BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil. Usia anak pada saat didiagnosis memiliki epilepsi berbeda-beda.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV LAPORAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. stimulus (Anurogo & Usman, 2014, h. 66). Epilepsi adalah kelainan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

STRATEGI KOPING PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA NASKAH PUBLIKASI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1 : Data Penunjang dan Kuesioner Strategi Penanggulangan Stres. Kuesioner Strategi Penanggulangan Stres

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas tinggi. Perkembangan masyarakat dengan kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan. Penyakit-penyakit kronis tersebut, di antaranya: kanker,

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Stres merupakan kata yang sering muncul dalam pembicaraan masyarakat

BAB IV ANALISIS DATA. A. Faktor-Faktor Penyebab Anak Terkena Epilepsi di Gubeng

BAB I PENDAHULUAN. maupun eksternal. Secara internal, kedaulatan NKRI dinyatakan dengan keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal yang tidak pasti dari kematian adalah waktu datang dan proses menjelangnya.

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRATEGI KOPING PADA PENDERITA PASCA STROKE

BAB I PENDAHULUAN. Bandung. Rumah sakit X merupakan rumah sakit swasta yang cukup terkenal di

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. PADA Sdr.W DENGAN HARGA DIRI RENDAH. DI RUANG X ( KRESNO ) RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. 1. Inisial : Sdr.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. beragam. Hal ini didukung oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, serta semakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

BAB I PENDAHULUAN. Nasional (Susenas) tahun 2010 di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Penelitian. Subjek NA, ARW, dan ITM adalah beberapa dari mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia yang memiliki luas wilayah

COPING STRESS PADA WANITA YANG MENGALAMI KEMATIAN PASANGAN HIDUP. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB V PEMBAHASAN. dan memiliki gangguan somatoform tipe konversi sejak tiga tahun yang. setalah subjek mengalami gangguan somatoform, subjek mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga

Sebagaimana yang diutarakan oleh Sarafino dan Smith (2012, h.29) bahwa stres memiliki dua komponen, yaitu fisik, yang berhubungan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang melakukan. pembangunan pada berbagai bidang. Dalam melaksanakan pembangunan dan

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan berdasarkan jenis kelamin yang sangat luas di semua Negara (Anker,

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

L1. Aktivis Gereja. Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

BAB I PENDAHULUAN. mencapai kebahagiaan seperti misalnya dalam keluarga tersebut terjadi

LAMPIRAN. repository.unisba.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

134 Perpustakaan Unika LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu di dunia ini melewati fase-fase perkembangan dalam

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu

BAB V PEMBAHASAN. anak menilai bahwa perilaku tantrum adalah suatu perilaku yang masih

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Penelitian. Tidak mudah bagi seorang ibu memiliki anak-anak

BAB VII CARA MENGHADAPI MASALAH WORK FAMILY CONFLICT. Walaupun berbagai dampak yang muncul akibat dari masalah work family

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PEDOMAN OBSERVASI. Observasi penelitian ini mengungkap : a. Kesan umum : kondisi fisik, penampilan dan perilaku subyek

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga merupakan salah satu impian bagi setiap individu yang

BAB I PENDAHULUAN. Definisi sehat sendiri ada beberapa macam. Menurut World Health. produktif secara sosial dan ekonomis.

STRATEGI KOPING PADA ORANG YANG MEMILIKI INDERA KEENAM (COPING STRATEGIES OF PEOPLE WHO HAVE SIXTH SENSE)

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang untuk dapat beraktivitas dengan baik. Dengan memiliki tubuh yang

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

BAB I PENDAHULUAN. PT. Pratama Abadi Industri adalah perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I. Indonesia terdiri dari beberapa pulau yang tersebar begitu luas dimana

BAB I PENDAHULUAN. yang menyenangkan, terampil dan pintar yang nantinya akan menjadi penerus dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan anak merupakan sebuah proses yang indah di mata

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus (Heward dan Orlansky, 1992) adalah anak dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. gunakan dalam menghadapi situasi stressfull (dalam Smet, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa sekolah bagi anak adalah masa yang paling dinantikan. Anak bisa

BAB III BEBERAPA UPAYA ORANG TUA DALAM MEMBINA EMOSI ANAK AKIBAT PERCERAIAN. A. Fenomena Perceraian di Kecamatan Bukit Batu

