan, co-solvent, hidrokarbon, kadar garam air formasi, suhu dan tekanan. Dua sifat penting dari mikroemulsi tersebut adalah keseimbangan fasa dan proses kelarutan serta tegangan antarmuka. Keseimbangan fasa dan proses kelarutan dapat digambarkan dalam diagram ternery yang terdiri dari tiga komponen yaitu: minyak, larutan surfaktan dan kadar garam. Sebagai contoh, diagram ternery yang sederhana terdiri dari sistem tiga komponen (pseudoternary diagram): surfaktan-minyak-air formasi disajikan pada Gambar 2.3. Dalam proses EOR, bagian penting diagram ternery adalah daerah tiga fasa. Bentuk umum diagram ternery tersebut dapat diklasifikasikan sebagai: tipe II(-), yaitu emulsi fasa bawah dan kelebihan fasa air; tipe II (+), yaitu emulsi fasa atas dengan kelebihan fasa minyak; dan tipe III, yaitu mikroemulsi fasa tengah yang memiliki komposisi fasa kaya minyak dan fasa kaya air yang sama. Pada gambar terlihat terjadi peningkatan kadar garam yaitu dari tipe II (-) dengan slope negatif ke tipe II (+) dengan slope positif. Nilai slope berharga nol ketika kelarutan dari surfaktan didalam fasa kaya air dan minyak adalah sama. Peningkatan kadar garam dalam air formasi menurunkan kelarutan surfaktan anionik dalam air formasi. Pada fasa tiga memiliki kadar garam optimum. Gambar 2.3 Diagram pseudoterner air formasi-surfaktan-minyak (Sugiharjo et al. 2001) Pada kondisi mikroemulsi, salah satu fasa menjadi fasa kontinyu (fasa external) dan yang lain membentuk butiran (fasa diskontinyu). Namun nilai IFT terendah suatu larutan terjadi sesaat sebelum terbentuk mikroemulsi. Hal ini karena setelah terbentuk mikroemulsi fasa larutan akan berubah ke fasa II (+) yang menyebabkan nilai IFT akan membesar kembali. Selain itu, di industri perminyakan fase mikroemulsi ini dihindari karena dibutuhkan biaya lebih untuk proses demulsifikasi yaitu memisahkan antara fasa minyak dan fasa airnya. Pada pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sugiharjo et al. (2001) dengan jenis surfaktan yang berbeda menjelaskan secara umum kondisi fasa campuran yang terbentuk dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori. Emulsi fasa bawah adalah emulsi yang terbentuk dalam fasa air, dalam kondisi dua fasa,

7 berwarna translucent (jernih tembus cahaya) pada umumnya terbentuk pada kadar salinitas rendah, dan Vw/Vs>Vo/Vs. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah adalah emulsi terbentuk di fasa tengah, dalam kondisi tiga fasa (air-mikroemulsi-minyak), berwarna translucent, terbentuk pada kadar salinitas optimum, Vw/Vs=Vo/Vs. Emulsi fasa atas adalah emulsi yang terbentuk di fasa minyak, dalam kondisi dua fasa, berwarna jernih, pada kadar salinitas tinggi cenderung membentuk emulsi di fasa atas, Vw/Vs<Vo/Vs. Makroemulsi adalah emulsi yang terbentuk kental, berwarna putih susu (milky), ukuran makroemulsi sangat besar (2000 100.000 A). Endapan yang terbentuk tidak berbentuk emulsi, tetapi terjadi padatan yang sangat lunak. Pengamatan di laboratorium terhadap kelakuan fasa fluida campuran antara surfaktan, air formasi dan minyak dilakukan dengan cara uji tabung, yaitu mencampurkan masing-masing fluida tersebut kedalam tabung reaksi dengan perbandingan volume dan kombinasi konsentrasi tertentu. Campuran yang terbentuk tersebut dikocok dan kemudian dipanaskan dalam oven hingga mencapai suhu reservoir, sehingga terbentuk fasa yang stabil, yang kemudian diamati kondisi fasanya (Sugihardjo et al. 2002). Pada beberapa industri perminyakan uji kelakuan fasa dilakukan terlebih dahulu sebelum uji tegangan antarmuka, hal ini karena keterbatasan alat spinning drop tensiometer yang dimiliki. Uji kelakuan fasa pada penelitian ini dilakukan pada suhu 50 o C karena suhu ini merupakan suhu yang paling mendekati dengan suhu reservoir. Pengaruh Garam Anorganik, Pelarut Alkohol dan Alkali terhadap Kinerja Surfaktan Surfaktan primer berperan dalam melarutkan sejumlah besar air dan minyak untuk membuat mikroemulsi yang menunjukkan tegangan antarmuka ultralow dengan fase air dan minyak. Dengan begitu dapat memberikan rasio solubilisasi tinggi yang diinginkan, terutama pada salinitas optimum. Molekul surfaktan memiliki dua sifat sekaligus diantaranya mengandung kepala hidrofilik yang lebih menyukai air dan ekor hidrofobik yang lebih menyukai minyak. Jadi, ketika surfaktan ditambahkan ke sistem minyak dan air, campuran cenderung membentuk misel di mana molekul surfaktan terdapat pada antarmuka. Surfaktan anionik mengandung cabang hydrophobic yang didesain sangat baik untuk tujuan EOR (Hirasaki et al. 2006; Hirasaki et al. 2008; Levitt et al. 2009). Surfaktan anionik lebih mirip dengan surfaktan non-ionik karena mereka menunjukkan adsorpsi signifikan lebih rendah pada batu pasir, dan karbonat bila digunakan dengan alkali. Kedua, dengan surfaktan anionik sangat mungkin untuk mengubah jenis fase mikroemulsi dengan konsentrasi elektrolit yang bervariasi seperti biasanya dilakukan dalam chemical flooding. Contoh surfaktan anionik diantaranya linear alkilbenzen sulfonat (ALS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), dan parafin (secondary alkane sulfonate, SAS) dan metil ester sulfonat (MES). Sebuah molekul surfaktan anionik biasanya mengandung sulfat atau sulfonat sebagai kepala hidrofilik, yang bisa lurus atau bercabang, dan kelompok linker seperti etilen oksida (EO) dan propilena oksida (PO). Sulfat lebih disukai untuk aplikasi suhu rendah karena mereka lebih murah tetapi tidak stabil pada suhu di atas

8 60 C, sedangkan sulfonat dapat digunakan pada suhu tinggi (Barnes et al. 2008). Gugus hydrophobes bercabang lebih diinginkan karena dua alasan, pertama untuk memberikan rasio solubilisasi tinggi dan kedua untuk memberikan viskositas mikroemulsi yang rendah dibandingkan kental, gel atau fase kristal cair. Gugus EO dan PO dapat menambah fleksibilitas untuk surfaktan. Gugus EO dapat ditambahkan untuk meningkatkan hidrofilisitas surfaktan dan menggeser salinitas optimum yang lebih tinggi, dan mereka juga bertindak sebagai linker hidrofilik. Gugus PO menambah panjang dan cabang pada ekor surfaktan dan juga bertindak sebagai linker hidrofobik, hal ini membantu mencapai mikroemulsi viskositas rendah dan kelarutan yang lebih tinggi (Salager et al. 2005). Kedua gugus EO dan PO juga memungkinkan surfaktan untuk menjadi toleran terhadap kation divalen seperti Ca 2 + dan Mg 2 + ( Hirasaki et al. 2008). Garam adalah senyawa ionik yang terdiri dari ion positif (kation) dan ion negatif (anion), sehingga membentuk senyawa netral (tanpa bermuatan). Garam terbentuk dari hasil reaksi penetralan asam dan basa. Garam anorganik terbentuk dari mineral. Unsur penting pada garam-garam anorganik adalah oksida, karbonat, sulfat dan halida. Banyak senyawa anorganik ditandai dengan titik leleh yang tinggi. Garam-garam anorganik biasanya adalah konduktor yang buruk dalam keadaan padat. Sifat lainnya adalah kelarutannya dalam air dan kemudahan kristalisasi. Sebagai contoh NaCl memiliki kelarutan yang sangat baik dalam air tetapi untuk SiO2 tidak memiliki kelarutan yang baik dalam air. Contoh garam anorganik lainnya adalah MgCl2, CaCl2, SrCl2, Ca(NO3)2, CaBr2, CaCl2, Na2SO4, K2SO4, KNO3, dan lainnya. Kelakuan fasa larutan surfaktan sangat dipengaruhi oleh kadar garam dari air formasi. Secara umum, peningkatan kadar garam didalam air formasi akan menurunkan kelarutan surfaktan anionik didalam air formasi. Di daerah salinitas rendah hanya ada dua fase yaitu, mikroemulsi dengan fasa ekternal air di bagian bawah dan fase minyak berlebih di bagian atas. Ini disebut jenis Winsor perilaku I fase. Dengan meningkatnya salinitas, fasa bicontinous mikroemulsi terbentuk. Pada salinitas sedang, tiga fase hidup berdampingan secara bersamaan. Jenis fase ini dianggap sebagai Winsor tipe III. Ketika salinitas lebih meningkat, volume relatif dari fase menengah dikonversi ke Winsor tipe II dengan mikroemulsi minyak eksternal di atas dan kelebihan air di bagian bawah. Ketergantungan perilaku fase dari sistem surfaktan minyak-air pada garam dapat dijelaskan dengan energi antarmuka. Fenomena salt-out juga memainkan peran penting pada fase mikroemulsi. Ketika konsentrasi garam meningkat, beberapa molekul air tertarik oleh ion garam, yang menurunkan jumlah molekul air yang tersedia untuk berinteraksi dengan bagian surfaktan. Sebagai akibat dari meningkatnya permintaan molekul pelarut, interaksi antara gugus kepala hidrofilik menjadi lebih kuat daripada interaksi pelarut-zat terlarut, molekul surfaktan diendapkan dengan membentuk interaksi hidrofobik antar satu sama lain. Kurva lapisan antarmuka berubah dari nilai positif ke nol sampai yang negatif, sesuai dengan transisi dari fase o/w ke fase bicontinous lalu ke fase w/o. Pelarut atau co-surfactant merupakan bahan kimia yang molekulnya bisa membentuk lapisan interfacial. Pelarut selalu ditambahkan pada saat memformulasikan surfaktan karena dapat meminimalisasi kemunculan gels, kristal, emulsi fasa kaya polimer yang terpisah dari larutan surfaktan, mengurangi waktu

9 kesetimbangan, dan menggurangi viskositas mikroemulsi. Rasio penambahan surfaktan dengan pelarut adalah 2:3 (Sheng 2011). Alkohol berfungsi dalam menstabilkan mikroemulsi. Ketika sebuah emulsi dihasilkan oleh suatu surfaktan tanpa ada alkohol di dalamnya, maka micelle tersebut memiliki kemampuan terlarut yang tidak terbatas. Selanjutnya, kondisi ini memungkinkan mikroemulsi untuk dibalik berdasarkan perkembangan fasa didalamnya (inner). Dengan adanya alkohol, mikroemulsi dapat dijaga pada jenis kondisi yang diinginkan, dan fasa inner tidak bisa berkembang bebas. Sebuah fasa tengah mikroemulsi dapat muncul pada kondisi konsentrasi yang sesuai. Alkohol kadang-kadang dapat membantu surfaktan untuk mengurangi nilai IFT dengan mengubah nilai HLB surfaktan tersebut. Oleh karena itu, ketika alkohol ditambahkan (walaupun kompatibilitas sistem dapat ditingkatkan), nilai IFT tetap menjadi lebih tinggi dari pada saat sistem belum ditambahkan alkohol (Sheng 2011). Pada penelitian ini digunakan beberapa alkohol diantaranya etanol, metanol, propanol, isopropil alkohol, dan pentanol. Sifat dari setiap alkohol yang digunakan disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Sifat fisiko kimia alkohol Karakteristik Metanol Etanol Propanol IPA Butanol Pentanol Rumus kimia CH 3OH C 2H 5OH C 3H 7OH C 3H 7OH C 4H 9OH C 5H 11OH Massa molar (g/mol) 32,04 46,07 60,09 60,1 74,12 88,15 Temperatur penyalaan ( o C) 455 363 405 425-88,3 300 Kelarutan dalam air (20 o C) Larut larut sempurna larut dalam air mudah larut dalam air larut sebagian dalam air dingin dan panas sedikit larut dalam air Titik leleh ( o C) -98-114,5-127 -88,5-89,5-78 Densitas (g/cm 3 ) (20 o C) 0,792 0,790-0,793 0,804 0,78505 0,8098 0,811 ph 7 7 7 Titik didih ( o C) 64,5 78,3 97 82,5 117,7 137-139 Tekanan uap (20 o C) (mmhg) 96,008 44,254 14,3 33,003 4,5 1,95 Batasan ledakan (%)(V) 5,5-36,5 3,5-15 2,2-13,7 2-12,0 1,4-11,25 1,3-10,5 Titik nyala ( o C) 11 12 15 12 34 49 Indeks refraktif 1,33 1,36 Sumber :a) Merck KgaA 2012; b) Fisher Scientific 2010; c) Science Lab.com 2005; d) Fisher Scientific 2004. Kehadiran pelarut mempengaruhi efektifitas salinitas dan menyebabkan perubahan pada bidang batas fasa. Alkohol merupakan senyawa organik dengan sebuah gugus fungsi OH. Pada suatu larutan, hidrogen dapat terlepas dan

10 menghasilkan larutan asam. Alkohol yang berantai pendek seperti propanol meningkatkan nilai salinitas optimal untuk surfaktan sulfonat, sedangkan alkohol berantai panjang seperti pentanol dan hexanol akan mengurangi nilai salinitas optimal. Suatu bagian alkohol juga termasuk pada struktur batas fasa micellar seperti sulfonat. Contohnya pada penambahan iso-propanol meningkatkan kelarutan sulfonat pada fasa cair lebih baik dari pada kelarutan pada fasa minyak. Alkohol berantai pendek yang hanya memiliki 3 atom karbon, tidak bisa membentuk micelle. Panjang rantai karbon setidaknya harus mencapai 8-10 buah. Selain itu, gugus OH pada alkohol tidak cukup polar untuk berlaku seperti sebuah gugus hidrofobik. (Sheng 2011). Penambahan alkali pada larutan surfaktan dapat menurunkan nilai IFT. Penurunan nilai IFT ini disebabkan oleh ekstraksi asam dari minyak oleh alkali yang membuat gaya antarmuka minyak lebih reaktif. Sugihardjo et al. (2002) menyatakan bahwa alkali/aditif yang boleh dipergunakan adalah natrium hidroksida (NaOH) dan natrium karbonat (Na2CO3) dengan batas maksimal penggunaan 1% untuk memaksimalkan kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka. Menurut Jackson (2006) penggunaan alkali juga harus mempertimbangkan sifat kimia dari reservoir. Bahkan ketika natrium karbonat memiliki kinerja yang baik pada phase behaviour, tetap harus diuji dengan contoh batuan reservoir karena reaksi kimia yang rumit dapat terjadi dengan mineralmineral batuan. Menurut Sheng (2011) terdapat 6 alkali yang dapat digunakan untuk menurunkan IFT adalah NaOH, Na2SiO3, Na4SiO4, Na3PO4, NaHCO3, dan Na2CO3. Penambahan alkali seperti natrium karbonat meningkatkan kekuatan ion (salinitas). Konsentrasi alkali meningkat, menyebabkan salinitas optimum menurun. Hal tesebut dilakukan untuk mengurangi salinitas optimal. Pada penelitian ini hanya digunakan satu jenis alkali yaitu NaOH. Jenis alkali lain yang biasa digunakan pada pengujian kinerja formula surfaktan adalah natrium karbonat (Na2CO3), namun pada penelitian ini tidak digunakan. Penambahan natrium karbonat diduga memicu terbentuknya endapan pada formula surfaktan karena sampel fluida yang digunakan berasal dari batuan pasir yang mengandung karbonat relatif tinggi. Penggunaan alkali pada suatu formula surfaktan didasarkan pada kandungan anion ( Cl -, HCO3 -, SO4 -, CO3 2- ) dan kation (Na +, Ca 2+, Mg 2+, Ba 2+, Sr 2+, dan Fe 3+ ) air formasi atau air injeksi lapangan. Adanya ion-ion yang terlarut dalam air dapat bergabung dan membentuk suatu senyawa, salah satunya adalah pembentukan scale yang dapat mengurangi produktifitas minyak yangdihasilkan. Endapan scale yang sering terjadi pada sumur minyak adalah kalsium karbonat (CaCO3). Air formasi yang digunakan memiliki kandungan ion bikarbonat yang besar yaitu 1989 mg/l (Tabel 2.4). Dalam sumur minyak, endapan kalsium karbonat biasanya disebabkan oleh penurunan tekanan yang menghasilkan CO2 dari ion bikarbonat (HCO3 - ). Ketika CO2 dilepaskan, ph larutan meningkat, kelarutan karbonat terlarut menurun dan bikarbonat yang lebih larut dikonversi menjadi karbonat yang kurang larut. Sebagai ilustrasi 100 mg bikarbonat perliter air bisa menghasilkan 12972,74 gr endapan kalsium karbonat per 1000 barel air. Dengan perbandingan tersebut kalsium karbonat yang dihasilkan adalah 1622,946 mg/l. Selain itu, kandungan ion Ca 2+ juga memicu terbentuknya endapan kalsium karbonat (CaCO3). Berdasarkan hasil uji anion dan kation air formasi lapangan pada

11 Tabel 2.4 ion kalsium air adalah 12,2 mg/l. Reaksi pembentukan kalsium karbonat adalah Ca 2+ + CO3 2- CaCO3 Dengan perbandingan stokiometri 1:1, maka dengan penambahan Na2CO3 sebanyak 1000 ppm akan menghasilkan CaCO3 sebesar 12,2 ppm. Berdasarkan hasil penelitian Mohammed (2007), kelarutan CaCO3 pada salinitas 7000 ppm dan suhu reservoir 40, 50 dan 60 o C adalah sebesar 6255 ppm, 5849 ppm, dan 4268 ppm. Berdasarkan perhitungan total endapan kalsium karbonat yang dihasilkan 1635 mg/l (Lampiran 1). Artinya kalsium karbonat yang dihasilkan mendekati ambang batas kelarutannya. Dengan alasan ini alkali natrium karbonat tidak digunakan. Metil Ester Sulfonat Menurut Warren S. Perkins (1998), istilah surfactant berasal dari kata surface active agent. Adanya gugus hidrofobik dan hidrofilik didalam satu molekul surfaktan menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fasa yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogennya seperti minyak/air atau udara/air. Adanya film pada antarmuka antara fasa yang berbeda mampu menurunkan energi antarmuka dan menyebabkan sifat-sifat khas pada molekul surfaktan. Surfaktan dapat mengurangi tegangan permukaan air dengan cara adsorbsi antarmuka cair-gas. Surfaktan juga dapat mengurangi tegangan antarmuka antara minyak dan air dengan cara adsorbsi pada antarmuka cair-cair. Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan dapat berupa ionik atau nonionik, hal ini dapat menyebabkan kelarutan molekul air (Myers 1987). Adanya perbedaan muatan pada gugus hidrofilik juga digunakan sebagai dasar klasifikasi surfaktan. Surfaktan anionik adalah surfaktan yang gugus hidrofiliknya merupakan grup senyawa bermuatan negatif, contohnya karboksil (RCOO - M + ), sulfonat (RSO3 - M + ), sulfat (ROSO3 - M + ) atau phospat (ROPO3 - M + ). Surfaktan anionik secara luas digunakan dalam proses enhance oil recovery dengan metode injeksi kimia karena daya adsorpsi yang relatif rendah pada batuan sandstone yang memiliki muatan permukaan yang negatif. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan surfaktan anionik yaitu metil ester sulfonat untuk menghasilkan nilai IFT yang rendah. Metil ester sulfonat merupakan surfaktan anionik yang sudah banyak dikembangkan sebagai pengganti surfaktan petroleum sulfonat. Menurut Matheson (1996), MES memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan tingkat deterjensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah. Dari sifat-sifat diatas surfaktan metil ester sulfonat memiliki karakteristik yang harus dipenuhi sebagai surfaktan yang digunakan dalam aplikasi

12 EOR yaitu sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan memberikan tingkat deterjensi yang baik. Pembuatan surfaktan metil ester sulfonat dari minyak nabati membutuhkan beberapa tahapan diantaranya proses transesterifikasi untuk menghasilkan metil ester. Metil ester yang dihasilkan dilanjutkan dengan proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat. Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Transesterifikasi merupakan reaksi kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi bergerak ke kanan agar dihasilkan metil ester, perlu digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang dihasilkan harus dipisahkan. Pada Gambar 2.4 disajikan reaksi trigliserida dengan metanol yang menghasilkan metil ester. Reaksi transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa adanya katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan dengan lambat (Mittlebatch 2006). Katalis yang biasa digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi. Gambar 2.4 Proses transesterifikasi trigliserida dengan metanol Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor bergantung pada kondisi reaksinya (Meher et al. 2004). Faktor tersebut diantaranya adalah kadar asam lemak bebas (FFA) dan kadar air minyak, jenis katalis dan konsentrasinya, nisbah molar antara alkohol dan minyak dan jenis alkoholnya, suhu dan lamanya reaksi, serta intensitas pencampuran dan penggunaan pelarut organik. Kualitas ME dipengaruhi oleh kualitas minyak (bahan baku), komposisi asam lemak dari minyak, proses produksi dan bahan lain yang digunakan dalam proses, serta parameter pasca-produksi seperti kontaminan. Kontaminan tersebut di antaranya adalah bahan tak tersabunkan, air, gliserin bebas, gliserin terikat, alkohol, FFA, sabun, dan residu katalis (Gerpen et al. 1996). Reaksi transesterifikasi secara batch lebih sederhana dibandingkan dengan secara kontinyu, dan dapat mengubah minyak menjadi ME hingga 80 94% dalam waktu 30-60 menit. Reaktor transesterifikasi secara kontinyu telah dikembangkan untuk memperkecil ukuran reaktor dan waktu reaksi. Proses selanjutnya adalah mereaksikan metil ester dengan agen sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H2SO4), oleum (larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H. Untuk menghasilkan

13 kualitas produk MES terbaik, reaktan yang digunakan disarankan gas SO3. Beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah laju alir gas SO3 dan metil ester, suhu proses sulfonasi, lama proses aging, konsentrasi gas SO3, laju proses netralisasi, konsentrasi NaOH, dan suhu netralisasi. Reaksi sulfonasi merupakan suatu reaksi substitusi elektrofilik dengan menggunakan agen pensulfonasi yang bertujuan untuk mensubstitusi atom H dengan gugus SO3H pada molekul organik melalui ikatan kimia pada atom karbonnya (Clayden, Greeves and Wothers 2001). Gambar 2.5 Reaksi sulfonasi metil ester (Foster dan Rollock 1997) Fluida Reservoir Menurut Rachmat (2009) fluida reservoir terdiri dari minyak, gas dan air formasi. Minyak dan gas kebanyakan merupakan campuran rumit dari berbagai senyawa hidrokarbon, yang terdiri dari golongan naftan, paraffin, aromatik dan sejumlah kecil gabungan oksigen, nitrogen, dan belerang. Sheng (2011) menambahkan bahwa komposisi minyak sangat penting untuk alkali-surfaktan flooding karena surfaktan yang berbeda harus dipilih untuk minyak yang berbeda. Menurut Koesoemadinata (1980) dan Speight (2002) secara garis besar minyak bumi mempunyai komposisi seperti terlihat pada Tabel 2.2. Sifat fisika kimia minyak yang digunakan pada penelitian ini ditampilkan pada Tabel 2.3. Tabel 2.2 Komposisi minyak bumi secara umum Komponen % Bobot Karbon 83,9 86,8 Hidrogen 11,4 14,0 Belerang 0,06 0,08 Nitrogen 0,11 1,70 Oksigen ± 0,5 Logam ± 0,03 Air formasi merupakan fluida reservoir yang tercampur dan terangkat bersama minyak bumi kepermukaan, bersifat asin dengan salinitas rata-rata diatas air laut, kandungan utama air formasi adalah unsur Ca 2+ (kalsium), Na + (natrium), dan Cl - (Chlor) yang dapat ditemukan dalam jumlah besar. Air formasi hampir selalu ditemukan didalam reservoir hidrokarbon karena memang dengan adanya air ini ikut menentukan terakumulasinya hidrokarbon didalam suatu akumulasi

