ANALISIS PENAMBAHAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (ALLIUM SATIVUM L.) TERHADAP MUTU PRODUK MIE BASAH MATANG

dokumen-dokumen yang mirip
BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

III. BAHAN DAN METODE

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN

SKRIPSI. STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT. Oleh NANDA HADITTAMA F

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. ulangan. Faktor pertama adalah jenis pati bahan edible coating (P) yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODA. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2013 di Laboratorium Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian bertempat di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN

METODE. Materi. Rancangan

III. BAHAN DAN METODE

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

Laporan Tugas Akhir Pembuatan Sabun Mandi Padat Transparan dengan Penambahan Ekstrak Lidah Buaya (Aloe Vera) BAB III METODOLOGI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian B. Bahan dan Alat

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk -

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Penelitian ialah menggunakan pola faktorial 4 x 4 dalam

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium kimia Analis Kesehatan,

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama ± 2 bulan (Mei - Juni) bertempat di

BAB III METODE PENELITIAN

bengkuang (Pachyrrhizus erosus) dan buah pisang yang sudah matang (Musa paradisiaca) yang diperoleh dari petani yang ada di Gedong Tataan dan starter

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan

BAB III METODE PENELITIAN. dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

BAB III METODE PENELITIAN

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

MANISAN BASAH JAHE 1. PENDAHULUAN 2. BAHAN

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan dan

BAB III MATERI DAN METODE. Mozzarela dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 di Laboratorium Kimia dan

MANISAN KERING JAHE 1. PENDAHULUAN 2. BAHAN

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian dan

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Universitas

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015.

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian, (3) Prosedur Penelitian, dan (4) Jadwal Penelitian

METODE PENELITIAN. pembuatan vermikompos yang dilakukan di Kebun Biologi, Fakultas

Atas kesediaan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih.

BAB III METODOLOGI. A.2. Bahan yang digunakan : A.2.1 Bahan untuk pembuatan Nata de Citrullus sebagai berikut: 1.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Industri Rumah Tangga Produksi Kelanting MT,

BAB V METODOLOGI. Alat yang digunakan pada praktikum penelitian, meliputi alat autoklaf

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimen di Bidang Teknologi Pangan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan November 2016 di Laboratorium

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian mengenai Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan berdasarkan metode Experimental dengan meneliti

BAB III METODE PENELITIAN. selulosa Nata de Cassava terhadap pereaksi asetat anhidrida yaitu 1:4 dan 1:8

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan

Bab III Metodologi Penelitian

BAB V METODOLOGI. 5.1 Alat dan Bahan yang Digunakan Alat yang Digunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat Dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian dilakukan selama

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 sampai dengan bulan April 2015

BAB III METODOLOGI. Laporan Tugas Akhir Pembuatan Mouthwash dari Daun Sirih (Piper betle L.)

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama 5-6 bulan di Laboratorium Ilmu dan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. METODOLOGI PENELITIAN

Kadar air (%) = B 1 B 2 x 100 % B 1

BAB III METODE PENELITIAN. Faktor I adalah variasi konsentrasi kitosan yang terdiri dari 4 taraf meliputi:

PENDAHULUAN. Djoko Poernomo*, Sugeng Heri Suseno*, Agus Wijatmoko**

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian melalui eksperimen di bidang Ilmu Teknologi Pangan.

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Blanching. Pembuangan sisa kulit ari

BAB III METODE PENELITIAN

EKSTRAKSI MINYAK SEREH DAPUR SEBAGAI BAHAN FLAVOR PANGAN I N T I S A R I

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

BAB V METODOLOGI. Dalam percobaan yang akan dilakukan dalam 3 tahap, yaitu:

METODE Lokasi dan Waktu Materi Bahan Pakan Zat Penghambat Kerusakan Peralatan Bahan Kimia Tempat Penyimpanan

ANALISIS KOMPOSISI KIMIA PADA PEMBUATAN MAKANAN TRADISIONAL EMPEK-EMPEK PALEMBANG BERBAHAN BAKU DAGING, KULIT DAN TULANG IKAN GABUS

