II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

dokumen-dokumen yang mirip
keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

IV. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menempatkan Indonesia pada peringkat keempat negara-negara yang kaya

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. terancam sebagai akibat kerusakan dan fragmentasi hutan (Snyder et al., 2000).

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

TINJAUAN PUSTAKA. I. Ekologi Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) baik di daerah tropis (15 LU - 15 LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di

A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan salah satu di antara lima kelas hewan bertulang belakang,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Burung Kakaktua. Kakatua

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. memiliki luas sekitar Ha yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

IV. METODE PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove

II. TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KUANTITATIF KOMUNITAS BURUNG DI PULAU PELENG DENGAN FOKUS BURUNG GAGAK BANGGAI (Corvus unicolor) MOHAMMAD IHSAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakangMasalah

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

BAB IV METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Area. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

TERMINOLOGI POPULASI. Populasi (bahasa Latin populus =rakyat, atau penduduk). Terminologi :

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

Sistem Populasi Hama. Sistem Kehidupan (Life System)

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

BAB III METODE PENELITIAN

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati

II. TINJAUAN PUSTAKA. Phylum Chordata, yang diturunkan dari hewan berkaki dua (Welty 1982;

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Beberapa ratus tahun yang lalu di Jepang telah diadakan penjinakan

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meidita Aulia Danus, 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Habitat merupakan salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mc Naughton dan Wolf (1992) tiap ekosistem memiliki

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar (Alikodra 1990). Menurut Odum (1993) habitat terdiri atas komponen abiotik dan biotik yang bersama-sama menyusun kumpulan sumberdaya yang secara langsung maupun secara tidak langsung mendukung kehidupan organisme untuk hidup di tempat tersebut. Tumbuhan merupakan bagian habitat yang berfungsi sebagai penyedia berbagai macam makanan, tempat sarang serta tempat berlindung bagi satwa liar. Tumbuhan yang terdapat di habitat tersebut merupakan faktor penting dalam kehidupan burung karena beberapa bagian dari tumbuhan yaitu bagian generatif dan bagian vegetatif menjadi sumber makanan (Fleming 1992). Komposisi komunitas burung dapat dipengaruhi oleh perubahan komposisi jenis tumbuhan dalam suatu habitat. Perubahan suatu habitat mengakibatkan beberapa jenis burung mengubah perilaku makannya dan memperluas daerah jelajahnya (Lambert 1992). Penggunaaan habitat oleh burung berubah-ubah tergantung ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan dan adanya seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat sesuai dengan kebutuhannya (Wiens 1992). Selain itu, kehadiran jenis burung pada suatu komunitas dipengaruhi oleh fragmentasi habitat dan ketersediaan sumberdaya di habitat seperti makanan (Hobson & Bayne 2000; Haslem & Bennett 2008; Fleming 1992). 2.2 Komunitas Burung Menurut Wiens (1992) komunitas burung merupakan kumpulan populasi dari jenis-jenis burung yang hidup pada suatu habitat yang saling berinteraksi membentuk sistem komposisi, struktur dan peranannya sendiri. Morin (1999) menyatakan bahwa parameter penting dalam mempelajari suatu komunitas adalah taxocene dan guild. Taxocene adalah pengelompokan secara ekologi berdasarkan kelompok taksa tertentu. Taxocene merupakan unit dasar dalam penelitian makroekologi dan mempunyai parameter seperti kelimpahan dan keanekaragaman (Kaspari 2001). Guild adalah sekelompok jenis burung yang menggunakan