14 minyak. Air formasi selalu menempati sebagian dari suatu reservoir, minimal 10 % dan maksimal 100 % dari keseluruhan pori. Sifat-sifat yang terkandung dalam air formasi meliputi sifat fisik dan sifat kimia. Sifat fisik itu sendiri meliputi kompresibilitas, kelarutan gas didalam air, viscositas air, berat jenis dan konduktifitas. Sedangkan untuk sifat kimia meliputi ion-ion negatif (anion) dan ionion positif (kation). Sifat fisika kimia air formasi yang digunakan pada penelitian disajikan pada Tabel 2.4. Tabel 2.3 Sifat fisika kimia fluida minyak lapangan sandstone yang digunakan dalam penelitian Parameter Suhu Pengukuran ( o C) 40 50 60 Density (g/cm 3 ) 0,91483 0,90803 0,90142 Temperature 40,02 49,99 59,97 API Density (g/cm 3 ) (15 o C) 0,9314 0,9313 0,9313 API Gravity (15 o C) 20,27 20,3 20,28 API Specific Grafity (15 o C) 0,9323 0,9322 0,932 Viscosity (cp) 25,60 25,24 16,53 16,45 11,69 11,76 Speed (rpm) 60,00 90,00 60,00 90,00 60,00 90,00 Torque (%) 51,22 75,73 33,09 49,36 23,39 35,28 Shear Stress 20,27 29,98 13,10 19,54 9,26 13,97 Shear Rate (1/s) 79,20 118,80 79,20 118,80 79,20 118,80 Tabel 2.4 Sifat fisika kimia fluida air lapangan sandstone yang digunakan dalam penelitian Parameter Unit Air Injeksi Air Formasi Methods *) Part Number Anion 2- SO 4 mg/l <1.44 <1.44 2-4500-SO 4 -E - HCO 3 mg/l 2947 1989 2320 B Cl - mg/l 5105 3515 4500-Cl-D Kation Na + mg/l 2933 2344 3120 B, 3030 E K + mg/l 24,3 13,9 3121 B, 3030 E Ca 2+ mg/l 25,7 12,2 3122 B, 3030 E Mg 2+ mg/l 12,9 9,08 3123 B, 3030 E Ba 2+ mg/l 0,73 0,14 3124 B, 3030 E Sr 2+ mg/l 3,71 1,87 3125 B, 3030 E Fe 3+ mg/l 0,26 0,1 3126 B, 3030 E ph mg/l 8,3 8,5 4500-H + -B Salinity as NaCl mg/l 8417 5795 2520 B Total Hardness as CaCO 3 mg/l 117 67,9 2340 B Total Suspended Solid mg/l 32 18 2540 D Oil & Grace mg/l < 2 < 2 5520 B Dissolved Oxygen mg/l 5,59 5,74 4500-O-G

15 METODE Bahan Bahan yang digunakan untuk formulasi surfaktan adalah metil ester sulfonat (MES), beberapa alkohol yaitu metanol, etanol, butanol, IPA, propanol, dan pentanol, garam NaCl, alkali (NaOH), air formasi dan air demineral. Untuk uji kelakuan fasa bahan yang digunakan adalah air formasi, air demineral, minyak bumi, dan formulasi surfaktan yang telah dibuat. Adapun bahan yang digunakan untuk pengujian kinerja surfaktan adalah aquades dan formulasi surfaktan pada proses sebelumnya. Alat Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah tabung sampel sebanyak 20 tabung untuk formulasi, 20 tabung kelakuan fasa, neraca analitik, 2 buah sudip, 5 buah pipet, 2 buah gelas ukur 100 ml, 5 buah magnetik stirrer dengan panjang 3 cm, viscosimeter, 4 buah syringe, spinning drop tensiometer, density meter dan oven dengan suhu 50 o C. Prosedur Analisis Data Pada penelitian ini dilakukan beberapa tahapan prosedur pengerjaan, prosedur pertama adalah melakukan formulasi larutan surfaktan untuk mendapatkan optimal konsentrasi surfaktan, optimal salinitas, optimal konsentrasi alkohol dan optimal konsentrasi alkali (NaOH). Setelah itu, hasil formulasi dilakukan pengujian nilai densitas dan nilai IFT. Hasil uji nilai IFT terbaik selanjutnya dilakukan uji kelakuan fasa. Formulasi larutan surfaktan ditujukan untuk memperoleh formula larutan surfaktan yang terbaik, yaitu formula yang memiliki nilai terbaik atau mencapai ultralow interfacial tension ( 10-3 dyne/cm). Formulasi Air Formasi dengan Konsentrasi Surfaktan yang Berbeda Pada tahap ini diformulasikan dahulu antara MES dan air formasi. Total berat hasil formulasi adalah 25 gram untuk satu kali formulasi namun dalam penelitian ini dibuat 2 sampel untuk satu formulasi. Prosedur percobaannya adalah berat total hasil formulasi ditetapkan sebesar 25 gram. Surfaktan MES ditambahkan dengan konsentrasi yang berbeda terdiri dari 0,1%, 0,3%, 0,5%, 0,7%, 1%, 1,5% dan 2%. Contoh perhitungan bobot ( w /w) surfaktan yang digunakan : 0,3% x 25 gram = 0,075 gram Setelah itu, air formasi ditambahkan sampai 25 gram. Semua hasil formulasi diaduk dengan magnetik stirrer dengan suhu ruang (27 o C) selama satu jam. Nilai densitas dan nilai IFT dari formula diukur dengan prosedur yang terdapat pada Lampiran 2. Sampel dibuat duplo lalu hasil terbaik dari uji nilai IFT dilakukan uji kelakuan fasa. Perlakuan yang sama dilakukan pada sampel air demineral.

16 Formulasi Surfaktan MES dan Air Formasi dengan Konsentrasi Garam Anorganik yang Berbeda. Pada tahap ini hasil formulasi surfaktan MES dan air formasi dengan hasil uji penurunan nilai IFT terbaik ditambahkan garam anorganik dengan variasi 0%, 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7%, 8%, 9%, dan 10%. Berdasarkan hasil uji penurunan nilai IFT, konsentrasi surfaktan MES optimum adalah 0,3%. Prosedur percobaannya adalah berat total hasil formulasi ditetapkan sebesar 25 gram untuk satu konsentrasi namun dalam penelitian ini dibuat 2 sampel untuk satu konsentrasi garam. Langkah pertama adalah formula garam anorganik dengan air formasi (formula 1) dibuat dengan cara garam anorganik (NaCl) ditimbang sebanyak 0%, 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7%, 8%, 9%, dan 10%. Contoh perhitungan bobot ( w /w) garam yang digunakan : 1% x 25 gram = 0,25 gram Setelah itu, air formasi ditambahkan pada setiap tabung sampai 25 gram. Semua hasil formulasi diaduk dengan magnetik stirrer pada suhu ruang (27 o C) hingga campuran merata selama 15 menit. Pada tabung yang berbeda surfaktan MES ditimbang sebanyak 0,3% dari 25 gram yaitu 0,075 gram. Lalu formula 1 dimasukkan dalam tabung berisi surfaktan MES sampai dicapai bobot 25 gram. Nilai densitas dan nilai IFT larutan diukur dengan prosedur yang terdapat pada Lampiran 2. Sampel dibuat duplo dan hasil terbaik dari uji nilai IFT dilakukan uji kelakuan fasa. Perlakuan yang sama dilakukan pada sampel air demineral. Formulasi Surfaktan MES dan Air Formasi dengan Jenis dan Konsentrasi Alkohol yang Berbeda. Pada tahap ini dilakukan dua tahap formulasi. Formulasi pertama merupakan formulasi surfaktan MES dengan air formasi dan formulasi kedua adalah formulasi alkohol dengan hasil fomula pertama. Konsentrasi alkohol yang ditambahkan adalah 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%. Prosedur percobaan dilakukan dengan cara berat total formulasi ditetapkan sebesar 25 gram untuk satu konsentrasi alkohol namun dalam penelitian ini dibuat 2 sampel untuk satu konsentrasi. Surfaktan MES ditimbang dengan konsentrasi 0,3% dari 25 gram yaitu 0,075 gram. Setelah itu ditambahkan air formasi sampai bobot total mencapai 25 gram. Hasil formulasi pertama diaduk dengan magnetik stirrer pada suhu ruang (27 o C) hingga campuran homogen selama 1 jam. Hasil formulasi pertama yang telah homogen ditambahkan alkohol dengan jenis yang berbeda-beda yaitu metanol, etanol, IPA, propanol, butanol dan pentanol. Pada masing-masing jenis dibuat dengan variasi konsentrasi 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%. Bobot total formulasi ini adalah 25 gram sehingga jika 0,5% alkohol yang ditambahkan maka bobot alkohol yang ditambahkan adalah 0,5% dari 25 gram yaitu 0,125 gram. Setelah itu, hasil formulasi pertama ditambahkan hingga mencapai 25 gram. Hasil formulasi kedua ini diaduk dengan magnetik stirrer hingga campuran merata pada suhu ruang (27 o C) selama 1 jam. Setelah homogen, larutan diukur densitas dan nilai IFT dengan prosedur yang terdapat pada Lampiran 2. Sampel larutan dibuat duplo. Hasil uji penurunan nilai IFT yang terbaik dilanjutkan dengan uji kelakuan fasa. Perlakuan yang sama dilakukan pada air demineral.

17 Formulasi Surfaktan MES dan Air Formasi dengan Alkali (NaOH) Pada tahap ini dilakukan dua tahap formulasi. Formulasi pertama merupakan formulasi surfaktan MES dengan air formasi dan formulasi kedua adalah formulasi alkali dengan hasil fomula pertama. Konsentrasi alkali yang ditambahkan adalah 0,1 1% dengan selang 0,1%. Prosedur percobaan dilakukan dengan cara berat total formula ditetapkan sebesar 25 gram untuk satu konsentrasi alkali namun dalam penelitian ini dibuat 2 sampel untuk satu konsentrasi. Surfaktan MES ditimbang dengan konsentrasi 0,3% dari 25 gram yaitu 0,075 gram. Setelah itu ditambahkan air formasi sampai bobot total mencapai 25 gram. Hasil formulasi pertama diaduk dengan magnetik stirrer pada suhu ruang (27 o C) hingga campuran homogen selama 1 jam. Hasil formulasi pertama ditambahkan alkali dengan konsentrasi 0,1 1% dengan selang 0,1%. Bobot total formulasi ini adalah 25 gram sehingga jika 0,1% alkali yang ditambahkan maka bobot alkali yang ditambahkan adalah 0,1% dari 25 gram yaitu 0,025 gram. Setelah itu, hasil formulasi pertama ditambahkan hingga mencapai 25 gram. Hasil formulasi kedua ini diaduk dengan magnetik stirrer hingga campuran merata pada suhu ruang (27 o C) selama 1 jam. Setelah homogen, larutan dilakukan pengukuran densitas dan nilai IFT dengan prosedur yang terdapat pada Lampiran 2. Sampel larutan dibuat duplo. Hasil uji penurunan nilai IFT yang terbaik akan dilakukan uji kelakuan fasa. Perlakuan yang sama dilakukan pada air demineral. Uji Kelakuan Fasa/Phase Behaviour Uji kelakuan fasa dilakukan pada larutan surfaktan yang memberikan nilai IFT mencapai 10-3 dyne/cm. Metode yang digunakan pada metode ini adalah metode tabung tertutup. Prosedur analisis yang dilakukan adalah 2 ml surfaktan dimasukkan ke dalam graduated pipette berukuran 5 ml lalu ditambahkan minyak mentah (crude oil) sebanyak 2 ml. Bagian bawah dan atas pipet diseal dengan bor api. Pipet ditempatkan pada rak dan disimpan pada suhu reservoir selama 30 menit. Sebagai data awal volume surfaktan dan minyak diamati dan dicatat. Setiap pipet dibolak-balikkan sebanyak 3 kali hingga cairan tercampur. Jangan dikocok. Selanjutnya, diamati perubahan pada antarmuka fluida setelah hari ke 7 dan 14 apakah terbentuk emulsi tipe II(-), III, atau II(+). Larutan dikatakan berada di titik keseimbangan ketika antarmuka fluida tidak berubah secara signifikan. Setelah itu, dilakukan perhitungan rasio kelarutan minyak dan ratio kelarutan air. Ratio kelarutan air ditentukan oleh volume air dari volume surfaktan dalam mikroemulsi. Ratio kelarutan minyak digunakan untuk kelakuan fasa tipe I dan tipe III. Ratio kelarutan air digunakan untuk kelakuan fasa tipe II dan tipe III. HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi Larutan Surfaktan Formulasi merupakan sebuah tahapan yang menentukan performa terbaik dari larutan surfaktan yang dihasilkan untuk aplikasi enhanced oil recovery (EOR). Performa terbaik yang dimaksud adalah formula surfaktan yang mampu

18 menurunkan tegangan antarmuka (IFT) antara minyak-larutan surfaktan dan merubah sifat batuan yang suka minyak (oil wet) menjadi suka air (water wet). Dengan performa terbaik tersebut diharapkan mampu memproduksi minyak secara optimal. Formulasi dilakukan melalui tahapan terstruktur yaitu optimal surfaktan, optimal salinitas, optimal co-surfaktan dan optimal alkali. Tahapan terstruktur dilakukan untuk memperoleh data yang valid. Karakteristik utama yang harus dipenuhi untuk aplikasi EOR menggunakan surfaktan adalah nilai IFT dari fomula larutan surfaktan. Hal ini dikarenakan penggunaan surfaktan bertujuan untuk menurunkan tegangan antarmuka antara fasa minyak dan fasa air. Pada tahap formulasi ini dilakukan uji kinerja dari formula surfaktan yang dihasilkan berupa pengukuran densitas, uji IFT, dan uji kelakuan fasa. Pada uji kinerja tersebut, digunakan contoh fluida dan minyak dari Lapangan Sandstone di Sumatera untuk memperoleh nilai IFT dari larutan surfaktan. Tahapan awal formulasi yaitu optimal konsentrasi surfaktan. Optimal konsentrasi surfaktan bertujuan untuk mengetahui konsentrasi optimum surfaktan. Pada tahapan ini, digunakan konsentrasi surfaktan MES yang berbeda yaitu 0,1%, 0,3%, 0,5%, 0,7%, 1%, 1,5% dan 2%. Setelah dilakukan pengadukan dan pemanasan pada suhu ruang (27 o C) selama 1 jam surfaktan MES dapat bercampur dengan baik pada air formasi dan air demineral. Pada konsentrasi surfaktan MES yang rendah, ketika dilarutkan dalam air formasi, larutan yang dihasilkan berwarna putih agak kekuningan sedangkan larutan yang dihasilkan pada air demineral berwarna putih. Pada kedua sampel semakin tinggi konsentrasi surfaktan MES yang ditambahkan semakin berwarna coklat. Perbedaan warna terjadi karena warna larutan awal yang digunakan juga berbeda dimana warna air formasi adalah jernih kekuningan sedangkan air demineral berwarna bening. Perubahan warna larutan dengan peningkatan konsentrasi surfaktan terdapat pada Lampiran 5. Formulasi kedua adalah formulasi tahap optimal salinitas yang bertujuan untuk mengetahui performa terbaik dari larutan surfaktan pada kondisi salinitas yang optimum pada air demineral dan air formasi. Pada tahapan ini, digunakan NaCl dengan variasi konsentrasi yaitu 10000 sampai 100000 ppm dengan selang 10000 ppm. Tahapan awal formulasi ini adalah mencampurkan garam NaCl dengan air sampel sesuai dengan konsentrasi yang ditetapkan. Setelah itu, hasil formulasi awal dilakukan penambahan surfaktan MES sebanyak 0,3%. Larutan yang dihasilkan pada air formasi adalah larutan berwarna putih kekuningan namun surfaktan MES terlihat tidak tercampur sempurna. Hal ini terlihat pada bagian atas larutan terdapat gumpalan busa berwarna coklat. Semakin tinggi konsentrasi garam yang ditambahkan, gumpalan busa yang dihasilkan semakin banyak. Hasil pengamatan warna pada formulasi air demineral, surfaktan MES dan NaCl adalah warna yang dihasilkan berwarna putih sedikit coklat. Pada penambahan 1% NaCl terjadi pencampuran yang baik antara air demineral, garam NaCl dan surfaktan MES. Ketika konsentrasi garam ditingkatkan menjadi 2% dan seterusnya mulai terbentuk gumpalan busa coklat diatas larutan yang menandakan sisa surfaktan MES yang tidak tercampur sempurna. Hal ini menjelaskan peningkatan kadar garam meningkatkan kelarutan surfaktan MES di air jadi berkurang. Perubahan warna larutan dan fenomena pembentukan lapisan busa dengan peningkatan konsentrasi garam terdapat pada Lampiran 5.

19 Formulasi ketiga adalah formulasi tahap optimal konsentrasi co-surfaktan yang bertujuan untuk mengetahui performa terbaik dari larutan surfaktan pada kondisi alkohol yang optimum pada air demineral dan air formasi. Pada tahapan ini, digunakan 6 jenis alkohol yaitu metanol, etanol, isopropil alkohol, propanol, butanol, dan pentanol dengan variasi konsentrasi yaitu 0%, 0,5%, 1%, 1,5% dan 2%. Pada tahap awal formulasi dilakukan pencampuran antara air sampel dan surfaktan MES, kemudian dilakukan pengadukan dengan suhu ruang (27 o C). Setelah itu hasil formulasi awal ditambahkan alkohol dengan jenis dan konsentrasi yang telah ditetapkan yang kemudian dilakukan pengadukan tanpa pemanasan. Pada tahapan kedua ini dilakukan pencampuran tanpa pemanasan untuk menghindari menguapnya alkohol pada larutan sehingga alkohol dapat tercampur dengan baik pada larutan. Hasil pengamatan warna menunjukkan larutan dengan sampel air formasi adalah putih kecoklatan. Pada sampel air formasi terlihat adanya lapisan kuning kecoklatan dibagian atas larutan yang menunjukkan surfaktan MES tidak tercampur merata. Sedangkan warna sampel air demineral adalah putih susu. Peningkatan konsentrasi alkohol yang diberikan menyebabkan warna semakin pekat. Pencampuran antara air demineral, surfaktan MES dan alkohol menghasilkan larutan yang homogen. Perubahan warna larutan dan fenomena pembentukan lapisan busa dengan peningkatan konsentrasi alkohol terdapat pada Lampiran 5. Formulasi keempat adalah formulasi tahap optimal alkali yang bertujuan untuk mengetahui performa terbaik dari larutan surfaktan pada kondisi alkali yang optimum pada air demineral dan air formasi. Pada tahapan ini, digunakan jenis alkali NaOH dengan konsentrasi 0,1 1% dengan selang 0,1%. Pada tahap awal formulasi dilakukan pencampuran antara air sampel dan surfaktan MES, kemudian dilakukan pengadukan dengan suhu ruang (27 o C). Setelah itu hasil formulasi awal ditambahkan alkali yaitu NaOH yang kemudian dilakukan pengadukan dengan suhu ruang (27 o C). Hasil pengamatan warna menunjukkan pada larutan dengan sampel air formasi adalah putih kecoklatan. Peningkatan konsentrasi NaOH yang ditambahkan menyebabkan warna semakin pekat. Pada sampel air formasi terlihat adanya lapisan kuning kecoklatan dibagian atas larutan yang menunjukkan surfaktan MES tidak tercampur merata. Sedangkan warna sampel air demineral adalah putih susu. Peningkatan konsentrasi NaOH yang diberikan menyebabkan warna putih semakin pekat. Pencampuran antara air demineral, surfaktan MES dan alkohol menghasilkan larutan yang homogen. Perubahan warna larutan dan fenomena pembentukan lapisan busa dengan peningkatan konsentrasi alkali terdapat pada Lampiran 5. Uji Densitas Densitas menyatakan kerapatan antar molekul dalam suatu material yang didefinisikan sebagai rasio (perbandingan) antara massa dan volume material (g/cm 3 ). Nilai densitas dibutuhkan untuk mendapatkan nilai different density yang akan digunakan ketika uji nilai IFT. Nilai different density merupakan selisih antara densitas minyak dengan densitas larutan pada suhu pengukuran yang sama. Pengujian nilai densitas dilakukan pada tiga suhu yaitu 40, 50 dan 60 o C. Berikut

20 disajikan grafik nilai densitas tahap optimal konsentrasi surfaktan dengan media pendispersi air formasi pada Gambar 4.1 dan air demineral pada Gambar 4.2. Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,0780 1,0680 1,0580 1,0480 1,0380 1,0280 1,0180 1,0080 0,9980 0,9880 0,01 0 0,1 0,3 0,5 0,7 1 1,5 2 Konsentrasi surfaktan MES (%) Suhu pengukuran ( o C) : 40 50 60 Gambar 4.1 Hubungan antara konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan dengan media pendispersi air formasi Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,0720 1,0620 1,0520 1,0420 1,0320 1,0220 1,0120 1,0020 0,9920 0,9820 0,01 0 0,1 0,3 0,5 0,7 1 1,5 2 Konsentrasi surfaktan MES (%) Suhu pengukuran ( o C) : 40 50 60 Gambar 4.2 Hubungan konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan dengan media pendispersi air demineral Pada Gambar 4.1 dan 4.2 terlihat semakin besar konsentrasi surfaktan MES yang ditambahkan semakin kecil nilai densitas yang dihasilkan. Sehingga trend grafik yang dihasilkan memiliki slop negatif. Hasil yang berbeda akan didapatkan pada pengujian sampel optimal salinitas. Berikut akan disajikan grafik nilai densitas tahap optimal salinitas dengan media pendispersi air formasi pada Gambar 4.3 dan air demineral pada Gambar 4.4.

21 Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,0760 1,0660 1,0560 1,0460 1,0360 1,0260 1,0160 1,0060 0,9960 0,9860 0,01 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Konsentrasi NaCl (%) Suhu pengukuran ( o C) : 40 50 60 Gambar 4.3 Hubungan konsentrasi NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi Hasil pengujian densitas tahap optimal salinitas terlihat pada Gambar 4.3 dan 4.4 bahwa semakin besar konsentrasi garam yang ditambahkan pada larutan surfaktan MES 0,3 % akan semakin besar pula densitas yang dihasilkan. Sehingga trend grafik yang dihasilkan memiliki trend positif. Hal ini terjadi karena penambahan NaCl meningkatkan jumlah zat terlarut didalam larutan sehingga massa total didalam larutan meningkat. Selain itu, penambahan massa juga didapatkan dari garam-garam yang terbentuk antara ion-ion didalam air formasi misalnya antara ion Mg + dan Cl - menjadi MgCl. Hal yang sama juga terjadi pada air demineral karena didalam air demineral masih terdapat ion H + dan OH -. Menurut Taylor (1997), air deionisasi atau air ultra- murni tidak memiliki ion asing, itu tidak berarti bahwa ia memiliki konduktivitas 0 us/cm. Nilai konduktivitas akan sangat kecil, dan dalam kebanyakan situasi diabaikan, tetapi bahkan air deionisasi memiliki ion H + dan ion OH -. Pada suhu kamar konsentrasi dari kedua ion H + dan ion OH - adalah 10 ⁷ M (berpikir ph air deionisasi akan memiliki ph netral 7 tanpa kontak atmosfer) menciptakan nilai konduktivitas yang sangat kecil. Meskipun demikian nilai konduktivitas yang rendah, air deionisasi masih akan memiliki salinitas nol hanya H + dan OH - yang secara alami ada dalam air murni. Selama tidak memiliki kontak dengan udara ( terutama CO2 ), air deionisasi harus memiliki konduktivitas 0.055 us/cm, atau resistivitas 18 megohms pada 25 C (Elert 2006). Jika air deionisasi telah diseimbangkan dengan udara, konduktivitas akan lebih dekat dengan 1 us/cm (1 megohm) pada 25 C (dan akan memiliki ph 5,56). Kebanyakan standar memiliki berbagai konduktivitas 0,5-3 us/cm pada 25 C untuk air suling, tergantung pada lamanya waktu yang telah terkena udara. Pembuktian hal ini maka dilakukan pengukuran salinitas dengan menggunakan refraktometer beberapa sampel dengan media pendispersi air formasi dan air demineral. Refraktometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur semua garam yang terdapat pada larutan baik NaCl maupun garam lain. Berdasarkan pengujian pada sampel 1% NaCl dengan media pendispersi air formasi, total garam yang terdapat pada larutan adalah 17000 mg/l. Sedangkan bila

22 berdasarkan perhitungan manual bila garam NaCl saja hanya terdapat 5975 mg/l ditambah dengan 10000 mg/l sehingga 15975 mg/l. Pada media pendispersi air demineral nilai salinitas berdasarkan pengukuran adalah 3500 mg/l sedangkan menurut perhitungan adalah 2500 mg/l. Menurut Martinez (2014) setiap penambahan 100 g garam pada 1 kg air meningkatkan volume larutan sebanyak 34 ± 1 cm 3. Berdasarkan data ini, peningkatan volume larutan yang dihasilkan dengan penambahan garam sangat sedikit bila dibandingkan dengan garam NaCl yang ditambahkan. Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,0800 1,0700 1,0600 1,0500 1,0400 1,0300 1,0200 1,0100 1,0000 0,9900 0,9800 0,01 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Konsentrasi NaCl (%) Suhu pengukuran ( o C) : 40 50 60 Gambar 4.4 Hubungan konsentrasi NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral Pengujian densitas selanjutnya pada formula tahapan optimal konsentrasi cosurfactant. Berikut disajikan grafik nilai densitas tahap optimal konsentrasi cosurfactant pada larutan surfaktan MES 0,3 % dengan media pendispersi air formasi dan air demineral. 1,005 0,9995 0,9990 0,9985 0,9980 0,9975 0,9970 0,9965 0,9960 0,005 0 Nilai densitasn (g/cm3)1,0000 0 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.5 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu pengukuran 40 o C