BAB I PENDAHULUAN. semangat untuk menjadi lebih baik dari kegiatan belajar tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era pasar bebas banyak tantangan dan persaingan harus dihadapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia, sama seperti halnya dengan semua binatang

5. DISKUSI, KESIMPULAN, DAN SARAN

LAMPIRAN A PEDOMAN OBSERVASI DAN WAWANCARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Sekolah merupakan sarana untuk menuntut ilmu yang di percaya

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak. merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN STRATEGI COPING PADA PENDERITA HIPERTENSI DI RSUD BANJARNEGARA

Perilaku Koping pada Penyandang Epilepsi

BAB I PENDAHULUAN. Deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit yang mematikan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organisation (WHO) tahun 2003 mendefinisikan sehat

Transkripsi:

BAB V PEMBAHASAN A. Rangkuman Hasil Usia anak pada saat didiagnosis memiliki epilepsi berbeda-beda. Anak subyek 1 didiagnosis epilepsi pada saat usia empat tahun, anak subyek 2 pada usia lima tahun, dan anak subyek 3 saat usia tiga bulan. Diagnosis jenis epilepsi pada anak juga berbeda. Anak subyek 1 memiliki epilepsi jenis lena dimana anak kehilangan fokus sementara sambil mengkedip-kedipkan matanya selama beberapa detik. Sedangkan anak subyek 2 memiliki epilepsi jenis grand mal, yaitu kejang yang terjadi hanya sebagian tubuh saja. Anak subyek 3 memiliki epilepsi dengan jenis parsial kompleks dimana kejang yang terjadi pada anak menyerang seluruh tubuh secara bertahap. Kejang dimulai dari mata lalu turun ke tangan dan kaki sampai ke seluruh tubuh. Subyek 1 mengalami situasi yang penuh tekanan sejak memiliki anak dan didiagnosis epilepsi. Subyek 1 mengalami kerenggangan hubungan dengan suaminya. Segala langkah yang dilakukan oleh subyek tidak pernah mendapatkan dukungan dari suaminya. Hal tersebut membuat subyek 1 mengalami tekanan. Berbeda dengan subyek 2, semenjak anaknya didiagnosis epilepsi, anak mengalami banyak kemunduran. Gangguan anak menjadi lebih kompleks dan ibu harus bisa membantu anak dalam keistimewaannya. Sedangkan anak dari subyek 3 mengalami epilepsi sebagai akibat dari virus CMV (Cytho Megalo Virus) yang menjangkitnya. Anak mengalami kejang secara terus-menerus dan berakibat pada syaraf otaknya. Hal tersebut 65

66 berakibat pada seluruh sistem gerak agak, sehingga anak mengalami keterlambatan perkembangan. Berdasarkan dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dan hasil dari angket terbuka yang diisi oleh ketiga subyek, didapatkan bahwa ketiga subyek memiliki permasalahan yang sama dan ada juga yang berbeda. Permasalahan yang muncul pada ketiga subyek telah peneliti rangkum dalam tabel berikut: Tabel 8 Permasalahan yang Muncul Pada Seluruh Subyek Permasalahan Subyek 1 Subyek 2 Subyek 3 Gangguan lain yang menyertai anak dengan epilepsi +++ +++ +++ Pengobatan anak ++ +++ +++ Bullying terhadap anak + + + Perkembangan anak - ++ +++ Permasalahan rumah tangga setelah memiliki anak dengan epilepsi +++ - - Keterangan: - : tidak muncul intensitas +++ : intensitas tinggi + : intensitas rendah ++ : intensitas sedang Selain itu, dalam menghadapi permasalahan diketahui bahwa ketiga subyek menggunakan kedua jenis koping yang terdiri dari

