ANALISA STRUKTURAL CERITA NA MORA PANDE BOSI LUBIS JHONSON PARDOSI. Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara BABI PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA JURUSAN SASTRA DAERAH MEDAN 2006

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI. peneliti memaparkan mengenai penelitian-penelitian yang pernah menganalisis tokoh utama

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty, penelitian ini

BAB I PENDAHULUAN. ungkapannya (Sudjiman, 1990:71). Sastra juga dapat digunakan oleh semua yang

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan dengan bahasa dan gaya bahasa yang menarik.

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra yang bersifat imajinasi (fiksi) dan karya sastra yang bersifat non

BAB I PENDAHULUAN. mamak atau pulang ka bako (Navis,1984: ). Dengan kata lain dikenal

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

SMP kelas 9 - BAHASA INDONESIA BAB 4. Ketrampilan BersastraLatihan Soal 4.2. Pengenalan. Klimaks. Komplikasi. Penyelesaian

MENU UTAMA UNSUR PROSA FIKSI PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. nilai-nilai moral terhadap cerita rakyat Deleng Pertektekkendengan menggunakan kajian

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. sudah banyak yang meneliti, diantaranya : unsur-unsur intrinsik dalam novel 鸿 三代中国女人的故事

Prosa Tradisional (Hikayat Indera Nata)

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar,

BAB IV KESIMPULAN. Peristiwa yang terjalin dalam novel Nagabonar Jadi 2 terbentuk menjadi

BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat di mana penulisnya hadir, tetapi ia juga ikut terlibat dalam pergolakanpergolakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi dua subbab, sub bab pertama berisi tentang tinjauan pustaka berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan

BAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali,

SMA/MA IPS kelas 11 - BAHASA INDONESIA IPS BAB 1. MEMAHAMI CERPEN DAN NOVELLatihan Soal 1.3

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai

BAB II KAJIAN TEORITIS. Penelitian tentang Kemampuan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Telaga

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi, maka karya sastra sangat banyak mengandung unsur kemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Darma Persada

ANALISIS AMANAT DAN PENOKOHAN CERITA PENDEK PADA BUKU ANAK BERHATI SURGA KARYA MH. PUTRA SEBAGAI UPAYA PEMILIHAN BAHAN AJAR SASTRA DI SMA

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.3

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori

Asal Mula Candi Prambanan

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak lepas dari kebutuhan material dan non-material. Adapun

KEMAMPUAN MENULIS CERPEN BERDASARKAN PENGALAMAN SISWA DI SMP NEGERI 17 KOTA JAMBI

KAJIAN NILAI DIDAKTIS CERITA RAKYAT SEBAGAI KONSTRIBUSI PENYUSUNAN BAHAN BACAAN PESERTA DIDIK DALAM BUKU TEKS BAHASA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disusun telah diperhitungkan segi-segi pementasannya dan sewaktu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soekamto (1970 : 3) mengatakan secara etimologi, sosiologi berasal dari dua

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

UNSUR INTRINSIK PADA CERPEN MENJELANG LEBARAN, MBOK JAH, DAN DRS CITRAKSI DAN DRS CITRAKSA

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 16 April 1988 film Grave of the Fireflies mulai beredar di

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dialaminya. Hal ini sesuai dengan pendapat E. Kosasih ( 2012: 2)

BAB I PENDAHULUAN. ini sudah memiliki kebudayaan dan karya sastra tersendiri.

BAB I PENDAHULUAN. dituangkan dalam sebuah karya. Sastra lahir dari dorongan manusia untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian yang relevan dengan penelitian tentang novel Bumi Cinta karya

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli

ANALISIS NILAI PENDIDIKAN TOKOH UTAMA NOVELTAK SEMPURNAKARYA FAHD DJIBRAN BONDAN PRAKOSO DAN FADE2BLACK DAN SKENARIO PEMBELAJARANSASTRA DI SMA

Liburan 63. Bab 6. Liburan

BAB 2 DATA DAN ANALISA

NILAI NILAI DIDAKTIS DALAM NOVEL CINTA SUCI ZAHRANA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY. Oleh : Rice Sepniyantika ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. skripsi dan tesis ini dapat diketahui dari pemaparan skripsi dan tesis. Kajian yang

BAB IV KESIMPULAN. efikasi diri. Teori struktural digunakan untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik cerpen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam

KLASIFIKASI EMOSI PEREMPUAN YAN TERPISAH DARI RAGANYA DALAM NOVEL KOMA KARYA RACHMANIA ARUNITA (SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI)

BAB I PENDAHULUAN. Folklor merupakan bagian dari kebudayaan yang kolektif bersifat tradisional

II. LANDASAN TEORI. dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian dan pernyataan yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI. Dalam melakukan sebuah penelitian memerlukan adanya kajian pustaka.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa. Melalui karya sastra manusia bisa mengetahui sejarah berbagai hal,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan kebudayaan sangat erat. Oleh sebab itu, sebagian besar objek karya

BAB V PENUTUP. Dari hasil pembahasan analisis struktur ketiga cerita Sage yaitu Kobold in

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena. kehidupan dalam lingkungan sosialnya (Al- Ma ruf 2009: 1).

Buku Teks Bahasa Indoneia Siswa Kelas VII SMP Negeri 11 Kota Jambi. Oleh Susi Fitria A1B1O0076

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL DAUN YANG JATUH TAK PERNAH MEMBENCI ANGIN KARYA TERE LIYE DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMA

TRILOGI NOVEL MARITO

PUTUSAN Nomor: 600/Pdt.G/2010/PA.Dum BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan

ANALISIS PERWATAKAN TOKOH UTAMA NOVEL NI WUNGKUK KARYA ANY ASMARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu genre sastra yang memiliki dua dimensi, yaitu dimensi drama

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SMA/MA IPS kelas 10 - BAHASA INDONESIA IPS BAB 11. KETERAMPILAN BERSASTRALatihan Soal 11.4

II. LANDASAN TEORI. Salah bentuk karya sastra adalah novel. Novel merupakan bentuk karya sastra

Nomor: 0177/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA LAWAN

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini, peneliti akan menyajikan latar belakang masalah, rumusan masalah,

ANALISIS NILAI-NILAI MORAL NOVEL RAMAYANA KARYA SUNARDI D.M. DAN IMPLEMENTASI PEMBELAJARANNYA DI SMA

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki arti atau keindahan tertentu (Mihardja, 2012: 2). Dalam Kamus Istilah Sastra (dalam Purba, 2012: 2) Panuti Sudjiman

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai

Transkripsi:

