BAB II TUGAS NADZIR DALAM PENGELOLAAN OBYEK WAKAF. dilaksanakan oleh nadzir yang mendapatkan kepercayaan dari pewakif untuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NAZHIR. Kata nazhir secara etimologi berasal dari kata nazira-yandzaru yang berarti menjaga

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NADZIR. Kata nadzir secara etimologi berasal dari kata kerja nazira. yandzaru yang berarti menjaga dan mengurus.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ALIH FUNGSI WAKAF PRODUKTIF KEBUN APEL DI DESA ANDONOSARI KECAMATAN TUTUR KABUPATEN PASURUAN

BAB IV ANALISIS. A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid

PERATURAN BADAN WAKAF INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN DAN PENGGANTIAN NAZHIR HARTA BENDA WAKAF TIDAK BERGERAK BERUPA TANAH

BAB IV PRAKTEK PEMBINAAN NAZHIR DI WILAYAH KECAMATAN KEBONAGUNG KABUPATEN DEMAK MENURUT PP NO 42 TAHUN 2006

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP WAKAF ONLINE

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP TUGAS NADIR LANGGAR WAKAF AL QADIR DESA JEMUR NGAWINAN KECAMATAN WONOCOLO SURABAYA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMBATALAN IKRAR WAKAF

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III WAKAF HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PASAL 16 UNDANG-UNDANG NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

BAB I PENDAHULUAN. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: jual

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB V PENUTUP. 1. Praktik alih fungsi tanah wakaf di Desa Handil Bakti Kecamatan Alalak, ialah: dan berubah dibangun kantor desa (Kasus II).

BAB IV ANALISIS PENDELEGASIAN PENGELOLAAN WAKAF DI PONDOK PESANTREN AL-MA UNAH CIREBON

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II KONSEPSI DASAR TENTANG JUAL BELI DALAM ISLAM.. yang berarti jual atau menjual. 1. Sedangkan kata beli berasal dari terjemahan Bahasa Arab

RUISLAG BENDA WAKAF DALAM HUKUM POSITIF

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi

BAB IV ANALISIS JUAL BELI HASIL TANAH WAKAF. Nomor. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. bertentangan dengan ketentuan Syariah Islam.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TAHUN 2004 TENTANG WAKAF. A. Dasar pemikiran lahirnya UU No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP SENGKETA SERTIFIKAT TANAH WAKAF. A. Analisis terhadap Sengketa Sertifikat Tanah Wakaf

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

BAB I PENDAHULUAN. Propinsi Jawa Tengah. Terletak di sepanjang Pantai Utara Laut Jawa,

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wakaf merupakan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam masyarakat dan saling membutuhkan satu sama lain. 2 Firman

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

BAB II KETENTUAN HUKUM MENGENAI TANAH WAKAF YANG BERALIH FUNGSI YANG PERALIHANNYA TIDAK SESUAI DENGAN AKTA IKRAR WAKAF SEBELUMNYA

BAB I PENDAHULUAN. tidak mau seorang manusia haruslah berinteraksi dengan yang lain. Agar kebutuhan

BAB IV. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PENGELOLAAN HARTA WAKAF Emas DI DESA NEROH KECAMATAN MODUNG KABUPATEN BANGKALAN

BAB I PENDAHULUAN. Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Tanah Wakaf di Negara Kita, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 2. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Wakaf merupakan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan atau

BAB IV ANALISIS JUAL BELI MESIN RUSAK DENGAN SISTEM BORONGAN DI PASAR LOAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB 1 PENDAHULUAN. mengatur hubungan manusia dan pencipta (hablu min allah) dan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT telah menjadikan manusia saling berinteraksi antara satu

BAB II TEORI TENTANG ASH SHIHHAH WA AL BUTHLAN. sehat, tidak sakit, sembuh, benar dan selamat. 1

BAB I PENDAHULUAN. badan hukum dengan menyerahkan sebagian dari harta bendanya untuk

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENANGUNG JAWAB ATAS TANGGUNGAN RESIKO IJARAH. perbolehkan penggunaanya, Jelas, mempunyai tujuan dan maksud, yang

