2015 PERANAN JAN PIETERSZOON COEN DALAM MEMBANGUN BATAVIA SEBAGAI KOTA PELABUHAN TAHUN

dokumen-dokumen yang mirip
Pembukaan. Semoga berkenan, terima kasih.

BAB I STRATEGI MARITIM PADA PERANG LAUT NUSANTARA DAN POROS MARITIM DUNIA

BAB I PENDAHULUAN. Mega Destatriyana, 2015 Batavia baru di Weltevreden Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

MASA KOLONIAL EROPA DI INDONESIA

KOLONIALISME DAN IMPERIALISME

BAB I PENDAHULUAN. dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu fasilitas yang bersifat umum dan. mempertahankan daerah yang dikuasai Belanda.

KISI-KISI SOAL PENILAIAN AKHIR SEMESTER 1

PROSES PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT

BAB V KESIMPULAN. Di dalam aktivitas pelayaran dan perniagaan internasional Nusantara

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dahulu, bangsa Indonesia kaya akan hasil bumi antara lain rempah-rempah

PERJUANGAN MELAWAN PENJAJAHAN

BAB 10 PROSES KEDATANGAN DAN KOLONIALISME BANGSA BARAT DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Bangsa Barat datang ke Indonesia khususnya di Bengkulu sesungguhnya adalah

I. PENDAHULUAN. internasional, adanya kontrol terhadap labour dan hasil tanah serta sudah memilki

Benteng Fort Rotterdam

Nama Kelompok: Agnes Monica Dewi Devita Marthia Sari Dilla Rachmatika Nur Aisah XI IIS 1

Masa Hindu-Buddha. Masa Islam dan awal kolonialisme Barat

Melacak Perburuan Mutiara dari Timur

2. Title Bagian ini akan ditampilkan setelah bulatan menjadi besar kembali dan peta berubah menjadi judul film Djakarta Tempo Doeloe.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan

BAB IV BUDAYA DAN ALAM PIKIR MASA PENGARUH KEBUDAYAAN ISLAM DAN BARAT

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Berdasarkan posisi geografisnya Aceh berada di pintu gerbang masuk

I. PENDAHULUAN. Palembang muncul sebagai Kesultanan Palembang sekitar pada tahun 1659 dan

PENGANTAR ILMU SEJARAH DAN REAKSI TERHADAP IMPERIALISME. Oleh : Dr. Agus Mulyana,M.Hum Universitas Pendidikan Indonesia

INTRODUCTION: INTERNATIONAL RELATIONS IN SOUTHEAST ASIA

Rute Penjelajahan Samudera Bangsa Eropa

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KISI-KISI PENULISAN SOAL ULANGAN AKHIR SEMESTER GANJIL TAHUN PELAJARAN

BAB I PENDAHULUAN. dituturkan di sejumlah wilayah di Indonesia, dan ada pula bahasa-bahasa etnik

commit to user BAB I PENDAHULUAN

KATA PENGANTAR. Dalam kesempatan ini pula saya menyampaikan rasa bahagia dan ucapan rasa terima kasih kepada :

ASEAN DAN KERJASAMA EKONOMI REGIONAL. [Dewi Triwahyuni]

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

I. PENDAHULUAN. Islam datang selalu mendapat sambutan yang baik. Begitu juga dengan. kedatangan Islam di Indonesia khususnya di Samudera Pasai.

LINTASAN SEJARAH NUSA TENGGARA TIMUR 1

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kolonialisme berawal dari perkembangan situasi ekonomi, dimana

Oleh Taufik Hidayat, S.Pd

BAB V KESIMPULAN. Dari pembahasan mengenai Peran Sultan Iskandar Muda Dalam. Mengembangkan Kerajaan Aceh Pada Tahun , maka dapat diambil

JAN HUYGEN VAN LINSCHOTEN: MEMBUKA JALAN BAGI MASUKNYA BELANDA KE NUSANTARA

I. PENDAHULUAN. telah berlangsung sejak zaman purba sampai batas waktu yang tidak terhingga.

KEUNGGULAN LOKASI TERHADAP KOLONIALISME DI INDONESIA

KERAJAAN DEMAK. Berdirinya Kerajaan Demak

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kota Tanjung Balai adalah salah satu kota di provinsi Sumatera Utara.

BAB II KEHADIRAN SERIKAT YESUIT DI NUSANTARA. perdagangan ke pusat rempah-rempah di Asia. Perdagangan Portugis ke Asia

BAB I PENDAHULUAN. bahwa daerah ini terletak antara 95º13 dan 98º17 bujur timur dan 2º48 dan

BAB I PENDAHULUAN. menaklukkan Jayakarta dan memberinya nama Batavia 1. Batavia dijadikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dinyatakan bahwa

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fani Nurlasmi Kusumah Dewi, 2013

BAB II KAJIAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. 1. Pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam usahanya membangun suatu imperium di Asia, Jepang telah

Kerajaan Ternate dan Tidore. Oleh Kelompok 08 : Faiqoh Izzati Salwa (08) Muhammad Anwar R (21) Shela Zahidah Wandadi (27)

BAB 2 DATA & ANALISA

BAB I PENDAHULUAN. berdaulat. Merdeka yang dimaksud adalah terbebas dari kekuasaan Kerajaan

Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Internasional

8. Apa perjuangan beliau? 9. Apa strategi beliau dalam mengusir penjajah? 10. Apa sikap yang harus diambil dari para pahlawan?

