BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan asal ternak sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino yang dibutuhkan manusia sehingga akan lebih mudah dicerna dan lebih efisien pemanfaatannya. Namun demikian, pangan asal ternak tidak aman dapat membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu, keamanan pangan asal ternak merupakan persyaratan mutlak (Winarno, 1996). Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri (Anonim, 2009 (a)). Menurut Bahri dkk, (2000) hampir semua pabrik pembuat makanan ternak menambahkan obat hewan berupa antibiotika ke dalam pakan ternak sehingga sebagian besar pakan ternak komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotika. Pemakaian antibiotika terutama peternakan ayam pedaging maupun petelur cenderung berlebihan tanpa memperhatikan aturan pemakaian antibiotika yang benar. Hal ini dilakukan untuk membuat hewan tetap produktif meskipun mereka hidup dalam kondisi berdesakan dan tidak higienis. Umumnya pemberian antibiotika yang diberikan pada ayam secara massal dibandingkan secara individual (Doyle, 2006).
Pemakaian antibiotika yang terus menerus dan tidak memperhatikan waktu henti pemberian antibiotika (withdrawal time) dalam bidang peternakan akan menyebabkan terdapatnya residu antibiotika dalam produk hewani, yang mana hal ini dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas, resistensi dan kemungkinan keracunan (Yuningsih, 2005). Kusumaningsih, (2007) dan Phillips et al., (2004) menyatakan bahwa berdasarkan pengamatan lapangan, antibiotika yang lazim digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit pada ayam antara lain golongan penisilin (termasuk amoksisilin, ampisilin), streptomisin, kloramfenikol, doksisilin, tetrasiklin, eritromisin, neomisin, gentamisin, tilosin, siprofloksasin, enrofloksasin dan golongan sulfonamida di mana antibiotika ini diberikan dalam air minum pada ayam yang menunjukkan gejala sakit atau setelah vaksinasi. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menentukan residu antibiotika di dalam daging ayam dengan menggunakan metode mikrobiologi. Dewi dkk, (2002) dan Handayani, dkk, (2003) telah menemukan residu antibiotika berupa golongan tetrasiklin, penisilin, aminoglikosida, dan makrolida pada sampel produk asal hewan baik daging segar maupun daging olahan yang diambil dari pasar tradisional dan rumah potong hewan di wilayah Kabupaten Badung Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Hasil pengujian residu antibiotika terhadap 65 sampel hati ayam yang diperoleh dari pasar tradisional di Yogyakarta mengandung residu antibiotika golongan penisilin sebesar 29,23 %, golongan makrolida 36,92%, golongan aminoglikosida sebesar 1,54% dan golongan tetrasiklin sebesar 26,19% (Oramahi, dkk., 2004).
Hasil penelitian Popelka et.al., (2005) mengenai residu antibiotika golongan bêta laktam dengan uji mikrobiologi memberikan hasil positif untuk semua sampel daging ayam dan hasil konfirmasi secara kromatografi cair kinerja tinggi memberikan hasil kadar residu antibiotika berada dibawah batas maksimum residu. Antibiotika tetrasiklin memang cukup luas digunakan di peternakan karena antibiotika ini memiliki spektrum luas yang mampu membunuh kuman gram positif dan gram negatif serta mampu membunuh kuman patogen yang tidak efektif dengan antibiotika lain sehingga sering menjadi pilihan dalam pengobatan penyakit di samping harganya juga lebih terjangkau (Hamide et al, 2000). Selain itu antibiotika golongan penisilin adalah antibiotika yang sering ditambahkan dalam pakan dan efektif dalam menstimulasi laju pertumbuhan pada ternak muda (Maynard dan Loosli, 1969). The Inter-State School of Veterinary Science and Medicine (EISMV) melaporkan bahwa dari 100 daging ayam bagian paha dan dada sebanyak 20 % mengandung residu antibiotika dengan perincian 15 % terdapat pada daging paha ayam dan 5 % pada daging dada ayam (Alambedji, 2002). Menurut Shankar, et al., (2010) bahwa cara pengujian residu antibiotika di bedakan antara uji skrining antibiotika (uji kualitatif) dan uji konfirmasi (uji kuantitatif). Analisis antibiotika dalam daging telah dipublikasikan dalam banyak jurnal penelitian dengan menggunakan berbagai metode seperti uji mikrobiologi (Handayani., dkk, 2003), ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), kromatografi cair spektrometri massa (Liquid Chromatography Mass Spectrometry atau LC-MS), kromatografi cair kinerja tinggi (High Performance