KAJIAN ATAS GANTI RUGI TANAH DAN/ATAU BANGUNAN WAKAF DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

BAB IV ANALISIS MENURUT EMPAT MAZHAB TERHADAP JUAL BELI CABE DENGAN SISTEM UANG MUKA DI DESA SUMBEREJO KECAMATAN BANYUPUTIH KABUPATEN SITUBONDO

PERAN NAZHIR WAKAF DALAM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

B A B I P E N D A H U L U A N. Puasa di dalam Islam disebut Al-Shiam, kata ini berasal dari bahasa Arab

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dimaksud adalah tersebut dalam Pasal 25 ayat (3) Undang -Undang

18.05 Wib. 5 Wawancara dengan Penanggung Jawab Pertambangan, Bpk. Syamsul Hidayat, tanggal 24 september 2014, pukul.

17. Qahaf, Mundzir, 2005, Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa, Jakarta 18. Soekamto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada hakikatnya Allah menciptakan manusia di dunia ini tidak lain

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD JASA PENGETIKAN SKRIPSI DENGAN SISTEM PAKET DI RENTAL BIECOMP

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai subyek hukum pada dasarnya dipandang. mempunyai kecakapan yang berfungsi untuk mendukung hak dan kewajiban

BAB II KONSEP WAKAF DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DAN KONSEP TANAH FASUM (FASUM) DALAM HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGALIHAN TUGAS NADZIR DALAM PENGELOLAAN OBYEK WAKAF DI KECAMATAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK AKAD UTANG PIUTANG BERHADIAH DI DESA SUGIHWARAS KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah. 3 Agar

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT, INFAQ, SHODAQOH DAN WAKAF

sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah atau

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI EMAS DI TOKO EMAS ARJUNA SEMARANG

PERATURAN BADAN WAKAF INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF. dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara

BAB IV ANALISIS PERWAKAFAN DI KJKS BMT AL-FATTAH PATI. A. Praktek Perwakafan Uang di KJKS BMT AL-FATTAH Pati

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGELOLAAN WAKAF UANG DI BAITUL MAAL HIDAYATULLAH SEMARANG

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH

waka>lah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya dengan

BAB IV KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA TERHADAP PERWAKAFAN. A. Kewenangan Pengadilan Agama dalam hal sengketa wakaf.

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

TATA CARA DAN PENGELOLAAN WAKAF UANG DI INDONESIA

HUKUM JUAL BELI DENGAN BARANG-BARANG TERLARANG. Djamila Usup ABSTRAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PENARIKAN HARTA WAKAF MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004

BAB I PENDAHULUAN. saling mengisi dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Semakin

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya (habl min Allah) maupun hubungan manusia dengan sesama atau lingkungannya (habl min

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP OPERASIONALISASI DANA DEPOSITO DI BNI SYARI AH CAB. SURABAYA

BAB III PERANAN PPAIW DALAM MENCEGAH TERJADINYA SENGKETA TANAH WAKAF DI KECAMATAN PEDURUNGAN KOTA SEMARANG. A. Selayang Pandang Kecamatan Pedurungan

BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PEMBIAYAAN TALANGAN HAJI DI BANK SYARIAH MANDIRI SEMARANG

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERALIHAN AKAD SIMPANAN QURBAN MENJADI PEMBIAYAAN QURBAN DI KJKS DAARUL QUR AN WISATAHATI SURABAYA

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata

BAB III TELAAH PUSTAKA

BAB II Landasan Teori

PROFIL BADAN WAKAF INDONESIA. Ditulis oleh Web Master Sabtu, 12 Juni :54

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana di ketahui bahwa negara Indonesia mayoritas. kepentingan keagamaan, seperti pembangunan rumah ibadah maupun kegiatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat

BAB IV. mensyaratkan kekekalan di dalamnya dengan membeli sesuatu harta yang lain

SUBJEK-SUBJEK WAKAF: KAJIAN FIQH MENGENAI WAKIF DAN NAZHIR

PENDAYAGUNAAN ZAKAT PRODUKTIF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. (Studi Kasus Pada Lembaga Amil Zakat L-ZIS Assalaam Solo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Perwakafan Tanah Milik. Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab Waqf yang