23 Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,081 1,08 0,9965 0,9955 0,9945 0,9935 0,9925 0,9915 0,001 0 0 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.6 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu pengukuran 50 o C Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,081 1,08 Jenis 0,9920 alkohol : 0,9910 Metanol 0,9900 Etanol 0,9890 IPA 0,9880 Propanol 0,9870 Butanol 0,9860 Pentanol 0,001 0 0 0,5 Konsentrasi 1alkohol (%) 1,5 2 Gambar 4.7 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu pengukuran 60 o C Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,082 1,08 Jenis alkohol : 0,9950 Metanol Etanol 0,9930 IPA 0,9910 Propanol 0,9890 Butanol 0,002 Pentanol 0 0 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Gambar 4.8 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu pengukuran 40 o C

24 Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,082 1,08 0,9900 0,9880 0,9860 0,9840 0,9820 0,002 0 0 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.9 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu pengukuran 50 o C Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,082 1,08 0,9860 0,9840 0,9820 0,9800 0,002 0 0 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.10 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu pengukuran 60 o C Hasil pengujian densitas tahap optimal konsentrasi co-surfactant terlihat pada gambar bahwa semakin besar konsentrasi alkohol yang ditambahkan pada larutan surfaktan MES 0,3% akan semakin kecil densitas yang dihasilkan. Sehingga trend grafik yang dihasilkan memiliki trend negatif. Menurut Martinez (2014), kepadatan larutan dapat didekati dengan cara berikut : 1. larutan air-methanol pada 15 ºC : ρ = 998 133γmetanol 56γ 2 metanol kg/m 3 dengan γmethanol menjadi fraksi massa, atau ρ = 998 80γmetanol 130γ 2 metanol kg/m 3 dengan γmethanol menjadi sekarang fraksi volume 2. larutan air-etanol pada 15 ºC : untuk < 30 % vol, ρ = 998 145γetanol kg/m 3, dan untuk > 30 % vol, ρ = 790 + 235γetanol kg/m 3 γethanol di sini adalah fraksi volume (misalnya 40 º wiski memiliki 40 % alkohol dalam volume, γethanol = 0,40, sesuai untuk γethanol = 0,35 berat). Pencampuran etanol dan air pada suhu dan tekanan konstan, mengurangi volume keseluruhan,

25 dengan penurunan maksimum 3,5 % untuk 60 % etanol dengan 40 % air. Berdasarkan persamaan diatas sudah jelas bahwa penambahan alkohol pada air pendispersi dapat menurunkan nilai densitas. Pengujian densitas selanjutnya pada formula tahapan optimal konsentrasi alkali. Berikut disajikan grafik nilai densitas tahap optimal konsentrasi alkali dengan media pendispersi air formasi pada Gambar 4.11 dan air demineral pada gambar 4.12. Pada gambar terlihat semakin besar konsentrasi NaOH yang ditambahkan maka semakin besar nilai densitas yang dihasilkan. Sehingga trend grafik yang dihasilkan memiliki slop positif. Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,0800 1,0600 1,0400 1,0200 Suhu 1,0000 pengukuran ( o C): 0,9800 40 0,02 50 0 60 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 Konsentrasi NaOH (%) Gambar 4.11 Hubungan antara pengaruh konsentrasi NaOH dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,0800 1,0600 1,0400 1,0200 1,0000 0,9800 0,02 0 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 Konsentrasi NaOH (%) Suhu pengukuran ( o C) : 40 50 60 Gambar 4.12 Hubungan antara pengaruh konsentrasi NaOH (%) dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral Dari grafik yang telah dipaparkan diatas dapat dilihat terdapat persamaan dimana suhu berpengaruh terhadap densitas larutan yang dihasilkan. Semakin tinggi suhu yang digunakan semakin rendah nilai densitas sehingga nilai IFT yang

26 dihasilkan juga akan semakin kecil. Efek suhu terhadap densitas larutan tidak dapat diabaikan, hal ini karena cairan jika dipanaskan akan merenggang sehingga meningkatkan volume larutan namun massa larutan tetap. Berdasarkan grafik formulasi optimal konsentrasi surfaktan dan optimal konsentrasi alkohol, densitas larutan memiliki kecenderungan menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi surfaktan maupun alkohol. Hal ini terjadi karena fluida memiliki peningkatan volume yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan massa. Sedangkan untuk grafik formulasi optimal salinitas dan konsentrasi alkali, densitas larutan memiliki kecenderungan meningkat dengan peningkatan konsentrasi NaCl dan NaOH. Hal ini terjadi karena zat padat memiliki peningkatan massa yang lebih besar dibanding peningkatan volumenya. Uji Nilai IFT Pengujian nilai IFT menggunakan alat spinning drop tensiometer tipe TX 500 D. Pengujian nilai IFT dilakukan pada 3 suhu yaitu 40, 50 dan 60 o C dengan keceparan putaran 6000 rpm. Hasil pengujian IFT pada tahap optimal konsentrasi surfaktan digambarkan pada Gambar 4.13 untuk media pendispersi air demineral dan Gambar 4.14 untuk media pendispersi air formasi. 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 0,1 0,3 0,5 0,7 1 1,5 2 Konsentrasi surfaktan MES (%) Suhu pengukuran nilai IFT ( o C) : 40 50 60 Gambar 4.13 Hubungan konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan dengan media pendispersi air demineral Konsentrasi surfaktan yang optimum untuk formula air demineral sebagai media pendispersi adalah 0,7% surfaktan MES namun tidak memenuhi ultralow interfacial tension. Sedangkan konsentrasi surfaktan yang optimum untuk formula air formasi sebagai media pendispersi adalah 0,3% surfaktan MES. Hasil uji nilai IFT untuk media pendispersi air demineral pada suhu 40 o C adalah 6,75 x 10 0 dyne/cm, pada suhu 50 o C adalah 1,12 x 10 1 dyne/cm dan pada suhu 60 o C adalah 8,31 x 10 0 dyne/cm. Hasil uji untuk media pendispersi air formasi pada suhu 40 o C didapatkan nilai IFT 4,40 x 10-3 dyne/cm, pada suhu 50 o C didapatkan nilai IFT 1,68 x 10-3 dyne/cm dan pada suhu 60 o C didapatkan nilai IFT 1,10 x 10-3 dyne/cm.

27 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 0,1 0,3 0,5 0,7 1 1,5 2 Konsentrasi surfaktan MES (%) Suhu pengukuran ( o C) : 40 50 60 Gambar 4.14 Hubungan konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan dengan media pendispersi air formasi Perbedaan hasil uji nilai IFT pada sampel larutan surfaktan dengan media pendispersi air demineral dan air formasi disebabkan karena perbedaan salinitas air dimana salinitas air formasi mencapai 5795 ppm sedangkan salinitas air demineral 0 ppm. Nilai minimum IFT terjadi pada kondisi salinitas optimum dan pada kondisi ini emulsi yang terbentuk bisa mencapai fasa III. Cayias et al. (1977), menjelaskan bahwa IFT menurun seiring bertambahnya konsentrasi surfaktan. Penurunan sampai pada sebuah nilai konsentrasi tertentu, nilai tegangan antarmuka akan mencapai nilai minimum. Ketika konsentrasi terus ditingkatkan hingga melebihi nilai konsentrasi kritis ini, nilai tegangan antarmuka justru meningkat. Hal ini seperti yang terlihat pada Gambar 4.13 dan 4.14. Menurut Ajith et al. (1994) dan Sampath (1998), larutan garam (air formasi) berfungsi sebagai larutan elektrolit. Keberadaan elektrolit dalam sistem yang mengandung surfaktan akan mengurangi interaksi surfaktan-air. Gugus lipofilik surfaktan ionik akan berikatan sebagian atau seluruhnya dengan elektrolit, sehingga masing-masing molekul akan berikatan dengan molekul yang sesuai. Bila surfaktan anionik yang digunakan, maka muatan negatif pada gugus aktif (lipofilik) akan berinteraksi positif dengan muatan positif pada molekul garam, misalnya molekul Na + pada larutan NaCl. Lain halnya dengan air demineral dimana didalamnya tidak terdapat larutan garam/elektrolit sehingga interaksi antara surfaktan air lebih besar dibandingkan dengan minyak. Hasil pengujian nilai IFT menghasilkan gambaran respon minyak yang berbeda antara media pendispersi air formasi dan air demineral. Pada sampel dengan media pendispersi air formasi, contoh minyak dari lapangan sandstone yang digunakan akan berpilin memanjang selama pengujian nilai IFT sedangkan pada sampel dengan media pendispersi air demineral, minyak yang digunakan tetap berbentuk bulat selama pengujian nilai IFT. Hal ini menunjukkan minyak tidak dapat bercampur meskipun sudah ditambahkan surfaktan didalamnya karena tidak ada kandungan garam didalamnya. Gaya tolak antar head group molekul surfaktan yang terjadi dalam larutan merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap self assembly molekul-molekul surfaktan untuk membentuk misel. Pada larutan surfaktan

28 anionik, gaya tolak ini terjadi karena muatan sejenis yang dimiliki oleh head group surfaktan. Gaya tolak ini akan menghambat molekul-molekul surfaktan untuk beragregasi sehingga harus dikurangi (Kumar et al. 1997). Gaya tolak yang terjadi dalam larutan surfaktan disebabkan karena lemahnya kekuatan ionik larutan. Salah satu cara untuk menaikkan kekuatan ionik larutan adalah dengan menambahkan garam seperti pada media pendispersi air formasi. Ion-ion garam akan memberikan efek screen out, sehingga gaya tolak antar head group berkurang. Hal ini mendorong pada penurunan energi bebas pembentukan misel sehingga molekulmolekul surfaktan menjadi lebih mudah untuk bergabung dan misel yang terbentuk cenderung berukuran lebih besar (Hunter 2001). Kecenderungan pertumbuhan misel ini dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi garam yang ditambahkan (Putra dan Ikram 2009). Semakin pekat konsentrasi garam yang ditambahkan, pengaruh screen out yang terjadi juga semakin besar dan pada akhirnya memperbesar kecenderungan pertumbuhan misel. Oleh karena itu, penambahan garam dalam konsentrasi tinggi pada larutan surfaktan pekat akan mendorong misel untuk tumbuh hingga mencapai bentuk silinder yang fleksibel (worm like) seperti yang tampak pada respon minyak dengan media pendispersi air formasi (Patriati dan Putra 2008). Dalam larutan MES pertumbuhan misel dengan hadirnya NaCl, diakibatkan oleh adanya efek screen out dari ion Na + yang berasal dari NaCl terlarut. Ion Na + dari NaCl akan menetralkan muatan dari gugus sulfonat pada head group molekul MES sehingga gaya tolak antar head group yang disebabkan oleh muatan sejenis dapat dikurangi. Penampakan semakin besarnya pembentukan misel dengan penambahan konsentrasi garam terlihat pada formula berikutnya pada Gambar 4.15 dan 4.16 yang akan memperbesar nilai IFT dengan semakin besar garam yang ditambahkan. Adapun mekanisme dari penurunan tegangan antarmuka minyak dengan air akibat penginjeksian larutan surfaktan adalah sebagai berikut: surfaktan organik memiliki gugus dasar hidrokarbon (R) dan berikatan dengan senyawa anorganik (gugus sulfonat) SO3. Rumus kimianya adalah R-SO3H. Surfaktan jenis ini dalam air akan terionisasi menjadi SO3 - dan H +. Bila ion molekul RSO3 - kontak dengan senyawa yang bersifat nonpolar (minyak), maka gugus R akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi (surfaktan minyak), sedangkan pada molekul surfaktan ini sendiri akan bekerja gaya kohesi antara RSO3 -, pengaruh gaya adhesi ini akan mengurangi harga resultan gaya kohesi minyak itu sendiri, yang mengakibatkan gaya antarmuka minyak dan air akan menurun (Affiati 1992). Saat ini diyakini jika IFT dapat diturunkan menjadi 10-3 dyne/cm, maka fraksi minyak dalam pori-pori batuan dapat dimobilisasi lebih baik (Baviere et al. 1992). Formulasi tahap selanjutnya adalah optimal salinitas dengan menambahkan NaCl pada air formasi dan air demineral. Hasil yang didapat pada tahapan ini adalah dimana nilai IFT semakin meningkat dengan semakin bertambahnya konsentrasi NaCl yang ditambahkan. Fenomena ini terjadi pada sampel dengan media pendispersi air formasi. Sedangkan untuk sampel dengan media pendispersi air demineral dengan penambahan garam menyebabkan nilai IFT menurun dan kemudian naik kembali seiring dengan peningkatan kadar garam. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.15 dan 4.16.

29 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 0 0,25 0,5 0,75 1 1,25 1,5 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Konsentrasi NaCl (%) Suhu pengukuran ( o C) : 40 50 60 Gambar 4.15 Hubungan pengaruh konsentrasi garam NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral Pada gambar diatas menjelaskan konsentrasi garam optimum untuk surfaktan MES yaitu pada konsentrasi 5000 ppm sampai 25000 ppm atau pada konsentrasi 0,5% sampai 2,5%. Sehingga surfaktan ini sangat cocok untuk lapangan sandstone yang memiliki salinitas pada 5975 ppm yang berada pada range optimum. Sedangkan untuk reservoar yang memiliki konsentrasi lebih rendah atau lebih tinggi dari range 5000-25000 ppm maka surfaktan ini tidak cocok sehingga harus mencari surfaktan lain. Berdasarkan data ini juga ketika sampel air formasi ditambahkan garam dengan konsentrasi lebih dari 2% nilai IFTnya sudah tidak mencapai 10-3 dyne/cm seperti yang terlihat pada Gambar 4.16. 1,00E+02 1,00E+01 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 Suhu pengukuran nilai IFT ( o C) : 1,00E-03 1,00E-04 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kosentrasi NaCl (%) 40 50 60 Gambar 4.16 Hubungan pengaruh konsentrasi garam NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi

30 Pada formula campuran air demineral, 0,3% MES dan NaCl, nilai IFT terendah didapat pada penambahan NaCl 5000 ppm. Penambahan kadar NaCl pada air demineral menyebabkan semakin meningkatnya nilai IFT yang dihasilkan. Pada sampel media pendispersi air formasi, nilai IFT terendah didapat pada formulasi tanpa penambahan NaCl. Hal ini menjelaskan air formasi sudah mencapai salinitas optimum pada kadar salinitas 5795 ppm dengan konsentrasi surfaktan MES yang ditambahkan sebanyak 0,3%. Semakin besar penambahan NaCl menyebabkan semakin besar nilai IFT yang dihasilkan. Menurut Hovda (2002) dan Mac Arthur et al. (2002) melaporkan bahwa keberadaan garam dalam larutan yang mengandung MES akan mengakibatkan MES kehilangan sifat aktif permukaannya karena MES bereaksi membentuk senyawa dinatrium karboksi sulfonat (di-salt). Surfaktan anionik (MES) yang semula mengikat satu molekul Na akan mengikat lagi Na yang berasal dari larutan garam NaCl sehingga dalam satu molekulnya akan terdapat dua Na. Mekanisme reaksi terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat dapat dijelaskan pada Gambar 4.17. Hal ini menyebabkan menurunnya kinerja surfaktan sehingga dihasilkan nilai IFT yang semakin besar. Gambar 4.17 Mekanisme reaksi terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat Berdasarkan hasil penelitian penambahan garam pada larutan sampai konsentrasi optimum akan menurunkan nilai IFT. Reaksi terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat akan mulai terbentuk ketika garam yang terdapat pada larutan melebihi batas garam optimum dari surfaktan itu sendiri. Surfaktan MES yang digunakan memiliki konsentrasi garam optimum pada 5000-25000 ppm. Jika garam yang terdapat pada larutan melebihi 5000ppm maka nilai IFT larutan mulai meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 4.15. Pada hasil pengujian sampel dengan media pendispersi air demineral dihasilkan nilai IFT yang lebih rendah dibanding menggunakan air formasi dengan kadar garam yang sama dan konsentrasi surfaktan MES yang sama pula yaitu 0,3%. Hasil terendah didapat pada konsentrasi 0,5% atau 5000 ppm, kadar garam ini mendekati kadar garam pada air formasi. Pada hasil pengujian diketiga suhu dengan penambahan 5000 7500 ppm garam dengan media pendispersi air demineral dihasilkan nilai IFT 2,64 x 10-4 1,3 x 10-3 dyne/cm. Hasil ini memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan nilai IFT pada air formasi yaitu 1,10 x 10-3 sampai 4,40 x 10-3. Hal ini dapat dipengaruhi karena pada air demineral hanya sedikit sekali elektrolit selain NaCl yang terkandung bila dibandingkan dengan elektrolit pada air formasi. Adanya elektrolit lain selain yang berasal dari NaCl diduga dapat menghambat reaksi penurunan nilai IFT oleh surfaktan.

31 Air yang memiliki sifat sadah seperti air formasi yang digunakan mengandung kation Ca 2+ (12,2 mg/l) atau Mg 2+ (9,08 mg/l), semakin tinggi tingkat kesadahan maka konsentrasi kation dalam air semakin tinggi. Surfaktan MES yang termasuk ke dalam kelompok surfaktan anionik dengan gugus aktif yang bermuatan negatif, jika surfaktan ini bertemu dengan air sadah maka gugus aktif tersebut akan membentuk ikatan dengan ion Ca 2+ atau Mg 2+. Dengan terbentuknya ikatan antara ion negatif pada surfaktan dengan kation ini akan menurunkan kinerja surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka yang ditandai dengan besarnya nilai tegangan antarmuka. Komponen tidak larut yang terbentuk adalah (RCH(SO3Na)CO2Ca (Fessenden et al. 1982). Dengan adanya komponen tidak larut dalam larutan surfaktan akan mengurangi sifat kelarutan surfaktan dalam air sehingga kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka semakin kecil. Peningkatan penambahan konsentrasi garam juga dapat meningkatkan viscositas larutan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan 4.2. Tabel 4.1 Data viskositas pada media pendispersi air formasi Nama Sampel Nilai viskositas (cp) 40 o C 50 o C 60 o C AF 0,3% S-MES 1% NaCl 1,08 0,98 0,91 AF 0,3% S-MES 2% NaCl 1,09 0,99 0,91 AF 0,3% S-MES 3% NaCl 1,09 1,00 0,90 AF 0,3% S-MES 4% NaCl 1,09 1,00 0,90 AF 0,3% S-MES 5% NaCl 1,10 1,01 0,94 AF 0,3% S-MES 6% NaCl 1,11 1,07 1,03 AF 0,3% S-MES 7% NaCl 1,11 1,08 1,02 AF 0,3% S-MES 8% NaCl 1,14 1,09 1,00 AF 0,3% S-MES 9% NaCl 1,16 1,10 1,04 AF 0,3% S-MES 10% NaCl 1,16 1,09 1,04 Tabel 4.2 Data viskositas pada media pendispersi air demineral Nama Sampel Nilai viskositas (cp) 40 o C 50 o C 60 o C AD 0,3% S-MES 1% NaCl 1,04 0,93 0,88 AD 0,3% S-MES 2% NaCl 1,03 0,94 0,92 AD 0,3% S-MES 3% NaCl 1,08 0,96 0,94 AD 0,3% S-MES 4% NaCl 1,09 0,98 0,95 AD 0,3% S-MES 5% NaCl 1,09 0,99 0,97 AD 0,3% S-MES 6% NaCl 1,08 1,05 0,98 AD 0,3% S-MES 7% NaCl 1,09 1,06 1,02 AD 0,3% S-MES 8% NaCl 1,10 1,06 1,00 AD 0,3% S-MES 9% NaCl 1,13 1,06 1,03 AD 0,3% S-MES 10% NaCl 1,13 1,09 1,01

32 Menurut Murray (2004), peningkatan viskositas pada larutan dengan penambahan garam berhubungan dengan daya elektrositas dan proses hidrasi pada struktur air. Garam yang dapat meningkatkan viskositas disebut sebagai structure makers sedangkan garam yang menurunkan viskositas disebut dengan structure breakers. Diduga terjadinya peningkatan viskositas pada suatu larutan karena dalam larutan tersebut didominasi oleh garam dengan jenis structure makers. Berdasarkan rumus capillary number semakin besar viskositas larutan maka semakin akan menyebabkan peningkatan kecepatan perpindahan yang tidak efektif. Pada saat nilai IFT larutan yang dihasilkan kecil maka nilai capillary number akan membesar sehingga meningkatkan jumlah minyak yang dihasilkan. Namun, peningkatan garam yang melebihi titik optimum akan meningkatkan nilai IFT larutan, hal ini menyebabkan tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap nilai capillary number sehingga jumlah minyak yang dihasilkan tidak akan berbeda jauh. Formulasi selanjutnya adalah optimal konsentrasi co-surfactant dalam penelitian ini digunakan 6 jenis alkohol yaitu metanol, etanol, isopropil alkohol, propanol, butanol, dan pentanol. Hasil pengujian IFT dari ketiga suhu ditampilkan pada grafik dibawah ini. Pada grafik terlihat adanya penambahan alkohol menghasilkan nilai IFT yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa penambahan alkohol. Berdasarkan grafik dibawah untuk semua jenis alkohol kecuali pentanol, dengan semakin banyak konsentrasi alkohol yang ditambahkan maka akan menurunkan nilai IFT yang didapat. Hal ini berhubungan dengan efektifitas surfaktan. Penambahan alkohol pada formula diharapkan mampu meningkatkan kelarutan surfaktan pada minyak. Hal ini sesuai dengan dengan karakteristik alkohol, semakin panjang rantai karbon maka alkohol tersebut semakin larut terhadap minyak. Pada jenis alkohol dengan rantai C kurang dari 5 memiliki sifat tidak larut dalam minyak sehingga meningkatkan sifat hidrofilik surfaktan tetapi untuk jenis alkohol mulai dari rantai 5 lebih larut pada minyak sehingga dapat meningkatkan sifat hidrofobik surfaktan. Hal ini menyebabkan tingkat kemudahan alkohol untuk melarutkan minyak semakin besar. Sedangkan semakin panjang rantai alkil, kelarutan alkohol dalam air akan semakin kecil. Namun menurut Sheng (2011), gugus OH pada alkohol tidak cukup polar untuk berlaku seperti sebuah gugus hidrofobik. Selain itu, kehadiran pelarut mempengaruhi efektifitas salinitas dan menyebabkan perubahan pada bidang batas fasa. Alkohol merupakan senyawa organik dengan sebuah gugus fungsi OH. Pada suatu larutan, hidrogen dapat terlepas dan menghasilkan larutan asam. Alkohol yang berantai pendek seperti propanol meningkatkan nilai salinitas optimal untuk surfaktan sulfonat, sedangkan alkohol berantai panjang seperti pentanol dan hexanol akan mengurangi nilai salinitas optimal. Suatu bagian alkohol juga termasuk pada struktur batas fasa micellar seperti sulfonat. Contohnya pada penambahan iso-propanol meningkatkan kelarutan sulfonat pada fasa cair lebih baik dari pada kelarutan pada fasa minyak. Alkohol berantai pendek yang hanya memiliki 3 atom karbon, tidak bisa membentuk micelle (Sheng 2011). Hal ini sesuai dengan hasil yang didapat dan tertera pada Gambar 4.18; 4.19; 4.20; 4.21; 4.22; 4.23.