67 problem focused coping dan emotion focused coping. Penggunaan koping ketiga subyek telah dirangkum oleh peneliti dalam tabel berikut: Tabel 9 Koping yang Digunakan Seluruh Subyek Jenis koping Subyek 1 Subyek 2 Subyek 3 Positif Reappraisal (E1) + +++ +++ Accepting Responsibility (E2) ++ ++ +++ Self-control (E3) ++ ++ ++ Escape-avoidance (E4) +++ ++ + Confrontive coping (P2) +++ +++ ++ Seeking social support(p3) +++ +++ +++ Keterangan: - : tidak muncul intensitas +++ : intensitas tinggi + : intensitas rendah ++ : intensitas sedang Dalam proses menghadapi permasalahan, ketiga subyek memiliki strategi masing-masing. Sesuai dengan teori koping Richard Lazarus (dalam Sarafino & Smith, 2012, h. 134) yang dibagi menjadi dua jenis yaitu problem focus coping dan emotion focus coping. Problem focus coping cenderung dilakukan subyek dengan mengambil tindakan secara langsung pada inti permasalahan dengan cara mengatasi kekurangan yang ada pada anaknya supaya anaknya dapat mengikuti perkembangan yang seharusnya dilalui. Selain itu subyek banyak mencari dukungan informasi maupun dukungan emosi dari keluarga maupun rekan-rekan

68 di lingkungan sekitarnya. Sedangkan emotion focus coping cenderung pada sikap pasrah dan berserah diri pada apa yang terjadi dengan tetap berusaha untuk membawa anaknya pada kesembuhan. Koping lain yang muncul adalah menghindari permasalahan dilakukan untuk memperoleh ketenangan secara emosi dalam mengasuh anak dengan epilepsi. B. Pembahasan Dalam sebuah keluarga, mempunyai anak yang sehat secara fisik dan psikologis adalah harapan setiap orang tua. Harapan dan doa yang terbaik diucapkan untuk anak ketika anak terlahir. Tetapi pada kenyataannya, tidak semua keluarga dianugerahi anak yang sehat secara fisik maupun mental. Hal tersebut dapat memunculkan berbagai respon dari keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama dalam pengasuhan anak. Permasalahan akan timbul dalam proses ibu merawat dan hidup bersama anak yang butuh pendampingan khusus. Memiliki anak dengan epilepsi tidaklah mudah dalam menjalaninya. Banyak efek lain yang ditimbulkan dari epilepsi yang dimiliki pada masa anak-anak. Epilepsi pada masa anak-anak berhubungan dengan rendahnya prestasi belajar, rendahnya kontak sosial, cacat mental, dan banyaknya permasalahan secara psikologis dan perilaku (Wirastuti, Patria, & Machfudz, 2011, h. 100). Ketiga subyek mengakui bahwa anak-anaknya memiliki gangguan lain yang menyertai sebagai efek dari epilepsi yang dimiliki anak. Subyek 1 dan subyek 2 harus mendampingi anak secara khusus dalam proses belajar anak, karena anak memiliki gangguan fokus dan kesulitan dalam belajar. Motorik anak kurang dapat berkembang dengan baik sehingga anak

69 masih memerlukan bantuan orang lain. Beberapa anak dengan epilepsi mengalami keterlambatan perkembangan yang disebabkan oleh keabnormalan yang terjadi pada otak (Dakwa & Mudyahoto, 2013, h. 361). Hal tersebut terjadi pada anak dari subyek 3, dimana anak mengalami keterlambatan perkembangan semenjak usia tiga bulan. Selain itu anak subyek 3 juga didiagnosis memiliki gangguan autis. Epilepsi disebabkan oleh berbagai etiologi dengan gejala khas yaitu serangan yang terjadi secara tiba-tiba dan berulang ang disebabkan oleh lepas muatan listrik kortikal. Anak yang memiliki epilepsi memerlukan terapi yang sesuai karena kejang yang dialami anak akan berdampak pada kualitas hidup anak baik secara sosial, mental dan fisik (Mustarsid, Nur, Setiawati, & Salimo, 2011, h. 302). Adanya gangguan lain yang menyertai anak dengan epilepsi membuat anak harus menjalani beberapa terapi. Terapi yang dilakukan oleh ketiga subyek adalah terapi obat. Anak diharuskan untuk mengkonsumsi obat secara rutin untuk mencegah terjadinya kejang. Subyek 1 mengakui ketika anaknya mengkonsumsi obat anti epilepsi, motorik anak menjadi lemah. Hal tersebut juga terjadi pada subyek 2 dimana motorik anak tidak bekerja dengan baik sehingga anak lambat dalam menulis. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mustarsid, Nur, Setiawati, & Salimo (2011) bahwa obat anti epilepsi jika dikonsumsi secara terus-menerus dapat menurunkan aktivitas motorik dan psikomotor, penurunan konsentrasi dan gangguan memori. Subyek 3 mengalami permasalahan dalam pengobatan anak dimana anak sangat susah dalam minum obat secara rutin. Berbagai cara sudah dilakukan oleh subyek supaya anak mau minum obat, tetapi