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan Universitas Diponegoro, Semarang untuk pembuatan

Transkripsi:

ANALISIS PENAMBAHAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (ALLIUM SATIVUM L.) TERHADAP MUTU PRODUK MIE BASAH MATANG Wirasti 1), Eko Mugiyanto 2) 1,2 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Pekajangan Pekalongan email: wirasti.kharis@gmail.com Abstrak Mie basah yang beredar di pasaran dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu mie basah mentah (kering) dan mie basah matang. Mie basah mentah tidak dimasak terlebih dahulu sebelum dijual dan memiliki kadar air kurang dari 30%, sedangkan mie basah matang melalui perlakuan terlebih dahulu sehingga mengandung kadar air sekitar 50%. Inilah yang menyebabkan mie basah matang dengan cepat mengalami kerusakan walaupun disimpan pada lemari pendingin. Salah satu usaha yang dilakukan untuk mempertahankan keawetannya yaitu dengan mencampurkan bahan kimia pengawet non pangan yang dilarang penggunaannya oleh pemerintah Indonesia, seperti formalin dan boraks. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan alternative larutan pengawet mie basah matang yang efektif, murah, dan aman dalam penelitian ini digunakan larutan Ekstrak bawang putih yang dikombinasikan dengan cuka yang beredar dipasaran. Hasil orientasi, larutan biang yang diperoleh yaitu campuran cuka pasar dan ekstrak bawang putih hasil maserasi pelarut air (larutan biang A) dan maserasi pelarut etanol (larutan biang E) dengan perbandingan cuka pasar:ekstrak bawang putih 7:3. Larutan pengawet yang digunakan pada perlakuan utama merupakan hasil pengenceran 5% (larutan A1, E1), 10% (larutan A2, E2), dan 15% (larutan A3, E3) dari masing-masing larutan biang. Hasil penelitian utama menunjukkan bahwa larutan pengawet A dan E mampu mempertahankan umur simpan mie basah matang hingga penyimpanan 4 hari. Larutan pengawet A2 yang memiliki kandungan asam asetat sebesar 1.75% merupakan larutan pengawet terbaik untuk mempertahankan mutu mie basah matang selama penyimpanan. Keywords: Bawang putih, Allium sativum, mie basah, mutu 1. PENDAHULUAN Menurut Badan Standardisasi Nasional (1992), mie basah didefinisikan sebagai produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, serta berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan. Ditinjau dari proses pembuatannya, mie basah yang beredar di pasaran dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu mie basah mentah dan mie basah matang. Mie basah mentah tidak melalui proses pematangan lebih dahulu sebelum dijual dan memiliki kadar air sekitar 35%, sedangkan mie basah matang dilakukan perebusan terlebih dahulu serta penambahan minyak, sehingga kadar airnya menjadi sekitar 52% (Astawan 2005). Karena kadar air yang tinggi inilah yang menyebabkan mie basah matang mengalami kerusakan yang lebih cepat walaupun disimpan pada lemari pendingin, selama 24 jam (Yuniar 2004). Berbagai bisa usaha dilakukan untuk mempertahankan keawetan mie basah matang, salah satunya dengan menambahkan bahan kimia pengawet yang ternyata banyak digunakan bahan pengawet non pangan yang dilarang penggunaannya oleh pemerintah Indonesia, seperti formalin ataupun boraks. Disebutkan dalam National Toxicology Program bahwa formalin 1153