33 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+02 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 0 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.18 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu 40 o C 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 0 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.19 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu 50 o C 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol 0 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Gambar 4.20 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu 60 o C

34 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+02 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 0 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.21 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu 40 o C 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 0 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.22 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu 50 o C 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 0 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.23 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu 60 o C

35 Tahap selanjutnya adalah pengujian nilai IFT pada formula optimal konsentrasi alkali. Hasil pengujian formula antara air formasi, 0,3% MES dan NaOH digambarkan pada Gambar 4.25. Pada gambar terlihat bahwa trend yang dihasilkan akan menurun seiring dengan penambahan NaOH. Namun hasil yang stabil hanya didapat pada suhu pengukuran 40 o C. Pengukuran pada suhu 50 dan 60 o C dihasilkan nilai IFT yang tidak stabil. Hal ini menunjukkan emulsi yang terbentuk antara formula dan minyak tidak stabil terhadap panas. Selain itu, penambahan NaOH akan menghasilkan reaksi eksoterm pada formula yang akan mempengaruhi karakteristik formula. Hasil pengujian nilai IFT pada formula air demineral, 0,3% MES dan NaOH digambarkan pada Gambar 4.24. Hasil pengujian nilai IFT pada ketiga suhu menunjukkan trend menurun seiring dengan penambahan konsentrasi NaOH. Hasil pengujian terbaik dari ketiga suhu adalah pada penambahan NaOH dengan konsentrasi 1%. Adanya perbedaan hasil antara air formasi dan air demineral dapat disebabkan karena kandungan air yang berbeda. 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 Konsentrasi NaOH (%) Suhu pengukuran ( o C) : 40 50 60 Gambar 4.24 Hubungan konsentrasi NaOH dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi pada air demineral 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 Konsentrasi NaOH (%) Suhu pengukuran ( o C) : 40 50 60 Gambar 4.25 Hubungan konsentrasi NaOH dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi pada air formasi

36 Menurut Lakatos-Szabo dan Lakatos (1999), minyak bumi merupakan campuran hidrokarbon dan asam karboksilat organik yang direpresentasikan sebagai asam HA. Asam HA ini mendistribusikan diri diantara fasa minyak dan fasa larutan surfaktan dan alkali. Diduga ketika terjadi kontak antara fasa larutan dan minyak, alkali dalam fasa larutan dan asam organik (HA) dalam fasa minyak akan berpindah menuju antarmuka, bereaksi dan menghasilkan senyawa aktif permukaan (petroleum soap) sehingga nilai tegangan antarmuka menjadi turun. Reaksi yang terjadi dapat terlihat pada Gambar 4.26. HAo + NaOH - NaAo + H2O Gambar 4.26 Reaksi pembentukan petroleum soap Semakin besar bilangan asam minyak semakin besar bilangan penyabunan yang menyebabkan semakin kecil nilai IFT yang dihasilkan. Menurut ASTM Committee D-2 on Petroleum Products and Lubricants (2003), total bilangan asam minyak bumi mengindikasikan dari kandungan asam naftan pada minyak bumi. Bilangan asam ini juga mengindikasikan keberadaan asam anorganik lain. Pengukuran bilangan asam berdasarkan ASTM D 664 dengan cara titrasi potensiometrik. Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan bilangan asam lapangan sandstone sebesar 0,724 mg KOH/ g. Rumus yang digunakan dalam penentuan bilangan asam : Bilangan asam, mg KOH/g = (A B) x M x 56,1/W Keterangan : A = volume larutan alkohol KOH yang digunakan untuk titrasi sampel (ml) B = volume larutan alkohol KOH yang digunakan untuk titrasi blanko (ml) M = konsentrasi dari larutan alkohol KOH (mol/l) W = massa sampel (g) Uji Kelakuan Fasa Uji kelakuan fasa merupakan uji untuk mengetahui kinerja surfaktan dari terbentuknya fasa antara larutan surfaktan dengan minyak bumi. Uji kelakuan fasa ini dilakukan dengan metode tabung tertutup dan diuji pada suhu 50 o C. Suhu 50 o C dipilih menjadi suhu pengujian karena suhu ini merupakan suhu yang paling mendekati suhu reservoir dari air formasi contoh. Uji dilakukan selama 14 hari karena larutan surfaktan yang baik akan terlihat perubahan pada hari ke-7. Formula yang digunakan pada uji kelakuan fasa ini merupakan hasil terbaik dari uji interfacial tention pada setiap formula. Terdapat lima formula yang terpilih pada uji kelakuan fasa ini yaitu formula 0,3% MES dan air formasi, formula 0,7% MES dan air demineral, formula 0,3% MES dan air formasi dengan penambahan berbagai jenis alkohol pada konsentrasi tertentu, formula 0,3% MES dan air formasi dengan penambahan 1% NaOH, serta formula 0,3% MES dan air demineral dengan penambahan 1% NaOH. Hasil uji kelakuan fasa ini dapat dilihat pada Tabel 4.1. Pada uji ini juga dilihat ratio kelarutan minyak dan air terhadap lama pemanasan dari perhitungan yang tampak dari pipet-pipet pengujian kelakuan fasa. Ratio kelarutan minyak ditentukan oleh

37 volume minyak dari volume surfaktan dalam mikroemulsi. Sedangkan ratio kelarutan air ditentukan oleh volume air dari volume surfaktan dalam mikroemulsi. Ratio kelarutan minyak digunakan untuk kelakuan fasa tipe I dan tipe III. Ratio kelarutan minyak digunakan untuk kelakuan fasa tipe II dan tipe III. Tabel 4.3 Hasil uji kelakuan fasa Nama sampel AF + 0,3% MES AD + 0,7% MES AF + 0,3% MES + 2% Metanol AF + 0,3% MES + 2% Etanol AF + 0,3% MES + 2% IPA AF + 0,3% MES + 2% Propanol AF + 0,3% MES + 2% Butanol AF + 0,3% MES + 0,5% Pentanol AF + 0,3% MES + 1% NaOH AD + 0,3% MES + 1% NaOH volume (ml) Ratio Rasio Hari ke Larutan Tipe kelarutan kelarutan Minyak surfaktan minyak air 0 1,013 1,008 - - - 7 1,013 1,008 - - - 14 1,023 0,998 II(-) 3,29-0 1,003 1,003 - - - 7 0,983 1,023 Makroemulsi 2,85 2,85 14 0,978 1,028 Makroemulsi 3,56 3,56 0 1,018 1,000 - - - 7 1,018 1,000 - - - 14 1,018 1,000 - - - 0 1,015 1,015 - - - 7 1,015 1,015 - - - 14 1,015 1,015 - - - 0 1,005 1,005 - - - 7 1,005 1,005 - - - 14 1,005 1,005 - - - 0 0,985 1,240 - - - 7 0,983 1,235 - - - 14 0,983 1,230 - - - 0 1,013 1,015 - - - 7 1,013 1,015 - - - 14 1,013 1,015 - - - 0 1,008 1,013 - - - 7 1,008 1,013 - - - 14 1,008 1,013 - - - 0 1,020 1,020 - - - 7 1,020 1,020 - - - 14 1,020 1,020 - - - 0 1,025 1,015 - - - 7 1,025 1,015 - - - 14 1,025 1,015 - - - Hasil uji kelakuan fasa formula 0,3% MES dan air formasi termasuk dalam tipe emulsi fasa II(-) atau tipe emulsi fasa bawah. Hal ini ditandai dengan terjadinya penambahan volume larutan surfaktan sebanyak 0,01 ml. Jenis emulsi fasa bawah mengindikasikan bahwa larutan surfaktan berada pada tingkat salinitas rendah yang sesuai dengan hasil uji salinitas air formasi yaitu 5795 ppm. Penambahan volume larutan surfaktan baru terlihat pada hari ke-14 dari awal dilakukannya uji kelakuan fasa ini. Dengan terbentuknya tipe emulsi fasa bawah menandakan kinerja surfaktan yang baik. Maksud kinerja yang baik disini adalah dihasilkannya nilai IFT yang

38 sangat rendah sehingga pendesakan minyak bumi dapat berjalan optimal. Pengamatan warna juga dilakukan dimana terjadi perubahan warna larutan surfaktan yaitu semakin lama uji kelakuan fasa dilakukan warna larutan surfaktan menjadi lebih jernih. Hasil perhitungan nilai ratio kelarutan minyak adalah 3,29. Hasil uji kelakuan fasa formula 0,7% MES dan air demineral termasuk dalam tipe emulsi makroemulsi. Hal ini ditandai dengan warna emulsi yang terbentuk berwarna milky. Selain itu, terjadinya penambahan dan pengurangan volume minyak dan surfaktan yang sama yaitu 0,02 ml pada hari ke-7 dan 0,005 ml pada hari ke-14. Perubahan volume minyak dan larutan surfaktan terjadi pada hari ke-7 dari awal dilakukannya uji kelakuan fasa ini. Dengan terbentuknya tipe emulsi makroemulsi menandakan kinerja surfaktan yang tidak baik. Maksud kinerja yang tidak baik disini adalah dihasilkannya nilai IFT yang besar dan emulsi yang terbentuk berukuran makro sehingga akan menghambat proses pendesakan minyak bumi. Pengamatan warna juga dilakukan dimana terjadi perubahan warna larutan surfaktan yaitu dari putih susu menjadi kekuningan. Pada perhitungan nilai ratio kelarutan air dan minyak memiliki nilai yang sama yaitu 2,85 pada hari ke-7 dan 3,56 pada hari ke-14. Uji kelakuan fasa selanjutnya adalah formula air formasi dengan penambahan 0,3% MES dan berbagai jenis alkohol. Dimana konsentrasi dan jenis alkohol yang ditambahkan adalah 2% metanol, 2% etanol, 2% IPA, 2% propanol, 2% butanol dan 0,5% pentanol. Selama 14 hari pengujian dilakukan tidak terjadi perubahan volume yang dihasilkan. Campuran antara minyak dan larutan surfaktan tetap terpisah tidak membentuk emulsi. Perubahan yang terjadi hanya pada kejernihan larutan surfaktan dimana semakin lama pengujian warna larutan surfaktan menjadi semakin jernih. Tidak adanya perubahan volume selama pengamatan karena gugus OH pada alkohol tidak cukup polar untuk berlaku seperti sebuah gugus hidrofobik. Sehingga interaksi hidrofobik yang dihasilkan tidak cukup kuat dan menghasilkan pemisahan fasa. Uji kelakuan fasa selanjutnya adalah formula air formasi dengan penambahan 0,3% MES dan 1% NaOH. Hasil uji kelakuan fasa formula ini adalah tidak adanya perubahan volume selama dilakukannya pengamatan. Namun pengamatan hari ke- 7, pada tabung uji didapat lapisan tipis berwarna coklat muda. Diduga lapisan ini merupakan lapisan sabun (petroleum soap) yang terbentuk dari reaksi antara asam organik pada lapisan minyak dengan alkali pada lapisan larutan surfaktan. Hal yang sama juga terjadi pada formula 0,3% MES dan 1% NaOH dalam media pendispersi air demineral. Reaksi yang terjadi di gambarkan pada Gambar 4.26. Pengamatan warna juga dilakukan dimana terjadi perubahan warna larutan surfaktan yaitu dari putih menjadi kekuningan. Pada pengamatan hari ke-14 formula ini membentuk endapan dibagian bawah tabung yaitu pada bagian dasar larutan surfaktan seperti terlihat pada Gambar 4.27. Pada gambar di bagian bawah tabung terdapat bagian berwarna lebih kuning dibanding larutan surfaktan yang diduga sebagai endapan. Adanya endapan scale dikarenakan air formasi yang mengandung ion-ion pembentuk scale, serta pengaruh tekanan, suhu dan ph. Didalam air formasi yang digunakan terdapat sejumlah ion diantaranya kation (Na +, Ca 2+, Mg 2+, Ba 2+, Sr 2+, dan Fe 3+ ) dan anion (Cl -, HCO3 -, dan SO4 - ). Kation dan anion yang terlarut didalam air bila bergabung akan membentuk suatu senyawa atau komponen. Pada suatu kondisi tertentu, yaitu bila konsentrasi dari komponen atau senyawa tersebut telah melampaui kelarutan komponen tersebut. Maka komponen tersebut terpisah dari

39 pelarutnya dan membentuk endapan. Biasanya scale secara kimiawi diklasifikasikan sebagai tipe karbonat dan sulfat. Endapan yang bisa terjadi adalah CaSO4 (gypsum), BaSO4 (Barium sulfat), dan CaCO3 (Calsium carbonat) (Lestari dan Ratnayu 2007). Pembentukan scale akan bertambah dan semakin keras apabila contact time semakin lama. Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan scale adalah turbulensi, tekanan, suhu dan salinitas. Jumlah CO2 yang terlarut dalam air sebanding dengan tekanan partial CO2. Bila tekanan partial CO2 semakin besar maka ph semakin kecil sehingga kelarutan CaCO3 semakin besar dan scale semakin kecil terjadi. Pada suhu yang semakin besar kelarutan CaCO3 juga akan semakin kecil. Endapan CaSO4 terjadi di boiler dan heater treater. Endapan CaSO4 dipengaruhi oleh temperatur dan adanya NaCl atau garam terlarut lainnya. Kelarutan CaSO4 meningkat dengan kenaikan temperatur mencapai 40 o C, kemudian menurun dengan kenaikan temperatur lebih lanjut. Di sumur minyak biasanya endapan stronsium sulfate jarang terjadi. Sifat kelarutan SrSO4 hampir mirip dengan BaSO4, tetapi SrSO4 lebih mudah larut dibandingkan dengan BaSO4. Kelarutan SrSO4 dipengaruhi oleh ionic strength. Barium sulfat adalah scale yang paling sukar larut. Kelarutan barium sulfate dapat bertambah karena adanya garam lain yang terlarut, suhu dan tekanan (Lestari dan Ratnayu 2007). (a) (b) Gambar 4.27 Formula 0,3% MES dan 1% NaOH dalam media pendispersi air formasi. a (pengukuran pertama) dan b (pengukuran kedua ) SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kinerja surfaktan dapat dipengaruhi dengan penambahan konsentrasi surfaktan, garam anorganik, pelarut alkohol, dan alkali. Surfaktan metil ester sulfonat dapat bekerja dengan baik pada range salinitas 5000 ppm sampai 25000 ppm. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalan metode penurunan nilai IFT dan metode kelakuan fasa. Hasil terbaik dari kedua metode tersebut menunjukkan bahwa pemberian surfaktan sebanyak 0,3% utuk media pembawa air formasi bisa menghasilkan nilai IFT sesuai dengan yang diinginkan oleh industri perminyakan. Hasil uji kelakuan fasa menunjukkan bahwa formula media

40 pendispersi air formasi dengan penambahan 0,3% MES hanya mencapai tipe II(-) atau tipe emulsi fasa bawah Saran Perlu dilakukan pengujian ukuran droplet hasil emulsi uji kelakuan fasa untuk meyakinkan emulsi yang dihasilkan termasuk kedalam tipe emulsi yang sesuai. Perlu dikaji lebih lanjut penambahan aditif dan pengujian lain sehingga surfaktan ini siap digunakan dalam industri perminyakan. DAFTAR PUSTAKA Aczo Nobel Surfactants. 2006. Enhanced Oil Recovery (EOR) Chemicals and Formulations. Di dalam: Rivai M, Tun Tedja I, Ani S, Dwi S, editor. 2010 Mei. Perbaikan Proses Produksi Surfaktan Metil Ester Sulfonat dan Formulasinya untuk Aplikasi Enhance Oil Recovery (EOR). Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 21(1):41-49. Affiati E. 1992. Pengaruh Kualitatif co-surfactant Terhadap Peningkatan Recovery Minyak. [tugas akhir]. Jakarta: Jurusan teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Trisakti. Ajith S, AC John dan AR Rakshit. 1994. Physicochemical Studies of Microemulsions. Pure & Appl. Chem [internet]. Vol. 66, No. 3. Great Britain. [diunduh 2014 Otober 05]. Tersedia pada: http://www.iupac.org/publications/pac/1994/pdf/6603x0509.pdf Al-Sahhaf T, A Suttar Ahmed, A Elkamel. 2002. Producing ultralow interfacial tension at the oil/water interface. Journal of Petroleum Science and Technology. 20(7-8):773-778. ASTM Committee D-2 on Petroleum Products and Lubricants. 2003. The Significance of Tests of Petroleum Products: A Report. Salvatore J. Rand, editor. USA: ASTM International. Ed ke-7 Barnes JR, J Smit, et al. 2008. Development of Surfactants for Chemical Flooding at Difficult Reservoir Conditions. SPE/DOE Symposium on Improved Oil Recovery. Tulsa, Oklahoma, USA. Baviere M, P Glenat, N Plazanet, dan J Labrod. 1992. SPE Reservoir Engineering. USA: Macmillan Publishing Company. Bernardini E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Rome: Interstampa. BPMIGAS. 2009. Spesifikasi Teknis Surfaktan untuk Aplikasi EOR. Jakarta: BPMIGAS. Cayias JL, Schechter RS, Wade WH. 1977. The Utilization of Petroleum Sulfonates for Producing Low Interfacial Tension Between Hydrocarbons and Water. Di dalam : Sheng JJ, editor. Modern Chemical Enhance Oil Recovery : Theory and Practice. Burlinfton : Gulf Professional Publishing-Elsevier. Chan KS, Shah DO. 1981. The Physico-Chemical Condition Necessary to Produce Ultra Low Interfacial Tension at The Oil/Brine Interface. Di dalam : Sheng

JJ, editor. Modern Chemical Enhance Oil Recovery : Theory and Practice. Burlinfton : Gulf Professional Publishing-Elsevier. Chatzis Morrow. 1994. Vicolastic Surfactant for EOR.Society of Petroleum Engineers-56 [internet]. [diunduh 2014 OKtober 03]. Tersedia pada : http://www.onepetro.org. Clayden J, Greeves N, Warren S, Wothers P. 2001. Organic Chemistry. Oxford : University Press. Drelich J, Fang Ch, Whit CL. 2002. Measurement of Interfacial Tension in Fluid- Fluid System. Encyclopedia of Surface and Colloid Science. Michigan Technological University. Michigan: Marcel Dekker, Inc. Elert G, Tetruashvili S. 2006. Resistivity of Water. In The Physics Factbook [internet]. [diunduh pada 2014 Novenber 23]. Tersedia pada: http:// hypertextbook.com/facts/2006/samtetruashvili.shtml Emegwalu CC. 2009.Enhanced Oil Recovery: Surfactant Flooding As A Possibility For The Norne E-Segment [tesis]. Norwegia : Department Of Petroleum Engineering And Applied Geophysics. Norwegian University of Science and Technology. [diunduh 2014 September 23]. Tersedia pada : http://www.ipt.ntnu.no. Eni H, Suwartiningsih, Sugihardjo. 2007. Studi Penentuan Fluida Injeksi Kimia. Prosiding Simposium Nasional IATMI 2001; 25-28 Juli 2007; Yogyakarta : UPN Veteran. Fessenden RJ, Fessenden JS. 1982. Kimia Organik 2. Jakarta: Penerbit Erlangga Fisher Scientific.2004. Material Safety Data Sheet Pentanol. USA : Regulatory Affairs Thermo Fisher Scientifi..2010. Material Safety Data Sheet Propanol. USA : Regulatory Affairs Thermo Fisher Scientific Foster NC, Rollock MW. 1997. Medium to very high active single step neutralization [Internet]. [10 Maret 2014]. Tersedia pada : www.chemithon.com. Gerpen JHV, Hammond LA, Johnson SJ, Marley L, Yu, Li I, Monyem A. 1996. Determining the Influence of Contaminants on Biodiesel Properties. Di dalam : Healy RH, Reed R L, editor. 1974. Immicible Microemulsion Flooding. Final report prepared for The Iowa Soybean Promotion Board. Iowa: State University. SPE 5817:129-139. Healy RH, Reed R L. 1974. Immicible Microemulsion Flooding. Final report prepared for The Iowa Soybean Promotion Board. Iowa: State University. SPE 5817:129-139. Hirasaki GJ, GA Pope et al. 2006. Surfactant Based Enhanced Oil Recovery and Foam Mobility Control. Final Report to DOE; June.DE-FC26-03NT15406. Hirasaki GJ, CA Miller, et al. 2008. Recent Advances in Surfactant EOR. SPE Annual Technical Conference and Exhibition; Denver, Colorado, USA: Society of Petroleum Engineers. Hovda K. 2002. The Challenge of Methyl Ester Sulfonation [internet]. The Chemithon Corporation. [diunduh 2014 September 29]. Tersedia pada : http://www.chemithon.com/papers_brochures/the_challengeof_mes.doc. Hunter RJ. 2001. Foundation of Colloids Science. New York : Oxford University Press Inc. 41

42 Jackson AC. 2006. Experimental Study of the Benefits of Sodium Carbonate on Surfactant for Enhanced Oil Recovery. [tesis]. Austin : The University of Texas. Koesoemadinata RP. 1980. Geologi minyak dan Gas Bumi. Ed ke-3, Jilid 1. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Kumar S, SL David, VK Aswal, PS Goyal, Kabir-ud-Din. 1997. Growth of sodium dodecyl sulfate micelles in aqueous ammonium salts. American Chemical Society. Journal of Langmuir 13 (24):6461-6464. Lestari MG Sri Wahyuni, Ratnayu Sitaresmi. 2007. Problema Scale di Beberapa Lapangan Migas. Proceeding Simposium National IATMI; 25-28 Juli 2007; Yogyakarta: UPN Veteran. Lakatos-Szabo J dan Lakatos I. 1999. Effect of alkaline materials on interfacial rheological properties of oil-water system. Colloid Polymer and Science 277: 41-47 Levitt D, A Jackson et al. 2009. Identification and Evaluation of High-Performance EOR Surfactants. SPE Reservoir Evaluation & Engineering 12(2):243-253. Mac Arthur, W Brian, WB Sheats. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products [internet]. [diunduh 2014 September 30]. Tersedia pada : http://www.chemithon.com/ Martinez, Isidoro. 2014. Properties of Some Particular Solutions [internet]. [diunduh 2014 November 24]. Tersedia pada: http://webserver.dmt. upm.es/~isidoro/bk3/c07sol/solution%20properties.pdf Matheson KL. 1996. Formulation of Household and Industrial Detergents. Di dalam Spitz L, editor. Soap and Detergents: A Theoretical and Practical Review. Illinois: AOCS Press. Meher LC, Dharmagadda VSS, Naik SN. 2004. Optimization of alkali-catalyzed transesterification of Pongamia pinnata oil for production of biodiesel. Article in press. Merck KgaA. 2012. Etanol. [internet].[diunduh 2014 Maret 13]. Tersedia pada : chemicals(at)merck.co.id. 2012. Metanol. [internet].[diunduh 2014 Maret 13]. Tersedia pada : chemicals(at)merck.co.id Mittelbach M dan Remschmidt C. 2006. Biodiesel The Comprehensive Handbook. Austria: Martin Mittelbach Publisher. Mohammed AB. 2007. The Study Of Scale Formation In Oil Reservoir During Water Injection At High-Barium And High-Salinity Formation Water [tesis]. Malaysia : Faculty of Chemical and Natural Resources Engineering, Universiti Teknologi Malaysia. Murray James W. 2004. Properties of Water and Seawater.Washington DC : Univ. Washington Myer Drew. 1987. Surfactant Scime and Technology (3rd ed). United State of America : Wiley Interscince A. John Wiley & Sons, Inc., Publication. pdf Patriati A, EGR Putra. 2008. Ellipsoid to Worm-likeMicelle Structures Transition Revealed by a Small-Angle Neutron Scattering Technique. ICMNS 2008; 28-30Oktober 2008; Bandung: ITB Bandung. Pore J. 1976. Sulfated and Sulfonated Oils. Di dalam Karlenskind, A. (ed.), Oil and Fats. New York : Manual Intercept Ltd.

Putra EGR, Ikram A. 2009. A 36m SANS BATAN spectrometer (SMARTer): Probing< i> n</i>-dodecyl-β-d-maltoside micelles structures by a contrast variation. Journal of Nuclear Instruments and Methods in Physics Research Section A: Accelerators, Spectrometers, Detectors and Associated Equipment. 288-290. Rachmat S. 2009.Reservoir Minyak dan Gas Bumi [internet]. [diunduh 2014 September 30]. Tersedia pada : http://www.migas-indonesia.net/. Salager JL, R Antón et al. 2005. Enhancing solubilization in microemulsions State of the art and current trends. Journal of Surfactants and Detergents. 8(1):3-21. Sampath R, LT Moeti, MJ Pitts dan DH Smith. 1998. Characterization of Surfactants for Enhanced Oil Recovery [internet]. Proceedings. [diunduh 2014 Oktober 01]. Tersedia pada : ww.netl.doe.gov/publications/ proceedings/98/98hbcu/sampath2.pdf Science Lab.com. 2005. Material Safety Data Sheet Isopropyl Alcohol MSDS. Texas : Sciencelab.com, Inc.. 2005. Material Safety Data Sheet 1-Butanol MSDS. Texas : Sciencelab.com, Inc.. 2005. Material Safety Data Sheet hexanol MSDS. Texas : Sciencelab.com, Inc. Sheng JJ. 2011. Modern Chemical Enhance Oil Recovery : Theory and Practice. Burlinfton : Gulf Professional Publishing-Elsevier. Speight JG. 2002. Chemical And Process Design Handbook. New York : McGraw- Hill. Sugihardjo. 2002. Formulasi Optimum Campuran Surfaktan, Air, dan Minyak. Jakarta : Lemigas 36(3). Sugiharjo, Edward Tobing, Sucahyo Wahyu Pratomo. 2001. Kelakuan Fasa Campuran antara Reservoir-Injeksi-Surfaktan untuk Implementasi Enhanced Water Flooding. Procceeding Simposium Nasional IATMI, PPPTMG LEMIGAS. Warren S. Perkins. 1998. Surfactans A. Primer. 51-54. [Internet]. [diunduh 2014 Maret 04]. Tersedia pada: http://www.p2pays.org. 43

44 Lampiran 1 Perhitungan total endapan kalsium karbonat Diketahui : Ion bikarbonat Air Formasi yaitu 1989 mg/l (Tabel 2.4) 100 mg bikarbonat perliter air bisa menghasilkan 12972,74 gr endapan kalsium karbonat per 1000 barel air. 1 barel = 158,987 L air 1000 barel = 158 987 L Endapan kalsium karbonat yang dihasilkan per 100 mg ion bikarbonat = 12972,74 gr / 158 987 L = 0,0816 gr/l Endapan kalsium karbonat yang dihasilkan dalam 1989 mg/l ion bikarbonat air formasi = (0,0816 gr/l / 100 mg) x 1989 mg/l = 1,622946 gr/l = 1622,946 mg/l Selain itu, kandungan ion Ca 2+ juga memicu terbentuknya endapan kalsium karbonat (CaCO3). Berdasarkan hasil uji anion dan kation air formasi lapangan pada Tabel 2.4 ion kalsium air adalah 12,2 mg/l. Reaksi pembentukan kalsium karbonat adalah Ca 2+ + CO3 2- CaCO3 Dengan perbandingan stokiometri 1:1, maka dengan penambahan Na2CO3 sebanyak 1000 ppm akan menghasilkan CaCO3 sebesar 12,2 ppm. Total endapan kalsium karbonat yang dihasilkan adalah = 1622,946 mg/l + 12,2 mg/l = 1635,149 mg/l Lampiran 2 Prosedur pengujian formula surfaktan 1. Pengukuran tegangan antarmuka metode spinning drop Cara kerja Spinning Drop Interfacial sebagai berikut : hidupkan power dan tombol lampu pada alat. Panaskan alat spinning drop, kemudian set pada suhu 40 o C (sesua i kondisi uji). Setelah kondisi tersebut stabil, ke dalam glass tube diisikan larutan surfaktan dengan konsentrasi yang telah dibuat. Ke dalam glass tube yang telah berisi larutan surfaktan, diberi tetesan minyak (crude oil). Dalam glass tube tidak boleh ada gelembung udara. Masukan glass tube ke dalam alat spinning drop, dengan permukaan glass tube menghadap ke arah luar, kecepatan putaran instrumen diatur stabil pada 6000 rpm. Pembacaan radius tetesan dilakukan jika suhu alat telah mencapai 40 o C. Ulangi pembacaan ini sampai didapatkan harga yang konstan dari pembacaan radius tetesan. Ulangi pengujian dengan suhu 50 dan 60 o C.