6 sumberdaya yang sama baik jenis pakan, habitat mencari pakan ataupun strata tempat mencari pakan untuk kelangsungan hidupnya (Connel et al. 2000). Pengelompokan burung dalam kategori guild dilakukan berdasarkan pola mencari pakan, kebiasaan makan, tempat mencari pakan atau pemilihan tempat mencari pakan pada tingkatan vegetasi (Rakotomanana 1998; Aleixo 1999). Menurut Karr (1971) komposisi jenis dalam komunitas dapat dilihat dari komposisi atau kategori pakan dan cara makan dari jenis-jenis burung yang ada. Pada suatu habitat yang kaya dengan serangga akan memiliki jumlah burung insektivora yang melimpah atau jika suatu habitat cukup beragam sumber pakannya tetapi produktivitas masing-masing sumberdaya tidak melimpah, maka sebagian besar jenis pembentuk komunitas adalah jenis burung-burung omnivora. Demikian pula apabila produksi biji dan buah melimpah, maka pembentuk komunitasnya adalah jenis burung frugivora dan jenis burung graminivora. 2.3 Keanekaragaman Jenis Burung Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya dan dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan jenis yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas disusun oleh sangat sedikit dan hanya sedikit dari jenis itu yang dominan, maka keanekaragaman jenisnya rendah. Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi, karena dalam komunitas itu terjadi interaksi yang tinggi pula (Soegianto 1994; Krebs 1989; Wiens 1992). Menurut Helvoort (1981) keanekaragaman merupakan sifat yang khas dari komunitas yang berhubungan dengan banyaknya jenis atau kekayaan jenis dan kelimpahan jenis sebagai penyusun komunitas. Kekayaan merupakan jumlah jenis yang ada sedangkan kelimpahan jenis menunjukkan kelimpahan relatif dari masing-masing jenis. Suatu komunitas yang stabil dan baik akan mempunyai keanekaragaman jenis burung yang tinggi. Variasi yang besar pada vegetasi akan memberikan kekayaan dan keanekaragaman burung yang tinggi.

7 Keanekaragaman jenis burung berbeda antara habitat yang satu dengan habitat lainnya, hal ini tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya (Alikodra 1990). Keanekaragaman jenis di suatu habitat ditentukan oleh faktor seperti struktur vegetasi, komposisi jenis tumbuhan, sejarah habitat, tingkat gangguan dari predator dan manusia (Welty & Baptista 1988), serta ukuran luas habitat (Wiens 1992). Oleh karena itu, kondisi suksesi vegetasi berkaitan erat dengan perubahan komposisi jenis yang menempatinya (Alikodra 1990). Keanekaragaman jenis cenderung lebih rendah di ekosistem yang homogen dan lebih tinggi di ekosistem yang alami dan kompleks. Peningkatan jumlah jenis burung juga berkaitan dengan pertambahan luas habitat (Wiens 1992). 2.4 Bio-ekologi Gagak Banggai 2.4.1 Klasifikasi dan Morfologi Secara umum gagak banggai diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, phylum Chordata, class Aves, ordo Passeriformes, familia Corvidae, genus Corvus dan jenis Corvus unicolor (Gambar 2). Menurut Mallo dan Putra (2007), individu jantan gagak banggai mempunyai panjang tubuh 334,6 mm, paruh 46,7 mm, tarsus 52,9 mm, ekor 110,8 mm dan sayap berukuran 210,1 mm. Warna tubuhnya seluruhnya hitam kusam, jari dan tarsus hitam, paruh hitam, iris berwarna putih kotor. Ukuran tubuh individu betina lebih pendek dari individu jantan yaitu 310 mm, paruh 44,8 mm, tarsus 47,4 mm, ekor 110,7 mm dan sayap 207,7 mm. Warna keseluruhan tubuhnya berwarna hitam kusam, jari dan tarsus hitam, paruh hitam dan iris putih kotor.

8 Gambar 2 Individu gagak banggai di Pulau Peleng a) dan d) tampak depan, b) tampak samping, c) tampak belakang. 2.5.2 Perkembangbiakan Gagak banggai diperkirakan bertelur, mengeram hingga membesarkan anaknya dalam sarang pada bulan Juni hingga awal September, masa bercumbu dan membuat sarang diperkirakan sebelum bulan Juni hingga akhir bulan Juni. Masa anak meninggalkan sarang diperkirakan pada awal bulan September sampai Oktober. Pada masa berkembangbiak gagak banggai membuat sarang yang berukuran 40 cm, berbentuk terbuka yang kurang rapi dari ranting-ranting kayu yang kuat, bahan sarang yang ditemukan ukurannya bervariasi, dari sebesar lidi aren (Arenga pinnata) hingga sebesar jari kelingking orang dewasa. Sarang diletakkan pada pohon toan (Pometia sp.), pada dahan tertinggi, dekat puncak kanopi yang tingginya 19 m dari permukaan tanah (Mallo & Putra 2007). 2.5.3 Makanan Gagak banggai selain mengkonsumsi serangga, ulat, reptilia kecil (tokek dan cicak), gagak banggai juga diketahui mengkonsumsi buah beringin (Mallo & Putra 2007).