70 tetap gagal. Perasaan kasihan pada anak membuat subyek 3 akhirnya juga tidak begitu memaksa anaknya minum obat. Hal itu menyebabkan anak menjadi tidak dapat check up secara rutin ke rumah sakit. Lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang terdekat dengan anak selain keluarga. Ketiga subyek menyekolahkan anaknya di sekolah anak berkebutuhan khusus. Sebelum menyekolahkan anaknya di sekolah anak berkebutuhan khusus, subyek 1 dan subyek 2 pernah menyekolahkan anaknya di sekolah umum dengan harapan anak dapat mengikuti pelajaran seperti anak-anak lainnya, tetapi dengan adanya gangguan belajar yang dialami anak, anak menjadi tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Selain itu, kekurangan yang ada pada anak dianggap aneh oleh anak-anak lain menyebabkan terjadinya bullying pada anak. Subyek 3 tidak pernah menyekolahkan anak di sekolah umum sebelumnya karena sejak awal subyek sudah menyadari adanya keterlambatan dalam segala hal pada anak. Oleh sebab itu, subyek 3 lebih memilih untuk mebawa anaknya ke tempat terapi dan mengikuti kelas sosialisasi di sebuah SD anak berkebutuhan khusus. Subyek 3 mengakui bahwa anaknya memiliki sedikit kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, tetapi subyek 3 tetap mencari cara agar anak dapat mengikuti pelajaran di sekolah lain dengan cara memberikan shadow teacher untuk mendampingi anak di sekolah. Kekhawatiran ibu akan masa depan anak dirasakan oleh ketiga subyek. Setelah anak didiagnosis epilepsi dan dokter mengatakan bahwa pengobatan akan membutuhkan waktu yang lama, subyek 2 merasakan pukulan dalam dirinya. Subyek 2 merasakan takut jika anaknya yang berjenis kelamin perempuan mengalami kesusahan di

71 masa depannya, terutama saat anak mengalami pubertas. Hal yang sama juga dirasakan oleh subyek 3. Usia anak sudah menginjak tujuh tahun tetapi belum bisa berbicara secara lancar dan belum bisa meninggalkan terapi-terapinya hingga saat ini. Kejang yang masih sering terjadi pada anak membuat subyek 3 selalu waspada pada segala kondisi. Subyek 3 selalu membawa obat kemanapun anak pergi dan belajar untuk menangani kejang pada anak jika tiba-tiba terjadi serangan. Biaya pengobatan yang harus dikeluarkan juga menjadi salah satu hal yang harus diperhitungkan oleh subyek disamping biaya terapi, biaya sekolah dan kebutuhan anak yang lain. Subyek 1 mengaku mengalami kesulitan dalam membiayai pengobatan anak, padahal anak seharusnya menjalani check up tiga bulan sekali. Permasalahan rumah tangga yang terjadi pada subyek 1 membuatnya harus membiayai semua kebutuhan anaknya dengan pendapatannya sendiri. Subyek 1 memilih untuk membeli obat generik dengan fungsi yang sama dengan obat yang seharusnya agar harganya sedikit lebih murah. Sedangkan subyek 2 dan subyek 3 memperoleh bantuan biaya pengobatan dari perusahaan tempat suaminya bekerja. Bantuan yang diberikan sangatlah membantu karena obat-obatan yang dikonsumsi anak memang harganya sangat mahal. Satu botol obat anak harganya mencapai dua ratus ribu rupiah, sedangkan anak tidak hanya membutuhkan satu botol saja. Ketiga subyek harus bisa mengatur keuangan dalam memenuhi semua kubutuhan terutama kebutuhan anaknya. Perkembangan anak dengan epilepsi tentunya berbeda dengan anak-anak yang sehat lainnya. Wirastuti, Patria, & Machfudz (2011) menyatakan bahwa epilepsi adalah kelainan syaraf yang serius pada