45 2. Pengukuran densitas Power alat densitymeter dihidupkan. Pastikan sel pengukuran bersih dengan membilasnya dengan aquades. Atur suhu alat sesuai dengan suhu uji. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat dengan alat suntik fluida yang tersedia. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada alat monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas yang diperoleh. 3. Pengukuran viskositas Power alat viscosimeter dihidupkan. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat dengan mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan kebutuhan. Catat % tenaga putaran dan viscositas yang diperoleh.

46 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT 40 50 60 No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density Formulasi air formulasi dengan konsentrasi S-MES yang berbeda 1 AF - 0,1% S-MES (S) 0,9999 0,0760 6,76E-01 0,9957 0,0877 5,59E-03 0,9908 0,0894 5,86E-04 5,60E-01 5,51E-03 2 AF - 0,1% S-MES (D) 1,0004 0,0758 4,43E-01 0,9959 0,0879 5,42E-03 0,9907 0,0893 5,85E-04 3 AF - 0,3% S-MES (S) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E-03 4 AF - 0,3% S-MES (D) 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 5 AF - 0,5% S-MES (S) 0,9995 0,0847 1,24E-02 0,9954 0,0874 3,39E-03 0,9903 0,0888 1,06E-03 8,58E-03 7,91E-03 6 AF - 0,5% S-MES (D) 0,9995 0,0847 4,74E-03 0,9954 0,0874 1,24E-02 0,9900 0,0886 1,06E-03 7 AF - 0,7% S-MES (S) 0,9996 0,0848 1,95E-02 0,9952 0,0872 2,12E-02 0,9899 0,0885 5,46E-03 2,17E-02 1,99E-02 8 AF - 0,7% S-MES (D) 0,9998 0,0849 2,40E-02 0,9953 0,0872 1,85E-02 0,9899 0,0885 4,50E-03 9 AF - 1,0% S-MES (S) 0,9994 0,0846 4,09E-02 0,9948 0,0868 3,35E-02 0,9899 0,0885 4,07E-02 4,50E-02 3,26E-02 10 AF - 1,0% S-MES (D) 0,9994 0,0846 4,91E-02 0,9950 0,0869 3,17E-02 0,9897 0,0883 4,55E-02 11 AF - 1,5% S-MES (S) 0,9990 0,0842 2,59E-01 0,9945 0,0764 4,18E-01 0,9893 0,0879 2,90E-01 2,69E-01 3,14E-01 12 AF - 1,5% S-MES (D) 0,9990 0,0842 2,79E-01 0,9946 0,0866 2,09E-01 0,9897 0,0883 2,05E-01 13 AF - 2,0% S-MES (S) 0,9984 0,0836 6,54E-01 0,9942 0,0862 3,99E-01 0,9892 0,0878 3,11E-01 8,38E-01 4,41E-01 14 AF - 2,0% S-MES (D) 0,9984 0,0836 1,02E+00 0,9942 0,0862 4,82E-01 0,9893 0,0879 1,98E-01 Formulasi air demineral dengan konsentrasi S-MES yang berbeda 15 AD - 0,1% S-MES (S) 0,9941 0,0792 2,47E+01 0,9899 0,0818 3,15E+01 0,9847 0,0833 3,62E+01 2,46E+01 3,15E+01 16 AD - 0,1% S-MES (D) 0,9941 0,0793 2,46E+01 0,9899 0,0819 3,16E+01 0,9849 0,0835 3,63E+01 17 AD - 0,3% S-MES (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E+01 18 AD - 0,3% S-MES (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E+01 19 AD - 0,5% S-MES (S) 0,9938 0,0790 1,12E+01 0,9895 0,0815 1,04E+01 0,9847 0,0833 3,02E+01 1,12E+01 1,05E+01 20 AD - 0,5% S-MES (D) 0,9938 0,0790 1,12E+01 0,9896 0,0815 1,05E+01 0,9847 0,0833 3,02E+01 21 AD - 0,7% S-MES (S) 0,9932 0,0783 6,72E+00 0,9889 0,0809 1,12E+01 0,9840 0,0826 8,38E+00 6,75E+00 1,12E+01 22 AD - 0,7% S-MES (D) 0,9934 0,0786 6,77E+00 0,9892 0,0811 1,13E+01 0,9840 0,0826 8,24E+00 23 AD - 1,0% S-MES (S) 0,9934 0,0785 9,11E+00 0,9892 0,0812 1,07E+01 0,9834 0,0819 1,00E+01 9,18E+00 1,07E+01 24 AD - 1,0% S-MES (D) 0,9932 0,0784 9,24E+00 0,9890 0,0809 1,08E+01 0,9834 0,0820 1,00E+01 25 AD - 1,5% S-MES (S) 0,9930 0,0781 1,12E+01 0,9885 0,0805 9,64E+00 0,9836 0,0821 8,13E+00 1,12E+01 9,60E+00 26 AD - 1,5% S-MES (D) 0,9928 0,0780 1,12E+01 0,9887 0,0806 9,56E+00 0,9837 0,0823 8,10E+00 27 AD - 2,0% S-MES (S) 0,9924 0,0775 9,12E+00 0,9881 0,0800 8,35E+00 0,9833 0,0818 9,69E+00 9,20E+00 8,31E+00 28 AD - 2,0% S-MES (D) 0,9924 0,0776 9,27E+00 0,9881 0,0801 8,27E+00 0,9832 0,0818 9,55E+00 Rerata 5,85E-04 1,10E-03 1,06E-03 4,98E-03 4,31E-02 2,47E-01 2,55E-01 3,62E+01 3,40E+01 3,02E+01 8,31E+00 1,00E+01 8,12E+00 9,62E+00 Keterangan : S = Pengukuran Simplo D = Pengukuran Duplo

47 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) 40 50 60 No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density Formulasi air formulasi dengan 0,3% MES pada konsentrasi NaCl yang berbeda 29 AF-0,3% MES-NaCl 0,0% (S) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E-03 30 AF-0,3% MES-NaCl 0,0% (D) 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 31 AF-0,3% MES-NaCl 1,0% (S) 1,0068 0,0920 2,66E-03 1,0024 0,0944 2,87E-03 0,9968 0,0954 4,64E-03 3,89E-03 2,93E-03 32 AF-0,3% MES-NaCl 1,0% (D) 1,0067 0,0918 5,12E-03 1,0024 0,0944 2,99E-03 0,9968 0,0954 4,55E-03 33 AF-0,3% MES-NaCl 2,0% (S) 1,0136 0,0988 7,96E-03 1,0091 0,1011 1,39E-02 1,0036 0,1022 1,35E-02 7,86E-03 9,50E-03 34 AF-0,3% MES-NaCl 2,0% (D) 1,0136 0,0987 7,76E-03 1,0089 0,1009 5,11E-03 1,0038 0,1024 1,25E-02 35 AF-0,3% MES-NaCl 3,0% (S) 1,0205 0,1057 2,55E-02 1,0165 0,1084 2,45E-02 1,0113 0,1099 3,09E-02 2,45E-02 2,19E-02 36 AF-0,3% MES-NaCl 3,0% (D) 1,0203 0,1054 2,35E-02 1,0162 0,1082 1,93E-02 1,0111 0,1096 3,31E-02 37 AF-0,3% MES-NaCl 4,0% (S) 1,0272 0,1124 3,59E-02 1,0229 0,1148 3,79E-02 1,0179 0,1165 4,55E-02 3,81E-02 4,48E-02 38 AF-0,3% MES-NaCl 4,0% (D) 1,0274 0,1126 4,03E-02 1,0232 0,1151 5,17E-02 1,0179 0,1165 4,43E-02 39 AF-0,3% MES-NaCl 5,0% (S) 1,0343 0,1194 5,94E-02 1,0301 0,1220 6,61E-02 1,0249 0,1234 5,03E-02 5,94E-02 6,62E-02 40 AF-0,3% MES-NaCl 5,0% (D) 1,0344 0,1195 5,95E-02 1,0302 0,1221 6,63E-02 1,0249 0,1235 5,56E-02 41 AF-0,3% MES-NaCl 6,0% (S) 1,0412 0,1264 8,20E-02 1,0371 0,1291 9,29E-02 1,0316 0,1302 8,08E-02 8,28E-02 9,22E-02 42 AF-0,3% MES-NaCl 6,0% (D) 1,0415 0,1267 8,36E-02 1,0370 0,1290 9,15E-02 1,0315 0,1301 9,49E-02 43 AF-0,3% MES-NaCl 7,0% (S) 1,0484 0,1336 1,14E-01 1,0437 0,1356 1,26E-01 1,0388 0,1374 1,42E-01 1,00E-01 1,11E-01 44 AF-0,3% MES-NaCl 7,0% (D) 1,0483 0,1334 8,66E-02 1,0437 0,1357 9,53E-02 1,0388 0,1374 9,72E-02 45 AF-0,3% MES-NaCl 8,0% (S) 1,0556 0,1408 1,34E-01 1,0503 0,1423 1,36E-01 1,0453 0,1438 1,64E-01 1,35E-01 1,48E-01 46 AF-0,3% MES-NaCl 8,0% (D) 1,0557 0,1409 1,35E-01 1,0509 0,1428 1,60E-01 1,0460 0,1446 1,68E-01 47 AF-0,3% MES-NaCl 9,0% (S) 1,0632 0,1484 1,85E-01 1,0582 0,1502 1,57E-01 1,0533 0,1518 1,94E-01 1,84E-01 1,51E-01 48 AF-0,3% MES-NaCl 9,0% (D) 1,0630 0,1481 1,84E-01 1,0576 0,1495 1,46E-01 1,0526 0,1512 1,94E-01 49 AF-0,3% MES-NaCl 10% (S) 1,0693 0,1544 1,97E-01 1,0646 0,1566 1,67E-01 1,0595 0,1581 2,00E-01 2,01E-01 1,67E-01 50 AF-0,3% MES-NaCl 10% (D) 1,0700 0,1552 2,06E-01 1,0646 0,1566 1,67E-01 1,0597 0,1583 2,01E-01 Formulasi air demineral dengan 0,3% MES pada konsentrasi NaCl yang berbeda 51 AD-0,3% MES-NaCl 0,0% (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E+01 52 AD-0,3% MES-NaCl 0,0% (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E+01 53 AD-0,3% MES-NaCl 0,25% (S) 0,9956 0,0807 7,55E+00 0,9914 0,0834 9,26E+00 0,9868 0,0854 6,55E+00 7,36E+00 9,25E+00 54 AD-0,3% MES-NaCl 0,25% (D) 0,9956 0,0807 7,17E+00 0,9915 0,0834 9,25+E00 0,9870 0,0856 7,39E+00 55 AD-0,3% MES-NaCl 0,5% (S) 0,9975 0,0827 3,42E-04 0,9930 0,0850 6,68E-04 0,9876 0,0861 1,02E-03 2,64E-04 5,90E-04 56 AD-0,3% MES-NaCl 0,5% (D) 0,9976 0,0828 1,86E-04 0,9930 0,0850 5,12E-04 0,9873 0,0858 9,56E-04 57 AD-0,3% MES-NaCl 0,75% (S) 0,9995 0,0847 8,25E-04 0,9948 0,0867 1,60E-03 0,9897 0,0883 1,24E-03 8,29E-04 1,30E-03 58 AD-0,3% MES-NaCl 0,75% (D) 0,9994 0,0846 8,33E-04 0,9948 0,0868 1,00E-03 0,9898 0,0884 1,21E-03 Rerata 1,10E-03 4,59E-03 1,30E-02 3,20E-02 4,49E-02 5,29E-02 8,79E-02 1,19E-01 1,66E-01 1,94E-01 2,01E-01 3,40E+01 6,97E+00 9,90E-04 1,23E-03

48 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) 40 50 60 No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density 59 AD-0,3% MES-NaCl 1,0% (S) 1,0006 0,0857 1,07E-03 0,9964 0,0883 3,45E-03 0,9918 0,0904 4,55E-03 1,26E-03 4,16E-03 60 AD-0,3% MES-NaCl 1,0% (D) 1,0011 0,0862 1,46E-03 0,9963 0,0883 4,88E-03 0,9917 0,0903 4,16E-03 61 AD-0,3% MES-NaCl 1,25% (S) 1,0032 0,0883 2,89E-03 0,9983 0,0902 3,42E-03 0,9934 0,0920 4,59E-03 2,55E-03 4,29E-03 62 AD-0,3% MES-NaCl 1,25% (D) 1,0031 0,0883 2,21E-03 0,9982 0,0902 5,16E-03 0,9936 0,0922 4,19E-03 63 AD-0,3% MES-NaCl 1,5% (S) 1,0048 0,0900 2,82E-03 0,9998 0,0918 3,62E-03 0,9944 0,0930 5,08E-03 2,74E-03 4,44E-03 64 AD-0,3% MES-NaCl 1,5% (D) 1,0049 0,0900 2,65E-03 1,0000 0,0919 5,26E-03 0,9947 0,0933 4,33E-03 65 AD-0,3% MES-NaCl 2,0% (S) 1,0075 0,0926 5,86E-03 1,0032 0,0951 7,38E-03 0,9985 0,0971 1,32E-02 6,90E-03 5,99E-03 66 AD-0,3% MES-NaCl 2,0% (D) 1,0076 0,0927 7,93E-03 1,0033 0,0953 4,60E-03 0,9986 0,0972 4,31E-03 67 AD-0,3% MES-NaCl 3,0% (S) 1,0146 0,0997 1,44E-02 1,0103 0,1022 1,66E-02 1,0055 0,1041 7,04E-03 1,68E-02 1,50E-02 68 AD-0,3% MES-NaCl 3,0% (D) 1,0144 0,0996 1,92E-02 1,0099 0,1019 1,33E-02 1,0052 0,1038 2,27E-02 69 AD-0,3% MES-NaCl 4,0% (S) 1,0217 0,1068 2,58E-02 1,0176 0,1096 2,55E-02 1,0125 0,1111 4,00E-02 2,46E-02 2,57E-02 70 AD-0,3% MES-NaCl 4,0% (D) 1,0216 0,1067 2,34E-02 1,0170 0,1090 2,59E-02 1,0121 0,1107 7,49E-02 71 AD-0,3% MES-NaCl 5,0% (S) 1,0282 0,1134 3,84E-02 1,0240 0,1160 5,63E-02 1,0192 0,1177 5,66E-02 3,85E-02 5,43E-02 72 AD-0,3% MES-NaCl 5,0% (D) 1,0285 0,1136 3,87E-02 1,0240 0,1159 5,23E-02 1,0191 0,1177 5,57E-02 73 AD-0,3% MES-NaCl 6,0% (S) 1,0354 0,1206 6,73E-02 1,0309 0,1229 7,83E-02 1,0262 0,1248 9,39E-02 6,58E-02 7,70E-02 74 AD-0,3% MES-NaCl 6,0% (D) 1,0357 0,1208 6,42E-02 1,0315 0,1235 7,57E-02 1,0263 0,1249 7,62E-02 75 AD-0,3% MES-NaCl 7,0% (S) 1,0430 0,1282 8,32E-02 1,0388 0,1307 9,29E-02 1,0335 0,1320 1,06E-01 9,04E-02 9,64E-02 76 AD-0,3% MES-NaCl 7,0% (D) 1,0426 0,1278 9,75E-02 1,0380 0,1300 9,99E-02 1,0332 0,1318 1,04E-01 77 AD-0,3% MES-NaCl 8,0% (S) 1,0496 0,1348 1,62E-01 1,0447 0,1367 1,68E-01 1,0399 0,1385 1,60E-01 1,52E-01 1,62E-01 78 AD-0,3% MES-NaCl 8,0% (D) 1,0497 0,1348 1,43E-01 1,0449 0,1368 1,56E-01 1,0399 0,1385 1,69E-01 79 AD-0,3% MES-NaCl 9,0% (S) 1,0569 0,1421 1,81E-01 1,0522 0,1441 1,67E-01 1,0560 0,1546 1,83E-01 1,72E-01 1,68E-01 80 AD-0,3% MES-NaCl 9,0% (D) 1,0568 0,1419 1,64E-01 1,0524 0,1444 1,69E-01 1,0469 0,1455 1,87E-01 81 AD-0,3% MES-NaCl 10% (S) 1,0637 0,1489 2,36E-01 1,0590 0,1510 2,00E-01 1,0538 0,1524 2,37E-01 2,17E-01 2,00E-01 82 AD-0,3% MES-NaCl 10% (D) 1,0637 0,1488 1,98E-01 1,0593 0,1513 2,00E-01 1,0539 0,1525 2,03E-01 Formulasi air formulasi dengan 0,3% S-MES pada jenis dan konsentrasi alkohol yang berbeda 83 S-MES 0,3% Metanol 0,0% AF (S) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E-03 84 S-MES 0,3% Metanol 0,0% AF (D) 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 85 S-MES 0,3% Metanol 0,5% AF (S) 0,9990 0,0841 3,90E-03 0,9943 0,0863 1,74E-03 0,9875 0,0861 8,31E-04 3,80E-03 1,77E-03 86 S-MES 0,3% Metanol 0,5% AF (D) 0,9988 0,0840 3,70E-03 0,9946 0,0866 1,79E-03 0,9880 0,0866 7,88E-04 87 S-MES 0,3% Metanol 1,0% AF (S) 0,9980 0,0832 2,91E-03 0,9935 0,0855 1,10E-03 0,9879 0,0864 6,65E-04 2,91E-03 1,10E-03 88 S-MES 0,3% Metanol 1,0% AF (D) 0,9980 0,0832 2,90E-03 0,9936 0,0855 1,10E-03 0,9874 0,0860 7,27E-04 Rerata 4,35E-03 4,39E-03 4,70E-03 8,73E-03 1,49E-02 5,75E-02 5,61E-02 8,50E-02 1,05E-01 1,64E-01 1,85E-01 2,20E-01 1,10E-03 8,10E-04 6,96E-04

49 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) No 89 90 91 92 Nama Sampel S-MES 0,3% Metanol 1,5% AF (S) S-MES 0,3% Metanol 1,5% AF (D) S-MES 0,3% Metanol 2,0% AF (S) S-MES 0,3% Metanol 2,0% AF (D) Density Diff density 40 50 60 Diff Diff IFT Rerata Density IFT Rerata Density density density 0,9977 0,0828 2,56E-03 0,9932 0,0852 6,33E-04 0,9874 0,0860 5,83E-04 2,61E-03 6,57E-04 0,9975 0,0827 2,67E-03 0,9930 0,0850 6,81E-04 0,9873 0,0859 5,97E-04 0,9965 0,0817 1,44E-03 0,9921 0,0841 5,98E-04 0,9864 0,0850 5,22E-04 1,46E-03 5,91E-04 0,9965 0,0816 1,47E-03 0,9920 0,0840 5,84E-04 0,9863 0,0849 5,30E-04 IFT Rerata 5,90E-04 5,26E-04 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 S-MES 0,3% Etanol 0,0% AF (S) S-MES 0,3% Etanol 0,0% AF (D) S-MES 0,3% Etanol 0,5% AF (S) S-MES 0,3% Etanol 0,5% AF (D) S-MES 0,3% Etanol 1,0% AF (S) S-MES 0,3% Etanol 1,0% AF (D) S-MES 0,3% Etanol 1,5% AF (S) S-MES 0,3% Etanol 1,5% AF (D) S-MES 0,3% Etanol 2,0% AF (S) S-MES 0,3% Etanol 2,0% AF (D) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E-03 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 0,9997 0,0849 1,21E-03 0,9951 0,0870 1,78E-03 0,9901 0,0887 2,86E-03 1,13E-03 1,57E-03 0,9997 0,0849 1,05E-03 0,9951 0,0870 1,36E-03 0,9904 0,0890 1,14E-03 0,9992 0,0844 6,39E-04 0,9945 0,0865 1,59E-03 0,9896 0,0881 1,08E-03 6,71E-04 1,23E-03 0,9991 0,0843 7,03E-04 0,9944 0,0864 8,57E-04 0,9894 0,0880 1,48E-03 0,9986 0,0837 5,67E-04 0,9938 0,0857 1,09E-03 0,9891 0,0877 1,35E-03 6,65E-04 1,20E-03 0,9987 0,0838 7,62E-04 0,9939 0,0859 1,31E-03 0,9889 0,0875 1,20E-03 0,9984 0,0835 5,98E-04 0,9932 0,0851 9,94E-04 0,9882 0,0867 1,22E-03 6,33E-04 9,70E-04 0,9979 0,0831 6,69E-04 0,9931 0,0851 9,45E-04 0,9882 0,0868 1,21E-03 1,10E-03 2,00E-03 1,28E-03 1,27E-03 1,22E-03

50 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) No 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 Nama Sampel S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AF (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AF (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AF (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AF (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AF (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AF (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AF (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AF (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AF (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AF (D) Density Diff density 40 50 60 Diff Diff IFT Rerata Density IFT Rerata Density density density 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E-03 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 0,9991 0,0843 2,17E-03 0,9948 0,0867 1,40E-03 0,9897 0,0883 1,39E-03 2,30E-03 1,38E-03 0,9992 0,0843 2,43E-03 0,9949 0,0868 1,36E-03 0,9892 0,0878 1,39E-03 0,9983 0,0835 1,58E-03 0,9942 0,0862 1,24E-03 0,9894 0,0880 1,34E-03 1,57E-03 1,22E-03 0,9984 0,0835 1,56E-03 0,9941 0,0861 1,20E-03 0,9892 0,0878 1,38E-03 0,9975 0,0826 1,42E-03 0,9933 0,0853 1,12E-03 0,9878 0,0863 1,29E-03 1,21E-03 1,09E-03 0,9975 0,0826 9,97E-04 0,9933 0,0853 1,05E-03 0,9875 0,0861 1,30E-03 0,9959 0,0811 9,01E-04 0,9918 0,0838 9,75E-04 0,9868 0,0854 1,05E-03 8,53E-04 9,74E-04 0,9967 0,0819 8,06E-04 0,9927 0,0847 9,74E-04 0,9877 0,0862 1,15E-03 IFT Rerata 1,10E-03 1,39E-03 1,36E-03 1,29E-03 1,10E-03 113 114 115 116 S-MES 0,3% Propanol 0,0% AF (S) S-MES 0,3% Propanol 0,0% AF (D) S-MES 0,3% Propanol 0,5% AF (S) S-MES 0,3% propanol 0,5% AF (D) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E-03 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 0,9995 0,0847 1,06E-03 0,9946 0,0866 1,13E-03 0,9898 0,0883 1,39E-03 1,10E-03 1,16E-03 0,9995 0,0846 1,15E-03 0,9946 0,0866 1,19E-03 0,9893 0,0879 1,30E-03 1,10E-03 1,34E-03

