1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peningkatan sumber daya manusia merupakan prioritas dalam pembangunan nasional. Namun dalam kehidupan yang terjadi setiap harinya sering menghadapi suatu kenyataan, bahwa banyak anak atau remaja dalam kehidupan yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan pribadi atau pun potensi yang dimilikinya. Salah satu dari permasalahan yang dihadapi bangsa ini adalah adanya remaja yang putus sekolah. Bila tidak segera ditangani permasalahan ini kemungkinan akan menjadi beban keluarga, masyarakat serta akan menjadi masalah yang cukup besar bagi kemajuan negara ini. Pendidikan dasar wajib yang dipilih Indonesia adalah 9 tahun yaitu pendidikan SD, dan SMP, dilihat dari umur mereka yang wajib sekolah adalah usia 7-15 tahun. Hak yang wajib dipenuhi dengan kerjasama dari orang tua, masyarakat dan pemerintah yaitu program wajib belajar 9 tahun. Namun tidak mudah untuk merealisasikan pendidikan khususnya menuntaskan wajib belajar 9 tahun, karena pada kenyataannya masih banyak angka putus sekolah. Pendidikan menjadi landasan kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan. Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 kantor komnas perlindungan anak di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 1
2 sudah mencapai 11,7 juta jiwa.peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat mengerikan. Pada tahun 2006 jumlahnya masih sekitar 9,7 juta anak, namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa(ayomerdeka.wordpress.com). Putus sekolah adalah belum sampai tamat namun sekolahnya sudah keluar, jadi seseorang yang meninggalkan sekolah sebelum tamat, berhenti sekolah, tidak dapat melanjutkan sekolah(anonim, 1993).Putus sekolah perlu di teliti karena pada pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini berarti, setiap anak Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender (Anonim, 1989). Pada tahun ajaran 1994/1995 dirinci tiap kecamatan di kabupaten Banyumas anak yang putus sekolah dari tingkat pendidikan SD, SMP, SMA yaitu dari tingkat pendidikan SD Negeri total 2.427, SD Swasta total 14, SMP Negeri total 83, SMA Negeri total 117, SMA Swasta total 316 (Anonim, 1994). Perlu di ketahui menurut kepala dinas pendidikan kabupaten Banyumas, Santoso Edy Prabowo mengatakan, dari total lulusan SD sebanyak 25.810 anak, hanya 24.344 yang mampu melanjutkan sekolah sedangkan yang putus sekolah sebanyak 1.466 anak. Sementara, dari 24.000
3 lulusan SMP, hanya 16.000 siswa yang mampu melanjutkan ke jenjang SMA dan yang tidak mampu melanjutkan sebanyak 8.000 anak (Tempo.com). Grafik dibawah ini adalah data anak putus sekolah tahun 2010 (dalam Yuda,2011) : www.pdfcrawler.com/102981/wajib-belajar-sembilan-tahun.html Dapat di jelaskandari grafik anak putus sekolah tahun 2010yaitu : faktor ekonomi 36%,rendahnya atau kurangnya minat anak untuk bersekolah, kurang24 %, perhatian dari orang tua 18%, ketiadaan prasarana sekolah 14%, fasilitas belajar yang kurang memadai 5%,budaya 2 % dan lainnya seperti cacat, IQ yang rendah, rendah diri, umur yang melampaui usia sekolah 1%. Di desa Gumelar yang penduduknya berjumlah 9.453 jiwa masih banyak remaja yang putus sekolah dari tingkat pendidikan SD, SMP, SMA. Ada sekitar 60 remaja yang putus sekolah dari 11 Rw di desa Gumelar di sebabkan karena ekonomi, trauma, malas berangkat sekolah, membolos
4 sekolah, hamil di luar nikah, ingin motor tidak di belikan dan akhirnya mereka putus sekolah. Berdasarkan studi pendahuluan yaitupada tanggal 21 September 2013 melalui wawancara dengansubyek pertama,bahwa penyebab putus sekolah karena malas berangkat sekolah lalu orang tua subyek menyuruh untuk kejar paket tapi subyek memilih bekerja mencari uang dari pada melanjutkan sekolah. Pada wawancara kedua didapatkan hasil dari teman bermain salah satu subyekputus sekolah di desa Gumelar,mengatakan salah satu subyekkarena putus sekolah dan tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Subyek mencuri hp, minum-minuman keras,dan sekarang sudah menikahdengan cara menghamili diluar nikah. Wawancara juga dilakukan dengan salah satu orang tua subyek yang putus sekolah di desa Gumelar bahwa setelah putus sekolah emosi anaknya tidak bisa dikontrol dan jarang pulang ke rumah. Salah satu subyek setelah putus sekolah selalu di rumah tidak mau bertemu orang lain dan tidak mau mencari kerja juga dijelaskan pada hasil wawancara dari salah satu warga di desa Gumelar. Sedangkan pada hasil wawancaradengan salah satu petugas balai desa Gumelar pada tanggal 1 Oktober 2013 remaja putus sekolah di desa Gumelar, kecamatan Gumelar, kabupaten Banyumas dalam bidang ekonomi orang tua mereka rata-rata mampu, tapi karena mereka kurang berminat untuk melanjutkan sekolah yang menjadikan mereka putus sekolah dan kebanyakan dari mereka langsung bekerja dengan status pendidikan apa adanya.