ANALISA STRUKTURAL CERITA NA MORA PANDE BOSI LUBIS JHONSON PARDOSI Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang masalah Karya sastra adalah ungkapan pikiran dan perasaan seseorang pengarang dalam usahanya untuk menghayati kejadian-kejadian yang ada disekitarnya, baik yang dialaminya maupun yang terjadi pada orang lain pada kelompok masyarakatnya. Hasil imajinasi pengarang tersebut dituang ke dalam bentuk karya sastra untuk dihidangkan kepada masyarakat pembaca untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan. Dengan demikian karya sastra bukanlah suatu uraian-uraian kosong atau khayalan yang sifatnya sekedaer menghibur pembaca saja tetapi melalui karya sastra dihidupapkan pembaca lebih arif dan bijaksana dalam bertindak dan berpikir karena pada karya sastra selalu berisi masalah kehidupan manusia nyata. Jadi tidak salah dikatakan bahwa karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat. Sumardjo (1979:30) menyatakan "...Sastra adalah produk masyarakat yang mencerminkan masyarakatnya. Obsesi masyarakat adalah menjadi obsesi pengarang yang menjadi anggota masyarakat. Pengarang selalu mempergunakan tokoh-tokoh sebagai wakil-wakil manusia yang dijumpai pada masyarakat. Melalui tokoh-tokoh inilah pengarang mengembangkan ide dan imajinasinya sehingga cerita tersebut kelihatan benarbenar hidup dan berkembang seperti kehidupan nyata. Pada masyarakat tradisonal karya sastra dianggap sebagai sarana pendidikan formal yang membimbing anak-anak agar berperilaku baik. Penyajiannya dilakukan secara lisan. Pada malam hari para orang tua sudah mulai bercerita sambil meninabobokan anak-anaknya. Cerita yang mereka ceritakan berupa dongeng, mite, legenda yang kejadiannya dianggap pernah terjadi di lingkungan mereka walaupun kejadian tersebut terjadi jauh sebelum zaman mereka merasakan atau menganggap cerita tersebut milik mereka. Pada saat sekarang perhatian masyarakat terhadap kesusastraaan lisan sudah kurang diminati. Cerita lisan yang pada masyarakat tradisional sangat besar perannya untuk memberikan pengajaran dan penghiburan agaknya sudah tergeser posisinya oleh masuknya sarana hiburan modern. Cerita rakyat Na Mora Pande Bosi Lubis adalah cerita legendaris yang mengisahkan tentang perjalanan seorang Bugis yang bertualang menjadi maria Lubis setelah mengawini saudara perempuan Raja Hatongga di Tapanuli Selatan. Marga Lubis didapatkan dari marga Amang Boru dari Raja Hmongga sesuai dengan adat Batak Angkola mandailing yang secara otomatis petualang Bugis dijadikan menjadi anak. Cerita ini yang mengungkapkan beberapa nama daerah yang terdapat di Tapanuli Selatan, seperti: Pardomuan, Singengu, Lobu Hatong, Padang Sigenduk, Hamaya Tonggi, dan lain-lain. Demikianlah cerita rakyat Na Mora Pande Bosi Lubis sangat diminati tetapi masih sedikit pengkajian dilakukan pada cerita ini. Dengan alasan inilah penulis ingin mengakaji dari segi struktur cerita tersebut. 2004 Digitized by USU digital library 1

1.2. Batasan Masalah Sesuai dengan uraian-urain yang terdapat pada latar belakang dan masalah agar pengkajian ini lebih baik dan terarah, penulis membatasi masalah hanya pada tema, alur, karakter dan latar. 1.3. Tujuan penulisan Tujuan penulisan karya ilmiah, untuk: Mengetahui struktur cerita Na Mora Pande Bosi Lubis Memaparkan keterkaitan unsur-unsur pembentuk cerita cerita Na Mora Pande BosiLubis. 1.4. Landasan Setiap karya ilmiah haruslah dapat memecahkan masalah yang menjadi kesimpulan atau hasil pada penulisan tersebut.tentunya untuk dapat memecahkan masalah tersebut haruslah dengan menggunakan alat bantu' yang dalam hal ini disebut dengan teori. Teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori struktural. Teori struktural berusaha untuk memilah-milah dengnn baik unsur-unsur pembentuk suatu karya sastra yang dalam hal ini karya sastra berbentuk prosa. Teeuw, (1984: 135) menyatakan, Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat, semendetail dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua analisis aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Berbicara tentang Anatomi prosa (cerita), setiap cerita dibentuk oleh dua bagian besar unsur yaitu unsur intrinsik clan unsur ekstrinsik dimana unsur intrinsik disebut sebagai unsur dalam yang membentuk suatu cerita sedangkan unsur ekstrinsik disebut unsur luar yaitu unsur-unsur pendukung terciptnya suatu cerita. Semi, (1988:35) menyatakan, " Struktur fiksi itu secara garis besar " dibagi alas dua bagian, yaitu: (1) Struktur luar ekstrinsik dan (2) intrinsik dalam (instrinsik). Struktur luar (ekstrinsik) segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosiol politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Struktur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti: penokohan atau perwatakan, tema, alur (plot), pusat pengesahan, latar dan gaya bahasa. BAB II UNSUR - UNSUR INTRINSIK 2.1. Tema Setiap karya sastra harus mempunyai dasar cerita atau tema yang merupakan persoalan utama dari sejumlah permasalahan yang ada. Tema dapat menjalin rangkaian cerita secara keseluruhan. Penggambaran tokoh, latar maupun alur semuanya mengacu pada pokok pikiran yang sama Hartoko dan Rahmanto (1986: 142) menyatakan, Tema adalah gagasan dasar umum yang terdapat dalam sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan dan perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif konkrit yang menuturkan urut peristiwa atau situasi tertentu. Bila dalam sebuah cerita tampil motif mengenai suka duka pernikahan, perceraian dan pernikahan kembali maka kita dapat menyaring tema mengenai tak lestarinya pernikahan. 2004 Digitized by USU digital library 2

