BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Selama menjelajah Nusantara, ia telah menempuh jarak lebih dari km dan berhasil mengumpulkan spesimen fauna meliputi 8.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayai dan Ekosistemnya;

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 165 TAHUN 2000 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN DAERAH 1. Inventarisasi Hutan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. produk-produk yang mempunyai keterkaitan dengan sektor pariwisata.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR)

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

Perjanjian Kerjasama Tentang Pengembangan dan Pemasaran Produk Ekowisata Taman Nasional Ujung Kulon.

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,

AA. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. benua dan dua samudera mendorong terciptanya kekayaan alam yang luar biasa

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

BAB I PENDAHULUAN. hewan langka di Indonesia yang masuk dalam daftar merah kelompok critically

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

SMP NEGERI 3 MENGGALA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG

STUDI METODE KONSERVASI EXSITU PADA BUAYA MUARA (Crocodylus porosus) DI DESA TERITIP KECAMATAN TERITIP KABUPATEN BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR SKRIPSI

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

PELESTARIAN BAB. Tujuan Pembelajaran:

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan, oleh

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan masyarakat Indonesia, 40 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung pada keanekaragaman hayati. Masyarakat menggunakan lebih dari 6.000 spesies tanaman dan hewan untuk kehidupan sehari-hari (Rhiti, 2002). Perkembangan penduduk dan kebutuhannya pada beberapa negara di dunia mempunyai dampak langsung terhadap kondisi kawasan konservasi. Di Indonesia, tekanan ini dapat dilihat dari kondisi banyaknya kawasan konservasi yang mengalami degradasi. Peningkatan kebutuhan menyebabkan banyak penduduk mengusahakan kawasan konservasi sebagai lahan usaha. Hal ini merupakan salah satu penyebab degradasi habitat alami bagi satwa (Sihite, 2005) sebagaimana Firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 41 yang berbunyi: öνßγ =yès9 (#θè=ïηxå Ï%!$# uù èt/ Νßγs)ƒÉ ã Ï9 Ä $ Ζ9$# Ï ƒr& ômt6 x. $yϑî/ Ì óst7ø9$#uρ Îh y9ø9$# Îû ߊ$ x ø9$# t yγsß tβθãèå_ö tƒ Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, sehingga Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Menurut Quraish Shihab kerusakan yang terjadi di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan dari tangan manusia yang durhaka, sebagai akibat dari perbuatan manusia itu maka Allah memberikan sedikit kepada mereka 1

2 sebagian dari akibat yang mereka lakukan agar mereka kembali ke jalan yang benar. Menurut Kewang (2000), lebih dari 11 ribu spesies tanaman dan binatang terancam punah yang disebabkan oleh manusia. Indonesia termasuk salah satu negara yang banyak melakukan aktifitas perburuan selain negara Brazil, India dan China. Punahnya spesies tersebut karena adanya degradasi habitat alami dan hilangnya habitat alami yang disebabkan oleh aktifitas manusia misalnya perburuan secara liar dan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang dapat mengancam eksistensi spesies. Laporan ini dikeluarkan World Conservation Union atau lebih dikenal sebagai International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Di Indonesia terdapat empat jenis buaya dari 21 jenis buaya yang ada di dunia. Ke empat buaya tersebut adalah Buaya Siam (Crocodilus siamensis), Buaya Irian (Crocodilus novaeguinea), Buaya Julung atau Sunyulong (Tomistoma schegelii), dan Buaya Muara (Crocodilus porosus). Ke empat spesies ini telah dinyatakan langka dan dilindungi berdasarkan SK Menteri Kehutanan No:301/Kpts.11/1911. Oleh karena itu, untuk menghindari kemusnahan ke empat spesies buaya tersebut diupayakan dengan melakukan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Sarwono, 1993). Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya, dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Dengan pengertian tersebut, pemanfaatan sumber daya alam hayati dan

3 ekosistemnya harus dilandasi oleh prinsip pemanfaatan secara lestari (UKSDA,2008). Pengamanan keanekaragaman jenis selain dapat dilakukan dengan cara insitu akan lebih baik pula dilakukan secara exsitu. Berbagai badan usaha baik milik pemerintah maupun swasta mencoba menangkarkan seperti Badak Sumatra, buaya, ular, Jalak Bali dan lainnya. Tujuannya adalah untuk memperbesar jumlah individu dalam populasi jenis sehingga pemanfaatannya tidak perlu mengganggu keseimbangan populasi alami (Irwan, 2003). Data terbaru menunjukkan bahwa Buaya Muara (Crocodylus porosus) dimasukkan dalam daftar CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Appendix II sebagai satwa yang hanya boleh diperdagangkan dari hasil penangkaran dan dalam jumlah terbatas. Pemanfaatan satwa yang telah dimasukkan dalam daftar Appendix harus memperhatikan kuota yang telah ditetapkan (Setiadi, 2000). Data dari Park and Wildlife Service (2005) menyebutkan bahwa populasi Buaya Muara di Australia bagian utara setelah tahun 1971 telah masuk dalam daftar CITES Appendix II. Pada tanggal 28 Juni 1979, semua populasi Buaya Muara kecuali yang berasal dari Papua New Guinea pindah dalam daftar CITES Appendix I. Seiring dengan membaiknya populasi, populasi Buaya Muara di Indonesia dan Australia telah pindah statusnya dari Appendix I ke Appendix II pada tahun 1985. Pemindahan populasi ke Appendix II diikuti dengan diizinkannya pembukaan kembali industri yang berorientasi pada ekspor Buaya Muara.