dapat bersifat karsinogen pada manusia. Oleh karena formalin yang bersifat racun tersebut sehingga tidak termasuk dalam daftar bahan tambahan makanan (additive) pada Codex Alimentarius ataupun yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI (Winarno et al. 1994). Food Standard Committee (FSC) pada tahun 1959 dinyatakan bahwa oraks bersifat kumulatif (terjadinya penimbunan) yang dapat membahayakan tubuh manusia. Menurut Astawan (2005), boraks dengan kadar yang mencapai 5 gram atau lebih pada anak kecil dan bayi dapat menyebabkan kematian. Kandungan boraks pada orang dewasa yang dapat menyebabkan kematian yaitu 10-20 gram ataulebih. Penggunaan formalin sangat lazim digunakan oleh masyarakat sebagai pengawet dikarenakan dapat mengawetkan mie basah matang hingga 14 hari dengan biaya sekitar Rp 22.43/kg sehingga banyak digunakan oleh penjual mie basah matang. Menurut Ferdiani (2008), diketahui bahwa mie basah matang dapat diawetkan hingga 4 hari melalui coating asam asetat 2%. Namun dari sisi produknya masih memiliki rasa dan bau asam yang berasal dari asam asetat, sehingga menyebabkan mie kurang bisa diterima secara sensori sehingga diperlukan bahan tambahan lain yang dapat menutupi rasa asam. Berdasar permasalahan diatas perlu dicari pengawet alami yang dapat mempertahankan umur simpan mie basah matang serta bersifat aman dan ekonomis untuk mengurangi maraknya penggunaan formalin dan boraks di masyarakat. Penggunaan campuran asam asetat dari cuka yang beredar dipasaran dan ekstrak bawang putih pada produk mie basah matang sebagai bahan pengawet diharapkan dapat menggantikan formalin dan boraks serta dapat diterima secara organoleptik. Penggunaan ekstrak bawang putih digunakan untuk menutupi rasa dan bau asam pada produk akibat adanya asam asetat yang dapat mempengaruhi penerimaan produk secara organoleptik. 2. METODE PENELITIAN Bahan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang putih (Allium sativum L.), asam asetat berupa cuka pasar dengan merek Dixie, dan mie basah matang. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji mikrobiologi yaitu PCA (Plate Count Agar), larutan pengencer, dan alkohol 70%. Bahan bahan yang digunakan untuk analisis total asam tertitrasi adalah NaOH 0.1 ml, asam potasium phtalate (KHP), dan indikator phenoftalein (PP). Aquades dan etanol 70% digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi bawang putih Alat Alat-alat yang digunakan diantaranya gelas piala, labu takar, gelas ukur, pipet, sudip, baskom, penyaring, pisau, pengaduk, dan plastik HDPE. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah Ph meter, bunsen, buret, erlenmeyer, Chromameter, Rheoner, cawan petri, mikro pipet, dan tabung pengencer. Orientasi formula Orientasi formula bertujuan untuk memperoleh formulasi campuran cuka pasar yang mengandung asam asetat dengan ekstrak bawang putih yang memiliki Ph3 serta rasa yang tidak asam. Pada penelitian pendahuluan dilakukan tahapan pendahuluan pada bawang putih, ekstraksi bawang putih menggunakan metode perebusan dan maserasi, pencampuran (mixing) ekstrak bawang putih dengan asam asetat, pengukuran Ph larutan, pencicipan rasa larutan, dan pemilihan larutan terbaik. 1154

