PERMASALAHAN PENYAKIT SEBAGAI KENDALA USAHA PETERNAKAN ITIK (IMPORTANT DISEASES IN DUCK FARMING) Darmono dan Darminto Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor ABSTRACT Among duck raising systems in Indonesia, the extensive system is one which is susceptible to various diseases. The intensive and semi-intensive system have a much lower degree of susceptibility to diseases. There are only a few diseases which are often found and cause severe economic loss. Bacterial infection during incubation, cholera and aflatoxicosis on adult animals have been reported frequently to occur and cause severe economic loss to duck fanning. Therefore, a diseases control program is necessary and important in preventing economic losses due to diseases. Keywords: Duck, important diseases. ABSTAAK Di antara sistem peternakan itik di Indonesia, sistem ekstensif adalah sistem yang paling rawan timbulnya suatu wabah penyakit, walaupun demikian sistem intensif maupun semi intensif juga dapat terserang wabah. Di antara beberapa jenis penyakit hanya beberapa yang sifatnya merugikan dan sering dijumpai. Kegagalan penetasan telur yang disebabkan oleh infeksi bakteri, penyakit kolera dan aflatoksikosis pada itik dewasa sering dilaporkan dan menyebabkan kerugian pada peternakan itik. Sehingga usaha penanggulangan penyakit perlu selalu diupayakan untuk mencegah kerugian peternak itik yang disebabkan oleh permasalahan penyakit Kata kunci: Itik penyakit penting PENDAHULUAN Walaupun penanggulangan penyakit pada suatu peternakan itik bukan merupakan faktor utama dalam sistem tata laksana peternakan itik (Riswantiyah et al., 1982), bila terjadi wabah penyakit, kerugian yang ditimbulkannya akan menjadi sangat besar. Kerugian tersebut berupa penurunan produksi telur, daging dan terjadinya kematian. Beberapa agen penyakit baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius telah dilaporkan menyerang ternak itik di Indonesia, terutama pada sistem peternakan itik ekstensif. Beberapa penyakit infeksius yang sering menyerang ternak itik ialah penyakit kolera yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida (Supar et al., 2000) dan penyakit Aspergilosis yang disebabkan cendawan Aspergillus flavus yang mengeluarkan toksin yang disebut Aflatoksin (Soeripto et al., 1980; Ginting,1983). 52 - Lokakarya Nasional Unggas Air 2001
Dalam suatu usaha peternakan itik baik sistem intensif maupun ekstensif, pengadaan bibit dilakukan dengan penetasan telur sendiri atau membeli bibit dari perusahaan penetasan lainnya. Rohaeni et al. (1994) melaporkan bahwa daya tetas telur itik pada peternakan itik Alabio di Kalimantan Selatan hanya mencapai 57,74%. Daya tetas tersebut sangat dipengaruhi oleh variasi suhu, kelembaban dan penyakit. Sedangkan telur berembrio mengalami kematian berkisar antara 19-70% (Istiana, 1994). Dengan demikian kerugian peternak karena kegagalan dalam penetasan telur tersebut cukup besar. Pada itik yang sudah menjelang dewasa dan dewasa, penyakit yang sering dijumpai adalah penyakit para influenza (asal virus), penyakit kolera (asal bakteri) dan aflatoksikosis (asal aflatoksin). Dalam tuhsan ini akan dibahas mengenai penyakit infeksi pada penetasan telur dan penyakit kolera serta aflatoksikosis pada itik dewasa. Dengan ditemukannya agen penyakit yang sering menyerang peternakan itik akan dapat diusahakan cara penanggulangannya. PERMASALAHAN