PERAN KOMUNIKASI SEKSUAL ORANGTUA-ANAK TERHADAP GANGGUAN IDENTITAS GENDER

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

PANDANGAN KELUARGA PADA ANGGOTA KELUARGA YANG MENGALAMI GANGGUAN TRANSEKSUAL (WARIA) DI KECAMATAN KALIKOTES KABUPATEN KLATEN. ABSTRACT Endang Sawitri*

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. penerima pesan atau yang biasa disebut dengan komunikan.manusia merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbandingan dan memudahkan dalam melakukan penelitian. Berikut ini adalah. tabel penelitian terdahulu yang penulis gunakan:

Bab 5. Ringkasan. Ruka Kishimoto Dalam Serial Drama Jepang Last Friends. Adapun tujuan dan metode penelitian juga tercantum dalam pendahuluan.

BAB I PENDAHULUAN. ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Masyarakat adalah sebuah kumpulan individu yang memiliki sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ditinjau dari segi bahasa kata waria adalah singkatan dari wanita dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan ini, kita dituntut untuk menjalani aktifitas hidup yang

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Subjek berasal dari keluarga tidak harmonis, sejak kecil subjek berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa

I. PENDAHULUAN. Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waria merupakan salah satu jenis manusia yang belum jelas gendernya.

BAB I PENDAHULUAN. yang berusia diatas enam belas tahun berpendapat sama mengenai hubungan sesama jenis

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP OVER PROTECTIVE ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN TERHADAP PERGAULAN BEBAS. S k r i p s i

BAB I PENDAHULUAN. adalah perubahan yang terjadi pada perkembangan pribadi seseorang. Masuknya

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Koeswinarno (2004: 7-8) dalam bukunya Hidup Sebagai. layaknya perempuan. Orang-orang yang berperilaku menyimpang dari

BAB I PENDAHULUIAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkat. Remaja menjadi salah satu bagian yang sangat penting terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencapaian kebermaknaan hidup dapat diartikan lebih luas sebagai usaha manusia

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun

BAB I PENDAHULUAN. akurat khususnya teman (Sarwono, 2006). menarik secara seksual, apakah mereka akan bertumbuh lagi, apakah orang

PERILAKU SEKSUAL WABAL DI TINJAU DARI KUALITAS KOMUNIKASI ORANG TUA-ANAK TENTANG SEKSUALITAS S K R I P S I

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak diciptakannya manusia pertama yang dikenal dengan Adam dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana

Bab 4. Simpulan dan Saran. disimpulkan bahwa tokoh Ruka Kishimoto dalam serial drama Jepang Last Friends

Buku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM

BAB I PENDAHULUAN. tampak pada pola asuh yang diterapkan orang tuanya sehingga menjadi anak

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA

I. PENDAHULUAN. kalangan remaja maupun dewasa tersebut. atau sesama pria.selain itu, seks antar sesama jenis tersebut sekarang bukan

Bab 1. Pendahuluan. elektronik. Media hiburan ini yang sering disebut dengan dorama atau serial televisi

BAB V KESIMPULAN DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan zaman yang semakin pesat, menuntut. masyarakat untuk bersaing dengan apa yang dimilikinya di era

BAB I PENDAHULUAN. dan McMullin (1992) (dikutip dalam Siahaan, 2009: 47) mengungkapkan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH DI KALANGAN REMAJA (Studi Kasus di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan)

2015 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK ANAK USIA DINI

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam proses kehidupan manusia mengalami tahap-tahap perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. kelompok yang lain, bahkan memecahkan suatu permasalahan. 1 Kelompok adalah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang tabu bagi beberapa orang. seksualitas mereka. Kemunculan mereka bukannya datang tiba-tiba.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa. setiap pagi jutaan masyarakat mengakses media massa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa kasih sayang, rasa aman, dihargai, diakui, dan sebagainya.memenuhi

BAB 1 : PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini keragaman fenomena sosial yang muncul di kota-kota besar di

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. Jepang adalah salah satu negara yang memiliki kekuatan dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dunia Broadcasting ( Penyiaran ) adalah salah satu media penyampaian informasi

tersisih ", mengandung pengertian bahwa kaum gay pada akhirnya tetap

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia di dunia ini memiliki hak yang sama untuk hidup damai