Preparasi Ekstraksi Bawang Putih Bawang putih yang digunakan pada penelitian ini berumur 4 bulan. Bawang putih yang akan diekstraksi sebelumnya diberi perlakuan pendahuluan yang bertujuan untuk memperoleh proses ekstraksi yang efisien. Perlakuan pendahuluan ini juga dapat mempermudah pengeluaran senyawa aktif dari bawang putih selama proses ekstraksi. Terdapat beberapa perbedaan perlakuan pendahuluan antara bawang putih yang diekstraksi dengan perebusan dan bawang putih yang diekstraksi dengan maserasi. Ekstraksi bawang putih dengan perebusan dilakukan terhadap bawang putih segar dan bawang putih yang telah dikeringkan. Tahapan pendahuluan pada bawang putih segar yaitu pengupasan, pengecilan ukuran, dan pememaran. Bawang putih dikupas dari kulit tipis berwarna putih yang menjadi pemisah antar siungnya. Tahapan pendahuluan pada bawang putih kering tidak berbeda jauh dengan bawang putih segar. Pengeringan bawang putih dilakukan dengan menjemur bawang putih di bawah sinar matahari selama 20 menit, disebut juga proses pelayuan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penetrasi pelarut ke dalam bawang putih Bawang putih yang dijemur akan mengalami kerusakan pada jaringannya, sehingga pelarut yang dikontakkan ke bawang putih akan lebih mudah berpenetrasi dan mengekstrak komponen aktif. Bawang putih yang diekstraksi dengan maserasi bertingkat dan maserasi pelarut air diberi perlakuan pendahuluan yang sama. Ekstraksi dengan Perebusan Ekstraksi bawang putih dengan metode perebusan dilakukan terhadap bawang putih segar dan bawang putih yang telah dikeringkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perlakuan pendahuluan bawang putih yang dapat menghasilkan ekstrak terbaik. Pengekstrakan dilakukan dengan perebusan agar diperoleh ekstrak bawang putih yang mengandung komponen aktif larut air dan bisa dicampurkan dengan asam asetat yang merupakan asam organik dan bersifat larut air. Metode perebusan bawang putih diperoleh berdasarkan penelitian Yohana (2007) yang melakukan ekstraksi pada bawang putih menggunakan metode perebusan dengan perlakuan perbandingan konsentrasi bawang putih : pelarut dan waktu perebusan. Hasilnya yaitu bawang putih yang direbus selama5 menit dengan perbandingan bawang putih : pelarut sebanyak 1 : 5 menggunakan suhu 100 O c menghasilkan rendemen sebesar 45.44%. Ekstrak ini memiliki kemampuan antimikroba terbaik dibandingkan perlakuan lainnya. Tahapan persiapan terhadap bawang putih yang diekstrak yaitu pengupasan bawang putih dan pememaran. Ekstraksi perebusan bawang putih dilakukan menggunakan pelarut air dengan perbandingan bawang putih dan pelarut yaitu 1:5. Ekstraksidilakukan selama 5 menit pada suhu 100 O c. Sebanyak100 grbawang putih segar yang telah mengalami perlakuan pendahuluan direbus dalam 500 ml air mendidih (100 O c). Waktu perebusan selama 5 menit dihitung sejak air mencapai suhu 100 O c. Ekstrak bawang putih yang diperoleh selanjutnya dicampurkan dengan asam asetat 25% dengan perbandingan asam asetat : ekstrak (0:10);(3:7);(5:5);(7:3) dan (10:0). Ekstraksi dengan Maserasi Proses ekstraksi bawang putih dengan metode maserasi dilakukan dengan maserasi bertingkat dan maserasi pelarut air. Perbandingan antara bahan dan pelarut adalah 1:4 (w/v) dan proses ekstraksi dilakukan selama 24 jam dengan alat shaker (Nuraini 2007). Ekstraksi maserasi bertingkat pada bawang putih menggunakan tiga macam pelarut, yaitu heksan, etil asetat, dan etanol. Ekstraksi bertingkat ini bertujuan untuk memperoleh komponen bawang putih sebagai hasil akhir yang bersifat polar, komponen aktif yang bersifat polar dapat bercampur dengan asam asetat (cuka pasar) 1155