: SARJANA/DIPLOMA. PETUNJUK KHUSUS Pilihlah salah satu jawaban yang saudara anggap paling tepat diantara 5 pilihan yang tersedia

PERANAN PEMOEDA ANGKATAN SAMOEDERA OEMBARAN (PAS O) DALAM PERISTIWA AGRESI MILITER BELANDA II TAHUN 1948 DI YOGYAKARTA

Naskah Drama. Sejarah Kerajaan Samudera Pasai

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB 5: SEJARAH POLITIK KOLONIAL

B A B III KEADAAN AWAL MERDEKA

BAB I Pendahuluan. 1.1 Multimedia Interaktif Flash Flip Book Pakaian Adat Betawi

BAB V PENUTUP. di Cilacap untuk mempertahankan pengaruhnya di kota tersebut. Pembangunan

MASA PEMERINTAHAN HERMAN WILLIAN DAENDELS DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Veygi Yusna, 2013

Warisan Rezim Prancis di Jawa: Kajian Strategi Militer dan Politik Birokrasi dalam Historiografi Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia

Seminar Pertumbuhan Dan Perkembangan Kesultanan Di Nusantara Abad XVII Masehi

I. PENDAHULUAN. Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

TOKOH PENYIAR AGAMA ISLAM BERIKUT WILAYAHNYA ENCEP SUPRIATNA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan

BAB I PENDAHULUAN masih menyisakan satu persoalan yaitu masalah status Irian Barat. Indonesia

Disusun Oleh : Kelompok 5. 1.Alma Choirunnisa (02) 2.Anjar Kumala Rani (03) 3.Sesario Agung Bagaskara (31) 4.Umi Milati Chanifa (35) XI MIPA 5

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1959 TENTANG DEWAN ANGKATAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENGANTAR. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terletak di antara

BAB I PENDAHULUAN. kontrak perkebunan Deli yang didatangkan pada akhir abad ke-19.

Ditulis oleh Administrator Rabu, 13 November :09 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 13 November :29

BAB I PENDAHULUAN. Adam Jamaluddin, 2014 Gejolak patani dalam pemerintahan Thailand Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

Pengantar Ilmu dan Teknologi Maritim

BAB 1 PENDAHULUAN dan luas perairannya Indonesia adalah Negara

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

Sejarah Sosial & Politik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. lautan 38% : 62%, memiliki pulau, dimana 6000 di antaranya telah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UJIAN AKHIR SEMESTER 1 SEKOLAH MENENGAH TAHUN AJARAN 2014/2015 Nama : Mata Pelajaran : Sejarah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perlunya penerapan strategi pelayanan perusahaan yang tepat. Perkembangan dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan telah terjadi sejak kedatangan penjajah

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA Sejarah Indonesia SMA/MA/ SMK/MAK KELAS. XI Semester 1

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdagangan telah lama menjadi faktor yang membuat interaksi antar bangsa di Nusantara ataupun antara bangsa di Nusantara dengan bangsa di belahan bumi lainya menjadi sangat intensif. Sistem perdagangan yang terbentuk menempatkan mayoritas kerajaan di Nusantara terlibat dalam perdagangan internasional maupun domestik. Sistem perdagangan Nusantara terbentuk selama berabad-abad sehingga telah menjadi suatu jaringan yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, bahkan telah menjadi sebuah jaringan kultural. Tome Pires seorang juru tulis Portugis telah menuliskan kebesaran sistem ini, terutama pada saat kejayaan kesultanan Malaka yang menjadi pusat perdagangan Nusantara hingga abad ke-16. Malaka menjadi tempat berkumpulnya para pedagang dengan membawa komoditikomoditi yang diperdagangkan dari seluruh penjuru Nusantara. Pada saat itu posisi Malaka adalah sebagai penghubung perdagangan Nusantara ke jalur-jalur perdagangan yang membentang ke barat sampai India, Persia, Arabia, Suriah, Afrika Timur, dan Laut Tengah; ke utara sampai Siam dan Pegu; serta ke timur sampai Cina dan Jepang. Ini merupakan sistem perdagangan yang terbesar di dunia pada masa itu (Ricklefs, 2009, hlm.39). Transportasi laut menjadi satu-satunya alat untuk menghubungkan interaksi antar pulau di Nusantara, terutama pada abad-abad awal sebelum ditemukannya pesawat terbang. Transportasi laut membutuhkan sarana pelabuhan sebagai tempat interaksi baik itu ekonomi, sosial, budaya ataupun politik. Hal ini tentu membuat mayoritas kerajaan-kerajaan di Nusantara memiliki pelabuhan untuk berinteraksi dengan dunia luar.