9 2.5.4 Habitat Menurut Mallo dan Putra (2007), gagak banggai sering dijumpai di tepi hutan yang masih banyak terdapat pohon yang berukuran besar dan tinggi yang berbatasan dengan ladang. Gagak banggai juga sering terlihat bertengger pada pohon monas dan malisa atau marisa (Podocarpus sp.) dan pohon uling (Koordersiodendron pinnatum) dengan ketinggian tenggeran sekitar 20-40 m dari permukaan tanah. 2.5.5 Perilaku Gagak banggai sering berkelahi dengan gagak hutan (Corvus enca) dan dalam perkelahian tersebut gagak hutan selalu kalah dan menghindari gagak banggai. Gagak banggai selalu menghindari kontak dengan manusia dan selalu menghindari daerah terbuka yang sering dikunjungi manusia atau daerah terdapat aktivitas manusia (Mallo & Putra 2007). 2.5.6 Penyebaran dan Populasi Penyebaran secara global burung gagak banggai terbatas (endemik) pada Kepulauan Banggai subkawasan Sulawesi. Secara lokal gagak banggai hanya dijumpai di Pulau Peleng. Gagak banggai dapat dijumpai pada beberapa tempat di ketinggian antara 700 sampai 800 mdpl. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Mallo dan Putra (2008a), penyebaran gagak banggai hanya dijumpai pada bagian Barat dan Tengah Pulau Peleng dan gagak banggai tidak ditemukan pada bagian Timur Pulau Peleng dan pulau Banggai. Gagak banggai menyebar bukan berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut, karena gagak banggai juga dijumpai pada ketinggian 200 mdpl. Jumlah populasi gagak banggai di Pulau Peleng diperkirakan sekitar 150 sampai 200 ekor. 2.6 Pola Sebaran Spasial Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), secara umum individu populasi menyebar dalam tiga pola spasial yaitu pola sebaran acak (random), pola sebaran mengelompok (clumped) dan pola sebaran merata (uniform). Selanjutnya disebutkan juga bahwa pola sebaran acak dari individu-individu populasi suatu jenis menunjukkan adanya keragaman (homogenity) dalam lingkungan hidup jenis itu dan adanya perilaku non selektif dari jenis yang bersangkutan dalam

10 lingkungan hidupnya. Pola sebaran merata terjadi karena adanya pengaruh negatif dari persaingan makanan diantara individu sebagaimana dapat diamati pada hewan yang merumput; sedangkan pola sebaran mengelompok dapat disebabkan oleh sifat jenis yang bergerombol (gregorius) atau adanya keragaman (heterogenity) habitat sehingga terjadi pengelompokan di tempat terdapat makanan dan lainnya. Menurut Ludwig dan Reynolds, (1988) faktor yang menyebabkan adanya perbedaan pola sebaran spasial diantaranya adalah: 1. Faktor vektorial yang timbul dari adanya gaya-gaya eksternal seperti arah angin, arah aliran air dan intensitas cahaya; 2. Faktor reproduksi yaitu yang berkaitan dengan cara berkembang biak; 3. Faktor sosial sebagai akibat sifat yang dimiliki tertentu misalnya perilaku teriotorial; 4. Faktor yang timbul sebagai akibat adanya persaingan intraspesifik. Menurut Tarumingkeng (1994), pola sebaran spasial suatu komunitas ekologi dapat ditentukan dengan berbagai indeks penyebaran (dispersion index), yaitu indeks disperse (ID), indeks agregatif/ index of clumping (IC) dan indeks Green (IG). Pola sebaran satwa dapat berbentuk merata, kelompok dan acak. Pola penyebaran ini merupakan strategi individu maupun kelompok organisme untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kondisi habitat yang meliputi kualitas dan kuantitas sangat menentukan penyebaran populasi satwaliar. Satwa menggunakan habitatnya untuk melakukan beberapa aktivitas. Penggunaannya dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.