Purwadarminta, (1984:104) mengatakan, "... Tema adalah pokok pikiran, dasar cerita atau sesuatu yang dipercakapkan dipakai sebagai dasar untuk mengarang". Tema pada suatu karya sastra dapat ditentukan dengan beberapa langkah. Esten, (1984:88) menyatakan, Untuk menentukan tema dalam sebuah karya sastra ada tiga macam yang bisa ditempuh yakni: 1. Melihat persoalan yang paling menonjol. 2. Secara kualitatif persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflikkonflik yang melahirkan peristiwa-peristiwa 3. Menghitung waktu perceritaan. Cara yang paling umum dan sering digunakan adalah cara kedua yaitu melihat persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik-konflik dengan melihat peristiwa-peristiwa selalu berulang-ulang dalam keseluruhan cerita sehingga tema akall selalu terkait pada tokoh, alur dan latar". Uraian uraian di atas telah banyak menerangkan pengertian tema sehingga dapat disimpulkan bahwa tema merupakan salah satu unsur penting dalam suatu karya sastra menentukan tema suatu cerita hanya dapat dilakukan bila telah memahami karya sastra tersebut secara keseluruhan. 2.2. Alur Alur merupakan unsur yang sangat penting dalam cerita. Alur berperan mengatur hubungan peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita. Karena peristiwaperistiwa dalanm suatu cerita mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Suatu peristiwa atau kejadian dalam cerita dapat terjadi justru disebabkan oleh adanya peristiwa sebelumnya. Rangkaian peristiwa yang terdapat dalam suatu cerita inilah. yang disebut alur. Seperti apa yang diungkapkan oleh Semi (1984:35), "Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah inter-relasi fungsional yang sekaligus fiksi. Dengan demikian, alur ini merupakan perpaduan unsur unsur yang membangun cerita. Dalam pengertian ini alur merupakan rangkaian suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak tanduk yang berusaha memecahkan konfflik yang terdapat di dalamnya". Alur suatu cerita sangat erat hubungannya dengan unsur-unsur yang lain seperti perwatakan, setting, suasana lingkungan begitu juga dengan waktu. Berdasarkan hubungan antara tokoh-tokoh dalam cerita, yang biasanya ditentukan oleh jumlah tokoh, maka alur terbagi atas dua bagian seperti yang dikemukakan oleh Semi (1984:36), Alur yang bagian-bagiannya diikat dengan erat disebut alur erat, sedangkan yang diikat dengan longgar disebut alur longgar. Biasanya alur erat ditemui pada cerita yang memiliki jumlah pelaku menjadi lebih sering dan membentuk jaringan yang lebih rapat". Bila dilihat menurut urutan peristiwa, alur dapat dibagi atas dua bagian, yaitu alur maju dan alur sorot batik. Alur maju ialah rangkaian peristiwa dijalin secara kronologis. Sedangkan alur sorot balik (flash back) ialah rangkaian peristiwa dijalin tidak berurutan, tidak kronologi. Lebih lanjut S. Tasrif dalam Tarigan (1984: 128) menyatakan, 1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan) 2. Generating circumtances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak) 2004 Digitized by USU digital library 3

3. Rising action (keadaan mulai memuncak) 4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai klimaks) 5. Dedoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa) Pendapat Tasrif di atas, mengungkapkan beberapa tahap dalam alur maju. 2.3. Latar atau Setting Suatu cerita dapat terjadi pada suatu tempat atau lingkungan tertentu. Tempat dalam hal inim ernpunyai ruang lingkup yang sangat luas termasuk nama kota, desa, sungai, gunung, lembah, sekolah, rumah), toko, dan lain-lain. Unsur tempat sangat mendukung terhadap perwatakan tema, alur serta unsur yang lain. Seseorang yang hidup di lingkungan sekolah tentu secara umum akan mempunyai watak yang berbeda dengan orang yang tinggal di lingkungan kebun. Atau seseorang yang dibesarkan di desa tentu akan memiliki walak yang berbeda dengan orang yang lahir dan dibesarkan di kota (secara umum). Unsur waktu juga bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu cerita. Suatu cerita dapat terjadi pada suatu saat tertentu misalnya pada abad XX, pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, ketika musim hujan, ketika musim semi, tahun, bulan, hari dan sebagainya. Lingkungan terjadinya peristiwa-peristiwa atau suasana cerita seperti orang-orang di sekitar tokoh atau juga benda-benda di sekitar tokoh termasuk ke dalam latar belakang atau setting. Dalam hal ini Atar Semi (1984:38) mengatakan: "Latar atau landas lampu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini adalah, tempat atau ruang yang dapat diamati, seperti di kampus, di sebuah puskesmas, di dalam penjara, di Paris dan sebagainya. Termasuk di dalam unsur latar atau kerumunan orang yang berada di sekitar tokoh, juga dapat dimasukan kedalam unsur latar, namun tokoh itu sendiri tentu tidak termasuk." Latar belakang setting bukanlah hanya sebagai pelengkap dalam suatu cerita. Unsur ini sangat mendukung terhadap unsur yang lain seperti tema, perwatakan. Tempat terjadinya peristiwa, waktu terjadinya peristiwa dalam suatu cerita tentu tentu tidak dipilih begitu saja oleh pengarang, tetepi juga disesuaikan dengan tindakan tokoh cerita, pesan yang hendak disampaikan pengarang, atau hal lain. Keberhasikan suatu cerita tentu sangat tergantung kepada keharmonisan (keterpaduan) unsur-unsur tadi. 2.4. Perwatakan Biasanya di dalam suatu cerita fiksi terdapat tokoh cerita atau pelaku cerita. Tokoh cerita bisa satu atau lebih. Tokoh yang paling banyak peranannya di dalam suatu cerita di sebut tokoh utama. Antara tokoh yang satu dengan yang lain ada keterkaitan. Tindakan tokoh cerita ini merupakan rangkaian peristiwa antara satu kesatuan waktu dengan waktu yang lain. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tokoh tentu ada penyebabnya dalam hal ini adalah tindakan-tindakan atau peristiwa sebelumnya. Jadi mengikuti atau menelusuri jalannya cerita sama halnya dengan mengikuti perkembangan tokoh melalui tindakan-tindakannya. Robert Stanton dalam Semi (1984:31) menyatakan, "Yang dimaksud dengan perwatakan dalam suatu fiksi biasanya dipandang dari dua segi. Pertama: mengacu kepada orang atau tokoh yang bermain dalam cerita; yang kedua adalah mengacu kepada perbauran dari minat, 2004 Digitized by USU digital library 4

keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu yang bermain dalam suatu cerita". Jadi perwatakan mengacu kepada dua hal yaitu tokoh itu sendiri dan bagaimana watak atau kepribadiaan yang dimiliki oleh tokoh tersebut. Dalam suatu cerita fiksi, pengarang menggambarkan atau memperkenalkan bagaimana watak sang tokoh melalui dua cara yaitu dengan terus terang pengarang menyebutkan bagaimana sifat tokoh dalam cerita misalnya keras kepala, tekun, sabar, tinggi hati atau yang lain, dan yang kedua yaitu pengarang menggambarkan watak tokoh melalui beberapa hal seperti pemilikan nama, penggambaran melalui dialog antara tokoh dalam cerita. 3.1. Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis BAB III PEMBAHASAN 3.1.1. Sinopsis Daeng Mela yang kemudian digelari Na Mora Pande Bosi adalah seorang pahlawan. Pada waktu Malaka jatuh ke tangan Portugis, Daeng Mela mundur, dan ingin kembali ke negrinya Bugis. Namun dia harus menempuh jalan darat demi keselamatan dirinya sendiri. Dia memulai perjalanan dari Labuhan Ruku dan sampai di Negeri Baru, yang sama ini terkenal sebagai pelabuhan besar'. Di sana Daeng Mela melapor kepada Raja Hatongga, dan menceritakan kepandaiannya sebagai pandai besi, sekaligus mendemonstrasikan bagaimana cara membuat cangkul, kampak, bajak, parang, tombak dan macam-macam lagi. Caranya bekerja bukanlah seperti orang biasa, besi yang sudah dibakar bisa dibengkokkan dan ditipiskan tanpa alat, cukup dengan menggunakan tangannya. Raja Hatongga sangat heran, dan takjub. Akhirnya Daeng Mela sangat disegani di kampung itu, sampai raja merestui perkawinannya dengan adik perempuan Raja, yang bernama Lenggana. Sesuai dengan adat Tapanuli Selatan, maka Daeng Mela diberi marga yaitu Lubis. Daeng Mela kini berganti nama menjadi Na Mora Pande Bosi Lubis. Sebagai maharnya, Na Mora Pande Bosi Lubis hanya memberi tiga helai kain tenun petani. Demikianlah kedua insan ini membentuk keluarga di Lobu Hatongga dengan sebidang tanah, dan perumahan yang diberikan raja Mereka cukup berbahagia setelah lahir putra kembar, yaitu Sultan Bugis, dan Sulatan Berayun. Suatu ketika Na Mora Pande Bosi Lubis pergi berburu ke tempat yang lebih jauh dari sebelumnya, di Hamaya Tonggi yang terkenal angker. Sampai enam kali dia menyumpit burung, kena dan jatuh ke tanah, namun tak pernah jumpa. Begitu pula pada penyumpit yang ke tujuh kali membuat dia kesal dan marah. Tiba-tiba muncullah seorang gadis cantik terjadilah dialog. Na Mora Pande Bosi Lubis begitu terpesona melihat gadis itu, akhirnya dia mengikuti gadis tadi sampai ke tempat tinggalnya, dan keduanya menjadi suami istri. Kerajaan Hatongga menjadi heboh, raja memerintahkan semua orang untuk mencari Na Mora Pande Bosi Lubis. Terakhir gong sakti dipukul (dibunyikan) Na Mora Pande Besi Lubis sadar, dan dia kembali pulang menemui istrinya dengan membawa keris tidak bersarung lagi. Di negeri bunian istri kedua. Na Mora Pande Bosi Lubis melahirkan anak kembar diberi diberi nama Si Langkitang dan Si Baetang. Setelah besar, kedua anak ini pergi mencari ayalmya sesuai dengan petunjuk ibunya, dan ternyata impian 2004 Digitized by USU digital library 5

mereka terkabul. Keluarga Na Mora Pande Bosi menerima kedua anak itu sebagai anggota keluarga, sama seperti anaknya kandung. Suatu ketika terjadi perkelahian antara Sultan Bugis dengan Si Langkitang, gara-gara berebut putri paman, yang akhimya dimenangkan oleh Si Langkitang. Karena mereka saling berkelahi, maka sang ibu membela anak kandungnya, selia menyuruh kedua anak itu pergi. Kedua anak itu pergi, dan mereka sampai di Singengu. Singengu adalah daerah pegunungan yang tinggi dari apabila menatap dari puncaknya, masih tampak Lobu Hatongga. Di sana dengan suara yang keras si Langkitang bersumpah agar keluarga Na Mora Pande Bosi Lubis di Lobu Hatongga akan punah. Demikian sumpah Si Langkitang di dengar Empu Mula Jadi Nabolon sehingga keturunan Na Mora Pade Bosi Lubis tidak berkembang menurunkan marga Lubis di daerah itu. 3.2 Tema Tema pada cerita Na Mora Pande Bosi Lubis dapat ditentukan dengan mengamati awalnya yang mengungkapkan persoalan-persoalan yang paling klimaks dari keseluruhan cerita tersebut. Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis mempunyai alur konflik mulai memuncak dan klimaks ketika diperdaya putri bunian yang sedang berburu) dimana semua hasil buruan hilang tidak kelihatan, akhirnya putri bunian menampakkan diri dan mengakui bahwa semua hasil buruannya diambilnya melihat kecantikan putri bunian itu Na Mora Pane Bosi Lubis terpesona dan memperistrikannya di negeri bunian. Ketika putri bunian lagi hamil, Na Mora Pande Bosi Lubis tersadar setelah mendengar suara gong yang memanggilnya bahwa dia berada di negeri bunian. Na Mora Pnade Bosi Lubis akhirnya kembali pulang ke Lobu Hatongga menemui istrinya setelah menitip sarung kerisnya kepada putri bunian. Putri bunian pun melahirkan anak kembar, kedua anak itu diberi nama Si Langkitang dan Baetang. Setelah mereka besar kedua anak itu pergi mengembara mencari ayah mereka Pada suatu tempat mereka menemukan pekerjaan membuat peralatan dari bahan besi yang kebetulan milik Na Mora Pande Bosi Lubis. Kedua anak kembar itu mempunyai ketrampilan yang diwarisi dari ayah mereka. Melihat itu Na Mora Pande Bosi sangat simpati lalu menawarkan agar mereka tinggal bersama keluarganya. "Panggil mereka masuk dan beri makan! "Kata Na Mora Pande Bosi Lubis. Kedua anak itu sangat menikmati perhatian Na Mora Pande Bosi Lubis. Timbullah rasa kasihan pada kedua anak itu dan Na Mora Pande Bosi Lubis menawarkan supaya tak usah meneruskan perjalanan tetapi tetap tinggal bersama keluarga Na Mora Pande Bosi Lubis (Sukapiring dan Jhonson Pardosi, 1990: 127). Si Langkitang dan Baetang kini sudah dianggap menjadi anggota keluarga Na Mora Pande Bosi Lubis. Pada mulanya hubungan mereka sangat harmonis tetapi keharmonisan itu lama kelamaan berubah menjadi pertengkaran antara Sutan Bugis dengan Si Lengketang. Pasalnya karena perebutan cinta dari pariban Sutan Bugis. Perkelahian pun tidak dapat dihindari. Pada suatu hari Lenggana ibu mereka memanggil Si Baetang karena tidak tahan lagi melihat perkelahian. Lenggana menanyakan maksud dan tujuan mereka berkeliaran. Si Baetang menjawab, bahwa tujuan mereka untuk berkelana untuk mencari ayah mereka dan sebagai tanda identitasnya dia menunjukkan sarung keris milik ayah mereka. Lenggana lain memberitahukannya kepada suaminya & Na Mora Pande Bosi Lubis terkejut melihat sarung keris itu karena sarung keris itu tertinggal ketika bersama putri bunian. Na 2004 Digitized by USU digital library 6