2 Peradaban Indonesia sejak berabad-abad lalu berkembang lewat laut, membuat sebagian besar pusat peradaban yang ada di Indonesia berkembang di wilayah pesisir. Dalam hal ini menurut Sulistiyono (2004, hlm.12) kota-kota dagang yang berkembang di Nusantara pada abad-abad 16 sampai 17 antara lain Banten, Batavia, Cirebon, Semarang, Demak, Rembang, Tuban, Pasuruan, Gresik, Surabaya, Probolinggo, Panarukan, Pamekasan, Buleleng, Lampung, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Sampit, Sambas, Makasar, Sumba, Kupang, Larantuka, dan sebagainya. Batavia merupakan salah satu pelabuhan yang menjadi sangat besar dan berpengaruh sejak abad ke-17. Banyak faktor yang membuatnya menjadi begitu besar dan berpengaruh pada abad itu dan abad-abad setelahnya. Kedatangan para pedagang dari negeri Belanda sejak 1596 dibawah pimpinan Cornelis De Houtman disebut-sebut sebagai awal terbukanya pintu bagi para pedagang Belanda di Nusantara. Ia dan keempat kapal yang dipimpinnya merupakan perintis dari armada besar yang akan datang dikemudian hari. Meskipun bagi Indonesia mereka hanyalah pelawat yang datang dan pergi dan segera dilupakan. Pada awal kedatangan pedagang-pedagang Belanda, raja-raja di Indonesia menganggap kehadiran mereka sebagai sebuah keuntungan. Persaingan antara Belanda dan Portugis yang sudah lebih dahulu berdagang di Nusantara, dan lebihlebih lagi antara perusahaan dagang Belanda yang berbeda-beda membuat keuntungan berlipat ganda sehingga harga lada, cengkeh, dan pala melonjak dalam beberapa tahun. Parlemen Belanda (Staten-Generaal), pada Maret 1602 membentuk VOC (Vereenidge Oostindische Compagnie) guna mengakhiri persaingan internal antar pedagang Belanda yang merugikan pihak Belanda. VOC pun diserahi monopoli dan wewenang atas segala perniagaan di Asia (Vlekke, 2010, hlm.132). Dalam hal ini Boxer (1983, hlm.9) mengemukakan dua sebab utama yang menyebabkan perlunya di bentuk persatuan perusahaan dagang: guna menimbulkan bencana pada musuh dan guna keamanan tanah air. Lohanda (2007, hlm.2)

3 menambahkan bahwa VOC mempunyai hak dari pemerintahnya tidak hanya melakukan kegiatan dagang di perairan Asia-Afrika, tetapi juga hak-hak untuk bertindak sebagai suatu kekuasaan yang berdaulat yang dalam kaitannya hak ini membuat VOC bisa mengadakan perjanjian dengan para penguasa setempat, melancarkan peperangan untuk menjamin praktek monopoli kepentingan perdagangannya. Ini artinya, VOC adalah perusahaan dagang yang secara tidak langsung merupakan kepanjangan tangan dari negara Belanda. Lohanda (2007, hlm.23-24) menjelaskan mengenai struktur VOC sebagai sebuah perusahaan dagang: VOC merupakan sebuah perusahaan dagang di Belanda yang merupakan gabungan dari sejumlah kamar dagang di enam kota: Amsterdam, Rotterdam, Zeeland, Delft, Hoorn, dan Enkhyusen (Lohanda, 2007, hlm. 2). Saham terbesar berasal dari Amsterdam (50%), Zeeland (25%), dan sisanya dari kota lainnya. Kepengurusan VOC dipegang oleh 17 orang yang disebut Heeren Seventien atau Dewan 17. Komposisi kepengurusan Heeren Seventien masing-masing dewan mewakili semua kamar dagang yang tergabung dalam VOC. Sebagai pemilik saham/modal terbesar, maka Amsterdam mempunyai wakil yang terbanyak, yaitu 8 orang. Daerah operasi VOC mencakup Afrika Timur, wilayah perairan Lautan India, Laut Cina Selatan sampai ke Pasifik. Kantor-kantor dagang didirikan VOC di Kapstadt (Capetown), di Teluk Ormudz (Persia, atau sekarang Iran), disepanjang pantai Malabar dan Koromandel di India, Srilanka, kepulauan Nusantara, Formosa (Taiwan) sampai pulau Deshima di Jepang. VOC sejak didirikan sampai kemudian dibubarkan pada 1799 pernah dipimpin oleh 37 Gubernur Jenderal di masa kekuasaannya, tetapi yang benarbenar terlibat langsung dalam urusan kota Batavia ada 34 Gubernur Jenderal. Dimulai dengan Jan Pieterzoon Coen yang dua kali memerintah (1619-1623, 1627-1629) sampai kepada Pieter Gerardus van Overstraten (1786-1801). Yang menarik dari ke dua Gubernur Jenderal ini adalah Jan Pieterszoon Coen yang memulai pemerintahan VOC di Batavia, sementara Van Overstraten yang memulai perpindahan pusat pemerintahan di Kastil Batavia yang termasuk wilayah Stad en Voorsteden (sekarang Jakarta Utara dan Barat) ke Weltevreden