KEGAGALAN PENETASAN Kegagalan menetas pada telur itik telah diteliti oleh Rohaeni et al. (1994) dan Istiana (1994). Mereka meneliti pada perusahaan itik Alabio di Kalimantan Selatan, dimana kegagalan telur yang menetas cukup bervariasi. Telur itik tersebut mempunyai daya bertunas cukup tinggi tetapi daya tetasnya rendah (Rohaeni et al., 1994). Tabel 1. Daya tunas dan days tetas telur itik Alabio di Kalimantan Selatan Sumber: Rohaeni et al., 1994. Kejadian 1 Daya tunas 88,16 2 Daya tetas 57,74 3 Gagal menetas karena : a. infertile 11,84 b. mati bungkus 10,57 c. pecah, retak, embrio matt 11,51 Istiana (1994) melaporkan penelitiannya pada 8 periode penetasan di 3 perusahaan penetasan telur itik, dimana kegagalan telur yang menetas cukup bervariasi (Tabel 2). Makalah Utama - 53
Tabe12. Persentase kematian embrio pada 3 peternakan itik di Kalimantan Selatan selama periode penetasan (450 butir/periode) Periode Telur yang gagal menetas pada perusahaan ternak itik (%) KUD HS HB 1 24,7 19,8 23,1 11 72,2 29,3 47,1 111 64,7 30,1 47,1 IV 59,1 24 31,1 V 40,2 28,9 49,3 VI 35,5 26,4 55,8 VII 38,4 34,4 64,7 VIII 46,2 49,5 71,3 Sumber : Istiana (1994). Dari pemeriksaan bakteriologik terhadap embrio yang mati dari telur yang tidak menetas ditemukan kuman Salmonella sp (17-27,3%), sedangkan jenis bakteri lain yang ditemukan ialah Escherichia coli, Pseudomonas sp, Klebsiella sp, Enterobacter sp, Citrobacter sp, dan Seratia sp. Dari penelitian tersebut terlihat bahwa persentase kegagalan menetas dari telur itik untuk pembibitan cukup tinggi dan dari perhitungan ekonomi oleh para peneliti tersebut kerugian peternak itik yang disebabkan oleh kegagalan menetas tersebut cukup besar. PENYAKIT KOLERA ITIK Kolera itik adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Pasteurella multocida dan dapat menulari jenis unggas lain seperti ayam, kalkun, entok dan angsa. Penyakit ini dapat bersifat akut maupun kronis. Pada bentuk akut dapat menimbulkan kematian mendadak dengan tidak memperlihatkan gejala klinis. Sebelum mati itik terlihat lesu, anoreksia, mulut dan hidung keluar cairan. Hewan yang mati bila dibedah terlihat perdarahan pada jantung, gizard dan proventrikulus. Bentuk kronis ditandai dengan adanya gangguan pernafasan dan saraf, radang persendian serta pembengkakan pada balung dan pial. Wabah kolera itik ini pernah terjadi di tahun 1979 dan 1980 masingmasing di Bogor dan Bali yang banyak menimbulkan kematian pada itik dewasa (Sjamsudin dan Gunawan,1990). 54 - Lokakarya Nasional Unggas Air 2001
Tabe13. Wabah kolera itik pada peternakan itik di Bogor dan Bali tahun 1979 clan 1980. Tahun Lokasi % kematian Periode 1979 Bogor 1980 Bali Sumber: Sjamsudin dan Gunawan 1990. 23 58 3 bulan 18 bulan Sri Poernomo (1980) juga melaporkan terjadinya wabah kolera pada suatu peternakan itik intensif yang angka kematiannya mencapai 62,44%. Kematian yang tinggi tersebut dapat diatasi dengan vaksinasi dengan menggunakan vaksin otogenous asal peternakan itu sendiri sehingga dapat memberikan proteksi 92,5% (Sjamsudin, 1980). Pembuatan vaksin kolera ini juga telah dilakukan dengan menggunakan isolat lokal dari P. multocida, dan hasilnya masih dalam proses evaluasi (Supar et al., 2000). AFLATOKSIKOSIS PADA ITIK Aflatoksikosis ialah penyakit yang disebabkan oleh aflatoksin yang dihasilkan oleh cendawan Aspergillus flavus yang tumbuh baik didaerah subtropik dan