Liquid Chromatography atau HPLC), kromatografi gas-spektrometri massa (Gas Chromatography - Mass Spectrometry atau GC-MS) dan kromatografi lapis tipis ( Thin Layer Chromatography atau TLC) (Nisha, 2008); Shankar et al., 2010). Zhou, (2010) dan Fang, (2007) telah mengembangkan metode kromatografi cair-spektrometri massa tandem (KCKT-MS) yang merupakan metode paling baik untuk menentukan keberadaan dan jumlah residu antibiotika daging ayam, karena sangat sederhana, sangat sensitif, cepat waktu analisinya dan metode yang dapat dipercaya untuk memeriksa senyawa kimia dalam jumlah yang sangat kecil konsentrasinya. Egmond, et al, (2009) telah melakukan pengujian stabilitas antibiotika terhadap pengaruh suhu yaitu suhu 80 o C, 100 o C, 134 o C, dimana disimpulkan bahwa dengan adanya peningkatan suhu tidak menjadi jaminan penurunan keseluruhan konsentrasi residu antibiotika yang terkandung di dalam daging. Berdasarkan pola konsumsi masyarakat Indonesia bahwa masyarakat Indonesia selalu mengolah daging ayam yang akan di konsumsi dengan cara memasaknya dan dari pola komsumsi daging ayam bagian paha dan sayap lebih banyak disukai dari pada daging bagian dada ayam (Simatupang, 2004). Pengolahan makanan sebelum dikonsumsi dapat dilakukan dengan cara merebus, menggoreng, memanggang, memanaskan dengan tekanan (pressurized cooking), dan memanaskan menggunakan gelombang mikro (microwaving) (Rose, 1999; Javadi, et al, 2011). Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti ingin mengetahui sejauh mana residu antibiotika amoksisilin, ampisilin, tetrasiklin, dan kloramfenikol dalam daging ayam yang beredar di pasaran kota Medan. Dengan melakukan uji
kualitatif dan uji kuantitatif kadar dari antibiotika tersebut dengan menggunakan metode kromatografi cair spektrometri massa (KCKT-MS). Selanjutnya dilakukan perlakukan pengolahan daging ayam yang mengandung residu antibiotika dengan cara merebus, menggoreng dan memanggang untuk melihat pengaruh suhu terhadap konsentrasi residu antibiotika.
1.2 Kerangka Pikir Penelitian Berdasarkan pemaparan latar belakang penelitian, penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu penentuan residu antibiotika yang terkandung dalam daging ayam secara kromatografi cair dengan detektor spektrometri massa (KCKT-MS) dan penentuan pengaruh perlakuan pemanasan terhadap kandungan antibiotika dalam sampel daging ayam. Rancangan Penelitian : Daging ayam Perlakuan Direbus pada suhu 100 o C selama 24 menit Diekstraksi dengan pelarut air:asetonitril (2:8) Direndam dalam minyak panas suhu 140 o C l 10 it Dipanaskan di oven pada suhu 200 o C l 40 i Ektraks daging ayam yang mengandung residu antibiotika Uji kualitatif dan uji kuantitatif residu antibiotika secara KCKT MS Diekstraksi dengan pelarut air:asetonitril (2:8) Ektraks daging ayam yang mengandung residu antibiotika Uji kuantitatif residu antibiotika secara KCKT-MS Kadar residu antibiotika
1.3 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian ringkas yang dipaparkan dalam latar belakang, maka rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut : a. Apakah didalam daging ayam yang beredar di pasaran kota Medan mengandung residu antibiotika? b. Apakah kadar residu antibiotika yang terdapat didalam daging ayam memenuhi nilai ambang batas yang ditetapkan oleh pemerintah? c. Apakah pengaruh perlakukan pemanasan pada daging ayam tersebut dapat menurunkan kandungan residu antibiotika? 1.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut : a. Daging ayam yang beredar di pasaran kota Medan mengandung residu antibiotika b. Kadar residu antibiotika yang terdapat didalam daging ayam dibawah nilai ambang batas yang ditetapkan oleh pemerintah. c. Pemanasan daging ayam mempengaruhi kandungan residu antibiotika. 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa daging ayam yang beredar di kota Medan apakah mengandung residu antibiotika dan untuk mengetahui pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar antibiotika yang terkandung di dalam daging ayam.