4 (sekarang Jakarta Pusat) yang juga merupakan akhir dari masa VOC dan berganti ke pemerintahan langsung kerajaan Belanda yang kemudian kita mengenal Nusantara sebagai Hindia Belanda (Lohanda, 2007, hlm.6). Setelah berniaga selama 20 tahun di Hindia, para direktur VOC menganggap keadaannya masih sangat tidak memuaskan. VOC memang telah memperoleh pijakan di pulau Ambon dan cukup kekuasaan di Maluku, tapi persaingan di pasar rempah masih tetap ketat, dan dengan harga-harga yang meningkat, khususnya biaya besar yang dituntut oleh perang, keuntungan yang berhasil diperoleh VOC masih kecil (Vlekke, 2010, hlm.146). Reorganisasi total sistem komersial VOC harus segera dilakukan untuk bisa menjamin keuntungan yang sebesar-besarnya. Beberapa proposal untuk reorganisasi sampai ke para Direktur pada dekade kedua abad ke-17. Yang paling menarik adalah Wacana mengenai Negara Hindia oleh Jan Pieterszoon Coen yang terkenal. Coen mendasarkan pendapatnya pada dua argumen: pertama, bahwa perdagangan dengan timur perlu untuk kesejahteraan Republik Belanda, dan kedua, bahwa orang Belanda punya hak legal untuk meneruskan perdagangan ini dan bahkan memonopoli perdagangan di banyak tempat. Ide dari Coen inilah yang menjadi cikal-bakal terciptanya kolonialisme Belanda di Nusantara (Vlekke, 2010, hlm.148-149). Ide Pembentukkan Negara Hindia oleh Coen didasari oleh beberapa masalah yang menurutnya menghambat VOC untuk memonopoli perdagangan di Nusantara, diantaranya adalah penyelundupan terus menerus antara Jawa dan Maluku kemudian ancaman yang sewaktu-waktu bisa datang dari Inggris dengan EIC-nya sebagai pesaing. Saran Coen ialah menjaga kepentingan VOC dengan mendirikan pemukiman Belanda (Vlekke, 2010, hlm.150) dan memastikan kepemilikan total atas beberapa wilayah penting, misalnya pulau Bacan di Maluku, Ambon, dan Banda, dan pelabuhan berbenteng di Banten atau Jayakarta. Kemudian Coen menginginkan VOC membawa kelompok orang-orang Belanda ke tempat itu dan memberikan mereka hak atas tanah dan izin untuk berdagang di

5 pelabuhan-pelabuhan Asia, kemudian mengirim armada yang cukup kuat untuk menaklukan Manila dan Makao sebagai upaya terbesar untuk menguasai jaringan perdagangan Asia. Coen berpendapat bahwa dengan mereformasi sistem komersial bukan hanya semua ongkos di Nusantara akan tertutup, tapi keuntungan tahunan sebesar lima juta Gulden bisa didapat dari perdagangan antar-asia dan lima juta lagi kalau perdagangan Cina dapat dimasukkan ke dalam sistem itu. Untuk itu Coen butuh pemukiman orang Belanda yang akan menangani produksi rempah-rempah (Vlekke, 2010, hlm.151). Misi pertama yang dilakukan oleh Coen adalah membuat Rendez Vouz. Rendez Vouz (berasal dari bahasa Perancis) memiliki definisi tempat bertemu atau tempat pertemuan, Yaitu tempat bertemunya kapal-kapal yang membawa komoditi-komoditi dari seluruh Nusantara. Rendez Vouz bisa juga diartikan sebagai Port, menurut Roads Murphey, dalam Sulistiyono (2004, hlm.149) : Port mengacu pada konsep ekonomi, yaitu pelabuhan yang dipandang sebagai tempat atau pusat tukar menukar atau keluar masuknya barang komoditas antara daerah Hinterland dengan Foreland. Pelabuhan yang mengacu pada konsep ekonomi, selain berfungsi sebagai tempat / pusat tukar menukar atau keluar masuknya barang perdagangan, juga menjadi salah satu syarat sifat kosmopolitannya suatu wilayah atau kota karena adanya dampak ekonomi yang ditimbulkannya. VOC berusaha menemukan sebuah lokasi yang dapat dijadikan kantor pusat di Asia (Suroyo et.al, 2012, hlm.27). Pada awalnya pilihan ditujukan kepada Banten atau Ambon. Banten memang merupakan pelabuhan yang ramai dan tempat untuk berdagang yang menjanjikan. Tetapi Kesultanan Banten adalah kerajaan dagang yang kuat, besar pengaruhnya di wilayah perdagangan Asia, sehingga tidak mudah untuk menghantam Banten demi untuk memperoleh tempat bercokol. Apalagi di Banten sendiri banyak pedagang-pedagang asing yang sudah lebih dahulu mempunyai hubungan baik dengan Sultan Banten, salah satunya adalah Inggris yang merupakan saingan besar VOC. Sedangkan Ambon yang terletak di pusat wilayah penghasil rempah-rempah rupanya tidak lagi menarik