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak dini sangat berpengaruh dalam kehidupan anak ketika mereka

CHAPTER II REVIEW OF RELATED LITERATURE. pada penulisan skripsi ini. Teori yang ada pada bab ini adalah teori teori yang

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh

BAB I PENDAHULUAN. muka atau melalui media lain (tulisan, oral dan visual). akan terselenggara dengan baik melalui komunikasi interpersonal.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diri dan lingkungan sekitarnya. Cara pandang individu dalam memandang dirinya

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Latifah

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. khusus (ABK) adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau. sosial dan emosional dibanding dengan anak-anak lain seusianya.

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN INTENSI PERILAKU ONANI PADA REMAJA LAKI-LAKI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seks selalu menarik untuk dibicarakan, tapi selalu menimbulkan kontradiksi

PENGALAMAN REMAJA DALAM MENERIMA PENDIDIKAN SEKS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

Pentingnya Sex Education Bagi Remaja

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Yayasan Srikandi Pasundan, didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. tetapi ada beberapa permasalahan seperti perkembangan seksual,

BABI. Kehidupan modem saat ini belum memungkinkan orangtua. sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada anak. Kebutuhan ekonomi

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan. Bahkan hubungan seksual yang sewajarnya dilakukan oleh

Transkripsi:

PERAN KOMUNIKASI SEKSUAL ORANGTUA-ANAK TERHADAP GANGGUAN IDENTITAS GENDER SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S1 Psikologi Diajukan oleh : MUNIFAH F 100 040 091 Kepada : FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada kurun waktu beberapa tahun ini, masyarakat Indonesia disuguhkan dengan semakin maraknya tayangan-tayangan televisi yang memuat atau lebih tepatnya mengeksploitasi keberadaan kaum waria, sebut saja Be A Man yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta. Segala hal yang berhubungan dengan dunia waria, baik tingkah laku dan gaya bicaranya yang menggemaskan sering mengundang tawa orang yang menyaksikannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran mereka di ranah entertainment tanah air menjadi hiburan tersendiri di tengah masyarakat. Representasi waria di televisi menjadikan individu waria tersebut menjadi produk hiburan. Meskipun dianggap sebagai sesuatu yang abnormal di masyarakat, televisi rupanya mampu menyulap peranperan waria menjadi objek yang lucu, dengan nada bicara yang keperempuanan dan dengan bahasa gaul para waria ditambah lagi dengan cara berdandan yang unik plus polesan di wajah. Waria menjadi komoditas tawaan yang meraup untung besar bagi pelaku bisnis pertelevisian (Gamaputra, 2007). Berbicara tentang waria atau dalam dunia psikologi lebih dikenal sebagai gangguan identitas gender, tentu saja tidak lepas dari esensi identitas gender itu sendiri. Identitas gender (gender identity) adalah kesadaran terhadap diri sendiri sebagai laki-laki atau perempuan yang telah tertanam sejak dini. Sedangkan gangguan identitas gender adalah ketidakpuasan psikologis terhadap gender

biologisnya sendiri, gangguan dalam memahami identitasnya sendiri sebagai lakilaki atau perempuan. Tujuan utamanya bukan rangsangan seksual tetapi lebih berupa keinginan untuk menjalani kehidupan lawan jenisnya, seperti yang dialami oleh Dorce Gamalama, salah satu entertainer Indonesia (Mahendratto, 2007). Karakteristik khas dari individu dengan gangguan ini yaitu tidak menyukai pakaian ataupun aktivitas yang biasa dilakukan orang dengan jenis kelamin (fisiknya) dan sering memilih untuk melakukan cross-dressing (memakai busana atau aksesoris lawan jenisnya). Individu-individu dengan gangguan identitas gender ini dengan mudah dapat ditemui dimana saja. Ibukota Jakarta misalnya, komunitas mereka dengan mudah ditemukan di daerah Taman Lawang, dan pinggiran rel Pasar Minggu, namun mereka hanya bisa ditemui pada malam hari saja. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pekerja seks komersial, tetapi ada juga yang hanya ingin sekedar berkumpul dengan komunitasnya saja (Health News, 2003). Sedangkan untuk daerah Yogyakarta dan sekitarnya mereka membangun komunitas sesuai dengan tempat mangkalnya misalnya komunitas BI yang sering mangkal di depan Bank Indonesia, komunitas Parangkusomo yang sering mangkal di daerah pantai Parang Kusumo dan komunitas Kota Gede yang beranggotakan waria dari beragam pekerjaan seperti mahasiswa, penata rambut dan pegawai salon yang sering mengadakan kegiatan di daerah Kota Gede. Umumnya dalam pergaulan sehari-hari mereka cenderung menutup diri dari masyarakat karena kehadiran mereka ditengah-tengah masyarakat belum sepenuhnya bisa diterima (Yayasan Gessang, 2008).