51 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) 40 50 60 No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density 117 S-MES 0,3% Propanol 1,0% AF (S) 0,9986 0,0837 7,52E-04 0,9939 0,0859 1,03E-03 0,9889 0,0875 7,06E-04 8,04E-04 1,02E-03 118 S-MES 0,3% Propanol 1,0% AF (D) 0,9986 0,0837 8,56E-04 0,9938 0,0858 1,02E-03 0,9881 0,0867 8,53E-04 119 S-MES 0,3% Propanol 1,5% AF (S) 0,9977 0,0828 4,66E-04 0,9924 0,0844 8,25E-04 0,9881 0,0867 6,81E-04 4,58E-04 8,19E-04 120 S-MES 0,3% Propanol 1,5% AF (D) 0,9976 0,0828 4,50E-04 0,9926 0,0845 8,12E-04 0,9877 0,0862 6,70E-04 121 S-MES 0,3% Propanol 2,0% AF (S) 0,9966 0,0817 2,52E-04 0,9916 0,0836 4,74E-04 0,9865 0,0851 6,02E-04 2,45E-04 4,79E-04 122 S-MES 0,3% Propanol 2,0% AF (D) 0,9967 0,0819 2,38E-04 0,9919 0,0839 4,83E-04 0,9872 0,0858 5,98E-04 123 S-MES 0,3% Butanol 0,0% AF (S) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E-03 124 S-MES 0,3% Butanol 0,0% AF (D) 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 125 S-MES 0,3% Butanol 0,5% AF (S) 0,9992 0,0843 5,81E-04 0,9951 0,0870 8,41E-04 0,9903 0,0889 1,02E-03 6,15E-04 8,22E-04 126 S-MES 0,3% Butanol 0,5% AF (D) 0,9992 0,0843 6,48E-04 0,9952 0,0872 8,04E-04 0,9899 0,0885 1,12E-03 127 S-MES 0,3% Butanol 1,0% AF (S) 0,9983 0,0835 5,74E-04 0,9941 0,0861 6,30E-04 0,9889 0,0875 4,89E-04 5,47E-04 6,33E-04 128 S-MES 0,3% Butanol 1,0% AF (D) 0,9982 0,0834 5,20E-04 0,9941 0,0861 6,35E-04 0,9883 0,0868 4,45E-04 129 S-MES 0,3% Butanol 1,5% AF (S) 0,9974 0,0826 3,80E-04 0,9933 0,0852 4,13E-04 0,9883 0,0869 4,29E-04 3,72E-04 4,11E-04 130 S-MES 0,3% Butanol 1,5% AF (D) 0,9975 0,0826 3,63E-04 0,9933 0,0853 4,09E-04 0,9881 0,0867 3,13E-04 131 S-MES 0,3% Butanol 2,0% AF (S) 0,9965 0,0817 3,26E-04 0,9923 0,0843 3,12E-04 0,9861 0,0847 2,84E-04 3,20E-04 3,86E-04 132 S-MES 0,3% Butanol 2,0% AF (D) 0,9971 0,0823 3,14E-04 0,9929 0,0849 4,60E-04 0,9872 0,0858 3,62E-04 133 S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AF (S) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E-03 134 S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AF (D) 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 135 S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AF (S) 0,9994 0,0852 1,24E-03 0,9952 0,0871 1,08E-03 0,9904 0,089 7,88E-04 1,25E-03 1,11E-03 136 S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AF (D) 0,9993 0,0848 1,27E-03 0,995 0,087 1,14E-03 0,9905 0,0891 1,23E-03 137 S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AF (S) 0,9996 0,0847 1,24E-03 0,9952 0,0871 1,17E-03 0,9923 0,0908 9,04E-04 1,25E-03 1,25E-03 138 S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AF (D) 0,9992 0,0844 1,27E-03 0,9949 0,0869 1,33E-03 0,99 0,0886 1,31E-03 139 S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AF (S) 0,997 0,0839 4,74E-03 0,9933 0,0852 5,57E-03 0,9885 0,0871 2,95E-03 4,02E-03 4,00E-03 140 S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AF (D) 0,998 0,0833 3,30E-03 0,9936 0,0855 2,42E-03 0,9886 0,0872 1,66E-03 141 S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AF (S) 0,9979 0,0836 4,41E-03 0,9936 0,0856 5,24E-03 0,9886 0,0871 2,50E-03 6,48E-03 4,91E-03 142 S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AF (D) 0,9976 0,0833 8,56E-03 0,9933 0,0852 4,58E-03 0,9875 0,0861 2,86E-03 Rerata 7,80E-04 6,76E-04 6,00E-04 1,10E-03 1,07E-03 4,67E-04 3,71E-04 3,23E-04 1,10E-03 1,01E-03 1,11E-03 2,30E-03 2,68E-03

52 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) 40 50 60 No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density Formulasi air demineral dengan 0,3% S-MES pada jenis dan konsentrasi alkohol yang berbeda 143 S-MES 0,3% Metanol 0,0% AD (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E+01 144 S-MES 0,3% Metanol 0,0% AD (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E+01 145 S-MES 0,3% Metanol 0,5% AD (S) 0,9922 0,0774 9,47E+00 0,9886 0,0805 6,87E+00 0,9834 0,0788 8,57E+00 9,41E+00 6,74E+00 146 S-MES 0,3% Metanol 0,5% AD (D) 0,9930 0,0782 9,35E+00 0,9884 0,0724 6,60E+00 0,9835 0,0820 8,60E+00 147 S-MES 0,3% Metanol 1,0% AD (S) 0,9919 0,0771 6,71E+00 0,9877 0,0797 9,00E+00 0,9830 0,0815 8,80E+00 7,18E+00 8,92E+00 148 S-MES 0,3% Metanol 1,0% AD (D) 0,9922 0,0773 7,64E+00 0,9867 0,0787 8,84E+00 0,9825 0,0811 8,97E+00 149 S-MES 0,3% Metanol 1,5% AD (S) 0,9915 0,0766 8,99E+00 0,9867 0,0787 9,32E+00 0,9821 0,0807 8,80E+00 9,02E+00 8,97E+00 150 S-MES 0,3% Metanol 1,5% AD (D) 0,9913 0,0765 9,05E+00 0,9867 0,0787 8,62E+00 0,9821 0,0807 8,68E+00 151 S-MES 0,3% Metanol 2,0% AD (S) 0,9902 0,0753 8,84E+00 0,9856 0,0776 7,22E+00 0,9810 0,0796 7,69E+00 8,89E+00 7,65E+00 152 S-MES 0,3% Metanol 2,0% AD (D) 0,9903 0,0755 8,94E+00 0,9857 0,0776 8,08E+00 0,9807 0,0792 7,43E+00 153 S-MES 0,3% Etanol 0,0% AD (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E+01 154 S-MES 0,3% Etanol 0,0% AD (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E+01 155 S-MES 0,3% Etanol 0,5% AD (S) 0,9935 0,0787 7,61E+00 0,9891 0,0810 8,18E+00 0,9842 0,0828 6,80E+00 7,65E+00 8,19E+00 156 S-MES 0,3% Etanol 0,5% AD (D) 0,9935 0,0787 7,70E+00 0,9892 0,0812 8,20E+00 0,9842 0,0828 6,84E+00 157 S-MES 0,3% Etanol 1,0% AD (S) 0,9929 0,0781 8,81E+00 0,9884 0,0804 8,34E+00 0,9836 0,0822 6,97E+00 8,90E+00 8,33E+00 158 S-MES 0,3% Etanol 1,0% AD (D) 0,9930 0,0782 8,99E+00 0,9884 0,0804 8,32E+00 0,9836 0,0822 6,88E+00 159 S-MES 0,3% Etanol 1,5% AD (S) 0,9924 0,0776 8,46E+00 0,9879 0,0799 8,28E+00 0,9830 0,0816 7,65E+00 8,55E+00 8,25E+00 160 S-MES 0,3% Etanol 1,5% AD (D) 0,9924 0,0776 8,53E+00 0,9881 0,0801 8,22E+00 0,9831 0,0817 7,60E+00 161 S-MES 0,3% Etanol 2,0% AD (S) 0,9921 0,0772 6,60E+00 0,9874 0,0794 7,29E+00 0,9824 0,0810 6,97E+00 6,52E+00 7,23E+00 162 S-MES 0,3% Etanol 2,0% AD (D) 0,9919 0,0770 6,59E+00 0,9873 0,0793 7,18E+00 0,9825 0,0811 7,05E+00 Rerata 3,40E+01 8,59E+00 8,89E+00 8,74E+00 7,56E+00 3,40E+01 7,54E+00 7,59E+00 7,18E+00 6,87E+00 163 164 165 166 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AD (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AD (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AD (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AD (D) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E+01 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E+01 0,9933 0,0784 8,96E+00 0,9883 0,0803 9,25E+00 0,9838 0,0823 9,59E+00 8,95E+00 1,01E+01 0,9932 0,0784 8,93E+00 0,9886 0,0806 9,30E+00 0,9832 0,0818 9,54E+00 3,40E+01 9,56E+00

53 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) No 167 168 169 170 171 172 Nama Sampel S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AD (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AD (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AD (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AD (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AD (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AD (D) Density Diff density 40 50 60 Diff Diff IFT Rerata Density IFT Rerata Density density density 0,9924 0,0776 7,19E+00 0,9846 0,0766 8,88E+00 0,9830 0,0815 8,41E+00 7,14E+00 9,06E+00 0,9924 0,0775 7,10E+00 0,9841 0,0760 8,79E+00 0,9830 0,0816 8,59E+00 0,9913 0,0765 7,31E+00 0,9836 0,0755 7,37E+00 0,9844 0,0830 7,38E+00 7,37E+00 7,42E+00 0,9917 0,0769 7,43E+00 0,9860 0,0780 7,46E+00 0,9814 0,0800 7,43E+00 0,9909 0,0760 7,49E+00 0,9857 0,0776 6,72E+00 0,9797 0,0783 7,14E+00 7,48E+00 7,36E+00 0,9905 0,0757 7,47E+00 0,9834 0,0754 8,01E+00 0,9812 0,0798 7,20E+00 IFT Rerata 8,50E+00 7,41E+00 7,17E+00 173 S-MES 0,3% Propanol 0,0% AD (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E+01 174 S-MES 0,3% Propanol 0,0% AD (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E+01 175 S-MES 0,3% Propanol 0,5% AD (S) 0,9929 0,0780 8,81E+00 0,9890 0,0810 8,49E+00 0,9838 0,0824 9,24E+00 8,82E+00 8,50E+00 176 S-MES 0,3% Propanol 0,5% AD (D) 0,9932 0,0784 8,83E+00 0,9891 0,0811 8,52E+00 0,9838 0,0824 9,12E+00 177 S-MES 0,3% Propanol 1,0% AD (S) 0,9920 0,0771 8,45E+00 0,9881 0,0801 7,32E+00 0,9828 0,0814 7,38E+00 8,47E+00 7,37E+00 178 S-MES 0,3% Propanol 1,0% AD (D) 0,9924 0,0775 8,49E+00 0,9881 0,0801 7,41E+00 0,9829 0,0815 7,34E+00 179 S-MES 0,3% Propanol 1,5% AD (S) 0,9912 0,0763 7,67E+00 0,9872 0,0792 7,37E+00 0,9820 0,0806 7,11E+00 7,72E+00 7,32E+00 180 S-MES 0,3% Propanol 1,5% AD (D) 0,9915 0,0767 7,78E+00 0,9874 0,0794 7,27E+00 0,9820 0,0805 7,19E+00 181 S-MES 0,3% Propanol 2,0% AD (S) 0,9907 0,0758 7,74E+00 0,9863 0,0783 6,23E+00 0,9810 0,0796 5,69E+00 7,70E+00 6,27E+00 182 S-MES 0,3% Propanol 2,0% AD (D) 0,9903 0,0754 7,66E+00 0,9861 0,0781 6,30E+00 0,9809 0,0795 5,77E+00 183 S-MES 0,3% Butanol 0,0% AD (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E+01 184 S-MES 0,3% Butanol 0,0% AD (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E+01 185 S-MES 0,3% Butanol 0,5% AD (S) 0,9929 0,0781 8,76E+00 0,9888 0,0807 8,53E+00 0,9837 0,0823 8,39E+00 8,73E+00 8,56E+00 186 S-MES 0,3% Butanol 0,5% AD (D) 0,9929 0,0781 8,71E+00 0,9889 0,0809 8,58E+00 0,9837 0,0822 8,50E+00 187 S-MES 0,3% Butanol 1,0% AD (S) 0,9921 0,0773 7,69E+00 0,9880 0,0800 8,57E+00 0,9834 0,0820 8,02E+00 7,64E+00 8,57E+00 188 S-MES 0,3% Butanol 1,0% AD (D) 0,9921 0,0772 7,59E+00 0,9881 0,0801 8,57E+00 0,9829 0,0815 7,97E+00 189 S-MES 0,3% Butanol 1,5% AD (S) 0,9914 0,0766 6,28E+00 0,9871 0,0791 7,11E+00 0,9824 0,0810 6,27E+00 6,10E+00 7,13E+00 190 S-MES 0,3% Butanol 1,5% AD (D) 0,9913 0,0764 5,92E+00 0,9872 0,0792 7,15E+00 0,9821 0,0806 6,34E+00 3,40E+01 9,18E+00 7,36E+00 7,15E+00 5,73E+00 3,40E+01 8,44E+00 7,99E+00 6,30E+00

54 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) 40 50 60 No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density 191 S-MES 0,3% Butanol 2,0% AD (S) 0,9905 0,0757 7,24E+00 0,9865 0,0784 7,33E+00 0,9816 0,0801 5,99E+00 7,26E+00 7,38E+00 192 S-MES 0,3% Butanol 2,0% AD (D) 0,9905 0,0757 7,28E+00 0,9865 0,0785 7,42E+00 0,9812 0,0798 5,90E+00 Rerata 5,94E+00 193 S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AD (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E+01 194 S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AD (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E+01 3,40E+01 195 S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AD (S) 0,9934 0,0785 6,66E+00 0,9886 0,0806 7,21E+00 0,9840 0,0826 7,11E+00 6,61E+00 7,24E+00 196 S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AD (D) 0,9933 0,0785 6,56E+00 0,9886 0,0806 7,28E+00 0,9838 0,0824 6,10E+00 6,60E+00 197 S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AD (S) 0,9923 0,0775 6,23E+00 0,9880 0,0800 7,47E+00 0,9833 0,0819 7,27E+00 6,23E+00 7,44E+00 198 S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AD (D) 0,9925 0,0777 6,23E+00 0,9879 0,0798 7,40E+00 0,9827 0,0813 7,21E+00 7,24E+00 199 S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AD (S) 0,9915 0,0767 5,30E+00 0,9871 0,0791 7,14E+00 0,9823 0,0809 6,21E+00 5,31E+00 7,10E+00 200 S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AD (D) 0,9915 0,0766 5,32E+00 0,9869 0,0789 7,06E+00 0,9824 0,0810 6,15E+00 6,18E+00 201 S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AD (S) 0,9906 0,0758 5,03E+00 0,9861 0,0781 7,18E+00 0,9816 0,0802 5,47E+00 4,58E+00 7,07E+00 202 S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AD (D) 0,9904 0,0756 4,13E+00 0,9863 0,0782 6,96E+00 0,9814 0,0800 4,08E+00 4,77E+00 Formulasi air formulasi dengan 0,3% MES pada konsentrasi NaOH yang berbeda 203 AF-0,3% MES-NaOH 0,0% (S) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E-03 204 AF-0,3% MES-NaOH 0,0% (D) 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 1,10E-03 205 AF-0,3% MES-NaOH 0,1% (S) 1,0013 0,0864 2,74E-03 0,9981 0,0901 1,56E-03 0,9919 0,0904 1,42E-03 2,64E-03 1,66E-03 206 AF-0,3% MES-NaOH 0,1% (D) 1,0013 0,0865 2,55E-03 0,9967 0,0886 1,75E-03 0,9918 0,0903 1,41E-03 1,41E-03 207 AF-0,3% MES-NaOH 0,2% (S) 1,0022 0,0874 1,79E-03 0,9976 0,0895 1,41E-03 0,9925 0,0911 2,00E-03 1,78E-03 1,69E-03 208 AF-0,3% MES-NaOH 0,2% (D) 1,0022 0,0873 1,77E-03 0,9975 0,0895 1,96E-03 0,9923 0,0909 2,89E-03 2,45E-03 209 AF-0,3% MES-NaOH 0,3% (S) 1,0031 0,0882 1,70E-03 0,9984 0,0904 2,51E-03 0,9933 0,0919 1,43E-03 1,70E-03 4,13E-03 210 AF-0,3% MES-NaOH 0,3% (D) 1,0034 0,0885 1,69E-03 1,0002 0,0922 5,76E-03 0,9935 0,0921 4,07E-03 2,75E-03 211 AF-0,3% MES-NaOH 0,4% (S) 1,0035 0,0887 1,78E-03 0,9996 0,0915 5,91E-03 0,9940 0,0926 5,35E-03 1,74E-03 5,63E-03 212 AF-0,3% MES-NaOH 0,4% (D) 1,0036 0,0887 1,70E-03 0,9997 0,0916 5,36E-03 0,9938 0,0923 4,39E-03 4,87E-03 213 AF-0,3% MES-NaOH 0,5% (S) 1,0046 0,0898 1,56E-03 1,0003 0,0922 5,27E-03 0,9951 0,0937 5,29E-03 1,66E-03 4,76E-03 214 AF-0,3% MES-NaOH 0,5% (D) 1,0045 0,0897 1,76E-03 1,0005 0,0924 4,25E-03 0,9952 0,0938 5,48E-03 5,39E-03 215 AF-0,3% MES-NaOH 0,6% (S) 1,0054 0,0906 1,61E-03 1,0016 0,0936 3,45E-03 0,9959 0,0945 4,34E-03 1,54E-03 3,43E-03 216 AF-0,3% MES-NaOH 0,6% (D) 1,0054 0,0906 1,46E-03 1,0014 0,0934 3,41E-03 0,9958 0,0943 4,67E-03 4,51E-03 217 AF-0,3% MES-NaOH 0,7% (S) 1,0069 0,0921 1,47E-03 1,0030 0,0950 2,06E-03 0,9968 0,0954 4,12E-03 1,47E-03 2,13E-03 218 AF-0,3% MES-NaOH 0,7% (D) 1,0068 0,0919 1,47E-03 1,0029 0,0948 2,20E-03 0,9975 0,0961 3,89E-03 4,00E-03 219 AF-0,3% MES-NaOH 0,8% (S) 1,0073 0,0925 1,39E-03 1,33E-03 1,0034 0,0954 2,00E-03 2,10E-03 0,9979 0,0965 3,19E-03 3,19E-03

55 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) 40 50 60 No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density 220 AF-0,3% MES-NaOH 0,8% (D) 1,0073 0,0925 1,27E-03 1,0034 0,0954 2,20E-03 0,9974 0,0960 3,19E-03 221 AF-0,3% MES-NaOH 0,9% (S) 1,0089 0,0941 1,56E-03 1,0050 0,0969 1,99E-03 0,9991 0,0976 3,68E-03 1,31E-03 2,08E-03 222 AF-0,3% MES-NaOH 0,9% (D) 1,0082 0,0934 1,06E-03 1,0045 0,0965 2,18E-03 0,9991 0,0977 3,17E-03 223 AF-0,3% MES-NaOH 1,0% (S) 1,0090 0,0941 1,24E-03 1,0052 0,0971 1,51E-03 0,9999 0,0984 2,64E-03 1,18E-03 1,40E-03 224 AF-0,3% MES-NaOH 1,0% (D) 1,0092 0,0943 1,12E-03 1,0052 0,0972 1,29E-03 1,0001 0,0986 3,36E-03 Formulasi air demineral dengan 0,3% MES pada konsentrasi NaOH yang berbeda 225 AD-0,3% MES-NaOH 0,0% (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E+01 226 AD-0,3% MES-NaOH 0,0% (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E+01 227 AD-0,3% MES-NaOH 0,1% (S) 0,9945 0,0797 8,58E-03 0,9907 0,0827 1,71E+00 0,9852 0,0838 1,54E+00 8,94E-03 1,75E+00 228 AD-0,3% MES-NaOH 0,1% (D) 0,9945 0,0797 9,30E-03 0,9905 0,0825 1,79E+00 0,9855 0,0841 1,45E+00 229 AD-0,3% MES-NaOH 0,2% (S) 0,9955 0,0806 3,27E-03 0,9917 0,0837 1,53E-02 0,9864 0,0850 9,28E-01 3,38E-03 1,31E-02 230 AD-0,3% MES-NaOH 0,2% (D) 0,9951 0,0803 3,49E-03 0,9916 0,0835 1,09E-02 0,9863 0,0848 1,11E+00 231 AD-0,3% MES-NaOH 0,3% (S) 0,9959 0,0811 3,20E-03 0,9925 0,0844 3,37E-03 0,9871 0,0857 5,38E-03 2,85E-03 3,26E-03 232 AD-0,3% MES-NaOH 0,3% (D) 0,9963 0,0815 2,50E-03 0,9928 0,0847 3,14E-03 0,9881 0,0867 8,81E-03 233 AD-0,3% MES-NaOH 0,4% (S) 0,9972 0,0824 2,48E-03 0,9934 0,0853 2,86E-03 0,9861 0,0847 8,61E-03 2,61E-03 3,17E-03 234 AD-0,3% MES-NaOH 0,4% (D) 0,9973 0,0825 2,74E-03 0,9936 0,0855 3,48E-03 0,9874 0,0860 4,35E-03 235 AD-0,3% MES-NaOH 0,5% (S) 0,9986 0,0838 2,44E-03 0,9945 0,0865 2,21E-03 0,9876 0,0862 3,48E-03 2,60E-03 2,47E-03 236 AD-0,3% MES-NaOH 0,5% (D) 0,9976 0,0828 2,75E-03 0,9940 0,0860 2,74E-03 0,9884 0,0870 5,09E-03 237 AD-0,3% MES-NaOH 0,6% (S) 0,9984 0,0836 2,39E-03 0,9956 0,0875 2,07E-03 0,9895 0,0881 2,48E-03 2,00E-03 2,15E-03 238 AD-0,3% MES-NaOH 0,6% (D) 0,9989 0,0841 1,61E-03 0,9954 0,0874 2,22E-03 0,9889 0,0875 2,31E-03 239 AD-0,3% MES-NaOH 0,7% (S) 0,9996 0,0848 1,78E-03 0,9959 0,0878 1,68E-03 0,9907 0,0893 6,00E-03 1,66E-03 1,61E-03 240 AD-0,3% MES-NaOH 0,7% (D) 0,9995 0,0847 1,54E-03 0,9958 0,0878 1,53E-03 0,9906 0,0892 1,76E-03 241 AD-0,3% MES-NaOH 0,8% (S) 1,0012 0,0864 1,29E-03 0,9968 0,0887 1,37E-03 0,9915 0,0901 1,21E-03 1,17E-03 1,52E-03 242 AD-0,3% MES-NaOH 0,8% (D) 1,0013 0,0864 1,05E-03 0,9970 0,0890 1,67E-03 0,9917 0,0903 1,21E-03 243 AD-0,3% MES-NaOH 0,9% (S) 1,0020 0,0871 6,52E-04 0,9966 0,0885 1,19E-03 0,9904 0,0889 8,73E-04 5,73E-04 1,10E-03 244 AD-0,3% MES-NaOH 0,9% (D) 1,0011 0,0863 4,94E-04 0,9974 0,0893 1,01E-03 0,9919 0,0905 8,86E-04 245 AD-0,3% MES-NaOH 1,0% (S) 1,0028 0,0880 3,96E-04 0,9984 0,0904 9,70E-04 0,9927 0,0913 6,34E-04 3,79E-04 9,22E-04 246 AD-0,3% MES-NaOH 1,0% (D) 1,0031 0,0882 3,61E-04 0,9985 0,0905 8,75E-04 0,9926 0,0912 6,84E-04 Rerata 3,42E-03 3,00E-03 3,40E+01 1,50E+00 1,02E+00 7,09E-03 6,48E-03 4,28E-03 2,39E-03 1,76E-03 1,21E-03 8,79E-04 6,59E-04

56 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi No Nama Sampel 40 50 60 IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD Formulasi air formulasi dengan konsentrasi S-MES yang berbeda 1 AF - 0,1% S-MES (S) 6,76E-01 5,59E-03 5,86E-04 5,60E-01 1,65E-01 5,51E-03 1,22E-04 2 AF - 0,1% S-MES (D) 4,43E-01 5,42E-03 5,85E-04 5,85E-04 7,87E-07 3 AF - 0,3% S-MES (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E-05 4 AF - 0,3% S-MES (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E-03 1,10E-03 1,26E-04 5 AF - 0,5% S-MES (S) 1,24E-02 3,39E-03 1,06E-03 8,58E-03 5,43E-03 7,91E-03 6,39E-03 6 AF - 0,5% S-MES (D) 4,74E-03 1,24E-02 1,06E-03 1,06E-03 1,70E-06 7 AF - 0,7% S-MES (S) 1,95E-02 2,12E-02 5,46E-03 2,17E-02 3,16E-03 1,99E-02 1,92E-03 8 AF - 0,7% S-MES (D) 2,40E-02 1,85E-02 4,50E-03 4,98E-03 6,74E-04 9 AF - 1,0% S-MES (S) 4,09E-02 3,35E-02 4,07E-02 4,50E-02 5,81E-03 3,26E-02 1,26E-03 10 AF - 1,0% S-MES (D) 4,91E-02 3,17E-02 4,55E-02 4,31E-02 3,38E-03 11 AF - 1,5% S-MES (S) 2,59E-01 4,18E-01 2,90E-01 2,69E-01 1,38E-02 3,14E-01 1,48E-01 12 AF - 1,5% S-MES (D) 2,79E-01 2,09E-01 2,05E-01 2,47E-01 6,02E-02 13 AF - 2,0% S-MES (S) 6,54E-01 3,99E-01 3,11E-01 8,38E-01 2,60E-01 4,41E-01 5,94E-02 14 AF - 2,0% S-MES (D) 1,02E+00 4,82E-01 1,98E-01 2,55E-01 8,01E-02 Formulasi air demineral dengan konsentrasi S-MES yang berbeda 15 AD - 0,1% S-MES (S) 2,47E+01 3,15E+01 3,62E+01 2,46E+01 6,47E-02 3,15E+01 4,40E-02 16 AD - 0,1% S-MES (D) 2,46E+01 3,16E+01 3,63E+01 3,62E+01 7,52E-02 17 AD - 0,3% S-MES (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E-02 18 AD - 0,3% S-MES (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 3,40E+01 5,24E-02 19 AD - 0,5% S-MES (S) 1,12E+01 1,04E+01 3,02E+01 1,12E+01 4,26E-03 1,05E+01 6,15E-02 20 AD - 0,5% S-MES (D) 1,12E+01 1,05E+01 3,02E+01 3,02E+01 4,32E-03 21 AD - 0,7% S-MES (S) 6,72E+00 1,12E+01 8,38E+00 6,75E+00 3,34E-02 1,12E+01 5,98E-02 22 AD - 0,7% S-MES (D) 6,77E+00 1,13E+01 8,24E+00 8,31E+00 9,81E-02 23 AD - 1,0% S-MES (S) 9,11E+00 1,07E+01 1,00E+01 9,18E+00 9,33E-02 1,07E+01 9,20E-02 24 AD - 1,0% S-MES (D) 9,24E+00 1,08E+01 1,00E+01 1,00E+01 2,37E-03 25 AD - 1,5% S-MES (S) 1,12E+01 9,64E+00 8,13E+00 1,12E+01 2,85E-02 9,60E+00 5,72E-02 26 AD - 1,5% S-MES (D) 1,12E+01 9,56E+00 8,10E+00 8,12E+00 2,14E-02 27 AD - 2,0% S-MES (S) 9,12E+00 8,35E+00 9,69E+00 9,20E+00 1,04E-01 8,31E+00 6,11E-02 28 AD - 2,0% S-MES (D) 9,27E+00 8,27E+00 9,55E+00 9,62E+00 9,45E-02