6 minat VOC karena tidak ideal dari segi lokasi yang berada di ujung timur jaringan perdagangan. Padahal mereka sudah terlebih dahulu mendirikan Loji atau Kantor dagang merangkap gudang dan tempat tinggal di Hitu, di pulau Ambon, sejak 1605, VOC tidak lagi menganggap Ambon tempat yang strategis bagi kepentingan mereka di belahan dunia timur (Lohanda, 2007, hlm.3). Dengan berbagai pertimbangan akhirnya para pembesar VOC (Hereen Seventien) memutuskan bahwa tempat yang strategis adalah Jayakarta. Meskipun Inggris dengan EIC-nya pun telah memiliki Loji di kota Pelabuhan ini. Status Jayakarta sebagai Vazal atau daerah kekuasaan Banten tentu merupakan ancaman bagi Belanda karena bisa kapan saja diserang dan diblokir perairannya oleh Banten (Lohanda, 2007, hlm.4). Dipilihnya Jayakarta Sebagai Kota Pelabuhan atau Rendez Vouz menurut Sulistiyono (2004, hlm.12) adalah karena dari sebagian banyak rute pelayaran dan perdagangan di perairan Nusantara, rute pelayaran dan perdagangan yang melintasi laut Jawa-lah yang paling ramai. Hal itu mudah dipahami karena laut Jawa terletak di tengah-tengah kepulauan Indonesia. Laut jawa memiliki ombak yang relatif kecil dibandingkan dengan laut-laut yang ada di Indonesia dan sekitarnya seperti laut Cina Selatan, Samudera Hindia, Samudera Pasifik, Laut Arafuru, Laut Banda, dan sebagainya sehingga cocok untuk pelayaran dan perdagangan. Di samping itu laut Jawa memiliki kedudukan yang strategis dalam jalur lalu lintas perdagangan dunia yang ramai antara Malaka-Jawa-Maluku. Dalam konteks itu laut Jawa juga berfungsi sebagai jembatan penghubung pusatpusat dagang di sepanjang pantai yang berkembang karena pelayaran dan perdagangan melalui laut Jawa. Coen menginginkan rendez vouz ini bisa menjadi pusat administrasi VOC dan juga pusat komando dalam mengkoordinir kegiatan dagang di wilayah Perairan Timur yang sangat luas. Sebelum berdiri kantor pusat di Batavia, urusan VOC di Asia langsung ditangani oleh Staaten General di Den Haag. Akan tetapi dengan adanya Batavia, semua urusan itu diserahkan kepada Gubernur Jenderal di

7 Batavia (Suroyo et.al, 2012, hlm.27). Sehingga semua laporan dari kantor-kantor dagang tersebut yang akan dikirim ke Belanda harus melalui Batavia. Batavia juga menjadi tempat tujuan bagi para pegawai yang ingin mendapatkan pemindahan tugas dan promosi, semua lembaga penting VOC di Asia ditempatkan di Batavia, yaitu Dewan Pemerintahan Asia, Pengadilan Tinggi, Kantor Kepala Pembukuan dan Gudang-gudang (Taylor, 2009, hlm.4). Dengan sendirinya kota ini tidak hanya menjadi sibuk dengan kapal-kapal yang datang dan pergi, bongkar muat barang, atau yang hanya sekedar singgah sambil membawa berbagai berita dari tempat-tempat yang dikunjungi (Lohanda, 2007, hlm.25). Disinilah awal dari sejarah Jayakarta yang kemudian menjadi Batavia yang termashur. Hal ini menjadi menarik karena menurut Kartodirdjo (1988, hlm.155) Jayakarta pada awal kedatangan bangsa barat sudah kurang berarti sebagai pelabuhan, hanya tempat singgah untuk mengambil air bersih dan bahan makanan segar. Untuk dapat menguasai Batavia (Jayakarta) Coen memutuskan untuk menghadapi Banten terlebih dahulu. Dia menghentikan semua pembelian lada dan mengancam akan memindahkan pabriknya ke Jayakarta (Vlekke, 2010, hlm.155). Hal ini dapat dipahami karena pada abad ke-17 Banten merupakan pelabuhan yang sangat berpengaruh di Jawa, maka dengan memblokade Banten akan membuat Batavia dikemudian hari menjadi satu-satunya pelabuhan paling berpengaruh di Jawa bahkan kemudian menjadi sangat berpengaruh di seluruh Nusantara. Coen memerintahkan gudang VOC di Jayakarta untuk secara rahasia diubah menjadi benteng yang andal, raja Jayakarta mengetahui apa yang terjadi dan memprotes sambil meminta bantuan Inggris, kemudian Coen memindahkan kantor pusatnya ke Jayakarta dan menyerang satu kubu pertahanan yang dibuat penduduk di seberang pemukiman Belanda hingga membakar habis pos dagang Inggris. Menyadari kekuatan pasukan yang dipimpinnya ia pun mundur. Keadaan di Jayakarta lebih baik dari yang diperkirakan Coen, karena benteng Belanda selamat. Hal ini disebabkan karena Inggris dan Jayakarta tidak bisa sepakat siapa yang akan memilikinya setelah ditaklukan. Sementara raja Banten tidak mau