Gangguan identitas gender harus dibedakan dengan pola rangsangan homoseksual dari laki laki yang kadang berperilaku feminin (dikenal dengan sebutan gay) atau perempuan dengan pola rangsangan homoseksual dan tingkah laku maskulin (disebut juga lesbian). Individu semacam itu tidak merasa sebagai perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki laki atau memiliki keinginan untuk menjadi perempuan atau sebaliknya. Dalam kasus gangguan identitas gender, tujuan utamanya bukan seksual tetapi lebih keinginan untuk menjalani kehidupan secara terbuka dengan cara yang sesuai dengan kehidupan lawan jenis kelaminnya (Mahendratto, 2007). Individu ini memiliki suatu hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan tidak enak atau tidak sesuai dengan anatomi seksualnya dan menginginkan untuk memperoleh terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkannya. Lebih lanjut menurut Iwan (dalam Wisnubroto, 2008) kelompok waria termasuk pula dalam golongan homoseksual, yaitu gay, lesbian dan biseksual. Gay dan waria memiliki persamaan yaitu sama-sama tertarik pada laki-laki, namun perbedaannya adalah bahwa pada waria diikuti dengan pengidentifikasian diri sebagai wanita, sehingga cara berpakaian, cara bicara, dan dalam banyak hal berusaha untuk sama seperti wanita sesungguhnya. Pada gay pengidentifikasian dirinya masih sebagai laki-laki, sehingga cara berpakaiannya pun sama seperti laki-laki heteroseksual pada umumnya, namun orientasi seksualnya sejenis, sementara pada waria memiliki preferensi seksual menyukai sejenisnya dengan

pengidentikasian diri sebagai seorang wanita yang sudah sewajarnya menyukai laki-laki. Realitasnya banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan identitas gender, faktor biologis ditengarai menyebabkan gangguan ini salah satunya yaitu karena pengaruh hormon. Beberapa kasus menunjukkan suntikan hormon estrogen berlebih pada ibu hamil bisa membuat janin laki-laki yang dikandungnya mengalami gangguan gender, dalam arti hormon yang disuntikkan membuat hormon-hormon kewanitaan dalam tubuh janin berkembang sejalan dengan hormon kelaki-lakiannya (Caroll dalam Tasker dan Bernadette, 2002). Walaupun terdapat beberapa data tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya transeksualisme hanya kepada hormon. Faktor biologis lain, seperti kelainan kromosom, struktur otak, dan faktor genetika hanyalah faktor kecil yang persentasenya sekitar 5% hingga 10%, sedangkan sisanya lebih banyak disebabkan faktor lingkungan dan keluarga (Ramadhani, 2008). Faktor lingkungan dan keluarga yang ditengarai merupakan faktor utama penyebab gangguan identitas gender, dibuktikan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bradley dan Zucker (dalam Halgin & Susan, 2003), lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang melakukan cross-dressing (memakai busana, aksesoris lawan jenisnya) kemungkinan memberi kontribusi besar terhadap konflik antara anatomi seks anak dan identitas gender yang