72 masa anak-anak. Banyak konsekuensi negatif yang muncul pada anak dengan epilepsi. Pengobatan yang dijalani anak memakan waktu hingga bertahun-tahun, dengan minimal pengobatan dua tahun lamanya. Hal tersebut sangat berdampak bagi perkembangan anak. Mustarsid, Nur, Setiawati & Salimo (2011) menyebutkan bahwa lama pengobatan yang berlangsung lebih dari dua tahun akan berpengaruh terjadinya gangguan daya ingat anak dengan epilepsi. Hal tersebut tentunya akan berdampak pada proses belajar pada anak. Pendampingan yang intensif harus dilakukan para subyek agar anak dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Selama ini, anak menjalani aktivitas yang rutin setiap harinya seperti sekolah di pagi hari hingga siang hari, lalu langsung menjalani terapi dan masih harus belajar di malam hari dengan didampingi orang tua atau terapis di rumah. Subyek 3 mengakui bahwa anak sengaja tidak diperbolehkan bermain di luar rumah karena khawatir akan keadaan anak. sedangkan subyek 1 dan 2 mengatakan bahwa dirinya memang malas untuk keluar rumah sehingga anak hanya menghabiskan waktunya dirumah setelah aktivitas rutin yang dijalaninya. Permasalahan yang menimbulkan tekanan pada subyek dalam merawat anak dengan epilepsi akan terus terjadi setiap harinya. Lebih banyak waktu dan perhatian harus dicurahkan untuk anak. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh ibu yang memiliki anak dengan epilepsi memerlukan pemecahan sebagai usaha untuk menyesuaikan diri terhadap masalah dan tekanan yang menimpanya. Konsep tersebut lebih dikenal dengan strategi koping. Strategi koping adalah usaha yang dilakukan oleh individu untuk menghadapi atau

73 melindungi dirinya dari situasi yang menekan yang dapat menimbulkan tekanan psikologis dari permasalahan yang terjadi (Miranda, 2013, h. 124). Ketiga subyek dalam menghadapi permasalahan menggunakan kedua jenis koping yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. Problem focused copingyang digunakan adalah confrontive coping dan seeking social support. Sedangkan untuk emotion focused coping yang digunakan yaitu positif reappraisal, accepting responsibility, self-control, dan escape-avoidance. Terdapat kesamaaan pada ketiga subyek dalam penggunaan jenis koping problem focused coping yaitu confrontive coping. Ketiga subyek mengetahui betul kondisi anak dan permasalahan yang dihadapinya. Dalam hal ini subyek lebih berani dalam mengambil langkah secara langsung dari permasalahan yang terjadi. Rumah subyek 2 terletak sangat dekat dengan rumah sakit, jadi jika terjadi serangan pada anak, subyek langsung membawanya ke rumah sakit. Subyek 2 sangat mempercayai pengobatan secara medis, sehingga subyek hanya mempercayai dokter sebagai ahli yang dapat menangani anaknya. Sedangkan subyek 1 dan 2 lebih bersiap jika kejang anak kambuh. Subyek 2 berani untuk menangani anaknya secara langsung dengan cara memberikan obat yang dimasukan ke dalam anusnya dan memasangkan oksigen pada anak. Kejang yang terjadi pada anak dari subyek 1 hanya terjadi pada bagian mata. Jika anak sudah mengeluh dengan istilah pusing kedip-kedip maka subyek langsung menidurkan anak dengan posisi miring dan memeluk dari belakang. Ketiga subyek meningkatkan sikap waspada dalam mengawasi kondisi anaknya