8 membiarkan salah satu dari mereka memilikinya. Banten akhirnya mengambil alih Jayakarta dan mengusir rajanya, Inggris mundur dalam kebingungan dan ketakutan akan nasib pemukiman dan barang mereka di pelabuhan Banten. Hal ini memberikan keberanian baru kepada garnisun Belanda. Pada akhirnya mereka menemukan benteng itu tanpa nama dan menamainya Batavia pada 12 maret 1619. Pada 28 Mei sang Gubernur Jenderal memasuki Benteng Batavia (Vlekke, 2010, hlm.155). Pada tanggal 30 Mei 1619 pasukan VOC dibawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut kota Jayakarta. Semua yang ada dimusnahkan, penduduknya menyingkir ke daerah lain atau bertahan di wilayah pedalaman. Mulai saat itu dibuka babak baru dalam sejarah kehidupan di Jayakarta (Lohanda, 2007, hlm.4). Pada awalnya Coen menamakan kota yang baru didirikan ini dengan nama Nieuw Hoorn, untuk mengenang kota kelahirannya di negeri Belanda, yaitu Hoorn. Namun usul itu tidak digubris oleh para petinggi VOC di Amsterdam, yaitu Heeren Seventien yang lebih setuju nama Batavia, yang ternyata sudah sejak 12 Maret 1619 digunakan untuk nama sebuah kastil yang merangkap benteng yang menjadi pusat kegiatan VOC pertama kali di Jayakarta (Lohanda, 2007, hlm.5) Batavia merujuk penyebutan negeri Belanda dimasa lalu. Namun menurut Hadrianus Julianus dalam Kartodirdjo (1988, hlm.159) Batavia berarti Bato s Have, tempat tinggal Bato, yaitu Pahlawan Suku (Stamhero). Namun, jika menilik pada Perintah Heeren XVII pada Oktober 1617, disitu ditegaskan bahwa daerah mana pun yang dipilih sebagai tempat rendezvous haruslah disebut Batavia. Nama ini sengaja dipilih sebagai kenangan pada Uni Provinsi-Provinsi Nederland Merdeka (Republik Bataaf), yang melawan penjajahan Spanyol (Simbolon, 2006, hlm.38) Penguasaan atas Jayakarta yang kemudian diganti menjadi Batavia, membuat VOC secara tidak langsung telah menguasai salah satu titik terpenting

9 dalam jalur pelayaran dan perdagangan di Nusantara, yaitu laut Jawa sebagaimana Houben berpendapat dalam Sulistiyono (2004, hlm.30) : Laut Jawa bukan hanya sebagai laut utama bagi Indonesia, tetapi juga merupakan laut inti bagi Asia Tenggara. Jadi bisa dikatakan bahwa laut Jawa merupakan Mediterranean Sea bagi Indonesia bahkan bagi Asia Tenggara. Sebagai Laut Tengah -nya Indonesia dan bahkan Asia Tenggara, sudah barang tentu laut Jawa menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai komunitas yang berada di sekitarnya baik dalam kegiatan budaya, politik, maupun ekonomi. Dengan demikian laut Jawa tentu memiliki fungsi kohesif yang mengintegrasikan berbagai elemen kehidupan masyarakat yang melingkunginya. Coen mempunyai rencana yang tidak terbatas pada kepulauan Nusantara. Dia bermaksud membangun imperium komersial yang besar di Asia dengan ibukotanya Batavia, kota yang didirikannya. Coen langsung memerintahkan pembangunan satu benteng baru yang lebih besar dan satu kota Belanda yang kecil, yang dibangun dalam beberapa tahun berikutnya mengikuti gaya di negeri leluhur, dengan kanal dan jembatan. Dia tidak tertarik sama sekali dengan perkembangan politik di pedalaman kepulauan Indonesia. Yang paling penting baginya hanyalah mempertahankan beberapa posisi Belanda yang ingin dia bangun, dan kontrol atas laut. Dengan penaklukan Jayakarta dan pendirian Batavia diikuti blokade atas pelabuhan Banten, orang Belanda berhasil mengontrol laut Jawa (Vlekke, 2010, hlm.152-157). Pada waktu itu Belanda menguasai jalur-jalur pelayaran yang menghubungkan enclave-enclave mereka seperti Makassar, Manado, Ternate, Ambon, Banda, Bima, Kupang, Banjarmasin, Sambas, Pontianak, Palembang, Lampung, Padang, dan pelabuhan-pelabuhan di Jawa (Sulistiyono, 2004, hlm.83). Sejak saat itu jaringan perdagangan yang telah terbentuk selama berabad-abad di Nusantara berubah seiring meluasnya kekuasaan VOC yang berpusat di Batavia. Pada dasarnya kolonialisme yang terjadi terhadap kepulauan Nusantara atau yang kemudian kita kenal sebagai Hindia Belanda, bisa kita telusuri awal mulanya dari Kota Pelabuhan Batavia ini. Terutama pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen sebagai pembuka kibaran sayap