4 Pada habitat aslinya, Buaya Muara sangat sulit bertahan hidup karena banyaknya predator di habitatnya dan keadaan lingkungan yang kurang mendukung. pada periode 5 tahun ke depan hanya 5% yang bisa bertahan dan ada juga yang mengatakan bahwa hanya 1% persen dari jumlah telur yang menetas dapat bertahan sampai umur 5 tahun (Lindy, 2007). Upaya penangkaran buaya belakangan ini semakin banyak digemari karena buaya memiliki komoditas unggulan untuk dibuat tas, sepatu, koper dan produk kulit lainnya. Terutama pada Buaya Muara karena buaya ini merupakan spesies dengan ukuran terbesar diantara ke empat spesies lainnya, memiliki ukuran panjang mencapai tujuh sampai sepuluh meter dengan berat kurang lebih 1000 kg. Habitatnya pada muara laut, sungai yang besar dan danau. Sedangkan penyebarannya berada di seluruh perairan Indonesia (Ross dan Garnett, 1989). Berkurangnya populasi Buaya Muara disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, kerusakan habitat yang disebabkan pembalakan liar sehingga habitat alami buaya mengalami degradasi, perburuan secara liar dan lemahnya pengetahuan dari masyarakat setempat mengenai pelestarian lingkungan khususnya pada Buaya Muara (Ariantiningsih, 2008). Untuk menangani hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan usaha pelestarian Buaya Muara yang bertujuan untuk menjaga dari ancaman kepunahan. Pelestarian Buaya Muara dapat dilakukan dengan cara konservasi insitu dan exsitu. Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 1 No 2 da No 4. Konservasi secara insitu dilakukan dengan identifikasi, inventarisasi, pemantauan, pembinaan habitat dan populasinya, pengamatan,

5 pengkajian, penelitian dan pengembangan. Tujuan dari konservasi insitu adalah menghindari dari kepunahan, menjaga jumlah individu dalam populasi jenis sehingga pemanfaatannya tidak perlu mengganggu keseimbangan populasi alami. Untuk konservasi exsitu dilakukan dengan pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian dan pengembangan, rehabilitasi satwa dan penyelamatan satwa. Tujuannya adalah untuk menambah dan memulihkan populasinya, menyelamatkan sumberdaya genetik dan populasi jenis satwa (CNRM, 2007). Pelaksanaan konservasi insitu dan exsitu harus tetap memperhatikan kesejahteraan satwa. Pada pelaksanaan konservasi exsitu untuk mengurangi penderitaan satwa yang di kurung seperti yang di alami satwa di kebun binatang, selayaknya diterapkan Animal Welfare atau kesejahteraan satwa. Pengertian kesejahteraan satwa menurut asosiasi kebun binatang Eropa adalah kondisi satwa baik secara fisik maupun psikologis melalui ketersediaan kondisi spesies seperti yang seharusnya ada di alam, meliputi tempat tinggal, lingkungan, makanan, kesehatan, dan hubungan sosial (WSPA dan KSBK, 2002). Salah satu sumberdaya paling potensial di Kalimantan Timur adalah wilayah konservasi yang selama ini kurang mendapat perhatian dari PEMDA setempat. Salah satunya adalah wilayah konservasi Buaya Muara (Crocodilus porosus) yang terletak di Desa Teritip Kecamatan Balikpapan Timur Kota Balikpapan Kalimantan Timur. Lemahnya pengetahuan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan menjaga kelestarian lingkungan, serta pemanfaatan berlebihan tanpa melihat dampak yang ditimbulkan dari exploitasi merupakan faktor yang menyebabkan kurangnya kesadaran masyarakat setempat mengenai pentingnya konservasi. Seperti tercantum dalam Keputusan Menteri

6 Kehutanan Nomor 19 Tahun 2004 Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 1 No 1. dan pasal 3 No 4. Potensi peran daerah perlu lebih dipahami, karena secara langsung bahwa kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi (dan juga fungsi lainnya seperti produksi dan lindung) berada di wilayah administratif daerah. Pemerintah daerah sangat memahami kondisi aktual dan kebutuhan bagi pengelolaan yang terbaik. Selain itu, kawasan konservasi merupakan bagian integral dari tata ruang daerah, sehingga pengelolaan terbaik juga sangat terkait dengan kepentingan pembangunan daerah (Angi, 2007). Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai studi metode konservasi exsitu pada Buaya Muara di Kelurahan Teritip Kalimantan Timur. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah metode penangkaran Buaya Muara (Crocodylus porosus) di Desa Teritip Kecamatan Balikpapan Timur Kota Balikpapan Kalimantan Timur? 1.3 Tujuan Penelitian Mengetahui metode penangkaran Buaya Muara (Crocodylus porosus) di Desa Teritip Kecamatan Balikpapan Timur Kota Balikpapan Kalimantan Timur.

7 1.4 Manfaat Penelitian 1. Menambah informasi tentang penangkaran Buaya Muara (Crocodylus porosus) 2. Sebagai inforrmasi tambahan dalam akademisi dan pihak-pihak terkait dalam bidang ini. 1.5 Batasan Masalah 1. Penelitian dilakukan di wilayah penangkaran buaya CV. Surya Raya di Desa Teritip Kecamatan Balikpapan Timur Kota Balikpapan Kalimantan Timur 2. Buaya yang diamati adalah spesies Buaya Muara (Crocodylus porosus) 3. Ruang lingkup Konsep kesejahteraan satwa (Animal Welfare)