Transkripsi:

BAB II TUGAS NADZIR DALAM PENGELOLAAN OBYEK WAKAF A. Kedudukan Nadzir dalam Perwakafan 1. Pengertian Tentang Nadzir Pemeliharaan, pengelolaan dan pengembangan obyek wakaf dilaksanakan oleh nadzir yang mendapatkan kepercayaan dari pewakif untuk menjaga obyek wakaf dengan sebaik-baiknya. Memperhatikan tujuan wakaf yaitu ingin melestarikan manfaat dari benda wakaf, maka keberadaan nadzir dalam menjaga dan merawat benda wakaf sangatlah diperlukan. Dalam praktek sahabat umar ibn khatab kala mewakafkan tanahnya, beliau sendirilah yang bertindak sebagai nadzir semasa hidupnya. Sepeninggal sahabat umar ibn khatab meninggal, pengelolaan wakaf di serahkan kepada putrinya Hafsah. Setelah itu ditangani oleh Abdullah ibn Umar kemudian diteruskan lagi kepada keturunannya 1. Nadzir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi wakaf, mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf itu bagi mauquf alaih sangat bergantung pada nadzir wakaf. Pada umumnya, ulama sepakat bahwa kekuasaan nadzir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf 1 Drs. Ahmad Rofiq, MA. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta ; PT Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 498 20

yang dikehendaki oleh wakif. 2 Ini membuktikan bahwa nadzir sangat diperlukan bagi obyek wakaf dalam mencapai tujuan wakaf. Kata nadzir secara etimologi berasal dari kata kerja nazira yandzaru yang berarti menjaga dan mengurus. 3 Di dalam kamus bahasa Arab-Indonesia juga disebutkan bahwa kata nadzir berarti melihat, memandang, melihat kepada. 4 Dalam terminologi fiqh, yang dimaksud dengan nadzir adalah orang yang diserahi kekuasaan dan kewajiban untuk mengurus dan memelihara harta wakaf. 5 Jadi pengertian nadzir menurut istilah adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf dengan sebaikbaiknya sesuai dengan wujud dan tujuan harta wakaf. 6 Nadzir menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. 7 Nadzir adalah orang yang mengelola wakaf, membangun, meningkatkan hasil produksinya dan membagikan keuntungan yang dihasilkan kepada para mustahik, serta membela kebenarannya dan pekerjaan lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dan juga tidak mungkin dibatasi, kecuali dengan keuntungan dan kemaslahatan dari pekerjaan itu. 2 Farida Prihatini, et al., Hukum Islam Zakat dan Wakaf Teori dan Prakteknya di Indonesia, Jakarta : FHUI, Cet. ke-1, 2005, hlm. 117. 3 Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria Nasional, Jakarta: Tatanusa, 2003, hlm. 97 4 W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, hlm.1433 5 Ibnu Syihab al-ramli, Nihayah al-muhtaj, Juz IV, Beirut: Daar al-kitab al Alamiyah,1996, hlm. 61 6 M. Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, hlm. 91 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal Ayat (4) 21

Dengan demikian, nadzir berarti orang yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya, memelihara, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal. 8 Dari pengertian nadzir yang telah dikemukakan, tampak bahwa dalam perwakafan nadzir memegang peranan yang sangat penting. Agar harta itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung terus menerus, maka harta itu harus dijaga, dipelihara dan jika mungkin dikembangkan. Dilihat dari tugas nadzir, dimana dia berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan manfaat dari harta yang di wakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya, jelas bahwa berfungsi dan tidak berfungsinya suatu perwakafan tergantung pada nadzir. Menurut Mustafa Syalabi, penunjukan wakif pada dirinya sendiri untuk mengurus wakaf tidak dapat disebut sebagai nadzir dan keabsahan wakaf juga tidak bergantung pada penunjukan nadzir, baik pada diri sendiri maupun orang lain. 9 Pada umumnya, di dalam kitab-kitab Fiqh tidak mencantumkan nadzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf. Ini dikarenakan wakaf adalah ibadah tabarru. Namun demikian, memperhatikan tujuan dan manfaat dari benda wakaf, maka kehadiran nadzir sangat diperlukan. 10 8 Said Agil Husin Al Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta : Penamadani, 2004, hlm. 151-152. 9 Ibid., hlm. 116 10 Ahmad Rofiq, Op. Cit., hlm. 498. 22