yang juga bersifat polar pada proses pencampuran. Metode ekstraksi maserasi air dilakukan untuk mendapatkan ekstrak bawang putih yang mengandung komponen aktif yang bersifat larut air. Pelarut air yang bersifat polar akan mengekstrak komponen aktif pada bawang putih yang bersifat polar. Air yang digunakan berasal dari aqua destilata (aquades). Ekstrak bawang putih yang diperoleh dari maserasi bertingkat maupun maserasi pelarut air masing-masing dicampurkan dengan asam asetat 25% dengan perbandingan konsentrasi cuka pasar dan ekstrak (8:2);(7:3);(6:4) dan (5:5). Larutan yang terpilih untuk penelitian utama yaitu larutan yang memiliki Ph3 serta rasa yang tidak asam. Untuk selanjutnya larutan terpilih ini disebut sebagai larutan biang. A hasil pencampuran asam asetat dengan ekstrak bawang putih yang dimaserasi menggunakan pelarut air; E hasil pencampuran asam asetat dengan ekstrak bawang putih yang dimaserasi menggunakan pelarut etanol; K Mie basah matang control; A1, A2 dan A3 Larutan pengawet asam asetat : ekstrak bawang putih maserasi air yang diencerkan 5%, 10% dan 15% dari larutan biang; E1, E2 dan E3 Larutan pengawet asam asetat : ekstrak bawang putih maserasi etanol yang diencerkan 5%, 10% dan 15% dari larutan biang. Perlakukan Utama Pada penelitian utama dilakukan pengenceran larutan biang, optimasi pengenceran larutan biang, dan penyimpanan mie basah matang yang telah dicelup larutan biang hasil optimasi. Larutan biang yang diperoleh dari masing-masing tahap ekstraksi diencerkan, besar pengencerannya 10%;20% dan 30%. Selanjutnya, dilakukan pencelupan mie basah matang ke masing- masing larutan tersebut dan penyimpanan. Pengamatan secara visual terhadap mie basah matang dilakukan untuk mengetahui larutan yang dapat mempertahankan mutu mie selama penyimpanan hingga mie mengalami kerusakan. Larutan yang memiliki kemampuan mempertahankan mutu mie basah matang paling lama kemudian dijadikan patokan/titik tengah untuk proses optimasi pengenceran. Pada proses optimasi, dilakukan pengenceran kembali terhadap larutan biang yang besar pengencerannya (x-5);x dan (x+5) dimana x menunjukkan besar pengenceran larutan biang terbaik yang mampu mempertahankan mutu mie basah matang secara visual. (x-5) dan (x+5) menunjukkan optimasi pengenceran dari larutan biang. Selanjutnya dilakukan pencelupan mie basah matang ke dalam larutan hasil optimasi tersebut. Pencelupan Mie Sampel mie basah matang yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari industri rumah tangga. Larutan terpilih dari masing-masing jenis ekstraksi (larutan biang) diencerkan sebanyak 10%, 20%, dan 30%. Mie basah matang lalu dicelupkan ke larutan tersebut. Besar pengenceran yang dapat mengawetkan mie basah matang minimal 4 hari lalu dioptimalisasi menjadi tiga perlakuan konsentrasi, yaitu 5%, 10%, dan 15% dari larutan biang, kemudian mie basah matang dicelup ke larutan tersebut. Penggunaan metode pencelupan bertujuan untuk mengetahui efektifitas larutan pengawet dalam menghambat pertumbuhan mikroba selama mie basah matang mengalami penyimpanan. Penilaian Beberapa parameter yang digunakan dalam penilaian ini adalah Total Mikroba (Fardiaz 1992), ph, Total asam tertitrasi, Intensitas warna, tekstur, Organoleptik, analisis biaya dan penyimpanan. Pengolahan data menggunakan bantuan statistic. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Orientasi formula dilakukan ekstraksi bawang putih dengan metode perebusan dan maserasi. Kedua metode ini dilakukan untuk menemukan metode terbaik dan terekonomis sehingga dapat diperoleh ekstrak bawang putih yang dapat membuat larutan pengawet memiliki ph 3 serta rasa 1156