tropik yang mempunyai kelembaban cukup tinggi. Cendawan tersebut sering tumbuh pada bahan pakan seperti jagung, kedelai, kacang tanah dan sebagainya. Sehingga bila pakan tersebut dimakan oleh itik akan dapat menyebabkan keracunan yang disebut aflatoksikosis. Gejala itik yang menderita keracunan aflatoksin ialah lemah, anoreksia, bulu kusam dan terjadi kelumpuhan yang akhirnya mati. Itik yang mati karena keracunan bila dibedah akan ditemukan perdarahan dan cairan transudat gelatin pada rongga perut. Cairan tersebut berwarna kekuningan sampai kemerahan. Hati membesar sampai lima kali dari normal, sehingga waktu rongga perut dibuka yang terlihat jelas hanya hati yang menutupi organ perut lainnya. Kasus aflatoksikosis pada itik telah dilaporkan bahwa dari sejumlah itik yang mati dicurigai hampir 100% didiagnosis sebagai penderita aflatoksikosis. Tentu saja data tersebut (Tabel 4) tidak menggambarkan kasus aflatoksikosis secara keseluruhan di suatu peternakan, karena angka tersebut berdasarkan persentase dari itik yang mati. Disamping itu pemeriksaannya dilakukan secara histopatologik dan tidak dilakukan pemeriksaan analisis aflatoksin dari pakan dan hati itik itu sendiri. Makalah Mama - 55
Tabel 4. Hasil pemeriksaan itik matt yang dicurigai menderita aflatoksikosis (berdasarkan pemeriksaan histopatologi). Tahun Lokasi Umur % aflatoksikosis 1977 Tegal Dewasa 100 1978 Bali Dewasa 83,3 1978 Sulawesi Selatan Dewasa 83,3 1979 Sumatra Utara Dewasa 86,6 1980 Cirebon 3 bulan 100 1980 Palembang Dewasa 100 1980 Krawang Dewasa 100 Sumber : Ginting (1980). KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas jelas terlihat bahwa permasalahan penyakit pada itik menjadi suatu kendala yang cukup besar bagi perkembangan peternakan itik di Indonesia. Oleh sebab itu usaha pencegahan harus selalu diupayakan untuk menghindari kerugian yang diderita bagi peternak. Usaha tersebut antara lain adalah : a. sistem tatalaksana pemeliharaan yang baik : - kandang yang cukup bersih, - pakan yang disimpan dengan baik. b. dilakukan vaksinasi apabila terjadi outbreak penyakit DAFTAR PUSTAKA Ginting, Ng. 1983 Aflatoksikosis pada ternak itik, Wartazoa, 1(2) :1-3. Istiana, 1994 Kematian embrio akibat infeksi bakteri pada telur tetas di penetasan itik Alabio dan perkiraan kerugian ekonominya. Penyakit Hewan 24(48) :36-40. Riswantiyah, N.T. Rahayu, dan M. Sutjipto 1982. Kemungkinan usaha peternakan itik di daerah Tegal dari segi penanganan ketatalaksanaan. Prosiding Seminar Penelitian Peternakan Cisarua, 8-11 Pebruari 1982 ; 258-263. 56 - Lokakarya Nasional Unggas Air 2001
Rohaeni, E.S., Istiana dan Tarmuji 1994. Penetasan itik Alabio di Kalimantan Selatan ditinjau dari aspek manajemen dan kesehatan anak itik yang dihasilkan. Penyakit Hewan. 24(47) :63-69. Sjamsudin, A. 1980. Vaksin kolera unggas autogenus (VKUO) dan penggunaannya. Bulletin LPPH,12(20):101-105. Soeripto, D. Kingstone, J. Hetzel dan A. Lasmini 1980 Aflatoksikosis pada itik itik Indonesia. Risalah Seminar Penyakit Reproduksi dan Ungas. Tugu, 13-15 Maret 1980 : 323-326. Sri Poernomo 1980. Kasus Pasteurella multocida pada itik. Bulletin LPPH, 12(19) :42-56. Supar, Y. Setiadi, Djaenuri, N. Kurniasih, B. Purwadikarta dan Sjafei 2000. Pengembangan vaksin Kolera unggas II : Patogenitas Pasteurella multocida isolat lokal pada itik dan proteksinya dengan vaksinasi. JITV, 6(2) : in press. Makalah Mama - 57