Mora Pande Bosi Lubis sangat senang dan haru bahwa dia telah berjumpa dengan anaknya. "Dengan parau ia pun berkata kepada Si Baetang: "Sarung keris ini adalah milik saya dan kamu berdua adalah anak kandungku. Kedua makhluk Tuhan itu pun berpelukan sambil mencucurkan air mata tanda gembira" (Sukapiring dan Jhonson Pardosi, 1990: 128). Pada suatu hari, terjadi lagi perkelahian antara Sutan Bugis dengan Si Langkitang. Perkelahian itu sangat seru yang menyebabkan Sutan Bugis luka-luka yang mengena keris Si Langkitang. Lenggana ibu Sutan Bugis merasa tidak senang melihat kejadian itu. Lenggana menyuruh Si Langkitang dan Si Baetang meninggalkan Lobu Hatongga. Mendengar perkataaan itu Na Mora Pande Bosi Lubis tidak dapat memberi komentar dan menyetujuinya. Si Langkitang dan Si Baetang berangkat dengan dendam membara di hati mereka hingga tiba pada suatu tempat mengutuk agar keturunan NA Mora Pande Bosi Lubis punah.dengan suara yang keras dan lantang berserulah Si Langkitang: "Hai keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di Lobu Hatongga...Punahlah... kamu sekalian... (Sukapiring dan Jhonson Pardosi, 1990: 129). Melihat dari urutan dari kontak Sampai klimaks dapatlah diambil kesimpulan bahwa tema dari cerita Na Mora Pande Bosi ini adalah "Kasih sayang orang tua yang berpihak akan merusak hubungan anak". 3. 3 Alur/Plot Alur merupakan rangkaian kejadian mau peristiwa dalam suatu cerita. Sebelum menentukan bagaimana alur cerita Na Mora Pande Bosi Lubis terlebih dahulu digambarkan bagaimana cerita ini berjalan, sesuai dengan pembagian cerita oleh S. Tasrif. Pembagian itu meliputi lukisan keadaan, peristiwa mulai bergerak, keadaan mulai memuncak, peristiwa memuncak dan penyelesaiannya. Mula-mula pengarang melukiskan suatu keadaan disebut situation. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis maka daeng Mela. sebagai seorang pejuang yang kalah dalam perang terpaksa mundur dan berencana pulang ke kampungnya di Bugis. Di tengah diperjalanan, setelah meninggalkan negeri Barus yang pada Baat itu terkenal sebagai pelabuhan besar dia melapor kepada raja setempat yaitu kerajaan Hatongga. Dia menceritakan keahliannya dan sekaligus mendemostrasikan caranya menempa alat-alat pertanian dan alat perang secara menakjubkan Raja heran dan takjub, senang terhadap Daeng Mela, karena senangnya raja merestui perkawinan Daeng Mela dengan adik perempuannya, Lenggana. Mereka hidup bahagia apalagi setelah dikaruniai dua orang anak (kembar) Sutan Bugis dan Sutan Berayun. "Portugis pada masa itu mempunyai alat perang yang sempuran sehingga Daeng Mela dan pahlawan-pahlawan lainnya terpaksa menyerah dan bermaksud pulang kembali ke negerinya Bugis" (Peraturen dari Jhonson, 1990: 121). "Na Mora Pande Bosi Lubis sangat banyak jasanya sehingga akhirnya raja pun mengizinkan dan merestui perkawinannya dengan adiknya perempuan". (Peraturen dan Jhonson, 1990:122). "Setelah setahun berlalu perkawinan mereka dikarunia oleh tuhan dua orang putra kembar. Dua orang putra kembar itu dinamai Sutan Bugis dan Sutan Berayun". (Peraturen dan Jhonson, 1990:123). 2004 Digitized by USU digital library 7

Keadaan mulai bergerak atau disebut Generating Circumastance, yaitu setelah daeng Mela (Na Mora Pande Bosi Lubis) pergi berburu dan berjumpa dengan seorang putri bunian yang cantik dan mempesona yang akhirnya dikawininya Kerajaan Hatongga heboh, istrinya cemas. Setelah gong sakti dipukul akhirnya Na Mora Pande Bosi dapat kembali ke rumah berkumpul dengan istri dan anak-anaknya. Di negeri bunian, tempat istrinya putri bunian telah melahirkan dua orang anak kembar Si Langkitang dan Si Baetang. Setelah besar Si langkitang dan Baetang pergi mencari ayahnya ke arah matahari terbenam, kemudian mereka berjumpa dengan ayahnya. Mereka ini diterima dengan baik oleh keluarga Na Mora Pande Bosi. Pada mulanya mereka cukup bahagia atas kedatangan kedua anak ini namun kemudian mulailah terjadi perselisihan antara Si Langkitang (anak putri bunian) dengan Sutan Bugis karena saling merebut putri pamannya yang cantik. Selama ini Sutan Bugis telah berpacaran dengan puri pamannya tetapi dengan kedatangan Si Langkitang, membuat Sutan Bugis membenci Si Langkitang. "Si Langkitang lebih menarik perhatian putri raja yang mengakibatkan pindah cintanya pada anak dari istri bunian itu. Hal ini diketahui oleh Sutan Bugis. Hal ini menimbulkan benci dan marah Sutan Bugis pada Si Langkitang". (Peraturen dan Jhonson, 1990:127). Kebencian dan perasaan dendam memang tidak selamanya dapat dipendam. Demikianlah Sutan Bugis semakin hari semakin berang dan membenci Si Langkitang, dia tidak ingin kalau putri pamannya jatuh dalam pelukan Si Langkitang. Akhirnya terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis dengan Si Langkitang. Sutan Bugis kalah, hal ini membuat dia semakin ganas. Peristiwa ini dapat digolongkan ke dalam rising action (keadaan mulai memuncak). "Terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis dengan Si Langkitang. Tetapi dalam perkelahian ini Sutan Bugis kalab, ia menderita luka-luka". (Peraturan dan Jhonson,1990:127). Kebencian semakin membara perselisihan semakin memanas apalagi setelah Sutan Bugis kalah dalam perkelahian. Dia semakin berang dan ganas. Terjadilah perkelahian sengit Sutaan Bugis kalah dan menderita luka-luka akibat tusukan keris. Peristiwa ini merupakan klimaks (puncak) dalam cerita ini. "Tak lama setelah itu, terjadi lagi perkelahian yang lebih mengkhawatirkan. Mengakibatkan Sutan Bugis menderita luka-luka yang mengena keris yang di tangannya sendiri" (Peraturen dan Jhonson, 1990: 129). Kejadian tadi membuat istri Na Mora Pande Bosi tidak senang dan untuk menjaga suasana damai dalam rumahnya sendiri, dia menyuruh kedua anak dari putri bunian itu Si langkitang clan Baetang) untuk pergi. Kedua anak itu diberi perbekalan tombak untuk menjaga diri, trulduk untuk serunai, dan sumpit untuk menangkap burung. Sebelumnya istri Na Mora Pande Bosi telah bersabar diri menasehati supaya mereka jangan berkelahi mereka adalah saul ayah. Nasehat itu tidak mereka indahkan akhirnya anak anak itu harus pergi dari rumah itu. Menurut Na Mora Pande Bosi dan istrinya keputusan ini merupakan suatu penyelesaian yang tepat. Namun bagi Si Langkitang, keputusan ini sangat menyakitkan. Dia berusaha agar keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis punah. Peristiwa ini merupakan akhir dari cerita ini yang disebut Denoument. 2004 Digitized by USU digital library 8