tidak asam. Larutan pengawet pada penelitian ini merupakan campuran dari cuka pasar dan ekstrak bawang putih. Cuka pasar yang digunakan mengandung 25% asam asetat. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ferdiani (2008) yang menyebutkan bahwa mie basah matang yang dicelup ke dalam asam cuka 2% yang berasal dari cuka pasar mampu mempertahankan umur simpan selama 4 hari dengan biaya pengawetan yang efisien, yaitu Rp0.027/kg mie basah matang atau sebesar Rp27/gr mie basah matang. Namun asam cuka 2% belum dapat diaplikasikan ke masyarakat karena masih meninggalkan rasa dan aroma asam pada mie basah matang. Pencampuran dengan ekstrak bawang putih diharapkan dapat menutupi rasa dan aroma asam yang dimiliki cuka pasar. Metode perebusan dilakukan sebagai salah satu metode ekstraksi bawang putih berdasarkan alasan ekonomis. Apabila metode perebusan dapat menghasilkan ekstrak bawang putih yang mampu menutupi rasa asam dari cuka pasar saat proses pencampuran, maka metode ini dapat lebih mudah diaplikasikan ke masyarakat. Jumlah ekstrak bawang putih segar yang diperoleh (370 ml) lebih banyak dibandingkan perolehan ekstrak bawang putih yang telah dijemur (320 ml). Proses pengeringan atau pelayuan dengan penjemuran mampu menguapkan air yang terkandung dalam bawang putih, sehingga bawang putih menjadi layu dan jumlah air dalam ekstrak menjadi berkurang. Ekstrakbawang putihsegar maupun kering masing-masing merupakan cairan berwarna putih yang memiliki bau bawang putih yang pekat. ph kedua ekstrak tersebut yaitu 6.15 untuk ekstrak segar dan 6.13 untuk ekstrak kering. Komponen aktif yang terekstrak dari bawang putih ini merupakan komponen yang bersifat larut air. Menurut Nagpurkar et al. (2000), komponen-komponen tersebut diantaranya senyawa turunan alisin yang larut air dan merupakan senyawa dari turunan sistein, yaitu S-alilsistein, S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein. Komponen larut air dari alisin lebih stabil dibandingkan komponen larut minyaknya. Ekstraksi maserasi bertingkat pada bawang putih menggunakan tiga macam pelarut, yaitu heksan, etil asetat, dan etanol.hasil maserasi dengan heksandan etil astat berupa kerak yang lengket, berwarna coklat, dan menempel pada wadah ekstraksi. Sementara itu, maserasi menggunakan pelarut etanol menghasilkan ekstrak sebesar 97.5 ml. Ekstrak ini berwujud cairan agak kental berwarna kuning pekat yang memiliki bau bawang putih yang cukup kuat. Ekstrak ini terdiri dari komponen polar bawang putih seperti alisin dan senyawa turunannya, ajoene, dan dithiin (Block 1985). Ekstrak bawang putih dengan pelarut etanol memiliki ph sebesar 5.86. Metode ekstraksi maserasi air dilakukan untuk mendapatkan ekstrak bawang putih yang mengandung komponen aktif yang bersifat larut air. Pelarut air yang bersifat polar akan mengekstrak komponen aktif pada bawang putih yang bersifat polar. Ekstrak bawang putih yang dihasilkan memiliki warna kuning pekat, tekstur agak kental, dan berbau bawang. Ekstrak bawang putih ini mengandung komponen bawang putih yang larut air, seperti S-alilsistein, S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein. Komponen bawang putih larut air ini diharapkan dapat larut saat pencampuran dengan asam asetat yang merupakan asam organik bersifat polar. ph ekstrak yang diperoleh yaitu sebesar 5.59. Ekstrak dari bawang putih yang direbus menggunakan air dicampurkan dengan cuka pasar. Kandungan asam asetat dalam cuka pasar yaitu 25%. Pengukuran ph dan pencicipan rasa larutan campuran secara subjektif menghasilkan data yang dapat dilihat pada Tabel 1. 1157