2. Syarat-syarat Nadzir dan Jenis-jenis Nadzir 2. a. Syarat-syarat Nadzir Para fuqoha telah menentukan beberapa syarat bagi nadzir (pengelola wakaf), diantara syarat itu ada yang menimbulkan perbedaan pendapat adayang disepakati. Adapun syarat-syarat itu adalah 11 a) Berakal Berakal adalah orang yang dapat menganalisa seseuatu untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Syarat ini disepakati oleh para fuqoha untuk sahnya perwalian. Jadi tidak sah perwalian orang gila. b) Dewasa. Dewasa adalah orang yang sudah Mempunyai kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum mukallaf, sehingga ia bisa mengelola wakaf dengan baik. Dalam menunuaikan syari at memerlukan ketelitian dalam melaksanakan ketentuan tersebut. Menjadi kesepakatan para fuqoha bahwa nadzir harus dewasa, sehingga hak perwaliannya dianggap sah dan ucapannya dapat dipertanggungjawabkan, sebab menurut mereka hak perwalian menuntut syarat ketelitian dan itu tidak bisa dilaksanakan kecuali oleh orang dewasa c) Adil 11 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Ahkam Al-Waqf fi Al-Syari ah Al-Islamiyah. Terj. Ahlul Sani Fatkhurrahman, et al., Hukum Wakaf, Jakarta : Dompet Dhuafa dan Iman, 2005, hlm. 461-476. 23

Para ulama mendefinisikan adil dengan bermacam-macam definisi yang berbeda-beda secara lafal, tetapi satu dalam makna. Mereka berupaya menjelaskan maksud adil dengan sejelasjelasnya, sehingga dapat dipahami secara mudah. Hal itu tampak dari definisi mereka berikut ini : 1) Ulama Syafi iyah mendefinisikan adil dengan menjauhi dosa besar dari berbagai macam tindakan seperti membunuh, berzina, makan riba dan meninggalkan dosa-dosa kecil. 2) Ulama Hanafiyah sepakat dengan Imam Abu Hanafi bahwa keadilan seseorang cukup diketahui dari keislaman dan dikenal tidak pernah melakukan apa-apa yang diharamkan. 3) Al-Zaila'i mendefinisikan adil adalah konsisten dengan jalan Islam dan memiliki keseimbangan akal dan kesempurnaan sikap konsisten. 4) Ibnu Al-Hajib dari kalangan ulama Malikiyah, mendefinisikan adil adalah loyalitas keagamaan dengan cara menjauhi dosadosa besar dan dosa-dosa kecil, melaksanakan amanah dan berperilaku baik. 5) Menurut ulama Zahiriyah, adil adalah orang dikenal tidak suka melakukan dosa besar dan melakukan dosa kecil secara terangterangan. 6) Jalaludin As-Suyuti berpendapat bahwa adil adalah memiliki atau kemampuan yang tertanam dalam diri, yang mencegah 24