"Untuk menjaga suasana damai berkatalah istri Na Mora Pande Bosi Lubis supaya kedua anak yang datang itu meninggalkan Lobu Hatongga. Hal ini disetujui Na Mora Pande Bosi (Peraturen dan Jhonson, 1990:129). Si Langkitang dan Si Baetang kini telah berada di Singengu yaitu nama tempat yang sangat tinggi. Dari tempat ini Lobu Hatongga kelihatan sangat indah. Dendam sangat membara di hati Si Lengkitang, maka dengan lancang dia berkata: "Hai...keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis yang berada di Lobu Hatongga...Punah sekalian...!. Perkataan Si Langkitang di dengar Tuhan yang Maha Esa maka semua perkataan dan kutukan Si Langkitang dikabulkan. "Dengan suara yang keras dan lantang berserulah Si Langkitang ke bawah: "Hai keturunan Na Mora Pnde Bosi Lubis yang tinggal di Lobu Hatongga...punahlah...kamu sekalian...! Kalimat ini diucapkan tiga kali. Rupanya sumpah ini diterima oleh Tuhan. Hingga sampai sekarang keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis, Sutan Bugis yang kawin dengan boru tulangnya itu tinggal seorang lagi, itu pun anak perempuan yang tinggal di Sagalangan sekarang". Dari urutan peristiwa dalam cerita ini, dapat dilihat bahwa peristiwa berjalan terus dari awal sampai akhir. Tidak ada peristiwa yang kembali ke belakang, hal seperti ini dapat digolongkan ke dalam alur lurus. Begitu juga hubungan peristiwa yang satu dengan yang lainnya sangat erat, semua peristiwa dalam cerita mendukung-terhadap jalannya cerita dan juga lema cerita. Dalam hal ini tergolong kepada alur cepat. 3.4 Latar atau Setting Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya baik latar atau setting meliputi tempat, ruang, waktu, termasuk juga lingkungan dari suasana terjadinya peristiwa. Termasuk benda-benda yang ada dalam peristiwa tersebut. Dalamcerita Na Mora Pande Bosi juga dijumpai beberapa latar seperti tempat, waktu, suasana, ruang juga benda-benda (alat-alat) yang berhubungan dengan cerita satu sama lain mempunyai hubungan atau keterkaitan. Satu persatu latar tersebut akan diuraikan di bawah ini. Mula-mula dilukiskan bagaimana Daeng Mela seorang Bugis terdampar di suatu tempat setelah mengalami kekalahan perang, dan juga kapan peristiwa itu terjadi. "Kata yang empunya cerita tersebutlah seorang pahlawan yang bernama Daeng Mela. Ia terdampar di tepi panttai kualuh dalam perjanannya pulang ke negeri Bugis. Pada masa itu terjadi peperangan Malaka melawan Portugis, pada tahun 1511 (Peraturen dan Jhonson, 1990: 121). Apa yang melatarbelakangi kekalahan Daeng Mela dan kawan-kawannya dalam menghadapi Portugis, adalah peralatan perang yang tidak seimbang. "Portugis pada masa itu mempunyai alat perang yang sempurna sehingga Daeng Mela dan pahlawan pahlawan lainnya terpaksa menyerah..." (Peraturen dan Jhonson, 1991:121). Dapat dimengerti bagaimana seorang pahlawan yang kalah dalam perang masih dapat menyelamatkan diri, dengan cara sembunyi-sembunyi supaya terhindar dari pandangan musuh. 2004 Digitized by USU digital library 9

"Kata yang empunya cerita tersebutlah seorang pahlawan yang bernama Daeng Mela. Ia terdampar di tepi sungai kualuh dalam perjalanannya pulang ke negeri Bugis. Pada masa itu terjadi peperangan Malaka melawan Portugis pada tahun 1951" (Peraturen dan Jhonson, 1991:121). Di kerajaan Hatongga Daeng Mela harus melaporkan diri, karena dia seorang pendatang ke kampung tersebut, "Daeng Mela pun sampai ke tempat itu, orang harus melaporkan diri pada raja Hatongga yang pada waktu itu bertempat tinggal di Parniakan" (Peraturen dan Jhonson, 1991: 122). Daeng Mela adalah seorang pandai besi yang dapat menempa alat-alat peristiwa seperti tertera pada kutipan di bawah ini. "Ia membuat cangkul, kampak, bajak, patung, tombak, pedang dan alat-alat pertanian serta alat-alat perang dalam sekejap saja. Caranya setelah besi dibakarnya dengan api ia lalu membentuknya dengan tangannya" (Peraturen dan Jhonson, 1990: 122). Dapat dipahami betapa pentingnya alat-alat pertanian untuk bertanian pada waktu itu. Apalagi pada masa itu merupakan masa-masa yang sulit untuk mendapatkan peralatan tersebut mengingat belum begitu majunya teknologi. Justru itu raja sangat sayang pada Daeng Mela. "Raja sangat sayang pada Daeng Mela alias Na Mora Pande Bosi Lubis hingga pada masa kekuasaannya ia sangat disegani oleh raja yang ada disekitarnya" (Peraturen dan Jhonson, 1990: 122). Dengan kepandaiannya menempa alat-alat pertanian raja sangat sayang kepada Daeng Mela. Tidak hanya sampai di situ raia, raja PWI merestui perkawinan Daeng Mela dengan adik perempuannya yang bernama Lenggana. Kemudian Daeng Mela diberi marga Lubis sesuai dengan adat yang berlaku di Tapanuli Selatan, namanya menjadi Na Mora Pande Bosi Lubis. Pesta perkawinan mereka berlangsung cukup lama dan waktu itu Na Mora Pande Bosi Lubis hanya memberi tiga helai kain tenunan petani sebagai maharnya (ganti emas). "Pada perkawinan itu Na Mora Pnde Bosi Lubis tidak mempunyai emas sebagai maharnya, dan sebagai gantinya diserahkanlah tiga helai tenunan petani...pada perkawinan itu dilaksanakan di rumah raja di Parmiakan dan berlangsung selama satu bulan lamanya" (Peraturen dan Jhonson, 1990: 123). Padang si Genduk, tor Simulak-mulak anjing, dan hananya Jonggi adalah tempat perburuhan bagi Na Mora Pande Bosi Lubis. Suatu saat dimana dia dipermainkan oleh seorang putri bunian, "Demikianlah hari itu setiap burung yang disumpitnya kena dan jatuh ke tanah. Tetapi setelah dicarinya burung itu tidak pernah berjumpa, sampai burung ke enam" (Perahuen dan Jhonson, 1990:124). 2004 Digitized by USU digital library 10