10 kekuasaan kolonial Belanda dan juga sebagai pendiri kota Batavia yang hingga saat ini masih menduduki posisi terhormat sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai peran Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen dalam membangun kota Batavia sebagai kota pelabuhan tahun 1619-1629. Tulisan ini memfokuskan kajiannya pada peranan Jan Pieterszoon Coen dalam upaya membangun Kota Pelabuhan Batavia tahun 1619-1629. Adapun alasan pemilihan tokoh Jan Pieterszoon Coen ialah, pertama, Wacana mengenai Negara Hindia yang ia cetuskan pada abad ke-17 telah membuat orientasi VOC yang awalnya hanya memonopoli perdagangan menjadi penguasaan wilayah yang kemudian berbuah penjajahan yang sangat panjang di Nusantara. Kedua, Jan Pieterszoon Coen merupakan pahlawan bagi kolonialisme Belanda di Indonesia, bagaimana pun idenya mengenai pendirian negara Hindia dan pemindahan secara besar-besaran orang-orang Belanda ke tempat yang dikuasainya telah menancapkan akar kekuasaan kolonial Belanda yang sangat kuat sehingga bisa bertahan selama lebih dari 300 tahun. Sebagai tanda kehormatan, di tempat kelahirannya di Negeri Belanda tepatnya di kota Hoorn dibuatkan patung yang melambangkan keperkasaan dan jasanya terhadap kepentingan Belanda di Nusantara. Seperti halnya di Hoorn, di Batavia ia pun dibuatkan sebuah patung sebagai tanda penghormatan, namun pada masa penjajahan Jepang patung itu di jatuhkan. Ketiga, Jan Pieterszoon Coen merupakan seorang Gubernur Jenderal yang sepak terjangnya sangat terinventarisir dengan baik dalam Daghregister, yaitu catatan hariannya selama menjadi Gubernur Jenderal yang masih tersimpan dengan baik dan jumlahnya pun melimpah di Arsip Nasional Republik Indonesia. Adapun alasan pemilihan pembangunan Kota Pelabuhan Batavia ialah karena berkaitan dengan ide Jan Pieterszoon Coen untuk menjadikan kota ini sebagai pusat koordinasi perdagangan VOC di Asia. Sangat menarik untuk mengkaji bagaimana Coen membangun kota pelabuhan ini dengan visi besarnya

11 untuk menguasai perdagangan Asia. Selain itu, tetap bertahannya kota Batavia yang sekarang menjadi Jakarta sebagai pusat pemerintahan menjadi alasan lain bagi penulis untuk menggali lebih dalam lagi bagaimana kota ini dibentuk sehingga bisa mempertahankan hegemoni sampai lebih dari 400 tahun sejak didirikan. Tahun 1619-1629 diambil untuk membatasi kajian penulis agar tidak terlalu melebar dan lebih terfokus pada masa pemerintahan Jan Pieterszoon Coen. Meskipun penulis menyadari bahwa periode pemerintahan Coen terjadi dua kali yaitu antara 1618-1623 dan 1627-1629 membuat ada sedikit ketidak sesuaian karena ada periode pemerintahan Gubernur Jenderal yang lain pada 1623-1627. Namun setelah penelusuran penulis mengenai hal tersebut penulis memutuskan untuk tidak membagi dua periode kajian, ini dikarenakan pengganti Coen pada masa selang adalah Gubernur Jenderal yang satu ideologi dengan Coen dan hampir dipastikan pengaruh pemikiran Coen diteruskan pula, itu artinya peranan Coen masih kuat pada masa itu meskipun ia tidak berperan sebagai Gubernur Jenderal. Berdasarkan beberapa asumsi di atas, maka penulis bermaksud mengangkat hal tersebut ke dalam sebuah skripsi yang berjudul Peranan Jan Pieterszoon Coen dalam Membangun Batavia sebagai Kota Pelabuhan tahun 1619-1629. Maksud yang terkandung pada judul di atas adalah tanggapan, sikap dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Jan Pieterszoon Coen dalam membangun Batavia sebagai Kota Pelabuhan tahun 1619-1629. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana peranan Jan Pieterzoon Coen dalam membangun Batavia sebagai Kota Pelabuhan tahun 1619-1629?