5 Pada tanggal 19 November 2013 melalui wawancaradengan petugas TU di SMA PGRI Gumelar, anak yang mengundurkan diri dari SMA kebanyakan orang tua mereka secara ekonomi mampu namun dari anaknya kurang berminat untuk melanjutkan sekolah. Dengan adanya fenomena tersebut, maka berdampak pada psikologis remaja yang putus sekolah. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Santrock, (2007) menyebutkan bahwa masa remaja dimulai kira-kira usia 10-13 tahun dan berakhir antara usia 18-22 tahun. WHO membagi kriteria usia remaja yaitu berkisar dari 10-19 tahun. Dengan dua pembagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun (Sarwono, 2011). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kriteria usia yang dikemukakan oleh Santrock, (2007) yaitu 10-22 tahun. Dalam tahap ini terjadi perubahan dari kecenderungan mementingkan diri sendiri kepada kecenderungan memperhatikan kepentingan orang lain dan kecenderungan memperhatikan harga diri. Dampak psikologi remaja putus sekolah adalah banyaknya omongan dari orang lain tentang status putus sekolah, bingung dengan kelanjutan masa depannya dengan status putus sekolah, dipandang tidak mempunyai masa depan yang baik oleh masyarakat. Perkembangan kognitif remaja menurut Piaget, (1959) dalam usia remaja dan seterusnya seseorang sudah mampu berpikir abstrak dan hipotesis, pada tahap ini ia bisa memperkirakan apa yang mungkin terjadi (Gunarsa, 1982 : Piaget, 1959 dalam Sarwono, 2011).
6 Fenomena tersebut menarik peneliti untuk melakukan penelitian tentang resiliensi remaja putus sekolah di desa Gumelar kecamatan Gumelar kabupaten Banyumas. Tentunya resiliensi itu penting bagi remaja putus sekolah karena remaja putus sekolah membutuhkan resiliensi agar mampu bangkit dari penderitaan. Biasanya penderitaan dapat menyebabkan depresi atau kecemasan, dengan kemampuan resiliensi seseorang akan dapat mengambil makna dari kegagalan dan mencoba lebih baik dari yang pernah ia lakukan, sehingga menurunkan resiko depresi atau kecemasan. Melihat fenomena-fenomena di atas maka dari itu peneliti tertarik melakukanpenelitian Studi Deskriptif Kuantitatif Tentang Resiliensi Remaja Putus Sekolah Di Desa Gumelar Kecamatan Gumelar Kabupaten Banyumas. B. Perumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalahnya yaitu : Bagaimana kriteria Resiliensi remaja putus sekolah di desa Gumelar kecamatan Gumelar kabupaten Banyumas. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan resiliensi remaja putus sekolah di desa Gumelar kecamatan Gumelar kabupaten Banyumas.
7 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis yaitu menambah ilmu pengetahuan baru dalam bidang psikologi sosial. 2. Manfaat Praktis : a. BagiMasyarakat Memberikan informasi kepada masyarakat diharapkan dapat menjadi mediator untuk mendorong dan mensosialisasikan kegiatan yang dapat menjadi dukungan bagi remaja putus sekolah. Sehingga remaja putus sekolah yang resiliensinya sangat tinggi mampu mempertahankan resiliensinya dan remaja yang resiliensinya sangat rendah mampu meningkatkan agar mempunyai resiliensi. b. Bagi Orang rua Memberikan motivasi dan memfasilitasi agar anak-anaknya tidak putus sekolah.