Kemudian dalam cerita ini suatu latar tempat seorang putri bunian tinggal, dimana Na Mora Pande Bosi Lubis terperdaya untuk tinggal di tempat itu dalam waktu yang agak lama. "Tiga bulan sudah berlalu Na Mora Pande Bosi Lubis tidak pulang ke rumahnya, dan dia pun telah memperistri putri bunian yang cantik itu" (Peraturen dan Jhonson, 1990:125). Dari peristiwa tersebut di kerajaan Hatongga, istri Na Mora Pande Bosi itu menjadi sangat cemas, kemudian raja memerintahkan untuk gong sakti agar Na Mora Pande Bosi Lubis segera pulang ke rumahnya. Akhirnya. setelah lelah mencari tidak juga bersua, raja memerintahkan untuk memalu gong sakti untuk memanggilnya" (Peraturen dan Jhonson, 1990:125). Istri Na Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di negeri bunian melahirkan anak kembar. Setelah besar kedua anak kembar itu pergi mencari ayahnya. Suasana dalam rumah tangga Na Mora Pande Bosi Lubis atas kedatangan anak tadi, pada mulanya berjalan dengan tenang. "Kedua anak itu pun tinggalah bersamanya dan kalau dulunya hanya dua orang anaknya sekarang sudah bertambah dua orang lagi, setiap harinya mereka membantu di ladang dan mereka hidup bahagia" (Peraturen dan Jhonson, 1990:127). Kebahagiaan itu tidak bertahan lama, situasi kacau balau dalam keluarganya. "Terjadilah perkelahian antaraa Sutan Bugis dengan Si Langkitang.Tetapi dalam perkelahian itu Sutan Bugis kalah, ia menderita luka-luka. Ibunya sangat sedih..." (Perahuen dan Jhonson, 1990: 127). Satu lagi latar belakang tempat kedua anak putri bunian mengucapkan sumpah kebenciannya kepada sutan Bugis, setelah mereka berdua diusir dari rumahnya oleh ibu Sutan Bugis. "Demikianlah mereka berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu tebing ke tebing lain, dari tebing yang sangat tinggi mereka melihat ke bawah, tebing yang bernama Singengu lebih ataslah Hatongga...Dengan suasana yang keras dan lantang berserulah Si Langkitang ke bawah: Hai keturunan..." (Peraturen dan Jhonson,1990:129). 3.5 Perwatakan Berbicara tentang penyatakan berarti harus berbicara dengan tokoh dan tingkah lakunya dan sifat-sifatnya dalam suatu cerita. Di dalam cerita Na Mora Pande Bosi Lubis terdapat beberapa orang tokoh yang akan diuraikan satu persatu. Mereka itu adalah Daeng Mela yang kemudian diberi nama Na Mora Pande Bosi Lubis, Lenggana, Sutan Bugis, Si Langkitang, Putri paman, Sutan Berayun dan raja Hatongga. Na Mora Pande Bosi Lubis dapat digolongkan sebagai tokoh sentral atau sebagai tokoh utama dalam cerita ini. Dari awal cerita sampai akhir, namanya paling sering disebut, bahkan untuk mengetahui jalan cerita. ini sama halnya dengan mengikuti atau menelusuri perkembangan tokoh ini. Hanya saja pada akhir cerita kedudukan tokoh ini digantikan oleh anaknya Sutan Bugis. Na Mora Pande Bosi Lubis adalah seorang pejuang (pahlawan) pada masa kedatangan dan kedudukan Portugis di Malaka. Sebagai seorang bekas pejuang dia memiliki keberanian seperti berburu ke hutan ke suatu tempat yang jauh dari 2004 Digitized by USU digital library 11

Labuhan. Ruku, bahkan sampai ke negeri Barus. Dia tidak gentar menghadapi apa yang terjadi ketika sedang berburu. "Jarak yang begitu jauh, lautan yang hendak dilalui begitu luas dan sudah dikuasai pula oleh Portugis hingga Daeng Mela terpaksa memutuskan memilih jalan damai.dia memulai perjanannyaa dari Labuhan Ruku ke negeri Barus" (Peraturen dan Jhonson, 1990: 12). "Daerah pemburuannya ialah ke padang Sigenduk, tor Simulak-mulak anjing dan Hananya Jonggi" (Peraturen dan Jhonson, 1990: 124). "Setiap burung yang disumpitnya kena dan jatuh ke tanah...namun burung itu tidak dijumpainya di tanah...lalu dia pun berkata "Siapa yang berani mengambil undanku, berani mengambil hasil sumpitanku keluarlah!!!!! (peraturen dan Jhonson, 1990: 124 ) Daeng Mela adalah seorang yang mempunyai kelebihan dari yang lain, terbukti dia dapat menempa alat-alat pertanian secara praktis dan ajaib. "Ia membuat cangkul, kampak, bajak, tombak, pedang dan alat-alat pertanian serta alat-alat perang dalam sekejab saja caranya setelah besi dibakarnya dengan api dia laiu membentuknya dengan tangannya. Ia tidak mempergunakan alat (Perahturen dan Jhonson, 1990:122), Sebagai seorang pendatang baru di kerajaan Hatongga dan ia berasal dan daerah yang berbeda, Na Mora Pande Bosi Lubis termasuk orang yang pandai beradaptasi. Ia sangat disenangi oleh raja Hatongga dan seluruh masyarakatnya "Raja sangat sayang pada Daeng Mela alias Na Mora Pande Bosi Lubis hingga pada masa kekuasaannya ia sangat disegani oleh raja yang ada disekitarnya. Na Mora Pande Bosi Lubis sangat banyak jasanya sehingga akhirnya dia dinikahkan dengan adik perempuan raja atau iboto raja" (Peraturen dan Jhonson, 1990:123). Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan Na Mora pande Bosi Lubis, di samping mempunyai kelebihan juga memiliki kelemahan-kelemahan. Ia dapat diperdaya putri bunian, begitu juga ketika anak-anaknya berkelahi dia tidak dapat mengatasinya, akhirnya kedua anaknya harus pergi. "Karena terpesona akan kecantikan paras putri bunian itu dengan tiada disadarinya diikutkannyalah putri bunian itu sampai ke tempat tinggalnya" (Peraturen dan Jhonson, 1990: 125). "Untuk menjaga suasana damai, berkatalah istri Na Mora Pande Bosi Lubis supaya kedua anak yang datang itu meninggalkan Lobu Hatongga Hal ini disetujui oleh Na Mora Pande Bosi Lubis" (Peraturen dan Jhonson, 1990: 129) Lenggana adalah tokoh yang bertindak sebagai istri Na Mora Pande Bosi Lubis. Dia adalah seorang istri yang mencintai suaminya Ketika suaminya tidak pulang ke rumah, akibat godaan putri bunian, dia merasa cemas dan segera melapor kepada raja supaya cepat dicari. Begitu juga terhadap anak dia penuh dengan kasih 2004 Digitized by USU digital library 12