74 dengan memperhatikan hal-hal apa saja yang memicu terjadinya kejang pada anak. Hasil penelitian pada jurnal Strategi Coping dan Kelelahan Emosional (Emotional Exhausting) Pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus memang menunjukan bahwa dalam menghadapi permasalahan, subyek cenderung menggunakan problem focus coping dimana subyek lebih spontan dalam bertindak dan mengambil keputusan. Jenis lain dari emotion focused coping adalah seeking social support. Ketiga subyek mendapatkan banyak dukungan baik secara instrumental dan emosional. Ketiga subyek menceritakan keadaan anaknya pada guru-guru dan orang-orang di lingkungan tempat anak banyak berinteraksi supaya anak lebih diawasi dalam kegiatannya dan lebih waspada pada kondisi anak yang dapat kejang secara tiba-tiba. Ketiga subyek juga menceritakan pada anggota keluarga lain tentang keadaan anaknya. Mendapatkan bantuan dari anggota keluarga lain, teman-teman dan orang lain dapat menanggulangi stres dalam menghadapi permasalahan. Bantuan yang dapat diberikan dapat berupa fisik maupun psikis (Hidayati, 2011, h. 13). Subyek 1 lebih suka melakukan browsing internet dalam mencari informasi tentang kondisi anaknya. Sedangkan subyek 2 dan 3 lebih mencari informasi pada ahlinya yaitu dokter. Selain berkonsultasi dengan dokter, subyek 2 dan 3 sering mengikuti berbagai seminar tentang epilepsi dan tentang cara merawat anak berkebutuhan khusus. Selain itu, subyek 1 dan 3 memanggil terapis ke rumahnya untuk menerapi anaknya hingga saat ini. Sedangkan subyek 2 membawa anaknya ke tempat terapi di luar

75 rumah. Khusus untuk subyek 3, anak tidak hanya menjalani terapi di satu tempat saja, tetapi di beberapa tempat bahkan di luar kota. Terapi yang masih dilakukan oleh anak ketiga subyek adalah terapi okupasi, terapi obat, dan terapi belajar. Ketiga subyek sangat terbantu dengan para terapis yang membantu perkembangan anaknya. Perasaan senang muncul ketika anaknya mengalami kemajuan dalam perkembangan, dan harapan baru muncul dalam hati ketiga subyek. Subyek 2 dan 3 sudah dapat menerima keadaan anaknya yang memiliki epilepsi dan gangguan-gangguan lain. Hal itu dinilai sebagai rencana Tuhan dalam hidupnya dan harus dijalani dengan ikhlas. Terkadang subyek 3 merasa iri dengan anak-anak lainnya yang sehat dan berkembang dengan baik, tetapi hal tersebut tidak mengurangi rasa kasih sayang subyek pada anaknya. Subyek 1 selalu percaya pasti akan ada jalan dari Tuhan dalam menghadapi permasalahan asal selalu berdoa dan berusaha. Anak adalah anugerah yang harus disyukuri apapun keadannya, ketiga subyek selalu berpikir positif dalam menerima keadaannya saat ini bahwa segala yang terjadi sekarang membuat dirinya lebih sabar dan tegar. Dalam hal ini ketiga subyek melakukan jenis koping emotion focused coping yaitu positif reappraisal dan accepting responsibility. Semenjak anak didiagnosis epilepsi, anak banyak mengalami kemunduran dalam perkembangannya. Selain itu, subyek 2 mengakui bahwa emosi anaknya menjadi kurang bisa terkontrol. Jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kemauan anak, anak langsung marah dengan cara menangis dan berteriak kencang. Subyek 2 lebih memilih untuk diam dan membiarkan anaknya menangis sampai selesai. Subyek takut

76 emosinya terpancing dan berbalik memarahi anaknya. Setelah anak tenang, subyek baru mulai untuk menasihati anaknya pelan-pelan, mengajarkan apa yang baik dilakukan dan tidak baik dilakukan. Kekurangan yang terdapat pada anaknya tidak membuat subyek 1 mementingkan egonya untuk menyamakan dengan anak-anak lain yang sehat secara fisik dan psikis. Subyek 1 sadar bahwa kondisi anak tidak bisa dipaksakan atau disamakan dengan anak-anak yang lain. Subyek 1 sebenarnya memiliki keinginan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah normal seperti anak-anak yang lainnya, tetapi subyek tidak ingin menekan anak. Subyek sadar jika memaksakan keinginannya hanya akan membuat kondisi anak semakin tertekan. Maka dari itu, subyek 1 lebih melihat pada apa yang dibutuhkan anak daripada memaksakan keinginannya. Dalam kasus ini, subyek bisa mengolah dirinya dan tindakannya dapat dikategorikan dalam jenis koping emotion focused coping yaitu self control. Keluarga adalah kunci pertama dalam tumbuh kembang anak. keluarga yang harmonis akan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan anak, namun tentu saja hal itu tidak begitu saja terlepas tanpa konflik dan dinamika yang terjadi di dalamnya (Hidayati, 2011). Konflik dalam keluarga dialami oleh subyek 1 dimana hubungannya yang semakin renggang dengan suaminya semenjak memiliki anak dan didiagnosis epilepsi. Menurutnya, sang suami seperti mengingkari kondisi anaknya saat ini, sehingga subyek selalu disalahkan terhadap apa yang terjadi sekarang. Hampir setiap hari bertengkar sehingga subyek 1 tidak dapat fokus dalam merawat anaknya. Pada akhirnya subyek 1 memilih untuk pergi dari rumah suaminya dan pulang ke