pemiliknya dari melakukan dosa-dosa besar atau kecil yang bisa menunjukkan kehinaan atau mengerjakan hal yang mubah yang dapat menodai kehormatan. 12 Lebih lanjut Imam Suyuti menyatakan tentang pendapat orang yang menyatakan adil adalah menjauhi dari dosa-dosa besar dan mencegah dari tidak terus menerus melakukan dosa kecil. Beliau berkata bahwa tindakan menjauhi dengan tanpa adanya kemampuan dan kekuatan jiwa yang dapat membentengi dirinya dari hawa nafsunya itu tidak cukup membuat orang disebut adil. Sebab ungkapan kabair (dosa besar) dengan lafal jamak mengandung arti melakukan dosa besar sekali saja tidak apa-apa, padahal tidak demikian, sedang terus menerus melakukan dosa kecil juga akan menjadikan dosa besar. 13 Ini merupakan sebagian pendapat tentang definisi adil dan perbedaan pendapat diantara mereka sangat tipis, jadi dapat disimpulkan bahwa orang yang adil mempunyai ciri-ciri: menjauhi dosa besar dan mencegah diri dari dosa-dosa kecil, karena dosa kecil yang dilakukan terus menerus akan menjadi dosa besar dan ucapan orang yang sering melakukan kesalahan dan kerusakan tidaklah dipercaya. d) Mampu Atau kecakapan hukum Kecakapan didefinisikan sebagai kekuatan seseorang atau kemampuan dalam mengelola sesuatu yang diserahkan kepadanya. Para fuqoha sepakat untuk menentukan syarat kecakapan bagi pengelola wakaf 12 Syeh Jalaludin As-Suyuti, Al-Asybah wa Al-Nazha ir, Penerbit: Dar Al Hayai Kutub Al Arabiyah (Isa Al-Babi Al-Halabi), t.th., hlm. 384-385. 13 Ibid. 25

karena pelimpahan hak sangat terkait dengan syarat pengelolaan, dan jika pengelolaan wakaf diserahkan kepada orang yang tidak mampu maka tujuan dari wakaf tidak akan tercapai. e) Islam Para fuqoha berpendapat bahwa persyaratan nadzir harus orang Islam. Jika wakaf diperuntukan bagi mauquf alaih yang beragama Islam atau wakaf diperuntukan bagi sektor umum, seperti masjid atau lembaga pendidikan. Untuk menjadi seorang nadzir, juga harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : 1) Mempunyai kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum mukallaf sehingga ia bisa mengelola wakaf dengan baik. 2) Memiliki kreativitas dalam mengelola wakaf. 14 2.b. Jenis-jenis Nadzir Berdasarkan definisi nadzir yang telah diuraikan di muka, dapat dipahami bahwa yang dapat ditunjuk sebagai nadzir adalah harus berbentuk kelompok perorangan atau badan hukum. Ketentuan ini merupakan pembaharuan dari ketentuan yang ada dalam fiqh, yang menyebutkan bahwa nadzir dapat berupa perorangan secara sendiri asalkan ditunjuk oleh wakif, dan bahkan wakif sendiri dapat menunjuk dirinya sendiri menjadi nadzir. 15 Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Nihayah al-muhtaj, bahwa jika wakif mensyaratkan nadzir kepada dirinya maka ikutilah atau jika 14 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 499. 15 Taufiq Hamami, op. cit., hlm. 99 26

mensyaratkan kepada orang lain juga penuhilah syarat itu. Tetapi jika wakif tidak mensyaratkan kepada seorang pun, maka yang bertindak sebagai nadzir adalah qadli. 16 Qadli yang dimaksud di sini harus berasal dari negeri pihak yang berhak menerima hasil wakaf. a. Nadzir yang berupa perorangan Nadzir dalam bentuk kelompok perorangan berarti sekumpulan orang yang merupakan satu kesatuan atau merupakan suatu pengurus yang sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang yang di tunjuk oleh pewakif yang wajib di daftarkan kepada Menteri Agama dan BWI melalui Kantor Urusan Agama Setempat 17 Wakif hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan : 1. Dewasa. 2. Berakal sehat. 3. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan 4. Pemilik sah harta benda wakaf. 18 b. Nadzir berupa organisasi Nazdhir organisasi merupakan organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 16 Ibnu Syihab al-ramli, op. cit., hlm. 613 17 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 4 ayat Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 18 Lihat Paal 8 ayat (1)Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 27