sayang, dan selalu memberi nasehat. Bahkan kedua anak dari putri bunian juga diterima dan diperlakukan sebagai anak sendiri. Akhirnya memang kedua anak itu disuruh pergi) tetapi sebagai tanda kasih sayang terhadap anak, mereka memberi peralatan untuk menjaga diri dan mencari makan. "Hal ini sangat mengkhawatirkan istri Na Mora Pande Bosi Lubis. Ia melapor pada raja. Raja pun memerintahkan semua Orang mencari Na Mora Pande Bosi" (Peraturen dan Jhonson) 1990: 129) "... Berangkatlah kedua anak itu dengan dibekali tombak yang gunanya untuk menjaga diri, tanduk serunai bila mereka berpisah di dalam hutan, sumpit untuk menyumpit makanan mereka" (Peraturen dan Jhonson) 1990:129). Raja Halongga seorang raja yang berkuasa pada saat itu di kerajaan Halongga. Dia termasuk orang yang terbuka sifatnya dan sangat mengagumi seseorang yang ahli seperti Na Mora Pande Bosi Lubis seorang pandai besi yang dapat menempa berbagai macam alat pertanian dan alat perang. "Raja pun takjub serta heran melihat Daeng Mela Setelah hal tersebut Daeng Mela dinamai Orang kampung Hatongga Na Pande Bosi') (Peraturen dari Jhonson, 1990:122). Tokoh lain yaitu Sutan Bugis (anak dari Na Mora Pande Bosi Lubis), adalah seorang anak yang sangat mencintai putri pamannya sehingga dia rela meneteskan darah karena sering berkelahi dengan Si Langkitang agar putri pamannya tidak lepas dari ; genggamannya. "...Sampai pada suatu ketika terjadilah hal yang tidak disangka-sangka karena perebutan putri Hatongga mempunyai seseorag gadis yang sangat cantik "...Terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis dan Si Langkitang. Tapi dalam perkelahian ini Sutan Bugis kalah, dia menderita luka-luka (Peraturan dan Jhonson 1990: 127). Si Langkitang adalah seorang tokoh yang berani dan kuat. Bersama saudaranya dan mencari ayahnya, tanpa memperdulikan bahaya dan resiko di tengah perjalanan yang begitu jauh, begitu juga dengan perkelahiannya dengan Sutan Bugis, dia selalu menang. Di samping itu dia memiliki sifat dendam yang begitu dalam dengan menyumpah keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis agar punah,...dengan suara yang keras dan lantang berserulah Si Langkitang ke bawah, Hai... keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di Lobu Hatongga... punahlah...') (Peraturen dan Jhonson, 1990: 129). Putri paman adalah seorang gadis yang cantik yang tidak memiliki pendirian yang menetap, terbukti dia mengalihkan cintanya kepada Si Lengkitang yang kebetulan lebih ganteng dari Sutan bugis. 2004 Digitized by USU digital library 13

BAB IV Kesimpulan 4.1 Kesimpulan Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis adalah cerita rakyat berasal dari Tapanuli Selatan, mengisahkan perjalanan hidup seorang bugis yang diangkat menjadi bagian dari masyarakat setempat karena telah menikah dengan saudara kandung raja. Cerita ini mempunyai struktur konvensional sebagai ciri-ciri dari cerita rakyat. Hal ini dapat dilihat dari Tema, alur, latar dan karakter saling mendukung dan mengikat satu dengan yang lainnya. Keterpaduan unsur unsur pembentuk tersebut menjadikan cerita tersebut rnudah dimengerti oleh masyarakat luas. Tema cerita Na Mora Pande Bosi Lubis adalah kasih sayang orang tua yang berpihak akan merusak hubungan anak. Tema ini dapat disimpulkan dengan cara menganalisa alur cerita tersebut dimana klimaksnya berada pada keperpihakan kasih sayang orang tua. Alur cerita Na Mora Pande Bosi Lubis mengikuti pola alur maju dimana perkenalan, konflik, konflik mulai mernuncak, klimaks dan penyelesaian uraikan secara bertahap sampai akhir cerita. Latar atau setting cerita Na Mor Pande Bosi mengungkapkan Suatu tempat dan waktu yang ada di Tapanuli Selatan seperti Pardomuan, Lobu Hatongga, dan Padang Sidernpuan serta waktu kejadian-kejadian yang berlaku pada masyarakat setempat. Perwatakan cerita mengungkapkan tokoh protagonis dan Antagonis serta mengungkapkan sifat-sifat dari semua tokoh yang terdapat pada cerita tersebut. 4.2. Saran Diharapkan kepada seluruh masyarakat diharapkan dapat berpatisipasi dalam hal penggalian, pembinaan dan pendokurmntasian hasil karya sastra daerah agar keberadaannya dapat diwakilkan kepada generasi yang akan datang. Daftar Pustaka Aruan, Stephanus, 1974. Turi turian Ni Halak batak, Sipoholon Danandjaya, James. 1984. Folklor Indonesia, Jakarta: Grafiti Press Erfina, Ririen. 1991. Aji Pamasa dan Aji panurat. Medan: firma Maju Esten, Mursal. Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Poerwadaminta,W.J.S, 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan da Kebudayaan. Semi, Atar,1985. Anatomi Sastra. Padang : Angkasa Raya Shangti, Batara.1977.Sejarah Batak Balige 2004 Digitized by USU digital library 14

Sidjabat, W.B 1982. Ahu Sisingmangaraja. Jakarta: Sinar harapan Sihombing, T.M.1985, Jambar Hata. Jakarta: Tulus Jaya Sudjiman, Panuti, 1986. Kamus Leksikal Sastra. Jakarta: Gramedia, 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Tambunan, E.H.1982. Sekelumit mengenai Batak Toba dan kebudayaannya. Bandung: Tarsito. Teeuw, A 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Usman, Zuber.1963. Kesusastraan Indonesia Lama. Jakarta : Gunung Agung, 1973. Ensiklopedia Umum Indonesia. Yogyakarta ; Kanisius 2004 Digitized by USU digital library 15