Maserasi bawang putih menggunakan pelarut air maupun etanol menghasilkan ekstrak bawang putih yang mengandung komponen polar. Komponen tersebut bertindak sebagai komponen citarasa dari bawang putih, diantaranya alisin, senyawa turunan sistein (S- alilsistein, S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein) (Nagpurkar et al. 2000), serta senyawa sulfida hasil dekomposisi dari alisin (ajoene dan dithiin) (Block 1985). Pada pencampuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih metode maserasi (air maupun etanol) digunakan konsentrasi ekstrak bawang putih yang lebih rendah. Hal ini dilakukan berdasarkan alasan ekonomis. Proses ekstraksi bawang putih metode maserasi menggunakan pelarut dan peralatan laboratorium yang lebih besar dari segi biaya jika dibandingkan dengan ekstraksi bawang putih metode perebusan. Penggunaan konsentrasi ekstrak bawang putih yang lebih rendah ini dilakukan untuk menekan biaya pengawetan, sehingga larutan pengawet yang dihasilkan tetap dapat terjangkau oleh produsan dan pedagang mie basah matang.hasil pengukuran ph dan pencicipan rasa dari larutan campuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih maserasi air dapat dilihat pada Tabel 2. Pada perlakuan utama, larutan biang A dan E diencerkan menjadi 10%,20%, dan 30%. Kandungan asam asetat yang terkandung pada masing-masing konsentrasi pengenceran 1,75;3,5 dan 5,25. Mie basah matang tanpa pencelupan (kontrol) memiliki warna, bau, dan tekstur yang normal pada penyimpanan hari ke-0. Hal ini menunjukkan mie basah matang berada dalam keadaan baik dan layak konsumsi. Perubahan terjadi pada penyimpanan hari ke 1 dan 2. Bau mie basah matang kontrol berkurang intensitasnya bila dibandingkan dengan bau mie basah matang normal. Selain itu, tekstur mie basah matang yang normalnya licin menjadi agak kesat. Pada penyimpanan hari ke 3 dan 4, bau mie basah matang kontrol menjadi lebih berkurang intensitasnya bila dibandingkan dengan bau mie basah matang hari ke-2. Mie basah matang tersebut menjadi berbau agak tengik. Hal ini disebabkan oleh reaksi oksidasi yang terjadi pada minyak kelapa yang melapisi permukaan mie. Warna mie pun menjadi lebih pucat. Selain itu, timbul tandatanda kerusakan mie basah matang yang lain, yaitu adanya lendir akibat aktivitas mikroba. Perkiraan umur simpan mie basah matang tanpa pencelupan yaitu selama 2 hari. Hal ini disebabkan memasuki penyimpanan hari ke- 3 dan ke-4 telah tampak tanda-tanda kerusakan pada mie basah matang, meliputi 1158

perubahan warna menjadi lebih pucat, adanya lendir, dan bau tengik. Mie basah matang yang dicelup larutan biang A dan E yang diencerkan10% memiliki bau, warna, dan tekstur yang normal selama penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4. Hal ini menunjukkan larutan 10% biang dapat mempertahankan mutu mie basah matang secara visual hingga 4 hari. Mie basah matang yang dicelup larutan hasil pengenceran biang A dan E sebesar 20% memiliki warna yang normal selama penyimpanan hari ke-0 hingga ke-4. Mie basah matang ini memiliki bau asam dari cuka yang telah tercium sejak penyimpanan hari ke-0. Bau asam cuka tetap tertinggal pada mie hingga penyimpanan hari ke-4. Tekstur mie basah matang tetap normal hingga penyimpanan hari ke-2 dan menjadi agak kesat (berkurang kelicinannya) di hari ke-3 dan ke-4. Larutan 20% biang ini dapat menghambat pertumbuhan mikroba penyebab timbulnya lendir pada mie, sehingga mie memiliki tekstur yang tidak berlendir. Larutan 20% biang dapat mempertahankan mutu mie basah matang secara visual hingga hari ke-4. Namun, bau asam dari cuka yang tetap tertinggal membuat mie basah matang kurang disukai secara organoleptik. Pencelupan mie basah matang dengan larutan 30% biang A maupun E mampu mempertahankan warna mie basah matang tetap normal hingga penyimpanan hari ke-4. Pada penyimpanan hari ke-0, mie basah matang telah memiliki bau asam dari cuka yang cukup menyengat. Pada penyimpanan hari ke-1 hingga ke-4, bau asam cuka bertambah kuat. Tekstur mie basah matang yang normal dapat dipertahankan hingga penyimpanan hari ke-2. Pada hari ke- 3 dan ke-4, mie basah matang menjadi agak kesat. Seperti halnya larutan biang 20%, larutan biang 30% pun dapat mempertahankan mutu mie basah matang secara visual hingga hari ke-4. Bau asam dari cuka yang tercium lebih kuat membuat mie basah matang ini tidak disukai secara organoleptik. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, diketahui bahwa larutan biang A dan E yang diencerkan sebesar 10% mampu mempertahankan mutu mie basah matang dari segi warna, bau, dan tekstur selama 4 hari. Hal ini menyebabkan pengenceran larutan biang A dan E dengan perbandingan 7:3 sebesar 10% menjadi batas tengah dari optimasi larutan biang. Optimasi larutan biang yang dilakukan yaitu dengan mengencerkan larutan biang 7:3 menjadi 5%, 10%, dan 15%. Tabel 3 menunjukkan besar optimasi pengenceran larutan biang beserta jumlah asam asetat yang dikandungnya.selanjutnya dilakukan pencelupan mie basah matang ke larutan biang yang dioptimasi dan penyimpanan mie hingga mengalami kerusakan. Analisis fisik, kimia, dan mikrobiologi pada mie basah matang yang diawetkan dilakukan setiap hari hingga terjadi kerusakan. Hasil analisis total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan A1, A2, dan A3 dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil analisis total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan 5%, 10%, dan 15% dari larutan biang E dapat dilihat pada Gambar 2 1159