1. pengurus organisasi harus memenuhi persyaratan Nazhir perseorangan; 2. salah seorang pengurus organisasi harus berdomisili di kabupaten/kota letak benda wakaf berada; 3. memiliki: 1) salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar; 2) daftar susunan pengurus; 3) anggaran rumah tangga; 4) program kerja dalam pengembangan wakaf; 5) daftar kekayaan yang berasal dari harta wakaf yang terpisah dari kekayaan lain atau yang merupakan kekayaan organisasi; dan 6) surat pernyataan bersedia untuk diaudit. 19 c. Nadzir berupa Badan Hukum Selain nadzir yang berupa kelompok perorangan, nadzir juga bisa berbentuk badan hukum, yakni suatu bentuk perkumpulan orang-orang yang bergabung dalam organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti halnya seorang manusia, sebagai pengemban hakhak dan kewajiban-kewajiban, dimana penunaiannya diwakili oleh para pengurusnya. 20 sebagai berikut : Jika berbentuk badan hukum, maka nadzir harus memenuhi persyaratan 1. Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 19 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 4 ayat Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 20 Taufiq Hamami, op. cit., hlm. 101. 28

2. Mempunyai perwakilan di Kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan. 21 3. Badan hukum yang bertujuan dan amal usahanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran agama Islam. Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan: a) pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ); dan b) badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang.undangan yang berlaku; dan c) badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.: 22 3. Tata Cara Penetapan dan Penghentian Nadzir Pada hakekatnya siapa saja bisa menjadi nadzir, asalkan orang tersebut memenuhi kriteria atau syarat-syarat untuk menjadi nadzir. Menurut ilmu fiqih, seorang wakif bisa menunjuk dirinya sendiri menjadi atau orang lain menjadi nadzir, tetapi jika wakif tidak menunjuk siapapun untuk menjadi nadzir, maka 21 Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati (eds), Hukum Perdata Islam Kompetensi Pengadilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqah, Bandung: Mandala Maju, 1997, hlm. 71. 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 10 Ayat (3) 29

yang bertindak sebagai nadzir adalah qadhi dari pihak desa tempat wakaf tersebut diwakafkan. 23 Sedangkan berdasarkan PP. No. 42 Tahun 2006 Pasal 4 Ayat (1), seorang nadzir atau anggota nadzir menjadi pengelola dan pengembang obyek wakaf apabila: 1) Nazhir wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat. 2) Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pendaftaran Nazhir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan Badan Wakaf Indonesia di provinsi/kabupaten/kota. 3) BWI menerbitkan tanda bukti pendaftaran Nazhir. 24 Dalam mengelola wakaf nadzir mempunyai masa bakti selama lima tahun, ketentuan ini dapat dilihat dalam PP. No. 42 Tahun 2006 Pasal 14 ayat (1) dan (2). 1) Masa bakti Nazhir adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali. 2) Pengangkatan kembali Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh BWI, apabila yang bersangkutan telah melaksanakan tugasnya dengan baik dalam periode sebelumnya 1996, hlm. 397. 23 Ibnu Syihab al Ramli, Nihayah al-muhtaj, Juz 4, Beirut: Daar al-kitab al Alamiyah, 24 Lihat Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 30

sesuai ketentuan prinsip Syariah dan peraturan perundangundangan Berkaitan dengan masa kerja nadzir,meskipun jabatan nadzir tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu, tetapi masa kerja nadzir tidak mutlak seumur hidup. Dalam fiqh disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu nadzir dapat diambil kekuasaannya dan diberhentikan dari jabatannya sebagai nadzir jika berbuat khianat, gila atau sakit ingatan dan fasid. 25 Masa kerja nadzir tidaklah mutlak seumur hidup. Seorang anggota nadzir berhenti dari jabatannya, dikarenakan : a) Mengundurkan diri dari nadzir b) Berkhianat dan tidak memegang amanah wakaf c) Melakukan hal-hal yang membuatnya menjadi orang fasik, seperti berjudi dan peminum minuman keras; d) Kehilangan kecakapan bertindak hukum, seperti gila; e) Mengelola harta wakaf itu menjadi sesuatu yang tidak bermanfaat; dan f) Wakif atau hakim mencabut wewenang nadzir yang bersangkutan. 26 Sedangkan berdasarkan PP. No. 42 Tahun 2006 Pasal 5 ayat (1) seorang nadzir atau anggota nadzir bisa dan akan dianggap berhenti dari jabatannya apabila: 25 Ibnu Abidin Hasyiyah, Rad al-mukhtar, Juz IV, Beirut: Daar al-kitab al-alamiyah, hlm. 425 26 Abdul Azis Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,Cet. ke-1, 1996, hlm.1911. 31