12 Agar permasalahan yang ada di penelitian ini tetap terfokus dan terkaji dengan baik, maka penulis membatasi permasalahan tersebut ke dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi Batavia pada masa sebelum Jan Pieterszoon Coen memerintah di Batavia? 2. Bagaimana kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Jan Pieterzoon Coen dalam rangka membangun Batavia sebagai Kota Pelabuhan? 3. Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi Jan Pieterszoon Coen dalam membangun Batavia sebagai Kota Pelabuhan? 4. Bagaimana kemajuan yang dicapai Batavia setelah proses pembangunan Kota Pelabuhan yang dilakukan oleh Jan Pieterzoon Coen? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum berdasarkan beberapa pokok rumusan masalah yang telah dituliskan sebelumnya, tujuan utama yang ingin dicapai penulis yakni mendeskripsikan mengenai peranan Jan Pieterzoon Coen dalam membangun Batavia sebagai Kota Pelabuhan tahun 1619-1629. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk: 1. Memperoleh gambaran mengenai kondisi Batavia pada masa sebelum Jan Pieterszoon Coen memerintah. 2. Menganalisis kebijakan-kebijakan Politik, Ekonomi dan Sosial yang diambil oleh Jan Pieterszoon Coen di Batavia. 3. Menganalisis kendala-kendala yang dikeluarkan Jan Pieterszoon Coen dalam membangun Batavia sebagai Kota Pelabuhan Vereenigde Oostindische Compagnie. 4. Mengeksplorasi kemajuan yang dicapai Batavia setelah proses pembangunan Kota Pelabuhan Vereenigde Oostindische Compagnie yang dilakukan Jan Pieterszoon Coen.

13 1.4 Manfaat Penelitian Adapun yang diharapkan dalam penelitian ini adalah dapat memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan sejarah terutama kajian mengenai tokoh Jan Pieterszoon Coen sebagai pendiri Batavia. Manfaat disusunnya penelitian ini adalah: 1. Mengenal tokoh dan pemikiran Jan Pieterzoon Coen. 2. Memperkaya pemahaman mengenai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam berdirinya kota Batavia sebagai pusat pemerintahan Kolonial Belanda. 3. Mengilhami para pemangku kebijakan dalam mengatasi persoalan di Ibukota Jakarta. 4. Menambah literatur sejarah mengenai tokoh di era Kolonial, khususnya di jurusan Pendidikan Sejarah. 1.5 Struktur Organisasi Skripsi Adapun struktur organisasi skripsi ini, adalah sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, pada BAB ini akan dipaparkan masalah dan alasan penulis mengkaji penelitian mengenai peranan Jan Pieterszoon Coen dalam membangun Batavia sebagai Kota Pelabuhan tahun 1619-1629. Selain latar belakang pada BAB I ini didalamnya terdapat Sub BAB yakni, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Struktur Organisasi Skripsi. BAB II Kajian Pustaka, akan memaparkan mengenai buku-buku ataupun sumber penelitian lainnya yang menjadi sumber utama penulis dalam melakukan penelitian mengenai Peranan Jan Pieterszoon Coen dalam membangun Batavia sebagai Kota Pelabuhan tahun 1619-1629, yang dapat berupa buku maupun arsip serta sumber internet yang telah dianggap relevan oleh penulis.

14 BAB III Metode Penelitian, dalam BAB ini penulis memaparkan mengenai metode atau proses yang dilaksanakan dalam melakukan penelitian. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode historis serta studi literatur dan studi dokumentasi dalam melakukan heuristik. Proses penelitian disesuaikan dengan Pedoman Penelitian Karya Ilmiah UPI dan berdasarkan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). BAB IV pembangunan Batavia sebagai Kota Pelabuhan di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, BAB ini akan memaparkan hasil penelitian yang didasarkan atas data dan fakta yang diperoleh selama penelitian dilakukan mengenai peranan Jan Pieterszoon Coen dalam membangun Batavia sebagai Kota Pelabuhan. Dalam BAB ini akan dipaparkan kondisi Batavia pada masa sebelum Jan Pieterszoon Coen, kebijakan yang ditempuh oleh Jan Pieterzoon Coen di Batavia, kendala-kendala yang dihadapi Jan Pieterszoon Coen dalam membangun Batavia sebagai Kota Pelabuhan, dan kondisi Batavia setelah pemerintahan Jan Pietesrzoon Coen. BAB V Kesimpulan dan Saran, BAB ini merupakan pembahasan terakhir di mana penulis memberikan suatu kesimpulan dari hasil interpretasi terhadap kajian penelitian. Interpretasi penulis ini disertai dengan analisis penulis dalam membuat kesimpulan atas jawaban-jawaban dari permasalahan-permasalahan yang dirumuskan dalam suatu rumusan masalah. Selain itu, dalam BAB ini juga berisikan saran dari penulis yang diajukan kepada berbagai pihak yang terkait dengan penelitian ini.