diperolehnya. Lebih lanjut, Freud (Multazam, 2007) dalam teori psikoseksualnya menambahkan bahwa seorang pribadi dengan transeksualisme gagal dalam proses identifikasi jenis kelamin berakar pada pengaruh keluarga dalam pembentukan jati diri seseorang, terkait pola asuh menyangkut ketiadaan akan kehadiran figur ayah atau ibu dalam keluarga intinya, atau kurang dominan dan tidak adanya komunikasi yang baik dengan orangtua sehingga terjadilah invert yang mengkristal menjadi bentuk kepribadian di masa dewasa. Hal diatas didukung pula oleh hasil sebuah studi kasus di Malaysia (Yusof dkk, 2002) pada pelajar laki-laki yang mengalami transeksual. Hasilnya, mengungkapkan perilaku transeksual (gangguan identitas gender) terjadi karena hilangnya model kelelakian yang diturunkan oleh ayah kepada subjek (individu transeksual), kurang kuatnya kontrol yang dilakukan ibu kepada subjek semasa melihat munculnya perilaku yang tidak sesuai dengan jenis kelamin subjek, kurang kuatnya kontrol lingkungan seperti peer-group, teman sekolah, guru, dan pemuka agama semasa melihat munculnya perilaku yang tidak sesuai dengan jenis kelamin subjek, serta perasaan yang ada dalam diri subjek adalah merasa seperti lawan jenisnya dan mengharapkan lingkungannya memperlakukan dan menerima dirinya sebagai lawan jenisnya, dan juga dalam diri subjek terdapat ketertarikan secara seksual kepada individu yang jenis kelaminnya sama dengan diri subjek. Senada dengan yang disampaikan diatas, Wren s (Di Ceglie & Elizabeth, 2006) dalam sebuah laporan penelitian kualitatif dengan orangtua dari individu yang mengalami transgender menyebutkan bahwa sifat komunikasi orangtua dan

anak, strategi koping dan adanya penerimaan atau tidak oleh orangtua terkait kondisi anaknya menjadi bahan diskusi umum dalam studi kasus transgender ini. Dalam penelitian ini peran orangtua terkait pola komunikasi dan pola asuh yang diterapkan menjadi isu utama yang diperbincangkan oleh para klinisi yang menaruh minat pada penelitian kasus gangguan identitas gender. Merujuk dari isu utama penelitian diatas bahwa faktor komunikasi dan pola asuh yang diterapkan orangtua memegang peranan penting dalam kasus individu dengan gangguan identitas gender ini. Komunikasi, baik verbal maupun nonverbal pada dasarnya merupakan salah satu aspek yang penting dalam proses pendidikan anak, juga merupakan sumber-sumber rangsangan untuk membentuk kepribadian anak. Orang tua berperan sebagai pendidik yaitu bertugas untuk menanamkan nilai-nilai moral dan kehidupan yang akan menjadi landasan yang kuat bagi bagi tumbuhnya jiwa dan pribadi anak. Keluarga merupakan wahana bagi anak untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan. Melalui pola asuh orang tua anak mengenal nilai-nilai moral, mengenal tindakan yang baik dan yang buruk sebelum ia mengembangkan interaksi sosial di luar lingkungan keluarganya. Keberhasilan orang tua dalam mengembangkan nilai-nilai moral bukan disebabkan karena otoritasnya tetapi lebih pada bagaimana mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektualnya (Long & Zolten, 1997). Berperan sebagai pendidik, orangtua dituntut memiliki kepekaan, keterampilan, dan pemahaman agar mampu memberi informasi dalam porsi

tertentu, yang justru tidak membuat anak semakin bingung atau penasaran. Orangtua adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap anak dalam masalah pendidikan, termasuk pendidikan seks. Dalam hal ini, pendidikan seks merupakan bagian integral dari pendidikan akidah, akhlak, dan ibadah. Terlepasnya pendidikan seks dengan ketiga unsur itu akan menyebabkan ketidakjelasan arah dari pendidikan seks itu sendiri (Ilmiwati, 2006). Oleh karena itu, dibutuhkan usaha untuk memuaskan rasa ingin tahu anak tentang seks dengan bersikap terbuka dan menjalin komunikasi yang efektif dengan mereka yang tentunya sesuai dengan kapasitas usia dan intelektualnya. Namun pada kenyataannya, banyak orangtua yang tidak sanggup memberikan pendidikan seks di rumah. Alasannya, mereka tidak tahu apa yang harus dan layak disampaikan agar proporsional dengan usia belia sang anak. Agung (dalam Laily dan Matulessy, 2004) menambahkan bahwa tidak jarang orangtua masih menanamkan persepsi yang negatif, yaitu seks (termasuk pengenalan fungsi kelamin) itu jorok, porno, dan tabu untuk dibicarakan. Itu sebabnya, saat orangtua ditanya anak tentang seks umumnya tidak dapat berbicara, menjawab dengan amarah, menganggap anak tidak sopan sehingga mematahkan keingintahuan anak tentang seks. Lebih lanjut, Pangkahila (2008) menyebutkan bahwa sebagai orangtua seyogyanya tidak menunggu sampai anak mencapai usia belasan tahun untuk berbicara tentang masalah seksual, mereka harus sudah mengetahui perubahan dan perkembangan yang akan terjadi di masa remaja dan seterusnya terkait seksualitasnya pada masa sebelumnya secara wajar.