a. meninggal dunia; b. berhalangan tetap; c. mengundurkan diri; atau diberhentikan oleh BWI. 27 B. Ketentuan Hukum Terhadap Pengalihan Tugas Nadzir dalam Pengelolaan Obyek Wakaf 1. Ketentuan Hukum Positif Terhadap Pengalihan Tugas Nadzir Berpijak dari pentingnya wakaf dalam kehidupan kemasyarakatan, khususnnya masyarakat muslim, maka diperlukan suatu peraturan atau undangundang yang mengatur masalah perwakafan, baik yang terkait dengan wakif (orang yang berwakaf), benda yang diwakafkan, ikrar wakaf, pengelolaan obyek wakaf maupun pengelola harta wakaf. Tetapi pada kenyataannya di Indonesia sebelum diatur dalam Hukum positif, pelaksanaannya sangat simple dan sederhana, dalam arti wakaf hanya cukup dilandasi oleh adanya rasa kepercayaan dengan syarat-syarat tertentu untuk tujuan beribadah kepada Allah SWT. Sebagai upaya untuk mengatur persoalan wakaf ini maka Pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Peraturan Wakaf. Kemudian mengenai tugas-tugas Nadzir diatur dalam ketentuan Pasal 11 ayat. Kemudian dalam pelaksanaannya diperlukan Peraturan Perundangan tersendiri, sehingga kemudian ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 untuk memperjelas perataturan dan kententuan perwakafan di Indonesia. 27 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 4 ayat Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 32

Mengenai Pengelolan dan pengembangan Obyek wakaf termuat dalam BabV tentang Pengelolaan dan pengembangan Harta benda wakaf. Untuk lebih jelasnya bunyi Pasal 42 dan 43 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 adalah sebagai berikut: 1) Pasal 42 : Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya. 2) Pasal 43 : a) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah. b) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif. Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin syariah. 28 Peraturan-peraturan di atas mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan pengelolaan obyek wakaf, termasuk tentang pengelola harta wakaf, hak serta kewajibannya sebagai pengelola wakaf (nadzir, yang merupakan unsur penting dalam proses berjalannya wakaf). Tetapi fenomena yang muncul di lapangan 28 Lihatt pasal 42 dan 43, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf 33

sangat kompleks, sehingga sering dijumpai hal-hal yang tidak sesuai dengan perundangan yang telah ditetapkan. Dari penjelasan kedua pasal tersebut dapat dipahami bahwa seorang nadzir sebagai orang yang diberi amanat untuk mengurus dan mengelola harta wakaf, maka secara otomatis ia mempunyai kewajiban-kewajiban berkaitan dengan benda wakaf yang dikelolanya, hal ini demi tercapainya tujuan wakaf. Kedua pasal ini kemudian diperjelas lagi oleh PP. No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Peraturan Wakaf. Berdasarkan PP. No. 42 Tahun 2006 Pasal 45 Ayat (1), seorang nadzir atau anggota nadzir menjadi pengelola dan pengembang obyek wakaf apabila: 1) Nazhir wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat. 2) Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pendaftaran Nazhir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan Badan Wakaf Indonesia di provinsi/kabupaten/kota. 3) BWI menerbitkan tanda bukti pendaftaran Nazhir. 29 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Pasal 45 Tentang Pengelolaan dan Pengembangan bahwa : 29 Lihat pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 34

1) Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan peruntukan yang tercantum dalam Akta Ikrar Wakaf 2) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memajukan kesejahteraan umum, Nazhir dapat bekerjasama dengan pihak lain sesuai dengan prinsip Syariah. Dalam pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf, nadzir dapat melakukan dan menerapkan prinsip manajemen kontemporer dengan menjunjung tinggi dan memegang kaidah al maslahah (kepentingan umum) sesuai dengan ajaran Islam, sehingga tanah wakaf dapat dikelola secara profesional. Setiap aktivitas dalam organisasi tidak lepas dari manajemen. Secara sederhana manajemen diartikan sebagai proses-proses perencanaan dan pengambilan keputusan, pengorganisasian, kepemimpinan, pengawasan organisasi berdasarkan atas sumber daya manusia, finansial, dan informasi, untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif. 30 Dengan demikian, nadzir tanah wakaf sebagai manajer perlu melakukan usaha serius dan langkah terarah dalam mengambil kebijaksanaan berdasarkan program kerja yang telah digariskan, sehingga kesan dan anggapan di dalam masyarakat bahwa pengelolaan tanah wakaf sebagai kerja sampingan dan asal-asalan dapat dihilangkan. 30 M. Saefuddin, Ar, Organiasi dan Manajemen Industri (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, Cet. ke-1, 1993, hlm. 4. 35

2. Ketentuan Hukum Islam Terhadap Pengalihan Tugas Nadzir Dalam ketentuan fiqih pengalihan tugas adalah memberikan hak untuk mewakili dan melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Kaidah pengalihan tugas nadzir dalam pengelolaan wakaf berpedoman dalam kaidah al-wakalah. Al-wakalah menurut bahasa adalah penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat. Sedangkan menurutistilah para ulama berbeda pendapat antara lain sebagai berikut : 1. Malikiyyah berpendapat bahwa al-wakalah adalah seseorang menggantukan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban) dia yang mengelola pada posisi itu. 2. Hanafiyyah berpendapat bahwa al-wakalah adalah seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan). 3. Ulama Syafi iyyah berpendapat Suatu ibarah seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya. Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-wakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu, perwakilan yang berlaku selama yang mewakilkan masih hidup. 31 Wikalah atau wakalah, yaitu : Seseorang menyerahkan kepada orang lain sesuatu untuk dilaksanakan dikala masih hidup si pemberii kuasa dengan cukup 233 31 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003. hlm. 231-36

ruku-rukunya, sah.. dan sah memenerima kuasa dalam segala soal akad yang dapat diganti. Pemberian kuasa itu suatu akad yang dibolehkan. Hukum ini disepakati para ulama, tiap-tiap yang boleh dilakukan pergantian (dapat disuruh orang lain mengerjakannya) kecuali dalam hal ibadah sholat dan puasa tidak dapat diwakilkan. 32 Syarat-syarat pemberian kuasa adalah orang yang tidak dilarang oleh syara untuk melakukan tindakan terhadap sesuatu yang dikuasakan kepadanya. Oleh karena itu, menurut imam malik tidak sah memberi kuasa kepada anak di bawah umur dan orang gila. 33 Untuk memenuhi syarat-syarat, rukun al-wakalah adalah : 1. Orang yang mewakilkan, syarat-syarat bagi orang yang mewakilkan adalah dia pemilik barang atau dibawah kuasanya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, al-wakalah tersebut batal 2. Wakil (yang mewakili), syarat-syarat bagi yang mewakili ialah bahwa yang mewakili adalah orang yang berakal. Bila seseorang wakil itu idiot, gila atau belum dewasa maka perwakilan batal. 34 3. Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syarat-syarat sesuatu yang diwakilkan adalah : a) menerima penggantian maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya. 32 M. Hasbi Ash Shidieqy, Hukum-hukum Fiqih Islam, Semarang; PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 391. 33 Ibnu Rusyd, op. Cit. hlm. 271. 34 Hendi Suhendi, Op. Cit. hlm. 235. 37

b) Sesuatu yang diwakilkan dimiliki oleh yang berwakil ketika ia mewakilkan kepada orang lain. c) Sesuatu yang diwakilkan harus jelas. 35 Pemberian kuasa (al-wakalah) adalah aqad yang mengikat dengan adanya ijab dan qabul, seperti akad-akad yang lain. Tetapi wakalah itu bukan merupakan akad yang terlalu mengikat melainkan akad yang jaiz artinya bias dibubarkan. 35 M. Ali Hasan, Op. Cit. Hlm. 26. 38