57 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) No Nama Sampel 40 50 60 IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD Formulasi air formulasi dengan 0,3% SMES pada konsentrasi NaCl yang berbeda 29 AF-0,3% SMES-NaCl 0,0% (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E-05 30 AF-0,3% SMES-NaCl 0,0% (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E-03 1,10E-03 1,26E-04 31 AF-0,3% SMES-NaCl 1,0% (S) 2,66E-03 2,87E-03 4,64E-03 3,89E-03 1,74E-03 2,93E-03 8,47E-05 32 AF-0,3% SMES-NaCl 1,0% (D) 5,12E-03 2,99E-03 4,55E-03 4,59E-03 6,14E-05 33 AF-0,3% SMES-NaCl 2,0% (S) 7,96E-03 1,39E-02 1,35E-02 7,86E-03 1,41E-04 9,50E-03 6,21E-03 34 AF-0,3% SMES-NaCl 2,0% (D) 7,76E-03 5,11E-03 1,25E-02 1,30E-02 7,08E-04 35 AF-0,3% SMES-NaCl 3,0% (S) 2,55E-02 2,45E-02 3,09E-02 2,45E-02 1,38E-03 2,19E-02 3,70E-03 36 AF-0,3% SMES-NaCl 3,0% (D) 2,35E-02 1,93E-02 3,31E-02 3,20E-02 1,58E-03 37 AF-0,3% SMES-NaCl 4,0% (S) 3,59E-02 3,79E-02 4,55E-02 3,81E-02 3,10E-03 4,48E-02 9,78E-03 38 AF-0,3% SMES-NaCl 4,0% (D) 4,03E-02 5,17E-02 4,43E-02 4,49E-02 8,02E-04 39 AF-0,3% SMES-NaCl 5,0% (S) 5,94E-02 6,61E-02 5,03E-02 5,94E-02 7,40E-05 6,62E-02 1,87E-04 40 AF-0,3% SMES-NaCl 5,0% (D) 5,95E-02 6,63E-02 5,56E-02 5,29E-02 3,70E-03 41 AF-0,3% SMES-NaCl 6,0% (S) 8,20E-02 9,29E-02 8,08E-02 8,28E-02 1,14E-03 9,22E-02 9,65E-04 42 AF-0,3% SMES-NaCl 6,0% (D) 8,36E-02 9,15E-02 9,49E-02 8,79E-02 9,97E-03 43 AF-0,3% SMES-NaCl 7,0% (S) 1,14E-01 1,26E-01 1,42E-01 1,00E-01 1,95E-02 1,11E-01 2,18E-02 44 AF-0,3% SMES-NaCl 7,0% (D) 8,66E-02 9,53E-02 9,72E-02 1,19E-01 3,13E-02 45 AF-0,3% SMES-NaCl 8,0% (S) 1,34E-01 1,36E-01 1,64E-01 1,35E-01 6,51E-04 1,48E-01 1,73E-02 46 AF-0,3% SMES-NaCl 8,0% (D) 1,35E-01 1,60E-01 1,68E-01 1,66E-01 3,18E-03 47 AF-0,3% SMES-NaCl 9,0% (S) 1,85E-01 1,57E-01 1,94E-01 1,84E-01 9,18E-04 1,51E-01 7,66E-03 48 AF-0,3% SMES-NaCl 9,0% (D) 1,84E-01 1,46E-01 1,94E-01 1,94E-01 3,81E-04 49 AF-0,3% SMES-NaCl 10% (S) 1,97E-01 1,67E-01 2,00E-01 2,01E-01 5,79E-03 1,67E-01 0,00E+00 50 AF-0,3% SMES-NaCl 10% (D) 2,06E-01 1,67E-01 2,01E-01 2,01E-01 7,97E-04 Formulasi air demineral dengan 0,3% SMES pada konsentrasi NaCl yang berbeda 51 AD-0,3% SMES-NaCl 0,0% (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E-02 52 AD-0,3% SMES-NaCl 0,0% (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 3,40E+01 5,24E-02 53 AD-0,3% SMES-NaCl 0,5% (S) 3,42E-04 6,68E-04 1,02E-03 2,64E-04 1,10E-04 5,90E-04 1,11E-04 54 AD-0,3% SMES-NaCl 0,5% (D) 1,86E-04 5,12E-04 9,56E-04 9,90E-04 4,84E-05 55 AD-0,3% SMES-NaCl 0,75% (S) 8,25E-04 1,60E-03 1,24E-03 8,29E-04 5,30E-06 1,30E-03 4,24E-04 56 AD-0,3% SMES-NaCl 0,75% (D) 8,33E-04 1,00E-03 1,21E-03 1,23E-03 1,83E-05 57 AD-0,3% SMES-NaCl 1,0% (S) 1,07E-03 3,45E-03 4,55E-03 1,26E-03 2,80E-04 4,16E-03 1,01E-03 58 AD-0,3% SMES-NaCl 1,0% (D) 1,46E-03 4,88E-03 4,16E-03 4,35E-03 2,75E-04

58 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) No. Nama Sampel 40 50 60 IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD 59 AD-0,3% SMES-NaCl 1,25% (S) 2,89E-03 3,42E-03 4,59E-03 2,55E-03 4,77E-04 4,29E-03 1,23E-03 60 AD-0,3% SMES-NaCl 1,25% (D) 2,21E-03 5,16E-03 4,19E-03 4,39E-03 2,83E-04 61 AD-0,3% SMES-NaCl 1,5% (S) 2,82E-03 3,62E-03 5,08E-03 2,74E-03 1,17E-04 4,44E-03 1,16E-03 62 AD-0,3% SMES-NaCl 1,5% (D) 2,65E-03 5,26E-03 4,33E-03 4,70E-03 5,30E-04 63 AD-0,3% SMES-NaCl 2,0% (S) 5,86E-03 7,38E-03 1,32E-02 6,90E-03 1,46E-03 5,99E-03 1,97E-03 64 AD-0,3% SMES-NaCl 2,0% (D) 7,93E-03 4,60E-03 4,31E-03 8,73E-03 6,25E-03 65 AD-0,3% SMES-NaCl 3,0% (S) 1,44E-02 1,66E-02 7,04E-03 1,68E-02 3,39E-03 1,50E-02 2,32E-03 66 AD-0,3% SMES-NaCl 3,0% (D) 1,92E-02 1,33E-02 2,27E-02 1,49E-02 1,11E-02 67 AD-0,3% SMES-NaCl 4,0% (S) 2,58E-02 2,55E-02 4,00E-02 2,46E-02 1,67E-03 2,57E-02 2,83E-04 68 AD-0,3% SMES-NaCl 4,0% (D) 2,34E-02 2,59E-02 7,49E-02 5,75E-02 2,47E-02 69 AD-0,3% SMES-NaCl 5,0% (S) 3,84E-02 5,63E-02 5,66E-02 3,85E-02 2,38E-04 5,43E-02 2,81E-03 70 AD-0,3% SMES-NaCl 5,0% (D) 3,87E-02 5,23E-02 5,57E-02 5,61E-02 6,43E-04 71 AD-0,3% SMES-NaCl 6,0% (S) 6,73E-02 7,83E-02 9,39E-02 6,58E-02 2,19E-03 7,70E-02 1,84E-03 72 AD-0,3% SMES-NaCl 6,0% (D) 6,42E-02 7,57E-02 7,62E-02 8,50E-02 1,25E-02 73 AD-0,3% SMES-NaCl 7,0% (S) 8,32E-02 9,29E-02 1,06E-01 9,04E-02 1,01E-02 9,64E-02 4,96E-03 74 AD-0,3% SMES-NaCl 7,0% (D) 9,75E-02 9,99E-02 1,04E-01 1,05E-01 1,73E-03 75 AD-0,3% SMES-NaCl 8,0% (S) 1,62E-01 1,68E-01 1,60E-01 1,52E-01 1,33E-02 1,62E-01 7,97E-03 76 AD-0,3% SMES-NaCl 8,0% (D) 1,43E-01 1,56E-01 1,69E-01 1,64E-01 6,15E-03 77 AD-0,3% SMES-NaCl 9,0% (S) 1,81E-01 1,67E-01 1,83E-01 1,72E-01 1,22E-02 1,68E-01 1,35E-03 78 AD-0,3% SMES-NaCl 9,0% (D) 1,64E-01 1,69E-01 1,87E-01 1,85E-01 2,70E-03 79 AD-0,3% SMES-NaCl 10% (S) 2,36E-01 2,00E-01 2,37E-01 2,17E-01 2,69E-02 2,00E-01 3,50E-04 80 AD-0,3% SMES-NaCl 10% (D) 1,98E-01 2,00E-01 2,03E-01 2,20E-01 2,41E-02 Formulasi air formulasi dengan 0,3% S-MES pada jenis dan konsentrasi alkohol yang berbeda 81 S-MES 0,3% Metanol 0,0% AF (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E-05 82 S-MES 0,3% Metanol 0,0% AF (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E-03 1,10E-03 1,26E-04 83 S-MES 0,3% Metanol 0,5% AF (S) 3,90E-03 1,74E-03 8,31E-04 3,80E-03 1,38E-04 1,77E-03 3,62E-05 84 S-MES 0,3% Metanol 0,5% AF (D) 3,70E-03 1,79E-03 7,88E-04 8,10E-04 3,08E-05 85 S-MES 0,3% Metanol 1,0% AF (S) 2,91E-03 1,10E-03 6,65E-04 2,91E-03 7,13E-06 1,10E-03 4,71E-08 86 S-MES 0,3% Metanol 1,0% AF (D) 2,90E-03 1,10E-03 7,27E-04 6,96E-04 4,35E-05 87 S-MES 0,3% Metanol 1,5% AF (S) 2,56E-03 6,33E-04 5,83E-04 2,61E-03 7,45E-05 6,57E-04 3,37E-05 88 S-MES 0,3% Metanol 1,5% AF (D) 2,67E-03 6,81E-04 5,97E-04 5,90E-04 9,77E-06

59 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) 40 50 60 No Nama Sampel IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD 89 S-MES 0,3% Metanol 2,0% AF (S) 1,44E-03 5,98E-04 5,22E-04 1,46E-03 2,32E-05 5,91E-04 1,00E-05 5,26E-04 6,14E-06 90 S-MES 0,3% Metanol 2,0% AF (D) 1,47E-03 5,84E-04 5,30E-04 91 S-MES 0,3% Etanol 0,0% AF (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E-05 92 S-MES 0,3% Etanol 0,0% AF (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E-03 93 S-MES 0,3% Etanol 0,5% AF (S) 1,21E-03 1,78E-03 2,86E-03 1,13E-03 1,14E-04 1,57E-03 3,01E-04 94 S-MES 0,3% Etanol 0,5% AF (D) 1,05E-03 1,36E-03 1,14E-03 95 S-MES 0,3% Etanol 1,0% AF (S) 6,39E-04 1,59E-03 1,08E-03 6,71E-04 4,55E-05 1,23E-03 5,22E-04 96 S-MES 0,3% Etanol 1,0% AF (D) 7,03E-04 8,57E-04 1,48E-03 97 S-MES 0,3% Etanol 1,5% AF (S) 5,67E-04 1,09E-03 1,35E-03 6,65E-04 1,38E-04 1,20E-03 1,51E-04 98 S-MES 0,3% Etanol 1,5% AF (D) 7,62E-04 1,31E-03 1,20E-03 99 S-MES 0,3% Etanol 2,0% AF (S) 5,98E-04 9,94E-04 1,22E-03 6,33E-04 5,03E-05 9,70E-04 3,44E-05 100 S-MES 0,3% Etanol 2,0% AF (D) 6,69E-04 9,45E-04 1,21E-03 101 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AF (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E-05 102 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AF (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E-03 103 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AF (S) 2,17E-03 1,40E-03 1,39E-03 2,30E-03 1,88E-04 1,38E-03 2,73E-05 104 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AF (D) 2,43E-03 1,36E-03 1,39E-03 105 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AF (S) 1,58E-03 1,24E-03 1,34E-03 1,57E-03 1,59E-05 1,22E-03 2,40E-05 106 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AF (D) 1,56E-03 1,20E-03 1,38E-03 107 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AF (S) 1,42E-03 1,12E-03 1,29E-03 1,21E-03 2,99E-04 1,09E-03 4,73E-05 108 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AF (D) 9,97E-04 1,05E-03 1,30E-03 109 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AF (S) 9,01E-04 9,75E-04 1,05E-03 8,53E-04 6,70E-05 9,74E-04 4,25E-07 110 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AF (D) 8,06E-04 9,74E-04 1,15E-03 111 S-MES 0,3% Propanol 0,0% AF (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E-05 112 S-MES 0,3% Propanol 0,0% AF (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E-03 113 S-MES 0,3% Propanol 0,5% AF (S) 1,06E-03 1,13E-03 1,39E-03 1,10E-03 6,21E-05 1,16E-03 4,02E-05 114 S-MES 0,3% propanol 0,5% AF (D) 1,15E-03 1,19E-03 1,30E-03 115 S-MES 0,3% Propanol 1,0% AF (S) 7,52E-04 1,03E-03 7,06E-04 8,04E-04 7,32E-05 1,02E-03 4,78E-06 116 S-MES 0,3% Propanol 1,0% AF (D) 8,56E-04 1,02E-03 8,53E-04 117 S-MES 0,3% Propanol 1,5% AF (S) 4,66E-04 8,25E-04 6,81E-04 4,58E-04 1,10E-05 8,19E-04 9,21E-06 118 S-MES 0,3% Propanol 1,5% AF (D) 4,50E-04 8,12E-04 6,70E-04 119 S-MES 0,3% Propanol 2,0% AF (S) 2,52E-04 4,74E-04 6,02E-04 2,45E-04 1,02E-05 4,79E-04 6,75E-06 120 S-MES 0,3% Propanol 2,0% AF (D) 2,38E-04 4,83E-04 5,98E-04 1,10E-03 2,00E-03 1,28E-03 1,27E-03 1,22E-03 1,10E-03 1,39E-03 1,36E-03 1,29E-03 1,10E-03 1,10E-03 1,34E-03 7,80E-04 6,76E-04 6,00E-04 1,26E-04 1,22E-03 2,81E-04 1,08E-04 4,65E-06 1,26E-04 6,43E-06 2,37E-05 7,02E-06 6,72E-05 1,26E-04 6,57E-05 1,04E-04 8,15E-06 2,67E-06

60 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) No Nama Sampel 40 50 60 IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD 121 S-MES 0,3% Butanol 0,0% AF (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E-05 122 S-MES 0,3% Butanol 0,0% AF (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E-03 1,10E-03 1,26E-04 123 S-MES 0,3% Butanol 0,5% AF (S) 5,81E-04 8,41E-04 1,02E-03 6,15E-04 4,75E-05 8,22E-04 2,64E-05 124 S-MES 0,3% Butanol 0,5% AF (D) 6,48E-04 8,04E-04 1,12E-03 1,07E-03 6,50E-05 125 S-MES 0,3% Butanol 1,0% AF (S) 5,74E-04 6,30E-04 4,89E-04 5,47E-04 3,84E-05 6,33E-04 3,36E-06 126 S-MES 0,3% Butanol 1,0% AF (D) 5,20E-04 6,35E-04 4,45E-04 4,67E-04 3,12E-05 127 S-MES 0,3% Butanol 1,5% AF (S) 3,80E-04 4,13E-04 4,29E-04 3,72E-04 1,18E-05 4,11E-04 2,57E-06 128 S-MES 0,3% Butanol 1,5% AF (D) 3,63E-04 4,09E-04 3,13E-04 3,71E-04 8,26E-05 129 S-MES 0,3% Butanol 2,0% AF (S) 3,26E-04 3,12E-04 2,84E-04 3,20E-04 8,35E-06 3,86E-04 1,05E-04 130 S-MES 0,3% Butanol 2,0% AF (D) 3,14E-04 4,60E-04 3,62E-04 3,23E-04 5,48E-05 131 S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AF (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E-05 132 S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AF (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E-03 133 S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AF (S) 1,24E-03 1,08E-03 7,88E-04 1,25E-03 2,35E-05 1,11E-03 4,01E-05 134 S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AF (D) 1,27E-03 1,14E-03 1,23E-03 135 S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AF (S) 1,24E-03 1,17E-03 9,04E-04 1,25E-03 2,35E-05 1,25E-03 1,13E-04 136 S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AF (D) 1,27E-03 1,33E-03 1,31E-03 137 S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AF (S) 4,74E-03 5,57E-03 2,95E-03 4,02E-03 1,02E-03 4,00E-03 2,23E-03 138 S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AF (D) 3,30E-03 2,42E-03 1,66E-03 139 S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AF (S) 4,41E-03 5,24E-03 2,50E-03 6,48E-03 2,93E-03 4,91E-03 4,68E-04 140 S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AF (D) 8,56E-03 4,58E-03 2,86E-03 Formulasi air demineral dengan 0,3% S-MES pada jenis dan konsentrasi alkohol yang berbeda 141 S-MES 0,3% Metanol 0,0% AD (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E-02 142 S-MES 0,3% Metanol 0,0% AD (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 143 S-MES 0,3% Metanol 0,5% AD (S) 9,47E+00 6,87E+00 8,57E+00 9,41E+00 8,27E-02 6,74E+00 1,88E-01 144 S-MES 0,3% Metanol 0,5% AD (D) 9,35E+00 6,60E+00 8,60E+00 145 S-MES 0,3% Metanol 1,0% AD (S) 6,71E+00 9,00E+00 8,80E+00 7,18E+00 6,62E-01 8,92E+00 1,14E-01 146 S-MES 0,3% Metanol 1,0% AD (D) 7,64E+00 8,84E+00 8,97E+00 147 S-MES 0,3% Metanol 1,5% AD (S) 8,99E+00 9,32E+00 8,80E+00 9,02E+00 4,37E-02 8,97E+00 4,93E-01 148 S-MES 0,3% Metanol 1,5% AD (D) 9,05E+00 8,62E+00 8,68E+00 149 S-MES 0,3% Metanol 2,0% AD (S) 8,84E+00 7,22E+00 7,69E+00 8,89E+00 7,33E-02 7,65E+00 6,10E-01 150 S-MES 0,3% Metanol 2,0% AD (D) 8,94E+00 8,08E+00 7,43E+00 1,10E-03 1,01E-03 1,11E-03 2,30E-03 2,68E-03 3,40E+01 8,59E+00 8,89E+00 8,74E+00 7,56E+00 1,26E-04 3,13E-04 2,86E-04 9,12E-04 2,57E-04 5,24E-02 2,11E-02 1,16E-01 8,66E-02 1,85E-01

61 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) No Nama Sampel 40 50 60 IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD 151 S-MES 0,3% Etanol 0,0% AD (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E-02 152 S-MES 0,3% Etanol 0,0% AD (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 3,40E+01 5,24E-02 153 S-MES 0,3% Etanol 0,5% AD (S) 7,61E+00 8,18E+00 6,80E+00 7,65E+00 6,49E-02 8,19E+00 1,69E-02 154 S-MES 0,3% Etanol 0,5% AD (D) 7,70E+00 8,20E+00 6,84E+00 7,54E+00 3,06E-02 155 S-MES 0,3% Etanol 1,0% AD (S) 8,81E+00 8,34E+00 6,97E+00 8,90E+00 1,27E-01 8,33E+00 1,44E-02 156 S-MES 0,3% Etanol 1,0% AD (D) 8,99E+00 8,32E+00 6,88E+00 7,59E+00 5,98E-02 157 S-MES 0,3% Etanol 1,5% AD (S) 8,46E+00 8,28E+00 7,65E+00 8,55E+00 5,49E-02 8,25E+00 4,38E-02 158 S-MES 0,3% Etanol 1,5% AD (D) 8,53E+00 8,22E+00 7,60E+00 7,18E+00 3,84E-02 159 S-MES 0,3% Etanol 2,0% AD (S) 6,60E+00 7,29E+00 6,97E+00 6,52E+00 1,06E-02 7,23E+00 7,48E-02 160 S-MES 0,3% Etanol 2,0% AD (D) 6,59E+00 7,18E+00 7,05E+00 6,87E+00 5,51E-02 161 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AD (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E-02 162 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AD (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 163 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AD (S) 8,96E+00 9,25E+00 9,59E+00 8,95E+00 2,11E-02 1,01E+01 3,62E-02 164 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AD (D) 8,93E+00 9,30E+00 9,54E+00 165 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AD (S) 7,19E+00 8,88E+00 8,41E+00 7,14E+00 6,30E-02 9,06E+00 6,77E-02 166 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AD (D) 7,10E+00 8,79E+00 8,59E+00 167 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AD (S) 7,31E+00 7,37E+00 7,38E+00 7,37E+00 8,64E-02 7,42E+00 6,56E-02 168 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AD (D) 7,43E+00 7,46E+00 7,43E+00 169 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AD (S) 7,49E+00 6,72E+00 7,14E+00 7,48E+00 1,03E-02 7,36E+00 9,08E-01 170 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AD (D) 7,47E+00 8,01E+00 7,20E+00 171 S-MES 0,3% Propanol 0,0% AD (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E-02 172 S-MES 0,3% Propanol 0,0% AD (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 173 S-MES 0,3% Propanol 0,5% AD (S) 8,81E+00 8,49E+00 9,24E+00 8,82E+00 1,47E-02 8,50E+00 2,56E-02 174 S-MES 0,3% Propanol 0,5% AD (D) 8,83E+00 8,52E+00 9,12E+00 175 S-MES 0,3% Propanol 1,0% AD (S) 8,45E+00 7,32E+00 7,38E+00 8,47E+00 3,06E-02 7,37E+00 6,08E-02 176 S-MES 0,3% Propanol 1,0% AD (D) 8,49E+00 7,41E+00 7,34E+00 177 S-MES 0,3% Propanol 1,5% AD (S) 7,67E+00 7,37E+00 7,11E+00 7,72E+00 8,15E-02 7,32E+00 7,16E-02 178 S-MES 0,3% Propanol 1,5% AD (D) 7,78E+00 7,27E+00 7,19E+00 179 S-MES 0,3% Propanol 2,0% AD (S) 7,74E+00 6,23E+00 5,69E+00 7,70E+00 5,76E-02 6,27E+00 5,55E-02 180 S-MES 0,3% Propanol 2,0% AD (D) 7,66E+00 6,30E+00 5,77E+00 3,40E+01 9,56E+00 8,50E+00 7,41E+00 7,17E+00 3,40E+01 9,18E+00 7,36E+00 7,15E+00 5,73E+00 5,24E-02 3,67E-02 1,27E-01 3,79E-02 4,17E-02 5,24E-02 8,80E-02 2,25E-02 5,41E-02 5,77E-02