Selain beberapa permasalahan seperti yang dikemukakan diatas, dari hasil wawancara informal yang penulis lakukan dengan beberapa individu yang mengalami gangguan identitas gender, ditemukan fakta bahwa hampir sebagian besar dari mereka mengalami kebuntuan komunikasi atau jarang berkomunikasi dengan orangtua, disebabkan karena merasa tidak dekat dengan orangtuanya, baik secara fisik (orangtua meninggal dunia) atau secara psikis (merasa tidak ada kedekatan emosional dengan orangtuanya). Selain itu, mayoritas dari mereka mengaku tidak mengkomunikasikan tentang gangguan yang mereka alami dan sedapat mungkin untuk menyembunyikan identitas ganda mereka dari orangtuanya, dengan alasan mereka belum siap menerima perlakuan terburuk dari orangtuanya, misalnya, dikucilkan, dibuang dari keluarga, bahkan tidak diakui sebagai anak lagi oleh orangtuanya. Merujuk dari fakta-fakta yang penulis temukan tersebut, penulis beranggapan bahwa salah satu faktor mendasar yang berkaitan dengan gangguan identitas gender adalah minimnya komunikasi antara orangtua dan anak dalam rangka pendidikan seksual, atau lebih lanjut disebut komunikasi seksual. Komunikasi seksual adalah adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak melalui komunikasi efektif dua arah, sejak ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri, dan perkawinan (Ulwan, 1999). Dalam hal ini orangtua menyediakan waktu kapan saja untuk menguraikan topik seksual secara terbuka, dimana orangtua seyogyanya memberikan jawaban-jawaban yang edukatif yaitu dengan cara memberikan jawaban yang sederhana, singkat, dan jelas serta mudah

dimengerti anak. Selain itu, pembicaraan hendaknya tidak hanya terbatas pada fakta biologis, melainkan juga tentang nilai-nilai moral, emosi dan jiwa. Pertumbuhan dan perkembangan seksual anak merupakan bagian dari kehidupan anak yang perlu memperoleh perhatian orangtua sejak usia dini. Sikap orangtua yang mengembangkan komunikasi efektif akan membuat perkembangan seksual tumbuh secara wajar dan sehat, sebaliknya pola komunikasi yang salah akan membuat perkembangan seksual menjadi terganggu. Akibatnya muncul berbagai penyimpangan yang tidak dikehendaki dikemudian hari, seperti gangguan identitas gender. Adanya dialog untuk saling terbuka antara orangtua dan anak serta menyempatkan diri untuk berkumpul bersama keluarga merupakan salah satu cara untuk menciptakan komunikasi yang baik (Laily dan Matulessy, 2004). Bertitik tolak dari uraian di atas, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah Peran Komunikasi Seksual Orang Tua dan Anak terkait Gangguan Identitas Gender? Usaha untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis melakukan penelitian dengan mengambil judul Peran Komunikasi Seksual Orangtua-Anak Terhadap Gangguan Identitas Gender B. Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memahami dengan jelas bagaimana peran komunikasi seksual orangtua-anak menimbulkan gangguan identitas gender pada individu (anak).

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu psikologi bidang klinis. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada orangtua akan pentingnya peran orangtua dalam rangka pendidikan seksualitas sejak dini yang diaplikasikan melalui komunikasi seksual yang efektif sesuai dengan perkembangan usia dan identitas jenis kelaminnya (gender identity).