Derajat keasaman (ph) menunjukkan kuantitas ion H+ yang terbentuk akibat penguraian molekul asam asetat dan pengaruhnya terhadap kualitas mie basah matang. Nilai ph juga menunjukkan pengaruh ion H+ dalam mie basah matang terhadap kemampuan mikroba untuk bertahan hidup didalamnya. ph mie basah matang selama penyimpanan yang dicelup dengan larutan pengawet hasil maserasi menggunakan pelarut air dapat dilihat pada Gambar 3 Nilai ph mie basah matang selama penyimpanan yang dicelup dengan larutan pengawet hasil maserasi menggunakan pelarut etanol (larutan E) dapat dilihat pada Gambar 4 4.KESIMPULAN Larutan pengawet pada penelitian ini dibuat dengan mencampurkan cuka pasar yang mengandung asam asetat 25% dan ekstrak bawang putih. Pencampuran bertujuan untuk memperoleh larutan pengawet yang memiliki ph 3 serta rasa yang tidak asam. Maserasi menggunakan pelarut air serta maserasi pelarut etanol merupakan metode ekstraksi yang tepat untuk mendapatkan ekstrak bawang putih yang dapat menghambat rasa asam dari asam asetat. Larutan pengawet yang menjadi larutan biang yaitu campuran asam asetat 25% dengan ekstrak bawang putih maserasi air perbandingan 7:3 (larutan A) dan asam asetat 25% dengan ekstrak bawang putih maserasi etanol perbandingan 7:3 (larutan E). Pada penelitian utama, digunakan larutan A dan E dengan konsentrasi 5% (Larutan A1, E1), 10% (larutan A2, E2), dan 15% (larutan A3, E3). Larutan terbaik yang dapat mempertahankan mutu mie basah matang selama penyimpanan yaitu larutan A2. Berdasarkan analisis total mikroba, larutan A2 mampu mempertahankan mutu mikrobiologi mie basah matang hingga penyimpanan hari ke-4, yaitu sebesar 2.5 x 105 koloni/g. Jumlah total mikroba mie basah matang ini tidakmelebihi syarat angka lempeng total berdasarkan SNI, yaitu sebesar 1.0 x 106koloni/g. Mie basah matang dengan pencelupan larutan A2 memiliki ph sebesar 4.20 serta nilai total asam sebesar 4.79% pada penyimpanan hari ke-4. Daftar pustaka Astawan, M. dan A.L. Kasih. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta BSN (Badan Standar isasi Nasional) (2004). SNI 01-6993-2004 Tentang Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Persyaratan Penggunaan dalam Produk Pangan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT. Gramedia, Jakarta. Nuraini A.D., 2007. Ekstraksi Komponen Antibakteri dan Antioksidan Dari Biji Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta 1160

Yuniar, Kiki. 2004. Kondisi Industri Rumah Tangga Pangan serta Aplikasi Penggunaan Pewarna dan Pengawet Pada Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian - IPB, Bogor.. 1161