62 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) No Nama Sampel 40 50 60 IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD 181 S-MES 0,3% Butanol 0,0% AD (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E-02 182 S-MES 0,3% Butanol 0,0% AD (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 3,40E+01 5,24E-02 183 S-MES 0,3% Butanol 0,5% AD (S) 8,76E+00 8,53E+00 8,39E+00 8,73E+00 3,67E-02 8,56E+00 3,70E-02 184 S-MES 0,3% Butanol 0,5% AD (D) 8,71E+00 8,58E+00 8,50E+00 8,44E+00 7,63E-02 185 S-MES 0,3% Butanol 1,0% AD (S) 7,69E+00 8,57E+00 8,02E+00 7,64E+00 6,61E-02 8,57E+00 4,66E-03 186 S-MES 0,3% Butanol 1,0% AD (D) 7,59E+00 8,57E+00 7,97E+00 7,99E+00 3,52E-02 187 S-MES 0,3% Butanol 1,5% AD (S) 6,28E+00 7,11E+00 6,27E+00 6,10E+00 2,55E-01 7,13E+00 2,37E-02 188 S-MES 0,3% Butanol 1,5% AD (D) 5,92E+00 7,15E+00 6,34E+00 6,30E+00 4,83E-02 189 S-MES 0,3% Butanol 2,0% AD (S) 7,24E+00 7,33E+00 5,99E+00 7,26E+00 2,17E-02 7,38E+00 6,61E-02 190 S-MES 0,3% Butanol 2,0% AD (D) 7,28E+00 7,42E+00 5,90E+00 5,94E+00 6,85E-02 191 S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AD (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E-02 192 S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AD (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 193 S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AD (S) 6,66E+00 7,21E+00 7,11E+00 6,61E+00 7,53E-02 7,24E+00 5,27E-02 194 S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AD (D) 6,56E+00 7,28E+00 6,10E+00 195 S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AD (S) 6,23E+00 7,47E+00 7,27E+00 6,23E+00 1,56E-03 7,44E+00 4,80E-02 196 S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AD (D) 6,23E+00 7,40E+00 7,21E+00 197 S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AD (S) 5,30E+00 7,14E+00 6,21E+00 5,31E+00 1,39E-02 7,10E+00 5,98E-02 198 S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AD (D) 5,32E+00 7,06E+00 6,15E+00 199 S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AD (S) 5,03E+00 7,18E+00 5,47E+00 4,58E+00 6,34E-01 7,07E+00 1,59E-01 200 S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AD (D) 4,13E+00 6,96E+00 4,08E+00 Formulasi air formulasi dengan 0,3% SMES pada konsentrasi NaOH yang berbeda 201 AF-0,3% SMES-NaOH 0,0% (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E-05 202 AF-0,3% SMES-NaOH 0,0% (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E-03 203 AF-0,3% SMES-NaOH 0,1% (S) 2,74E-03 4,86E-03 2,11E-03 2,64E-03 1,36E-04 3,31E-03 2,20E-03 204 AF-0,3% SMES-NaOH 0,1% (D) 2,55E-03 1,75E-03 4,02E-03 205 AF-0,3% SMES-NaOH 0,2% (S) 1,79E-03 1,41E-03 2,00E-03 1,78E-03 1,52E-05 1,69E-03 3,91E-04 206 AF-0,3% SMES-NaOH 0,2% (D) 1,77E-03 1,96E-03 2,89E-03 207 AF-0,3% SMES-NaOH 0,3% (S) 1,70E-03 2,51E-03 1,43E-03 1,70E-03 4,33E-06 1,22E-02 1,37E-02 208 AF-0,3% SMES-NaOH 0,3% (D) 1,69E-03 2,19E-02 4,07E-03 209 AF-0,3% SMES-NaOH 0,4% (S) 1,78E-03 5,91E-03 5,35E-03 1,74E-03 5,45E-05 5,63E-03 3,92E-04 210 AF-0,3% SMES-NaOH 0,4% (D) 1,70E-03 5,36E-03 4,39E-03 3,40E+01 6,60E+00 7,24E+00 6,18E+00 4,77E+00 1,10E-03 3,06E-03 2,45E-03 2,75E-03 4,87E-03 5,24E-02 7,13E-01 4,65E-02 4,08E-02 9,79E-01 1,26E-04 1,35E-03 6,32E-04 1,87E-03 6,81E-04

63 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) No Nama Sampel 40 50 60 IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD 211 AF-0,3% SMES-NaOH 0,5% (S) 1,56E-03 5,27E-03 5,29E-03 1,66E-03 1,40E-04 4,76E-03 7,25E-04 212 AF-0,3% SMES-NaOH 0,5% (D) 1,76E-03 4,25E-03 5,48E-03 5,39E-03 1,39E-04 213 AF-0,3% SMES-NaOH 0,6% (S) 1,61E-03 3,45E-03 4,34E-03 1,54E-03 1,02E-04 3,43E-03 2,23E-05 214 AF-0,3% SMES-NaOH 0,6% (D) 1,46E-03 3,41E-03 4,67E-03 4,51E-03 2,37E-04 215 AF-0,3% SMES-NaOH 0,7% (S) 1,47E-03 2,06E-03 4,12E-03 1,47E-03 5,47E-07 2,13E-03 1,03E-04 216 AF-0,3% SMES-NaOH 0,7% (D) 1,47E-03 2,20E-03 3,89E-03 4,00E-03 1,69E-04 217 AF-0,3% SMES-NaOH 0,8% (S) 1,39E-03 2,00E-03 7,06E-03 1,33E-03 7,85E-05 2,10E-03 1,42E-04 218 AF-0,3% SMES-NaOH 0,8% (D) 1,27E-03 2,20E-03 4,08E-03 5,57E-03 2,11E-03 219 AF-0,3% SMES-NaOH 0,9% (S) 1,56E-03 1,99E-03 3,68E-03 1,31E-03 3,56E-04 2,08E-03 1,38E-04 220 AF-0,3% SMES-NaOH 0,9% (D) 1,06E-03 2,18E-03 3,17E-03 3,42E-03 3,60E-04 221 AF-0,3% SMES-NaOH 1,0% (S) 1,24E-03 1,51E-03 2,64E-03 1,18E-03 8,57E-05 1,40E-03 1,51E-04 222 AF-0,3% SMES-NaOH 1,0% (D) 1,12E-03 1,29E-03 3,36E-03 3,00E-03 5,08E-04 Formulasi air demineral dengan 0,3% SMES pada konsentrasi NaOH yang berbeda 223 AD-0,3% SMES-NaOH 0,0% (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E-02 224 AD-0,3% SMES-NaOH 0,0% (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 3,40E+01 5,24E-02 225 AD-0,3% SMES-NaOH 0,1% (S) 8,58E-03 5,11E-04 1,71E+00 1,54E+00 8,94E-03 1,75E+00 5,36E-02 226 AD-0,3% SMES-NaOH 0,1% (D) 9,30E-03 1,79E+00 1,45E+00 1,50E+00 6,27E-02 227 AD-0,3% SMES-NaOH 0,2% (S) 3,27E-03 1,57E-04 1,53E-02 9,28E-01 3,38E-03 1,31E-02 3,10E-03 228 AD-0,3% SMES-NaOH 0,2% (D) 3,49E-03 1,09E-02 1,11E+00 1,02E+00 1,29E-01 229 AD-0,3% SMES-NaOH 0,3% (S) 3,20E-03 4,92E-04 3,37E-03 5,38E-03 2,85E-03 3,26E-03 1,61E-04 230 AD-0,3% SMES-NaOH 0,3% (D) 2,50E-03 3,14E-03 8,81E-03 7,09E-03 2,43E-03 231 AD-0,3% SMES-NaOH 0,4% (S) 2,48E-03 1,84E-04 2,86E-03 8,61E-03 2,61E-03 3,17E-03 4,41E-04 232 AD-0,3% SMES-NaOH 0,4% (D) 2,74E-03 3,48E-03 4,35E-03 6,48E-03 3,01E-03 233 AD-0,3% SMES-NaOH 0,5% (S) 2,44E-03 2,22E-04 2,21E-03 3,48E-03 2,60E-03 2,47E-03 3,73E-04 234 AD-0,3% SMES-NaOH 0,5% (D) 2,75E-03 2,74E-03 5,09E-03 4,28E-03 1,13E-03 235 AD-0,3% SMES-NaOH 0,6% (S) 2,39E-03 5,54E-04 2,07E-03 2,48E-03 2,00E-03 2,15E-03 1,10E-04 236 AD-0,3% SMES-NaOH 0,6% (D) 1,61E-03 2,22E-03 2,31E-03 2,39E-03 1,21E-04 237 AD-0,3% SMES-NaOH 0,7% (S) 1,78E-03 1,70E-04 1,68E-03 6,00E-03 1,66E-03 1,61E-03 1,05E-04 238 AD-0,3% SMES-NaOH 0,7% (D) 1,54E-03 1,53E-03 1,76E-03 1,76E-03 3,00E-03 239 AD-0,3% SMES-NaOH 0,8% (S) 1,29E-03 1,74E-04 1,37E-03 1,21E-03 1,17E-03 1,52E-03 2,12E-04 240 AD-0,3% SMES-NaOH 0,8% (D) 1,05E-03 1,67E-03 1,21E-03 1,21E-03 3,36E-06 241 AD-0,3% SMES-NaOH 0,9% (S) 6,52E-04 1,12E-04 1,19E-03 8,73E-04 5,73E-04 1,10E-03 1,29E-04 242 AD-0,3% SMES-NaOH 0,9% (D) 4,94E-04 1,01E-03 8,86E-04 8,79E-04 9,73E-06 243 AD-0,3% SMES-NaOH 1,0% (S) 3,96E-04 2,47E-05 9,70E-04 6,34E-04 3,79E-04 9,22E-04 6,73E-05 244 AD-0,3% SMES-NaOH 1,0% (D) 3,61E-04 8,75E-04 6,84E-04 6,59E-04 3,51E-05

64 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi No. Nama Sampel Gambar 1 S-MES 0,1% dan Air Formasi 2 S-MES 0,3% dan Air Formasi 3 S-MES 0,5% dan Air Formasi 4 S-MES 0,7% dan Air Formasi

65 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 5 S-MES 1,0% dan Air Formasi 6 S-MES 1,5% dan Air Formasi 7 S-MES 2,0% dan Air Formasi 8 S-MES 0,1% dan Air Demineral

66 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 9 S-MES 0,3% dan Air Demineral 10 S-MES 0,5% dan Air Demineral 11 S-MES 0,7% dan Air Demineral 12 S-MES 1,0% dan Air Demineral

67 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 13 S-MES 1,5% dan Air Demineral 14 S-MES 2,0% dan Air Demineral 15 S-MES 0,3% NaCl 1,0% dan Air Formasi 16 S-MES 0,3% NaCl 2,0% dan Air Formasi

68 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 17 S-MES 0,3% NaCl 3,0% dan Air Formasi 18 S-MES 0,3% NaCl 4,0% dan Air Formasi 19 S-MES 0,3% NaCl 5,0% dan Air Formasi 20 S-MES 0,3% NaCl 6,0% dan Air Formasi

69 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 21 S-MES 0,3% NaCl 7,0% dan Air Formasi 22 S-MES 0,3% NaCl 8,0% dan Air Formasi 23 S-MES 0,3% NaCl 9,0% dan Air Formasi 24 S-MES 0,3% NaCl 10,0% dan Air Formasi

70 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 25 S-MES 0,3% NaCl 1,0% dan Air Demineral 26 S-MES 0,3% NaCl 2,0% dan Air Demineral 27 S-MES 0,3% NaCl 3,0% dan Air Demineral 28 S-MES 0,3% NaCl 4,0% dan Air Demineral

71 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 29 S-MES 0,3% NaCl 5,0% dan Air Demineral 30 S-MES 0,3% NaCl 6,0% dan Air Demineral 31 S-MES 0,3% NaCl 7,0% dan Air Demineral 32 S-MES 0,3% NaCl 8,0% dan Air Demineral

72 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 33 S-MES 0,3% NaCl 9,0% dan Air Demineral 34 S-MES 0,3% NaCl 10,0% dan Air Demineral 35 S-MES 0,3% Metanol 0,5% dan Air Formasi 36 S-MES 0,3% Metanol 1,0% dan Air Formasi

73 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 37 S-MES 0,3% Metanol 1,5% dan Air Formasi 38 S-MES 0,3% Metanol 2,0% dan Air Formasi 39 S-MES 0,3% Etanol 0,5% dan Air Formasi 40 S-MES 0,3% Etanol 1,0% dan Air Formasi

74 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 41 S-MES 0,3% Etanol 1,5% dan Air Formasi 42 S-MES 0,3% Etanol 2,0% dan Air Formasi 43 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% dan Air Formasi 44 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% dan Air Formasi

75 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 45 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% dan Air Formasi 46 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% dan Air Formasi 47 S-MES 0,3% Propanol 0,5% dan Air Formasi 48 S-MES 0,3% Propanol 1,0% dan Air Formasi

76 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 49 S-MES 0,3% Propanol 1,5% dan Air Formasi 50 S-MES 0,3% Propanol 2,0% dan Air Formasi 51 S-MES 0,3% Butanol 0,5% dan Air Formasi 52 S-MES 0,3% Butanol 1,0% dan Air Formasi

77 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 53 S-MES 0,3% Butanol 1,5% dan Air Formasi 54 S-MES 0,3% Butanol 2,0% dan Air Formasi 55 S-MES 0,3% Pentanol 0,5% dan Air Formasi 56 S-MES 0,3% Pentanol 1,0% dan Air Formasi

78 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 57 S-MES 0,3% Pentanol 1,5% dan Air Formasi 58 S-MES 0,3% Pentanol 2,0% dan Air Formasi 59 S-MES 0,3% Metanol 0,5% dan Air Demineral 60 S-MES 0,3% Metanol 1,0% dan Air Demineral

79 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 61 S-MES 0,3% Metanol 1,5% dan Air Demineral 62 S-MES 0,3% Metanol 2,0% dan Air Demineral 63 S-MES 0,3% Etanol 0,5% dan Air Demineral 64 S-MES 0,3% Etanol 1,0% dan Air Demineral

80 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 65 S-MES 0,3% Etanol 1,5% dan Air Demineral 66 S-MES 0,3% Etanol 2,0% dan Air Demineral 67 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% dan Air Demineral 68 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% dan Air Demineral

81 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 69 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% dan Air Demineral 70 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% dan Air Demineral 71 S-MES 0,3% Propanol 0,5% dan Air Demineral 72 S-MES 0,3% Propanol 1,0% dan Air Demineral

82 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 73 S-MES 0,3% Propanol 1,5% dan Air Demineral 74 S-MES 0,3% Propanol 2,0% dan Air Demineral 75 S-MES 0,3% Butanol 0,5% dan Air Demineral 76 S-MES 0,3% Butanol 1,0% dan Air Demineral

83 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 77 S-MES 0,3% Butanol 1,5% dan Air Demineral 78 S-MES 0,3% Butanol 2,0% dan Air Demineral 79 S-MES 0,3% Pentanol 0,5% dan Air Demineral 80 S-MES 0,3% Pentanol 1,0% dan Air Demineral

84 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 81 S-MES 0,3% Pentanol 1,5% dan Air Demineral 82 S-MES 0,3% Pentanol 2,0% dan Air Demineral 83 S-MES 0,3% NaOH 0,1% dan Air Formasi 84 S-MES 0,3% NaOH 0,2% dan Air Formasi

85 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 85 S-MES 0,3% NaOH 0,3% dan Air Formasi 86 S-MES 0,3% NaOH 0,4% dan Air Formasi 87 S-MES 0,3% NaOH 0,5% dan Air Formasi 88 S-MES 0,3% NaOH 0,6% dan Air Formasi

86 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 89 S-MES 0,3% NaOH 0,7% dan Air Formasi 90 S-MES 0,3% NaOH 0,8% dan Air Formasi 91 S-MES 0,3% NaOH 0,9% dan Air Formasi 92 S-MES 0,3% NaOH 1,0% dan Air Formasi

87 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 93 S-MES 0,3% NaOH 0,1% dan Air Demineral 94 S-MES 0,3% NaOH 0,2% dan Air Demineral 95 S-MES 0,3% NaOH 0,3% dan Air Demineral 96 S-MES 0,3% NaOH 0,4% dan Air Demineral 97 S-MES 0,3% NaOH 0,5% dan Air Demineral

88 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 98 S-MES 0,3% NaOH 0,6% dan Air Demineral 99 S-MES 0,3% NaOH 0,7% dan Air Demineral 100 S-MES 0,3% NaOH 0,8% dan Air Demineral 101 S-MES 0,3% NaOH 0,9% dan Air Demineral 102 S-MES 0,3% NaOH 1,0% dan Air Demineral

89 Lampiran 6 Data hasil uji kelakuan fasa Nama sampel Hari ke Kode sampel Ulangan Volume (ml) Larutan surfaktan Minyak Tipe Ratio kelarutan minyak Rasio kelarutan air 0 S 1 1,02 1,02 - - 2 1,01 1,01 - - - D 1 1,01 0,99 - - 2 1,01 1,01 - - Rerata 1,0125 1,0075 - - 7 S 1 1,02 1,02 - - AF + 0,3% MES 2 1,01 1,01 - - - D 1 1,01 0,99 - - 2 1,01 1,01 - - Rerata 1,0125 1,0075 - - 14 S 1 1,03 1,01 II(-) 3,27-2 1,02 1 II(-) 3,30 - D 1 1,02 0,98 II(-) 3,30-2 1,02 1 II(-) 3,30 - Rerata 1,0225 0,9975 3,29-0 S 1 1 1 - - 2 1,01 1,01 - - - D 1 1 1 - - 2 1 1 - - Rerata 1,0025 1,0025 - - 7 S 1 0,98 1,02 Makroemulsi 2,86 2,86 AD + 0,7% MES 2 0,99 1,03 Makroemulsi 2,83 2,83 D 1 0,98 1,02 Makroemulsi 2,86 2,86 2 0,98 1,02 Makroemulsi 2,86 2,86 Rerata 0,9825 1,0225 2,85 2,85 14 S 1 0,98 1,02 Makroemulsi 2,86 2,86 2 0,99 1,03 Makroemulsi 2,83 2,83 D 1 0,96 1,04 Makroemulsi 5,71 5,71 2 0,98 1,02 Makroemulsi 2,86 2,86 Rerata 0,9775 1,0275 3,56 3,56 Keterangan : S = Pengukuran simplo D = Pengukuran duplo

90 Lampiran 6 Data hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama sampel Hari ke Kode sampel Ulangan Volume (ml) Larutan surfaktan Minyak Tipe Ratio kelarutan minyak Rasio kelarutan air 0 S 1 1,02 1 - - - 2 1,01 1 - - D 1 1,01 1 - - 2 1,03 1 - - Rerata 1,0175 1 - - 7 S 1 1,02 1 - - - AF + 0,3% MES + 2% Metanol 2 1,01 1 - - D 1 1,01 1 - - 2 1,03 1 - - Rerata 1,0175 1 - - 14 S 1 1,02 1 - - - 2 1,01 1 - - D 1 1,01 1 - - 2 1,03 1 - - Rerata 1,0175 1 - - 0 S 1 1 1,02 - - - 2 1,02 1,02 - - D 1 1,02 1,01 - - 2 1,02 1,01 - - Rerata 1,015 1,015 - - 7 S 1 1 1,02 - - - AF + 0,3% MES + 2% Etanol 2 1,02 1,02 - - D 1 1,02 1,01 - - 2 1,02 1,01 - - Rerata 1,015 1,015 - - 14 S 1 1 1,02 - - - 2 1,02 1,02 - - D 1 1,02 1,01 - - 2 1,02 1,01 - - Rerata 1,015 1,015 - -

91 Lampiran 6 Data hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama sampel Hari ke Kode sampel Ulangan Volume (ml) Larutan surfaktan Minyak Tipe Ratio kelarutan minyak Rasio kelarutan air 0 S 1 1 1 - - - 2 1,02 1,02 - - D 1 1 1 - - 2 1 1 - - Rerata 1,005 1,005 - - 7 S 1 1 1 - - - AF + 0,3% MES + 2% IPA 2 1,02 1,02 - - D 1 1 1 - - 2 1 1 - - Rerata 1,005 1,005 - - 14 S 1 1 1 - - - 2 1,02 1,02 - - D 1 1 1 - - 2 1 1 - - Rerata 1,005 1,005 - - 0 S 1 1 1 - - - 2 0,92 1,94 - - D 1 1 1 - - 2 1,02 1,02 - - Rerata 0,99 1,24 - - 7 S 1 1 1 - - - AF + 0,3% MES + 2% Propanol 2 0,91 1,92 - - D 1 1 1 - - 2 1,02 1,02 - - Rerata 0,98 1,24 - - 14 S 1 1 1 - - - 2 0,91 1,92 - - D 1 1 0,98 - - 2 1,02 1,02 - - Rerata 0,98 1,23 - -

92 Lampiran 6 Data hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama sampel Hari ke Kode sampel Ulangan Volume (ml) Larutan surfaktan Minyak Tipe Ratio kelarutan minyak Rasio kelarutan air 0 S 1 1,02 1,02 - - - 2 1,02 1,01 - - D 1 1 1 - - 2 1,01 1,03 - - Rerata 1,0125 1,015 - - 7 S 1 1,02 1,02 - - - AF + 0,3% MES + 2% Butanol 2 1,02 1,01 - - D 1 1 1 - - 2 1,01 1,03 - - Rerata 1,0125 1,015 - - 14 S 1 1,02 1,02 - - - 2 1,02 1,01 - - D 1 1 1 - - 2 1,01 1,03 - - Rerata 1,0125 1,015 - - 0 S 1 1 1,02 - - - 2 1,01 1,02 - - D 1 1,02 1,01 - - 2 1 1 - - Rerata 1,0075 1,0125 - - 7 S 1 1 1,02 - - - AF + 0,3% MES + 0,5% Pentanol 2 1,01 1,02 - - D 1 1,02 1,01 - - 2 1 1 - - Rerata 1,0075 1,0125 - - 14 S 1 1 1,02 - - - 2 1,01 1,02 - - D 1 1,02 1,01 - - 2 1 1 - - Rerata 1,0075 1,0125 - -

93 Lampiran 6 Data hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama sampel Hari ke Kode sampel Ulangan Volume (ml) Larutan surfaktan Minyak Tipe Ratio kelarutan minyak Rasio kelarutan air 0 S 1 1,02 1,02 - - - 2 1,02 1,02 - - D 1 1,02 1,02 - - 2 1,02 1,02 - - Rerata 1,02 1,02 - - 7 S 1 1,02 1,02 - - - AF + 0,3% MES + 1% NaOH 2 1,02 1,02 - - D 1 1,02 1,02 - - 2 1,02 1,02 - - Rerata 1,02 1,02 - - 14 S 1 1,02 1,02 - - 2 1,02 1,02 - - D 1 1,02 1,02 - - 2 1,02 1,02 - - Rerata 1,02 1,02 - - 0 S 1 1,03 1,01 - - - 2 1,03 1,01 - - D 1 1,02 1,02 - - 2 1,02 1,02 - - Rerata 1,025 1,015 - - 7 S 1 1,03 1,01 - - - AD + 0,3% MES + 1% NaOH 2 1,03 1,01 - - D 1 1,02 1,02 - - 2 1,02 1,02 - - Rerata 1,025 1,015 - - 14 S 1 1,03 1,01 - - - 2 1,03 1,01 - - D 1 1,02 1,02 - - 2 1,02 1,02 - - Rerata 1,025 1,015 - -

94 Lampiran 6 Data hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Contoh perhitungan rasio kelarutan minyak dan rasio kelarutan air Rasio kelarutan minyak = Pertambahan larutan surfaktan (volume awal larutan surfaktan)x 0,3% ml/ml Pengukuran Hari ke-14 Formula air formasi + 0,3% MES pengukuran simplo (1) Rasio kelarutan minyak = 0,01 /[ (1,02)*0,3%] = 3,27 ml/ml Formula air formasi + 0,3% MES pengukuran simplo (2) Rasio kelarutan minyak = 0,01 /[ (1,01)*0,3%] = 3,30 ml/ml Formula air formasi + 0,3% MES pengukuran duplo (1) Rasio kelarutan minyak = 0,01 /[ (1,01)*0,3%] = 3,30 ml/ml Formula air formasi + 0,3% MES pengukuran duplo (2) Rasio kelarutan minyak = 0,01 /[ (1,01)*0,3%] = 3,30 ml/ml Rasio kelarutan air = Pertambahan minyak (volume awal larutan surfaktan)x 0,3% ml/ml Pengukuran Hari ke-7 Formula air demineral + 0,7% MES pengukuran simplo (1) Rasio kelarutan minyak = 0,02 /[ (1)*0,7%] = 2,86 ml/ml Rasio kelarutan air = 0,02 /[ (1)*0,7%] = 2,86 ml/ml Formula air demineral + 0,7% MES pengukuran simplo (2) Rasio kelarutan minyak = 0,02 /[ (1,01)*0,7%] = 2,83 ml/ml Rasio kelarutan air = 0,02 /[ (1,01)*0,7%] = 2,83 ml/ml Formula air demineral + 0,7% MES pengukuran duplo (1) Rasio kelarutan minyak = 0,02 /[ (1)*0,7%] = 2,86 ml/ml Rasio kelarutan air = 0,02 /[ (1)*0,7%] = 2,86 ml/ml Formula air demineral + 0,7% MES pengukuran duplo (2) Rasio kelarutan minyak = 0,02 /[ (1)*0,7%] = 2,86 ml/ml Rasio kelarutan air = 0,02 /[ (1)*0,7%] = 2,86 ml/ml Pengukuran Hari ke-14 Formula air demineral + 0,7% MES pengukuran duplo (1) Rasio kelarutan minyak = 0,04 /[ (1)*0,7%] = 5,71 ml/ml Rasio kelarutan air = 0,04 /[ (1)*0,7%] = 5,71 ml/ml

95 Lampiran 7 Dokumentasi hasil uji kelakuan fasa Nama Sampel H-0 H-7 H-14 Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo AF + 0,3% MES AD + 0,7% MES

96 Lampiran 7 Dokumentasi hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama Sampel H-0 H-7 H-14 Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo AF + 0,3% MES + 1% NaOH AD + 0,3% MES + 1% NAOH

97 Lampiran 7 Dokumentasi hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama Sampel H-0 H-7 H-14 Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo AF + 0,3% MES + 2% Metanol AF + 0,3% MES + 2% Etanol

98 Lampiran 7 Dokumentasi hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama Sampel H-0 H-7 H-14 Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo AF + 0,3% MES + 2% Iso Propil Alkohol AF + 0,3% MES + 2% Propanol

99 Lampiran 7 Dokumentasi hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama Sampel H-0 H-7 H-14 Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo AF + 0,3% MES + 2% Butanol AF + 0,3% MES + 2% Pentanol