77 rumah orang tuanya. Subyek 1 mengaku keadaannya menjadi lebih baik setelah pergi dari rumah suaminya dan dapat merawat anaknya dengan tenang. Ketiga subyek memiliki permasalahan dalam mencari pengobatan yang sesuai untuk anaknya. Ketiga subyek beberapa kali berganti dokter dan rumah sakit yang sesuai. Subyek 3 memilih untuk memeriksakan anaknya di rumah sakit di luar Semarang karena menurutnya dokter yang ada di Semarang kurang bisa mengatasi penyakit anaknya dengan baik. Kondisi anaknya yang sering keluar masuk rumah sakit menuntut subyek untuk menemukan dokter yang cocok untuk anaknya. Subyek 1 dan 2 berganti dokter dan rumah sakit sebanyak dua kali. Selain itu, kondisi anak yang membutuhkan pendampingan khusus membuat subyek 1 dan 2 memindahkan anaknya dari sekolah umum ke sekolah anak berkebutuhan khusus untuk menghindari terjadinya bullying dan anak dapat mengikuti pelajaran dengan didampingi guru-guru yang berkompeten. Jenis koping yang digunakan subyek dalam hal ini adalah emotion focused coping dengan metode escape-avoidance. Adapun kelemahan yang ada di penelitian ini yaitu peneliti hanya fokus pada permasalahan dan koping yang digunakan oleh subyek tanpa memperhatikan faktor-faktor lain yang memengaruhi subyek dalam penggunaan koping. Selain itu, keadaan perekonomian ketiga subyek yang berbeda satu sama lain membuat penggunaan koping pada permasalahan perekonomian dalam pengobatan anak jarang terlihat. Kelebihan dari penelitian ini adalah, peneliti menggunakan subyek yang memiliki anak dengan epilepsi dengan diagnosis jenis

78 epilepsi yang berbeda. Oleh sebab itu muncul permasalahan dan koping yang bervariasi dalam merawat anak dengan epilepsi.

79 Bagan 5 Koping dan Permasalahan yang Muncul Pada Seluruh Subyek Harapan dalam keluarga ingin memiliki anak sehat secara fisik dan psikologis Anak didiagnosis epilepsi pada usia dibawah lima tahun Muncul permasalahan dalam merawat anak dengan epilepsi Fase pertama: Ketiga subyek mengalami fase kebingungan dan menolak diagnosis dokter diawal. Ketiga subyek berkali-kali berganti dokter untuk memastikan kondisi anak. Fase kedua: Ketiga subyek mengalami ketidakberdayaan pada awal anak didiagnosis epilepsi. Subyek cenderung menyalahkan diri sendiri atas kondisi anaknya. Permasalahan Anak: 1. Selain memiliki epilepsi, anak memiliki gangguan fokus dan kesulitan belajar 2. Anak pernah mengalami bullying sewaktu bersekolah di sekolah umum, menyebabkan anak minder. 3. Anak masih belum bisa berkembang tanpa dibantu oleh terapi sehingga anak menjalani beberapa terapi hingga saat ini 4. Anak masih mengkonsumsu obat secara rutin dari usia balita sampai sekarang Problem Focused Coping: 1. Confronting coping 2. Seeking social support Permasalahan Ibu: 1. Subyek harus terus mendampingi secara khusus dalam proses belajar 2. Subyek masih harus mengejar keterlambatan perkembangan pada anak 3. Subyek masih kesulitan dalam mengontrol emosi anak. 4. Subyek masih kesulitan untuk membujuk anak minum obat secara rutin Emotion Focused Coping: 1. Positive reappraisal 2. Accepting responsibility 3. Self control 4. Escape avoiding